Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PERKEMBANGAN JIWA AGAMA PADA MASA REMAJA

Dosen pengempu :Asep Bambang, Lc, M.Pd

Oleh :
M. Abdullah Ramadhan (22112010)
Abdurrahman Kholih(22112001)

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


STIT DARUL FATTAH BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

‫الحمدهللا رب العالمين وبه نستعين على أمور الدنيا و الدين والصالة والسالم على‬
‫اشرف األنبياء والمرسلين و على اله وأصحابه أجمعين‬

Puji syukur atas ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat rahmat dan Hidayah-Nyalah makalah
ini dapat penulis selesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Yang inshaAllah penulis
akan membahas dengan judul “Perkembangan Jiwa Agama Pada Masa Remaja.”

Makalah ini juga dibuat untuk memenuhi tugas yang di lampirkan dosen demi meningkatkan
produktifitas mahasiswa dalam menuntut ilmu, tidak lupa penulis meminta maaf kepada
pembaca yang budiman jika sekiranya dalam penulisan makalah terdapat kesalahan, mengingat
manusia adalah makhluq hidup yang tak luput dari dosa.

Demikian makalah ini, semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, Desember 2022

Penyusun makalah

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

BAB II : PEMBAHASAN

A. Perkembangan Jiwa Masa Remaja

B. Kenakalan Pada Masa Remaja

C. Perkembangan Jiwa Agama Remaja

D. Pembinaan Agama Pada Remaja

BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan untuk ikut terbawa
arus adalah para remaja. Kenapa? Tak lain karena mereka memiliki karakteristik tersendiri
yang unik. labil, sedang pada taraf mencari iden- titas, mengalami masa transisi dari remaja
menuju status dewasa, serta belum seimbangnya antara perkembangan jasmani dengan
rohaninya sehingga seringkali menimbulkan perasaan gelisah, memberontak dan kurang
nyaman terhadap kondisi dirinya maupun lingkungan sekitarnya.

Di berbagai kota besar, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ulah remaja belakangan
ini makin mengeri- kan dan mencemaskan masyarakat. Mereka tidak lagi sekadar terlibat
dalam aktivitas nakal seperti membolos sekolah, merokok, minum-minuman keras, atau
menggoda lawan jenisnya, tetapi tak jarang mereka terlibat dalam aksi tawuran layaknya
preman atau terlibat dalam penggunaan napza, terjerumus dalam kehidupan seksual
pranikah, dan berbagai bentuk perilaku menyimpang lainnya. Di Surabaya, misalnya
sebagian besar Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dilaporkan pernah mengeluarkan
siswanya lantaran tertangkap basah menyimpan dan menikmati benda haram sebangsa
narkoba. Sementara itu, di sejumlah kos-kosan, tak jarang ditemukan kasus beberapa anak
baru gedhe (ABG) menggelar pesta putauw atau narkotika hingga ada salah satu korban
tewas akibat over dosis.

Banyaknya perilaku penyimpang yang dilakukan remaja pada hakikatnya tak lepas dengan
berbagai perkembangan remaja secara fisik, psikis, sosial maupun agamanya. Begitu banyak
hal penting yang terdapat pada perkembangan jiwa dan agama baik itu yang terjadi pada
anak-anak maupun remaja. Suatu perkembangan memang perlu adanya perhatian yang
sangat teliti sebab hal ini dapat mempengaruhi bentuk perubahan yang dialami anak-anak
pada umumnya. Dan anak-anak yang hanya mengikuti dan meniru apa yang dilihatnya ini
perlu kita arahkan dan jelaskan tentang hal-hal yang nilainya positif. Karena dengan begini
anak-anak akan mengerti hal yang menurutnya menarik dan memuaskan dirinya. Sebab
anak-anak itu hanya mengenal suatu permainan saja. Tergantung pada kita yang akan
mengarahkan meskipun berbentuk suatu permainan, akan tetapi permainan tersebut
mempunyai nilai-nilai yang positif dan berbau agamis maka hal itu akan membuat mereka
mengenal bentuk tersebut.?

Sedangkan perkembangan jiwa dan agama pada masa remaja ini tidak begitu memerlukan
perhatian dan pengarahan lebih serius jika dibandingkan dengan perkembangan jiwa dan
agama pada anak-anak, karena jika pada remaja hal ini sudah mulai mengenal arti
kedewasaan dan kedewasaan inilah yang membuat kita mempunyai perbedaan pada anak-
anak. Dan pada remaja perkembangan jiwanya mulai bergejolak-gejolak dengan apa yang
dialaminya dalam kehidupannya dan pada pergaulannya. Sebab semakin banyak mereka
bergaul dengan sesama remaja dan juga orang dewasa maka pemikirannya akan selalu
menjurus pada jiwanya. Dan mereka akan selalu mengalami kegelisahan dalam
kehidupannya. Mereka selalu berfikir dan mencoba ingin mencari jati dirinya yang
terpendam.

Yang kemudian inilah yang perlu diperhatikan yaitu apabila perkembangan jiwa remaja
yang bergejolak itu tidak disertai dengan bekal agama yang ada pada dirinya maka akibatnya
akan berbahaya. Karena peran agama dalam perkembangan jiwa pada remaja ini penting
maka harus disertai dengan perkembangan agama yang cukup, Supaya emosi yang mencuat
dari dalam dirinya dapat terkendali dan terkontrol oleh aturan-aturan yang mengikat dirinya
sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkembangan Jiwa Masa Remaja

Masa remaja dimulai sejak usia 13 tahun hingga 21 tahun. Terkait tentang fase perkembangan
jiwa masa remaja, maka dalam beberapa buku psikologi ada perbedaan; ada yang
mengelompokkan menjadi empat fase, ada yang tiga fase dan ada yang dua fase. Adapun yang
empat fase, yaitu:
1. Pra-Remaja/Puber (13-16 tahun)
2. Remaja Awal (16-18 tahun)
3. 4. Remaja Akhir (18-20 tahun)
4. Masa Adolescence (21 tahun)

Adapun yang tiga fase, yaitu: (1) Pra-Remaja/Puber (13-16 tahun), (2) Remaja Awal (16-18
tahun), (3) Remaja Akhir (18-21 tahun). Sedang yang dua fase perkem- bangan, yaitu: (1)
Remaja Awal (13-17 tahun), (3) Remaja Akhir (18-21 tahun). Dalam pembahasan ini yang
terkait dengan perkembangan jiwa agama remaja maka diguna- kan perkembangan tiga fase,
yaitu:
1. Masa Pra-Remaja/Masa Puber (13-16 Tahun)

Sekarang menginjak pada masa pra-remaja pertama yaitu mereka memasuki masa goncang,
karena pertum- buhan cepat di segala bidang terjadi. Pertumbuhan jasmani yang ada pada
umur sekolah rendah tampak serasi, seimbang dan tidak terlalu cepat. Kemudian meng injak
masa puber berubah menjadi goncang, tidak seimbang dan berjalan sangat cepat, yang
menyebabkan si anak mengalami kesukaran. Pertumbuhan yang paling menonjol terjadi pada
umur-umur ini, adalah pertum- buhan jasmani cepat, perubahan jasmani cepat itu tidak sama
pada semua anak, ada anak yang pertumbuhannya cepat sekali dibandingkan dengan teman-
temannya sehingga ia merasa jauh lebih tinggi dari pada teman- temannya, dan ada pula
sebaliknya, ada yang terlambat pada permulaan awal remaja itu, sehingga ia merasa
kehilangan rasa percaya diri di hadapan teman-temannya.

Adapun sifat-sifat remaja yang terkait dengan fase-fase perkembangan jiwanya tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Sifat negatif puber perempuan:
1) Mudah gelisah dan bingung
2) Kurang suka bekerja (malas-malasan)
3) Mudah jengkel dan marah
4) Pemurung dan kurang bergembira
5) Perasaan mudah berubah: senang-sedih

b. Sifat negatif puber laki-laki


1) Mudah lelah
2) Malas bergerak (bekerja) 3) Sukar tidur dan bersantai-santai
4) Mempunyai rasa pesimis dan rendah diri
5) Perasaan mudah berubah: gelisah-gembira

Menurut ahli psikologi, sifat negatif pada usia pra- remaja berhubungan dengan pertumbuhan
fungsi-fungsi kelanjar biologis yang pesat seperti datangnya haid bagi perempuan dan mimpi
basah bagi laki-laki

2. Masa Remaja Awal (16-18 Tahun)

Masa remaja awal dapat dikatakan bahwa anak pada waktu itu dari segi jasmani dan
kecerdasan telah mendekati kesempurnaan. Yang berarti bahwa tubuh yang seluruh
anggotanya telah dapat berfungsi yang baik, kecerdasan telah dapat dianggap selesai
pertumbuhannya. Per- tumbuhan dan perkembangan tubuh dan kecerdasannya itu,
pengetahuan remaja juga telah berkembang pula. Berbagai ilmu pengetahuan yang diajarkan
oleh bermacam- macam guru sesuai dengan bidang keahlian mereka masing-masing telah
memenuhi otak remaja.

Disamping itu semua remaja sedang berusaha untuk mencapai peningkatan dan kesempurnaan
pribadinya, karena mereka juga ingin mengembangkan agama, meng ikuti perkembangan dan
alur jiwanya yang sedang tum- buh pesat itu, caranya menerima dan menanggapi pen- didikan
agama jauh berbeda sebelumnya, mereka ingin agar agama menyelesaikan kegonjangan dan
kepincangan-kepincangan yang terjadi dalam dirinya maupun dalam lingkungannya. Adapun
ciri-ciri remaja awal, yaitu.

a. Sifat remaja awal perempuan:


1) Pasif dan suka menerima
2) Suka mendapat perlindungan
3) Pasif tetapi suka mengagumi idolanya
4) Tertarik pada hal yang kongkrit dan emosional
5) Berusaha menuruti dan menyenangkan pihak lain.

b. Sifat remaja awal laki-laki:


1) Aktif dan suka memberi
2) Suka memberi perlindungan
3) Aktif meniru pribadi pujaannya
4) Tertarik pada hal yang abstrak dan intelektual
5) Berusaha metampakkan diri mampu dan bergengsi.

Pada masa remaja awal ini sudah tampak jelas tanda- tanda secara jasmani dan sifat-sifat
kejiwaan antar lawan jenis. Bagi remaja perempuan, pertumbuhan jasmani hampir mendekati
sempurna, yaitu dengan membesarnya payudara dan bagian pinggul serta berfungsinya semua
bagian-bagian tubuh. Dan dari sisi kejiwaan, sudah tampak sifat-sifat sebagai wanita, seperti
munculnya rasa malu, sangat sensitif terhadap berbagai perlakukan dari lawan jenis, seperti
pujian, pemberian hadiah, pertolongan maupun perlindungan secara umum. Demikian juga
bagi remaja laki-laki, pertumbuhan organ tubuh hampir men- dekali sempurna, antara lain
ditandai dengan membesar- nya pita suara, berfungsinya kelenjar testis, tumbuhnya bulu-bulu
rambut dalam beberapa bagian tubuh, misalnya kumis, ketiak maupun di sekitar kemaluan.
Demikian juga secara kejiwaan sudah berkembang sifat-sifat kejantanan, seperti memiliki
keberanian dan ego diri, suka memberi hadiah, pertolongan dan perlindungan khususnya
kepada lawan jenisnya.

Di samping itu karakteristik pribadi sesuai dengan perkembangan sejak awal hingga masa
tersebut, maka pada remaja awal juga sudah tampak. Sehingga para orangtua maupun guru
semakin mudah membedakan karakteristik setiap anak, karena perbedaan tersebut semakin
menonjol antara satu dengan yang lain. Berbeda dengan anak-anak, perbedaan masing-masing
anak belum begitu tampak. Menurut para ahli psikologi perkembang- an, sifat atau
karakteristik remaja awal dapat dikelompok- kan menjadi delapan tipe, yaitu. (1) tipe
intelektual, (2) tipe kalem, (3) tipe perenung, (4) tipe pemuja, (5) tipe ragu- ragu, (6) tipe sok
bisa, (7) tipe kesadaran, (8) tipe brutal.

Perbedaan karakteristik antar remaja tersebut akan terus berkembang sehingga menjadi
kepribadiannya setelah mereka menginjak dewasa. Untuk itu, dengan memahami perbedaan
tipe setiap remaja, maka akan memudahkan orangtua maupun guru untuk memberikan
bimbingan dan pembinaan sesuai dengan tipe masing- masing remaja.

3. Remaja Akhir (18-21 tahun)

Pertumbuhan remaja akhir secara fisik hampir mendekati kesempurnaan. Bahkan


pertumbuhan fisik dari sisi ketinggian badan sudah artinya bagi remaja yang ketinggian
badannya mencapai 160 cm, maka dia seumur hidupnya sudah tidak bisa bertambah tinggi
atau berkurang, sedang untuk ukuran berat badan masih bisa bertambah atau berkurang sesuai
dengan konsumsi makanan, bentuk fisik, serta kondisi pikiran dan jiwa maupun pekerjaan
yang dilakukan. Sedang pertumbuhan, dari sisi kejiwaan terus mengalami perkembangan.
Adapun ciri-ciri kejiwaan remaja akhir yaitu:

1) Mulai menemukan identitas kepribadiannya


2) Mampu menentukan cita-cita hidupnya yang lebih realitas
3) Mampu menentukan garis atau jalan hidupnya
4) Mulai dapat memikul tanggungjawabnya
5) Mampu menghimpun norma-norma sendiri
6) Dapat menentukan jalan hidupnya.

Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa remaja akhir secara umum mengalami kegoncangan
jiwa. Berbeda dengan kegoncangan emosi pada usia pra-remaja yang lebih banyak disebabkan
karena tidak seimbangnya antara pertumbuhan jasmani dengan perkembangan perasaan dan
pikiran. Sedang kegoncangan jiwa pada remaja akhir terjadi karena tidak seimbangnya antara
nilai-nilai yang mulai ditemukan dan dianutnya dengan realitas kehidup an di sekelilingnya.
Pikiran dan perasaan dalam diri remaja sudah mulai saling berinteraksi dan seimbang namun
ternyata seringkali pikiran dan perasaannya kurang sinkron dengan kondisi lingkungannya.
Inilah yang menyebabkan remaja akhir mengalami kegelisahan.

Di antara sebab kegoncangan perasaan, yang sering terjadi pada masa remaja terakhir itu
adalah pertentangan dan ketidakserasian yang terdapat dalam keluarga, sekolah dan
masyarakat, di samping itu yang juga menggelisahkan remaja, adalah tampaknya perbedaan
antara nilai-nilai ahklak yang diajarkan oleh agama dengan kelakuan orang dalam masyarakat.
Dan kegelisahan itu semakin meningkat apabila bertentangan antara nilai dan perilaku nyata
itu terlihat pada orang tua, guru-gurunya di sekolah, pemimpin-pemimpin dan tokoh-tokoh
agama yang selama ini mereka hormati dan turuti nasehatnya. Semakin besar perbedaan
antara nilai-nilai agama dan kelakuan orang-orang yang dihargai dan dihormatinya, akan
semakin goncang jiwa remaja. Sasaran utama akan kekecewaannya akan ditujukan kepada
tokoh-tokoh agama, karena mereka mengharapkan tokoh agamalah yang harus menjaga dan
memperbaiki akhlak masyarakat.

Di samping itu kegoncangan jiwa mereka akibat dorongan seks yang semakin kuat, yang
kadang-kadang timbul karena keinginan untuk mengikuti arus dorongan nafsu tersebut, akan
tetapi mereka takut melaksanakannya karena tidak berani melanggar ketentuan agama Tetapi
di lain pihak mereka melihat, banyak orang-orang yang berani melanggarnya, jika mereka
kurang mendapat pendidikan agama yang serasi dan baik sebelumnya atau sekarang maka
kegoncangan mereka akan semakin bertambah. Mereka terombang-ambing antara keinginan
untuk mengikuti dorongan seks tersebut dan di lain pihak mereka takut melanggar ajaran
agama serta melihat bahwa begitu banyak anggota masyarakat yang melanggar aturan tersebut
misalnya merebaknya perilaku perselingkuhan. Berbagai pertentangan antara nilai-nilai yang
dianut serta realitas perilaku masyarakat yang banyak melanggar nilai-nilai tersebut maupun
dorongan seks yang kuat maka seringkali menggiring para remaja untuk melampiaskan beban
kejiwaannya tersebut mengarah pada tindak kenakalan atau kriminalitas.

B. Kenakalan Pada Masa Remaja

Secara psikologis maupun sosiologis, remaja umumnya memang amat rentan terhadap
pengaruh-pengaruh eksternal. Karena proses pencarian jati diri yang belum kunjung berakhir,
mereka mudah sekali terombang- ambing, dan masih merasa sulit menentukan tokoh
panutannya. Mereka juga mudah terpengaruh oleh gaya hidup masyarakat di sekitarnya.
Karena kondisi kejiwaan yang labil, remaja mudah terpengaruh hal-hal yang negatif (perilaku
menyimpang) yang ada di lingkungannya. Mereka cenderung mengambil jalan pintas dan
tidak mau pusing-pusing memikirkan dampak negatifnya. Di berbagai komunitas dan kota
besar yang metropolitan, jangan heran jika hura-hura, seks bebas, menghisap ganja dan zat
adiktif lainnya cenderung mudah menggoda para remaja. Siapakah yang harus dipersalahkan
tatkala kita menjumpai remaja yang terperosok pada perilaku yang menyimpang dan
melanggar hukum atau paling tidak melanggar tata tertib yang berlaku di masyarakat? Dalam
hal ini, ada sejumlah pandangan dan teori yang dapat digunakan untuk memahami kehidupan
kenakalan remaja.

1. Teori Differential Association

Teori ini dikembangkan oleh E. Suthedand yang didasarkan pada arti penting proses belajar.
Menurut Sutherland perilaku menyimpang yang dilakukan remaja sesungguhnya merupakan
sesuatu yang dapat dipelajari Asumsi yang melandasinya adalah a criminal act occurs when
situation apropriate for it, as defined by the person, is present, (Rose Gialombardo, 1972).
Selanjutnya menurut Sutherland, perilaku menyimpang dapat ditinjau melalui sejumlah
proposisi guna mencari akar permasalahan dan memahami dinamika perkembangan perilaku.
Proposisi tersebut antara lain. Pertama, perilaku remaja merupakan perilaku yang dipelajari
secara negatif dan berarti perilaku tersebut tidak diwarisi (genetik). Jika ada salah satu
anggota keluarga yang berposisi sebagai pemakai narkoba maka hal tersebut lebih mungkin
disebabkan karena proses belajar dari objek model dan bukan hasil genetik. Kedua, perilaku
menyimpang yang dilakukan remaja dipelajari melalui proses interaksi dengan orang lain dan
proses komunikasi dapat berlangsung secara lisan serta melalui bahasa isyarat. Ketiga, proses
mempelajari perilaku biasanya terjadi pada kelompok dengan pergaulan yang sangat akrab.
Remaja dalam pencarian status senantiasa dalam situasi ketidaksesuaian baik secara biologis
maupun psikologis. Untuk mengatasi gejolak ini biasanya mereka cenderung untuk
berkelompok di mana ia diterima sepenuhnya dalam kelompok tersebut. Termasuk dalam hal
ini mempelajari norma-norma dalam kelompok. Apabila kelompok tersebut adalah kelompok
negatif niscaya ia harus mengikuti norma yang ada. Keempat, apabila perilaku menyimpang
remaja dapat dipelajari maka yang dipelajari meliputi: teknik melakukannya, motif atau
dorangan serta alasan pembenar termasuk sikap. Kelime arah dan motif serta dorongan
dipelajari melalui definisi dari peraturan hukum. Dalam suatu masyarakat terkadang
seseorang dikelilingi oleh orang-orang yang secara bersamaan memandang hukum sebagai
sesuatu yang perlu diperhatikan dan dipatuhi Tetapi kadang sebaliknya, seseorang dikelilingi
oleh orang-orang yang memandang bahwa hukum sebagai sesuatu yang memberikan paluang
dilakukannya perilaku menyimpang Penerapan hukum dan wibawa aparat yang rendah
membuat orang memandang bahwa apa yang dilaku- kannya bukan merupakan pelanggaran
yang berat Keenam, seseorang menjadi delinkuen karena akses dan pola pikir yang lebih
memandang aturan hukum sebagai pemberi peluang dilakukannya penyimpangan daripada
melihat hukum sebagai sesuatu yang harus diperhatikan dan dipatuhi. Ketujuh, diferential
association bervariasi dalam hal frekuensi, jangka waktu, prioritas dan intensitasnya. Delapan,
proses mempelajari perilaku menyimpang yang dilakukan remaja menyangkut seluruh
mekanisme yang lazim terjadi dalam proses belajar. Terdapat stimulus- stimulus seperti:
keluarga yang kacau, depresi, dianggap berani oleh teman dan sebagainya merupakan
sejumlah elemen yang memperkuat respon. Sembilan, perilaku menyimpang yang dilakukan
remaja merupakan pernyataan akan kebutuhan dan dianggap sebagai nilai yang umum.

2. Teori Anomie

Teori anomic dikemukakan oleh Robert. K. Merton dan berorientasi pada kelas. Konsep
anomie sendin diperkenalkan oleh seorang sosiolog Perancis yaitu Emile Durkheim (1893),
yang mendefinisikan sebagai keadaan tanpa norma (deregulation) di dalam masyarakat.
Keadaan deregulation atau normlessness tersebut kemudian menimbulkan perilaku deviasi.
Oleh Merton konsep ini selanjutnya diformulasikan untuk menjelaskan keter- kaitan antara
kelas sosial dengan kecenderungan adaptasi sikap dan perilaku kelompok. Dalam teorinya,
Merton mencoba menjelaskan perilaku deviasi dengan membagi norma sosial menjadi 2 (dua)
jenis yaitu tujuan sosial (sociate goals) dan sarana yang tersedia (means). Dalam
perkembangannya konsep anomi mengalami perubahan yakni adanya pembagian antara
tujuan dan sarana dalam masyarakat yang terstruktur. Adanya perbedaan kelas sosial
menimbulkan adanya perbedaan tujuan dan sarana yang dipilih Dengan kata lain struktur
sosial yang berbeda-beda dalam bentuk kelas menyebabkan adanya perbedaan kesempatan
untuk mencapai tujuan Kelompok masyarakat kelas bawah (lower class) misalnya memiliki
kesempatan yang lebih kecil dibandingkan dengan kelompok masyarakat kelas atas. Keadaan
tersebut yakni tidak meratanya kesenipatan dan sarana serta perbedaan struktur kesempatan
selanjutnya menimbulkan frustrasi di kalangan anggota masyarakat. Dengan demikian
ketidakpuasan, frustrasi, konflik, depresi, dan penyim pangan perilaku muncul sebagai akibat
kurangnya atau tidak adanya kesempatan untuk mencapai tujuan. Situasi ini menyebabkan
suatu keadaan di mana anggota masyarakat tidak lagi memiliki ikatan yang kuat terhadap
tujuan dan sarana yang telah melembaga kuat dalam masyarakat.

Dalam kontaks ini selanjutnya Robert K. Merton mengemukakan 5 (lima) bentuk


kemungkinan adaptasi yang dilakukan setiap anggota kelompok masyarakat ber- kaitan
dengan tujuan (goals) dan tata cara yang telah mem budaya (means). Pertama, konformitas
(conformity), yaitu suatu keadaan di mana anggota masyarakat tetap mene- rima tujuan dan
sarana yang terdapat dalam masyarakat sebab adanya tekanan moral yang melingkupinya.
Kedua inovasi (inovation) terjadi manakala tujuan yang terdapat dalam masyarakat diakui dan
dipertahankan tetapi dilakukan perubahan sarana yang dipergunakan sebagai alat untuk
mencapai tujuan tersebut. Ketiga, ritualisme (ritualism) adalah suatu keadaan di mana warga
masya- rakat menolak tujuan yang telah ditetapkan namun masih tetap memilih sarana atau
tata cara yang telah ditentukan. Keempat, penarikan diri (retreatisme) merupakan keadaan di
mana warga masyarakat menolak tujuan dan sarana yang telah tersedia dalam masyarakat.
Retreatisme in mencerminkan mereka-mereka yang terlempar dan kehidupan masyarakat,
termasuk diantaranya adalah pengguna alkohol (alkoholik) dan penyalahguna atau pemakai
narkoba. Kelima, pemberontak (rebellion), yakni suatu keadaan di mana tujuan dan sarana
yang terdapat dalam masyarakat ditolak serta berupaya untuk mengganti dan mengubah
seluruhnya. Berkaitan dengan perilaku menyimpang yang dilakukan remaja selanjutnya dapat
dikemukakan bahwa teori ini lebih memfokuskan pada kesalahan atau 'penyakit dalam
struktur sosial sebagai penyebab terjadinya kasus perilaku menyimpang remaja Teori ini juga
menjelaskan adanya tekanan-tekanan yang terjadi dalam masyarakat sehingga menyebabkan
munculnya perilaku menyimpang (deviance).

3. Teori Albert K. Cohen

Fokus perhatian teori ini terarah pada suatu pemahaman bahwa perilaku delinkuen banyak
terjadi di kalangan laki-laki kelas bawah yang kemudian membentuk geng (komunitas
remaja). Perilaku delinkuen merupakan cermin ketidakpuasan terhadap norma dan nilai
kelompok kelas menengah yang cenderung mendominasi. Karena kondisi sosial ekonomi
yang ada dipandang sebagai kendala dalam upaya mereka untuk mencapai tujuan sesuai
dengan keinginan mereka sehingga menyebabkan kelompok usia muda kelas bawah ini
mengalami status frustration. Menurut Cohen para remaja umumnya mencari status. Tetapi
tidak semua remaja dapat melakukannya karena adanya perbedaan dalam struktur sosial.

Remaja dari kelas bawah cenderung tidak memiliki materi dan keuntungan simbolis. Selama
mereka berlomba dengan remaja kelas menengah kemudian banyak yang mengalami
kekecewaan Akibat dari situasi ini anak-anak tersebut banyak yang membentuk geng dan
melakukan perilaku menyimpang yang bersifat non multilitarian, nonmalicious and
nonnegativistick. Cohen melihat bahwa perilaku delinkuen merupakan bentukan dari
subkulktur terpisah dari sistem tata nilai yang berlaku pada masyara- kat luas. Subkultur
merupakan sesuatu yang diambil dari norma budaya yang lebih besar tetapi kemudian
dibelok- kan secara berbalik dan berlawanan arah. Perilaku delin- kuen selanjutnya dianggap
benar oleh sistem tata nilai sub-budaya mereka, sementara perilaku tersebut dianggap keliru
oleh norma budaya yang lebih besar dan berlaku di masyarakat.

C. Perkembangan Jiwa Agama Remaja

1. Pra-Remaja (Puber/Negatif) (13-16 tahun).


Perkembangan jiwa agama pada usia pra-remaja atau disebut masa puber atau
kemkratu/negatif kedua ini bersifat berurutan mengikuti sikap keberagamaan orang- orang
yang ada di sekitarnya. Secara singkat perkembangan jiwa agama pra-remaja, yaitu: (1)
Ibadah karena pengaruh keluarga, teman, lingkungan dan peraturan sekolah, dan (2) Kegiatan
agama lebih banyak dipengaruhi emosional dan pengaruh luar.

2. Remaja Awal (16-18 tahun).


Perkembangan jiwa agama pada remaja awal adalah menerima ajaran dan perilaku agama
dengan dilandasi kepercayaan yang semakin mantap. Kemantapan jiwa agama pada remaja
awal ini disebabkan karena beberapa hal, yaitu: (1) Timbul kesadaran untuk melihat dirinya
sendiri. Dengan semakin matang organ jasmani yang diringi kematangan emosi maupun
pikiran maka para remaja semakin banyak merenungkan dirinya sendiri, baik kekurangannya,
kelebihannya maupun masa depannya. Kesadaran akan dirinya sendiri ini akan mengarahkan
mereka juga berpikir secara mendalam tentang ajaran dan perilaku agama. (2) Timbul hasrat
tampil ke depan umum (sosial) termasuk dalam bidang agama sehingga para remaja
termotivasi terlibat dalam berbagai organisasi keagamaan seperti: Remaja Masjid (Remas),
mengelola TPA/TPQ dan sebagainya. Keterlibatan remaja awal dalam berbagai kegiatan
agama tidak semata-mata karena mengharapkan pahala atau sebagai penebus dosa atas
perbuatan jahatnya, tetapi juga didorong kuat oleh hasrat- nya untuk tampil ke depan umum
agar mendapatkan Apengakuan atau status sosial. Dengan mendapatkan pengakuan atau status
sosial yang semakin meningkat maka akan mendorong remaja semakin percaya diri serta
mersakan kepuasan batin. (3) Teriring dengan semakin mantapnya jiwa agama remaja awal
maka tumbuh semangat dalam melakukan agama, yaitu semangat positif yang diwujudkan
dalam perilakunya menjauhkan diri dari bid'ah kurafat seperti tidak suka datang ke dukun,
ataupun menggunakan jimat-jimat, namun lebih kepada ajaran agama yang bersifat formal.
Sebaliknya bagi sebagian remaja yang tidak memiliki berbagai kelebihan utamanya dalam
ilmu pengetahuan agama yang mema- dahi atau kesempatan tampil ke depan umum secara
rasional tidak terpenuhi maka mendorong sekelompok remaja melakukan perilaku negatif,
yaitu semangat khurafi, senang jimat, kekebalan tubuh, dan sebagainya. Dengan Semangat
khurafi seperti suka melakukan ritual di tempat- tempat tertentu maupun menggunakan jimat
dan ilmu kekebalan tubuh, mereka sebenarnya mengharapkan dengan berbagai kelebihannya
tersebut bisa diterima dan diakui oleh masyarakat sebagai orang hebat.

3. Remaja Akhir (18-21 tahun)

Perkembangan jiwa agama pada remaja akhir ibarat grafik bukan semakin naik tetapi malah
semakin menurun apabila dibandingkan dengan masa sebelumnya. Jiwa agama remaja akhir
semakin menurun karena diliputi oleh dorongan seksual yang kuat dan belum ada kesempatan
untuk menyalurkannya ditambah dengan rasionalisasi ajaran agama yang semakin kuat serta
realitas kehidupan masyarakat yang seringkali melanggar norma-norma agama. Kondisi
tersebut yang menyebabkan ajaran-ajaran agama yang dipelajari dan dilakukan sejak kecil
mulai mengalami masa penurunan pada usia remaja akhir ini. Terkait dengan masalah ini, Dr.
Al Malighy menemukan keraguan remaja dalam hal agama pada usia 17-20 tahun. Dengan
demikian ada beberapa karakteristik umum perkembangan jiwa agama remaja akhir yaitu:

a) Percaya tetapi penuh keraguan dan bimbang.


b) Keyakinan beragama lebih dikuasai pikiran ketimbang dikuasai emosional.
c) Dengan demikian mereka dapat mengritik, menerima, atau kecil. menolak ajaran agama
yang diterima waktu.

Keraguan jiwa agama remaja semakin memuncak ketika memasuki usia 21 tahun
(adolescence). Pada usia akhir remaja, maka seseorang mengarah pada semakin tidak percaya
sama sekali (peralihan) terhadap Tuhan maupun ajaran agama yang diyakini sebelumnya. Hal
itu ditandai dengan: (1) Mengingkari wujud Tuhan dan ingin mencari kepercayaan lain,
tetapi hati kecilnya masih percaya; (2) Bila usia sebelumnya tidak mendapat pendidikan
agama maka remaja usia ini dapat mengarah ke ateis. Dr. Al Malighy menemukan
mahasiswa jurusan sastra dan filsafat di Amerika Serikat lebih condong kepada ateis.

D. Pembinaan Agama Pada Remaja

Semua perubahan jasmani yang begitu cepat pada masa remaja menimbulkan kecemasan
pada dirinya, sehingga menyebabkan terjadinya kegoncangan emosi, kecemasan dan
kekhawatiran. Bahkan kepercayaan kepada agama yang telah bertumbuh pada umur
sebelumnya, mungkin pula mengalami kegoncangan, karena ia kecewa terhadap dirinya.
Maka kepercayaan remaja kepada Tuhan kadang- kadang sangat kuat, akan tetapi kadang-
kadang menjadi ragu dan berkurang, yang terlihat pada cara ibadahnya yang kadang-kadang
rajin dan kadang-kadang malas, perasaan kepada Tuhan tergantung kepada perubahan emosi
yang sedang dialaminya, kadang-kadang ia merasa membutuhkan Tuhan, terutama ketika
mereka menghadapi bahaya, takut akan gagal atau merasa dosa Tapi ia kadang-kadang tidak
membutuhkan Tuhan, ketika mereka sedang senang, riang dan gembira.

Hendaknya guru agama memahami keadaan remaja yang sedang mengalami kegoncangan
perasaan akibat pertumbuhan yang berjalan sangat cepat itu dan segala keinginan, dorongan
dan ketidakstabilan kepercayaan itu. Dengan pengertian itu, guru agama dapat memilihkan
cara penyajian agama yang tepat bagi mereka, sehingga kegoncangan perasaan dapat diatasi.

Perlu pula diingat oleh guru agama bahwa perkem- bangan kecerdasan remaja, telah sampai
kepada mampu memahami hal yang abstrak pada umur 12 tahun dan mampu mengambil
kesimpulan yang absrak dari kenyataan yang dilihat atau didengarnya. Maka pendidikan
agama tidak akan diterimanya begitu saja tanpa memahaminya. Apa yang dulu waktu masih
kanak- kanak dapat diterimanya tanpa bertanya tapi pada usia tersebut, remaja akan sering
bertanya atau meminta penjelasan tentang ajaran agama yang masuk akal. Karena mereka
tidak dapat menerima apa yang tidak dapat dimengertinya, para remaja pada umur tersebut,
seringkali mengajukan pertanyaan-pertanyaan, yang kadang- kadang sukar bagi guru agama
untuk menjawabnya. Guru yang tidak mengerti perkembangan jiwa remaja, akan menyangka
bahwa peserta didiknya tidak mau menerima keterangannya, atau mencari-cari soal yang
memojokkannya, lalu ia marah, atau menjawab dengan hukum dan ketentuan agama yang
tegas, yang harus diterima dan dipatuhi kalau tidak, akan berdosa, masuk neraka dan
sebagainya. Guru agama yang seperti itu, tidak akan berhasil menumbuhkan minat peserta
didik kepada pendidikan agama, bahkan mungkin akan terjadi sebaliknya, di mana guru
agama menjadi kurang dihargai oleh peserta didik dan selanjutnya penanaman dan
pembangunan jiwa agama pada peserta didik tidak atau kurang berhasil.

Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa guru agama, hendaknya dapat memahami betul
perkembangan jiwa agama yang sedang dilalui oleh remaja dan memiliki metode yang
cocok dalam melaksanakan pendidikan agama. Pendidikan agama akan dapat dilaksanakan
dengan berhasil dan berguna apabila guru agama mengetahui perkembangan jiwa yang
dilalui oleh anak dan remaja, pertumbuhan anak dari lahir sampai kepada masa remaja
terakhir melalui berbagai tahap dan masing-masing mempunyai ciri dan keistimewaan
sendiri-sendiri. Setiap tahap merupakan lanjutan dari tahap sebelumnya, dan akan
dilanjutkan pada tahap berikutnya, yang akhirnya mencapai kematangan Pendidikan agama
harus memperhatikan ciri dari masing-masing tahap itu dan dapat mengisi serta
mengembangkan kepribadian masing- masing peserta didik.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Perkembangan jiwa agama pada usia remaja sebenarnya tidak begitu memerlukan
pengawasan dan pengarahan sebagaimana yang seharusnya dilakukan pada masa anak-
anak, karena pada jiwa mereka sudah tertanam nilai-nilai kesadaran. Dan para remaja
biasanya suka berpikir dan ada yang hanya suka bersenang-senang, karena mereka dalam
tahap yang disebut pencarian jati diri untuk menjadi orang yang benar-benar dikatakan
sebagai orang dewasa baik secara jasmani, pikiran maupun secara psikis.

Perkembangan-perkembangan tersebut, khususnya pada masa remaja harus diimbangi


dengan nilai-nilai agama yang cukup. Dengan agama ini maka gejolak yang muncul pada
diri remaja akan dapat terkontrol dan terkendali. Agar penanaman nilai-nilai agama pada
remaja dapat berhasil, maka para pendidik agama harus menggunakan berbagai pendekatan
dan metode sesuai dengan perkembangan usia remaja.
DAFTAR PUSTAKA

Suyatno, Bagong, 2005. Memahami Remaja dari Berbagai Perspektif Kajian Sosiologis
Surabaya: FISIP Univesitas Airlangga

Syarif, Adnan 2003. Psikologi Qurani. Bandung: Pustaka Hidayah.

Tholess. Robert H. 1992. Pengantar Psikologi Agama. karta: CV Rajawali Pers.

Uwaidhoh, Syekh Kamil tt. Ilmu dan Nafs. Beirut Libanon Darul Kutub.

Walgito, Bimo 1983. Pengantar Psikologi Umum Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas
Psikologi UGM.

Woodworth, RS. and D.G. Marquis 1957. Psychology New Nork Henry Holtz and Company.

Anda mungkin juga menyukai