Anda di halaman 1dari 20

A.

Definisi
AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) adalah kumpulan gejala penyakit akibat
menurunnya system kekebalan tubuh secara bertahap yang disebabkan oleh infeksi Human
Immunodeficiency virus (HIV). (Mansjoer, 2000:162)
AIDS adalah Runtuhnya benteng pertahanan tubuh yaitu system kekebalan alamiah
melawan bibit penyakit runtuh oleh virus HIV, yaitu dengan hancurnya sel limfosit T (sel-T).
(Tambayong, J:2000)
AIDS adalah penyakit yang berat yang ditandai oleh kerusakan imunitas seluler yang
disebabkan oleh retrovirus (HIV) atau penyakit fatal secara keseluruhan dimana kebanyakan
pasien memerlukan perawatan medis dan keperawatan canggih selama perjalanan penyakit.
(Carolyn, M.H.1996:601)
AIDS adalah penyakit defisiensi imunitas seluler akibat kehilangan kekebalan yang
dapat mempermudah terkena berbagai infeksi seperti bakteri, jamur, parasit dan virus tertentu
yang bersifat oportunistik. ( FKUI, 1993 : 354)
Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan AIDS adalah kumpulan gejala
penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh secara bertahap yang disebabkan oleh
retrovirus (HIV) yang dapat mempermudah terkena berbagai infeksi seperti bakteri, jamur,
parasit dan virus.

B. Etiologi
HIV disebabkan oleh human immunodeficiency virus yang melekat dan memasuki
limfosit T helper CD4+. Virus tersebut menginfeksi limfosit CD4+ dan sel-sel imunologik lain
dan orang itu mengalami destruksi sel CD4+ secara bertahap (Betz dan Sowden, 2002). Infeksi
HIV disebabkan oleh masuknya virus yang bernama HIV (Human Immunodeficiency Virus) ke
dalam tubuh manusia (Pustekkom, 2005).

C. Patofisiologi
HIV secara khusus menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4, yang bekerja
sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup limfosit penolong dengan peran kritis
dalam mempertahankan responsivitas imun, juga meperlihatkan pengurangan bertahap
bersamaan dengan perkembangan penyakit. Mekanisme infeksi HIV yang menyebabkan
penurunan sel CD4.
HIV secara istimewa menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4, yang
bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup linfosit penolong dengan
peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga memperlihatkan pengurangan
bertahap bersamaan dengan perkembangan penyakit. Mekanisme infeksi HIV yang
menyebabkan penurunan sel CD4 ini tidak pasti, meskipun kemungkinan mencakup infeksi litik
sel CD4 itu sendiri; induksi apoptosis melalui antigen viral, yang dapat bekerja sebagai
superantigen; penghancuran sel yang terinfeksi melalui mekanisme imun antiviral penjamu dan
kematian atau disfungsi precursor limfosit atau sel asesorius pada timus dan kelenjar getah
bening. HIV dapat menginfeksi jenis sel selain limfosit. Infeksi HIV pada monosit, tidak seperti
infeksi pada limfosit CD4, tidak menyebabkan kematian sel. Monosit yang terinfeksi dapat
berperang sebagai reservoir virus laten tetapi tidak dapat diinduksi, dan dapat membawa virus ke
organ, terutama otak, dan menetap di otak. Percobaan hibridisasi memperlihatkan asam nukleat
viral pada sel-sel kromafin mukosa usus, epitel glomerular dan tubular dan astroglia. Pada
jaringan janin, pemulihan virus yang paling konsisten adalah dari otak, hati, dan paru. Patologi
terkait HIV melibatkan banyak organ, meskipun sering sulit untuk mengetahui apakah kerusakan
terutama disebabkan oleh infeksi virus local atau komplikasi infeksi lain atau autoimun.
Stadium tanda infeksi HIV pada orang dewasa adalah fase infeksi akut, sering
simtomatik, disertai viremia derajat tinggi, diikuti periode penahanan imun pada replikasi viral,
selama individu biasanya bebas gejala, dan priode akhir gangguan imun sitomatik progresif,
dengan peningkatan replikasi viral. Selama fase asitomatik kedua-bertahap dan dan progresif,
kelainan fungsi imun tampak pada saat tes, dan beban viral lambat dan biasanya stabil. Fase
akhir, dengan gangguan imun simtomatik, gangguan fungsi dan organ, dan keganasan terkait
HIV, dihubungkan dengan peningkatan replikasi viral dan sering dengan perubahan pada jenis
vital, pengurangan limfosit CD4 yang berlebihan dan infeksi aportunistik.
Infeksi HIV biasanya secara klinis tidak bergejala saat terakhir, meskipun “ priode
inkubasi “  atau interval sebelum muncul gejala infeksi HIV, secara umum lebih singkat pada
infeksi perinatal dibandingkan pada infeksi HIV dewasa. Selama fase ini, gangguan regulasi
imun sering tampak pada saat tes, terutama berkenaan dengan fungsi sel B;
hipergameglobulinemia dengan produksi antibody nonfungsional lebih universal diantara anak-
anak yang terinfeksi HIV dari pada dewasa, sering meningkat pada usia 3 sampai 6 bulan.
Ketidak mampuan untuk berespon terhadap antigen baru ini dengan produksi imunoglobulin
secara klinis mempengaruhi bayi tanpa pajanan antigen sebelumnya, berperang pada infeksi dan
keparahan infeksi bakteri yang lebih berat pada infeksi HIV pediatrik. Deplesi limfosit CD4
sering merupakan temuan lanjutan, dan mungkin tidak berkorelasi dengan status simtomatik.
Bayi dan anak-anak dengan infeksi HIV sering memiliki jumlah limfosit yang normal, dan 15%
pasien dengan AIDS periatrik mungkin memiliki resiko limfosit CD4 terhadap CD8 yang
normal. Panjamu yang berkembang untuk beberapa alasan menderita imunopatologi yang
berbeda dengan dewasa, dan kerentanan perkembangan system saraf pusat menerangkan
frekuensi relatif ensefalopati yang terjadi pada infeksi HIV anak.
D. Pathway
E. Tanda Dan Gejala
Dengan sedikit pengecualian, bayi dengan infeksi HIV perinatal secara klinis dan
imunologis normal saat lahir. Kelainan fungsi imun yang secara klinis tidak tampak sering
mendahului gejala-gejala terkait HIV, meskipun penilaian imunologik bayi beresiko dipersulit
oleh beberapa factor unik. Pertama, parameter spesifik usia untuk hitung limfosit CD4 dan resiko
CD4/CD8 memperlihatkan jumlah CD4 absolut yang lebih tinggi dan kisaran yang lebih lebar
pada awal  masa bayi, diikuti penurunan terhadap pada beberapa tahun pertama. Selain itu,
pajanan obat ini beresiko dan bahkan pajanan terhadap antigen HIV tanpa infeksi dapat
membingungkan fungsi dan jumlah limfosit. Oleh karena itu, hal ini peting untuk merujuk pada
standar yang ditentukan usia untuk hitung CD4, dan bila mungkin menggunakan parameter yang
ditegakkan dari observasi bayi tak terinfeksi yang lahir dari ibu yang terinfeksi.
Gejala terkait HIV yang paling dini dan paling sering pada masa bayi jarang diagnostic.
Gejala HIV tidak spesifik didaftar oleh The Centers For Diseasen Control sebagai bagian definisi
mencakup demam, kegagalan berkembang, hepatomegali dan splenomegali, limfadenopati
generalisata (didefinisikan sebagai nodul yang >0,5 cm terdapat pada 2 atau lebih area tidak
bilateral selama >2 bulan), parotitis, dan diare. Diantara semua anak yang terdiagnosis dengan
infeksi HIV, sekitar 90% akan memunculkan gejala ini, kebergunaannya sebagai tanda awal
infeksi dicoba oleh studi the European Collaborativ pada bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi.
Mereka menemukan bahwa dua pertiga bayi yang terinfeksi memperlihatkan tanda dan gejala
yang tidak spesifik pada usia 3 bulan, dengan angka yang lebih rendah diantara bayi yang tidak
terinfeksi. Pada penelitian ini, kondisi yang didiskriminasi paling baik antara bayi terinfeksi dan
tidak terinfeksi adalah kandidiasis kronik, parotitis, limfadenopati persistem,
hepatosplenomegali. Otitis media, tinitis, deman yang tidak jelas, dan diare kronik secara tidak
nyata paling sering pada bayi yang terinfeksi daripada bayi yang tidak terinfeksi.

PUSAT UNTUK KLASIFIKASI CONTROL PENYAKIT INFEKSI HIV PADA


ANAK
Kelas P-O: infeksi intermediate
Bayi <15 bulan yang lahir dari ibu yang terinfeksi tetapi tanpa tanda infeksi HIV
Kelas P-1: infeksi asimtomatik
Anak yang terbukti terinfeksi, tetapi tampa gejala P-2; mungkin memiliki fungsi
imun normal (P-1A) atau abnormal (P-1B)
Kelas P-2: infeksi sitomatik
P-2A: gambaran demam nonspesifik (>2 lebih dari 2 bulan) gagal berkembang,  
limfadenopati, hepatomegali, splenomegali, parotitis, atau diare rekuren atau persistem
yang tidak spesifik.
P-2B: penyakit neurologi yang progresif
P-2C: Pneumonitis interstisial limfoid
P-2D: infeksi oportunistik menjelaskan AIDS, infeksi bakteri rekuren, kandidiasis
oral persisten, stomatitis herpes rekuren, atau zoster multidermatomal.
P-2E: kanker sekunder, termasuk limfoma non-Hodgkin sel-B atau limforma otak
P-2F: penyakit end-organ HIV lain (hepatitis, karditis, nefropati, gangguan
hematologi)

Tanda pertama infeksi tidak nyata. Pengalaman dari beberapa pusat penelitian
menunjukkan bahwa sekitar 20% bayi yang terinfeksi secara cepat akan berkembang menjadi
gangguan imun dan AIDS. Banyak dari bayi ini akan menampakkan gejala aneumonia
Pneumocystis carinii (PCP) pada usia 3 sampai 6 bulan, atau menderita infeksi bakteri serius
lain. Pada beberapa bayi, jumlah CD4 mungkin normal saat terjadinya PCP.
Dalam 2 tahun setelah lahir, kebanyakan bayi akan mengalami beberapa derajat
kegagalan berkembang, demam rekuren atau kronik, keterlambatan perkembangan, adenopati
persisten, atau hepatosplemegali. Semua ini bukan keadaan kecacatan, dan konsisten dengan
kelangsungan hidup yang lama. Melebihi ulang tahun pertama, sekitar 8% bayi ini akan
berkembang menjadi AIDS terbatas CDC per tahun. Penunjukan “AIDS” merupakan
kebergunaan yang sangat terbatas pada prognosis atau pada nosologi deskriptif infeksi HIV,
tetapi penyakit indicator AIDS berperang sebagai tanda tingginya perkembangan penyakit dan
sebagai catalog kondisi yang sering terlihat dengan perkembangan penyakit. Masing-masing
dibahas secara singkat dibawah:
Pneumonia Pneumocystis carinii (PCP). PCP merupakan penyakit indicator AIDS paling
sering, yang terjadi pada sekitar sepertiga anak dan bayi yang terinfeksi. Usia rata untuk
munculnya penyakit adalah sekitar usia 9 bulan, meskipun puncaknya sampai usia 3 sampai 6
bulan diantara bayi-bayi yang berkembang sangat cepat. Tidak seperti reaksi PCP pada orang
dewasa, infeksi ini biasanya merupakan infeksi primer pada anak yang terinfeksi HIV, bergejala
subkutan atau mendadak dengan demam, batuk, takipnea, dan ronki. PCP sulit dibedakan dengan
infeksi paru lain atau usia ini, dan karena trimetoprim-sulfametoksasol dan kortikosteroid
intravena diberikan pada awal perjalanan penyakit menyebabkan perbaikan yang signifikan,
lavese bronkoalveolar diagnostic harus dipikirkan secara serius pada bayi beresiko dengan
gambaran klinis konsisten. PCP memberikan prognosis yang tidak baik pada awal penelitian
dengan kelangsungan hidup media 1 bulan setelah diagnosis. Saat ini dikenali bahwa penyakit
yang lebih ringan dapat terjadi dan konsisten dengan kelangsungan hidup yang lama. Profilaksin
PCP dengan trimetoprim-sulfametoksasol oral efektif, dan merupakan indikasi untuk bayi
dengan kehilangan limfosit CD4 yang signifikan, sebelum PCP, dan pada beberapa bayi muda
dengan perkembangan gejala terkait HIV yang cepat.
Pneumolitis Interstisial Limfoid (LIP). Infiltrasi paru intersisial kronik telah ditentukan
pada orang dewasa yang terinfeksi HIV dalam jumlah kecil, tetapi terjadi pada sekitar 20% anak
yang terinfeksi HIV. Dianggap berhubungan dengan infeksi virus Epstein-Barr. Kondisi ini
ditandai dengan perjalanan kronik eksa-serbasi intermiten (sering selama infeks respirasi yang
terjadi di antara infeksi atau selama infeksi. Infiltra dada kronik yang terlihat pada sinar-X sering
menunjukkan diagnosis, tetapi hanya biopsy paru terbuka yang dapat dipercaya untuk diagnosis
definitive. Hipoksia jaran parah sampai terbawa selama beberapa tahun, dan beberapa perbaikan
pada kostikosteroid. LIP sebagai gejala yang timbul pada infeksi HIV dapat disertai prognosis
yang lebih baik, dan sering terlihat pada kelompok gejala dengan hipergamaglobulinemia yang
nyata dan parotitis.
Infeksi Bakteri Rekuren. Untuk criteria AIDS pediatric CDC, infeksi bakteri rekuren
adalah dua atau lebih episode sepsis, meningitis, pneumonia, abses internal, atau infeksi tulang
dan sendi; ini semua terlihat pada 15% anak-anak dengan AIDS pediatric. Infeksi bakteri yang
lebih sedikit, seperti infeksi sinus rekuren atau kronik, otitis media, dan pioderma masih sering
terjadi. Streptococcus pneumonia merupakan isolate darah yang paling sering pada anak yang
terinfeksi HIV, meskipun stafilokokal gram-negatif, dan bahkan bakteremia pseudomonal terjadi
berlebihan. Penanganan episode demam pada anak yang terinfeksi HIV sama dengan
penanganan anak dengan kondisi yang menganggu imunitas lain. Gangguan kemampuan untuk
menjaga respons antibody yang efektif dan kurangnya pajanan membuat anak yang terinfeksi
HIV rentang terhadap penyakit bakteri yang lebih setius. Profilaksis dengan immunoglobulin
intravena dapat mengurangi frekuensi dan keparahan infeksi bakteri yang serius.
Penyakit Neurologi Progresif. Sampai 60% anak yang terinfeksi HIV dapat munculkan
tanda infeksi system saraf pusat. Pada sekitar seperempatnya, infeksi ini dalam bentuk
ensefalopati static yang biasanya bermanifestasi pada tahun pertaman dengan keterlambatan
perkembangan. Pada sekitar sepertiganyan, terjadi ensefalopati progresif, dengan kehilangan
kejadian yang penting sebelumnya dan deficit motorik dan kognitif yang berat. Pencitraan saraf
dapat memperlihatkan atrofi serebral, kelainan subtansi alba, atau klasifikasi ganglion basal, atau
kesemuanya, meskipun keparahan abnormalitas pencitraan sering tidak berkorelasi dengan
gambaran klinis. Zidovudin IV kontinu ditemukan menyebabkan perbaikan yang dramatic pada
beberapa anak dengan deficit perkembangan saraf; kostikosteroid juga menguntungkan pada
laporan terisolasi.
Wasting Syndrome. Kegagalan kronik untuk tumbuh pada infeksi HIV lanjut terjadi
pada sekitar 10% bayi dan anak dengan AIDS dan hamper selalu multifaktorial. Deficit system
saraf pusat dari latergi sampai kelemahan dalam mengunyah; abnormalitas neuroendokrin;
malabsorpsi dan diare akibat infeksi HIV primer, infeksi usus sekunder, atau terapi; dan
katabolisme yang diinduksi infeksi sering berperang pada masalah yang menjengkelkan ini.
Infeksi Oportunistik. Lebih dari satu lusin infeksi oportunistik spesifik memenuhi AIDS,
meskipun setelah PCP, paling sering pada AIDS pediatric adalah esofagistis kandida, terjadi
pada sekitar 10%, dan infeksi kompleks, Mycobakterium avium. Diantara virus-virus, infeksi
CMV diseminata dan lama pada saluran cerna, dan infeksi virus varisela zoster apitikal, rekuren
dan ekstensif sering terjadi. Walaupun daftar panjang pathogen yang menyebabkan penyakit
berat dan lama tidak lazim pada penjamu ini, virus respirasi yang lazim, mencakup virus sinsitial
respiratorius, jarang menyebabkan penyakit yang berkomplikasi.
Terkenanya organic lain. Terkenanya hepar padi infeksi HIV pediatric sering mengambil
bentuk organ yang membesar sedang sampai berat, transaminitis berfluktuasi. Yang jarang
adalah hepatitis kolestatik berat yang terjadi pada bayi yang terinfeksi pada tahun pertama,
dengan prognosis buruk. Kelainan hati dapat disebabkan oleh infeksi yang bersama dengan
CMV, HCV, atau HBV, oleh infeksi HIV itu sendiri, atau banyak agen infeksius lain. Penyakit
ginjal yang sering terjadi, paling sering bermanifestasi protenuria. Perubahan mesangial dan
glomerulokslerosis fokal telah diindentifikasi sebagai patologi yang paling sering terjadi pada
anak dengan AIDS. Kelainan jantung dapat diperhatikan pada separuh anak semua usia penyakit
HIV, meskipun insiden kardiomiopati simtomatik hanya 12 sampai 20%; efusi pericardial dan
gangguan fungsi ventrikel merupakan kelainan ekokardiografi yang paling sering ditemukan.
Meskipun frekuensi penyakit paru kronik pada pasien ini, terkenanya vertikel kiri beberapa kali
lebih sering daripada yang kanan. Tekanan HIV langsung, autoimunitas, malnutrisi dan infeksi
bersama dengan virus miotropik semuanya telah dihipotesis sebagai etiologi. Fenomena
autoimun mencakup anemia hemolitik positif-coombs dan trombositopenia. Sarcoma Kaposi dan
kanker sekunder lain jarang pada anak yang terinfeksi HIV.

F. Komplikasi
1. Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis
Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan berat
badan, keletihan dan cacat. Kandidiasis oral ditandai oleh bercak-bercak putih seperti krim dalam
rongga mulut. Jika tidak diobati, kandidiasis oral akan berlanjut mengeni esophagus dan
lambung. Tanda dan gejala yang menyertai mencakup keluhan menelan yang sulit dan rasa sakit
di balik sternum (nyeri retrosternal).
2. Neurologik
 ensefalopati HIV atau disebut pula sebagai kompleks dimensia AIDS (ADC; AIDS
dementia complex). Manifestasi dini mencakup gangguan daya ingat, sakit kepala, kesulitan
berkonsentrasi, konfusi progresif, perlambatan psikomotorik, apatis dan ataksia. stadium
lanjut mencakup gangguan kognitif global, kelambatan dalam respon verbal, gangguan
efektif seperti pandangan yang kosong, hiperefleksi paraparesis spastic, psikosis, halusinasi,
tremor, inkontinensia, dan kematian.
 Meningitis kriptokokus ditandai oleh gejala seperti demam, sakit kepala, malaise, kaku
kuduk, mual, muntah, perubahan status mental dan kejang-kejang. diagnosis ditegakkan
dengan analisis cairan serebospinal.
3. Gastrointestinal
Wasting syndrome kini diikutsertakan dalam definisi kasus yang diperbarui untuk
penyakit AIDS. Kriteria diagnostiknya mencakup penurunan BB > 10% dari BB awal, diare
yang kronis selama lebih dari 30 hari atau kelemahan yang kronis, dan demam yang kambuhan
atau menetap tanpa adanya penyakit lain yang dapat menjelaskan gejala ini.
 Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan sarcoma
Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia, demam, malabsorbsi, dan dehidrasi.
 Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik. Dengan
anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis.
 Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai akibat
infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rektal, gatal-gatal dan diare.

4. Respirasi
Pneumocystic Carinii. Gejala napas yang pendek, sesak nafas (dispnea), batuk-batuk,
nyeri dada, hipoksia, keletihan dan demam akan menyertai pelbagi infeksi oportunis, seperti
yang disebabkan oleh Mycobacterium Intracellulare (MAI), cytomegalovirus, virus influenza,
pneumococcus, dan strongyloides.
5. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis,
reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi
sekunder dan sepsis. Infeksi oportunis seperti herpes zoster dan herpes simpleks akan disertai
dengan pembentukan vesikel yang nyeri dan merusak integritas kulit. moluskum kontangiosum
merupakan infeksi virus yang ditandai oleh pembentukan plak yang disertai deformitas.
dermatitis sosoreika akan disertai ruam yang difus, bersisik dengan indurasi yang mengenai kulit
kepala serta wajah.penderita AIDS juga dapat memperlihatkan folikulitis menyeluruh yang
disertai dengan kulit yang kering dan mengelupas atau dengan dermatitis atopik seperti ekzema
dan psoriasis.
6. Sensorik
 Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva atau kelopak mata : retinitis sitomegalovirus
berefek kebutaan
 Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan efek
nyeri yang berhubungan dengan mielopati, meningitis, sitomegalovirus dan reaksi-reaksi
obat.
G. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Hidayat (2008) diagnosis HIV dapat tegakkan dengan menguji HIV. Tes ini
meliputi tes Elisa, latex agglutination dan western blot. Penilaian Elisa dan latex agglutination
dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi HIV atau tidak, bila dikatakan positif HIV
harus dipastikan dengan tes western blot. Tes lain adalah dengan cara menguji antigen HIV,
yaitu tes antigen P 24 (polymerase chain reaction) atau PCR. Bila pemeriksaan pada kulit, maka
dideteksi dengan tes antibodi (biasanya digunakan pada bayi lahir dengan ibu HIV.
1. Tes untuk diagnosa infeksi HIV :
 ELISA (positif; hasil tes yang positif dipastikan dengan western blot)
 Western blot (positif)
 P24 antigen test (positif untuk protein virus yang bebas)
 Kultur HIV(positif; kalau dua kali uji-kadar secara berturut-turut mendeteksi enzim reverse
transcriptase atau antigen p24 dengan kadar yang meningkat)
2. Tes untuk deteksi gangguan system imun.
 LED (normal namun perlahan-lahan akan mengalami penurunan)
 CD4 limfosit (menurun; mengalami penurunan kemampuan untuk bereaksi terhadap antigen)
 Rasio CD4/CD8 limfosit (menurun)
 Serum mikroglobulin B2 (meningkat bersamaan dengan berlanjutnya penyakit).
 Kadar immunoglobulin (meningkat)

H. Penatalaksanaan
1) Perawatan
Menurut Hidayat (2008) perawatan pada anak yang terinfeksi HIV antara lain:
 Suportif dengan cara mengusahakan agar gizi cukup, hidup sehat dan mencegah
kemungkinan terjadi infeksi
 Menanggulangi infeksi opportunistic atau infeksi lain serta keganasan yang ada
 Menghambat replikasi HIV dengan obat antivirus seperti golongan dideosinukleotid, yaitu
azidomitidin (AZT) yang dapat menghambat enzim RT dengan berintegrasi ke DNA virus,
sehingga tidak terjadi transkripsi DNA HIV
 Mengatasi dampak psikososial
 Konseling pada keluarga tentang cara penularan HIV, perjalanan penyakit, dan prosedur
yang dilakukan oleh tenaga medis
 Dalam menangani pasien HIV dan AIDS tenaga kesehatan harus selalu memperhatikan
perlindungan universal (universal precaution)

I. Pengobatan
Hingga kini belum ada penyembuhan untuk infeksi HIV dan AIDS. Penatalaksanaan
AIDS dimulai dengan evaluasi staging untuk menentukan perkembangan penyakit dan
pengobatan yang sesuai. Anak dikategorikan dengan menmggunakan tiga parameter : status
kekebalan, status infeksi dan status klinik dalam kategori imun : 1) tanpa tanda supresi, 2) tanda
supresi sedang dan 3) tanda supresi berat. Seorang anak dikatakan dengan tanda dan gejala
ringan tetapi tanpa bukti adanya supresi imun dikategorikan sebagai A2. Status imun didasarkan
pada jumlah CD$ atau persentase CD4 yang tergantung usia anak (Betz dan Sowden, 2002).
Selain mengendalikan perkembangan penyakit, pengobatan ditujuan terhadap mencegah
dan menangani infeksi oportunistik seperti Kandidiasis dan pneumonia interstisiel. Azidomitidin
( Zidovudin), videks dan Zalcitacin (DDC) adalah obat-obatan untuk infeksi HIV dengan jumlah
CD4 rendah, Videks dan DDC kurang bermanfaat untuk oenyakit sistem saraf pusat. Trimetoprin
sulfametojsazol (Septra, Bactrim) dan Pentamadin digunakan untuk pengobatan dan profilaksi
pneumonia cariini setiap bulan sekali berguna untuk mencegah infeksi bakteri berat pada anak,
selain untuk hipogamaglobulinemia. Imunisasi disarankan untuk anak-anak dengan infeksi HIV,
sebagai pengganti vaksin poliovirus (OPV), anak-anak diberi vaksin vorus polio yang tidak aktif
(IPV) (Betz dan Sowden, 2002).

J. Pencegahan
Pencegahan infeksi HIV primer pada semua golongan usia kemungkinan akan
memengaruhi epidemil global lebih dari terapi apa pun dimasa depan yang dapat diketahui.
Kesalahan konsepsi mengenai factor resiko untuk infeksi HIV adalah target esensial untuk usaha
mengurangi perilaku resiko, terutama diantara remaja. Untuk dokter spesialis anak, kemampuan
member konsultasi pada pasien dan keluarga secara efektif mengenai praktik seksual dan
penggunaan obat adalah aliran utama usaha pencegahan ini. Bahkan pendidikan dan latihan
tersedia dari The American Medical Assosiation dan The American Academy of Pediatrics yang
dapat membantu dokter pediatric memperoleh kenyamanan dan kompetensi yang lebih besar
pada peran ini.
Pencegahan infeksi HIV pada bayi dan anak harus dimulai dengan tepat dengan
pencegahan infeksi pada perempuang hamil. Langkah kedua harus menekan pada uji serologi
HIV bagi semua perempuan hamil. Rekomendasi ini penting karena uji coba pengobatan
mutakhir menunjukkan bahwa protocol pengobatan bayi menggunakan obat yang sama selama
beberapa minggu secara signifikan mengurangi angka transmisi dari ibu ke bayi.
Pemberian zidovudin terhadap wanita hamil yang terinfeksi HIV-1 mengurangi
penularan HIV-1 terhadap bayi secara dermatis. Penggunaan zidovudin (100 mg lima kali/24
jam) pada wanita HIV-1 dalam 14 minggu kehamilan sampai kelahiran dan persalinan dan
selama 6 minggu pada neonatus (180 mg/m2 secara oral setiap jam) mengurangi penularan pada
26% resipien palasebo sampai 8% pada resipien zidovudin, suatu perbedaan yang sangat
bermakna. Pelayanan kesehatan A.S. telah menghasilkan pedoman untuk penggunaan zidovudin
pada wanita hamil HIV-1 positif untuk mencegah penularan HIV-1 perinatal. Wanita yang HIV-
1 positif, hamil dengan masa kehamilan 14-34 minggu, mempunyai anak limfosid CD4 + 
200/mm atau lebih besar, dan sekarang tidak berada pada terapi atteretrovirus dianjurkan
menggunakan zidovudin. Zidovudin intravena (dosis beban 1 jam 2 mg/kg/jam diikuti dengan
infus terus menerus 1 mg/kg/jam sampai persalinan) dianjurkan selama proses kelahiran. Pada
semua keadaan dimana ibu mendapat zidovudin untuk mencegah penularan HIV-1, bayi harus
mendapat sirup zidovudin (2 mg/kg setiap 6 jam selama usia 6 minggu pertama yang mulai dan8
jam sesudah lahir). Jika ibu HIV-1 positif dan tidak mendapatkan zidovudin, zidovudin harus
dimulai pada bayi baru lahir sesegera mungkin sesudah lahir, tidak ada bukti yang mendukung
kemajuan obat dalam mencegah infeksi HIV-1 bayi baru lahir sesudah 24 jam. Ibu dan anak
diobati dengan zidovudin harus diamati dengan ketak untuk kejadian-kejadian yang merugikan
dan didaftar pada PPP untuk menilai kemungkinan kejadian yang merugikan jangka lama. Saat
ini, hanya anemia ringan reversible yang telah ditemukan pada bayi. Untuk melaksanakan
pendekatan ini secara penuh, semua wanita harus mendapatkan prenatal yang tepat, dan wanita
hamil harus diuji untuk positivitas HIV-1.
Penularan seksual. Pencegahan penularan seksual mencakup penghindaran pertukaran
cairan-cairan tubuh. Kondom merupakan bagian integral program yang mengurangi penyakit
yang ditularkan secara seksual. Seks tanpa perlindungan dengan mitra yang lebih tua atau dengan
banyak mitra adalah biasa pada remaja yang terinfeksi HIV-1.

K. Masalah yang sering muncul pada klien HIV/AIDS


a. Kelelahan berhubungan dengan status penyakit, anemia, malnutrisi.
b. Nyeri akut/kronis berhubungan dengan infeksi, nyeri abdomen.
c. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan gangguan
pencernaan.
d. Diare berhubungan dengan proses penyakit.

L. Discharge Planning
a. Ajarkan pada anak dan keluarga untuk menghubungi tim kesehatan bila terdapat tanda-tanda
atau gejala infeksi.
b. Ajarkan pada anak dan keluarga untuk mengamati respon terhadap pengobatan dan
memberitahu dokter tentang adanya efek samping.
c. Ajarkan pada anak dan keluarga tentang penjadwalan pemeriksaan lebih lanjut.

M. Rencana Keperawatan
1. Kelelahan berhubungan dengan status penyakit, anemia, malnutrisi

Nursing Outcome Classification (NOC):

 Endurance
 Concentration
 Energy conservation
 Nutrional status: energy

Kriteria Hasil:

 Memverbalisasikan peningkatan energy dan merasa lebih baik.


 Menjelaskan penggunaan energy untuk mengatasi kelelahan.

Nursing Intervention Classification (NIC):

Energy Management

 Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas


 Dorong anak untuk mengungkapkan perasaan terhadap keterbatasan
 Kaji adanya faktor yang menyebabkan kelelahan
 Monitor nutrisi dan sumber energy yang adekuat
 Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan emosi secara berlebihan
 Monitor respon kardiovaskuler terhadap aktivitas
 Monitor pola tidur dan lamanya tiudr/istirahat pasien

2. Nyeri akut/kronis berhubungan dengan infeksi, nyeri abdomen

Nursing Outcome Classification (NOC):

 Pain level
 Pain control
 Comfort level

Kriteria Hasil:

 Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik


nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
 Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
 Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuaensi dan tanda nyeri)
 Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
 Tanda vital dalam rentang normal

Pain Management

 Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi,


frekuensi, kualitas dan faktor presispitasi.
 Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
 Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien
 Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
 Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
 Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri
masa lampau
 Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menentukan dukungan
 Kontrol lingkungn yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan
dan kebisingan
 Kurangi faktor presipitasi nyeri
 Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan interpersonal)
 Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
 Ajarkan tentang teknik non farmakologi
 Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
 Evaluasi ketidakefektifan control nyeri
 Tingkatkan istirahat
 Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
 Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri.

Analgesic Administration

 Tentukan lokasi, karateristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat
 Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi
 Cek riwayat alergi
 Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika pemberian lebih
dari satu
 Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri
 Tentukan analgesik pilihan, rute, pemberian, dan dosis optimal
 Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur
 Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
 Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat
 Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala (efek samping).

3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


gangguan pencernaan

Nursing Outcome Classification (NOC):

 Nutritional Status
 Nutritional Status: Food and Fluid Intake
 Nutritional Status: Nutrient Intake
 Weight Control

Kriteria Hasil:

 Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan


 Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
 Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
 Tidak ada tanda malnutrisi
 Menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan
 Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti

Nutrition Management

 Kaji adanya alergi makanan


 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan
pasien
 Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe
 Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C
 Berikan substansi gula
 Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi
 Berikan makanan yang terpilih (sudah dikonsultasikan dengan ahli gizi)
 Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian
 Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
 Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
 Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan

Nutrition Monitoring

 BB pasien dalam batas normal


 Monitor adanya penurunan berat badan
 Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang biasa dilakukan
 Monitor interaksi anak atau orangtua selama makan
 Monitor lingkungan selama makan
 Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan
 Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi
 Monitor turgor kulit
 Monitor kekeringan, rambut kusam, dan mudah patah
 Monitor mual dan muntah
 Monitor kadar albumin, total protein, Hb, dan kadar Ht
 Monitor makanan kesukaan
 Monitor pertumbuhan dan perkembangan
 Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva
 Monitor kalori dan intake nutrisi
 Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papilla lidah dan cavitas oral
 Catat jika lidah berwarna magenta.

4. Diare berhubungan dengan proses penyakit

Nursing Outcome Classification (NOC):

 Bowel Elimination
 Fluid Balance
 Hydration
 Electrolyte and Acid base Balance

Kriteria Hasil:
 Feses berbentuk, BAB sehari – tiga hari
 Menjaga daerah sekitar rectal dan iritasi
 Tidak mengalami diare
 Menjelaskan penyebab diare dan rasional tindakan
 Mempertahankan turgor kulit

Nursing Intervention Classification (NIC):

Diarhea Management

 Evaluasi efek samping pengobatan terhadap gastrointestinal


 Ajarkan pasien untuk menggunakan obat antidiare
 Instruksikan pasien/keluarga untuk mencatat warna, jumlah, frekuensi dan konsistensi
dari feses
 Evaluasi intake makanan yang masuk
 Identifikasi faktor penyebab dari diare
 Monitor tanda dan gejala diare
 Observasi turgor kulit secara rutin
 Ukur diare/keluaran BAB
 Hubungi dokter jika ada kenaikan bising usus
 Instruksikan pasien untuk makan rendah serat, tinggi protein dan tinggi kalori jika
memungkinkan
 Instruksikan untuk menghindari laksative
 Ajarkan teknik menurunkan stress
DAFTAR PUSTAKA

Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam. 1994. Pedoman Diagnosis dan Terapi. RSUD Dr. Soetomo
Surabaya.

Lyke, Merchant Evelyn. 1992. Assesing for Nursing Diagnosis ; A Human Needs Approach. J.B.
Lippincott Company. London.

Phipps, Wilma. et al. 1991. Medical Surgical Nursing : Concepts and Clinical Practice, 4th
edition. Mosby Year Book. Toronto

Doengoes, Marilynn, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3, alih bahasa : I Made Kariasa dan Ni Made S.
EGC. Jakarta

Christine L. Mudge-Grout. 1992. Immunologic Disorders. Mosby Year Book. St. Louis.

Rampengan dan Laurentz. 1995. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, cetakan kedua. EGC.
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai