Artikel Ilmiah - Dia Sebening Permata - 08111540000068 PDF
Artikel Ilmiah - Dia Sebening Permata - 08111540000068 PDF
I. PENDAHULUAN
Seorang arsitek yang mendalami bidang perancangan
kebun binatang, Jon Coe, telah mengemukakan sebuah teori
Unzoo, sebagai alternatif baru dalam menikmati alam dan
berinteraksi dengan satwa.
Pada unzoo, dominasi satwa dan alam menjadi penting.
Unzoo memiliki konsep yang berkebalikan dengan zoo. Zoo
(kebun binatang) adalah taman yang memamerkan binatang
dari berbagai belahan dunia, disimpan dalam kandang atau
sebuah tempat agar dapat dilihat, didatangi, dibiakkan dan
dipelajari oleh ilmuwan, sedangkan unzoo adalah tempat di
mana masyarakat belajar tentang binatang, tumbuhan dan
ekosistem melalui interaksi atau keterlibatan langsung di
habitat asli maupun buatan.[1]
Taman Nasional Baluran (Gambar 2) adalah salah satu
taman nasional yang ada di Jawa Timur. Dengan wilayah
seluas 25.000 hektare, di sana terdapat satwa endemik berupa Gambar 2. Peta Taman Nasional Baluran
rusa timur, banteng, dan 155 jenis burung.[2] Potensi tersebut
menjadi alasan penulis menjadikan Taman Nasional Baluran
sebagai lokasi obyek perancangan untuk menerapkan konsep
Unzoo.
Pada dasarnya, semua taman nasional memiliki
menggunakan sistem zonasi untuk mengelola wilayahnya,
tidak terkecuali Taman Nasional Baluran. Terdapat 6 zonasi
yang ada di sana, di antara lain adalah : zona inti adalah
kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi serta tidak
diperbolehkan adanya perubahan berupa mengurangi,
menghilangkan, menambah jenis tumbuhan dan satwa lain
yang tidak asli, zona rimba Gambar 3. Gunung Baluran
JURNAL SAINS DAN SENI POMITS Vol. 2, No.1, (2013) 2337-3520 (2301-928X Print) 2
IV. KESIMPULAN
Edukasi manusia tentang satwa dan alam merupakan salah
satu isu besar yang menjadi topik perancangan ini. Fasilitas
ekowisata di sebuah kawasan taman nasional bertujuan untuk
mewadahi aktivitas manusia di tengah tapak yang kondisinya
masih sangat alami. Obyek perancangan ini adalah skywalk,
penginapan, menara pandang dan fasilitas penunjuang lainnya. Gambar 7. Perspektif skywalk
Respon obyek rancang terhadap tapak adalah meminimalisir
intervensi dengan menggunakan struktur panggung dan
menyediakan ruang bersarang bagi burung.
Merancang bangunan ramah alam dan satwa memiliki
tantangan tersendiri, karena ada tambahan jenis pengguna lain
yang berimplikasi pada rancangan. Bangunan ramah alam dan
satwa adalah konsep bangunan yang perlu diterapkan pada
kawasan lindung seperti taman nasional, hutan lindung, suaka
margasatwa, dan lain sebagainya.
Gambar 8. Penginapan
JURNAL SAINS DAN SENI POMITS Vol. 2, No.1, (2013) 2337-3520 (2301-928X Print) 4
DAFTAR PUSTAKA
[1] Coe, Jon, 2012, Design and Architecture : Third Generation
Conservation, Post Immersion and Beyond
[2] Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik
Indonesia nomor P.76/Menlhk-Setjen/2015, tentang Kriteria Zona
Pengelolaan Taman Nasional dan Blok Pengelolaan Cagar Alam,
Suaka Margasatwa, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam
[3] Ria, Arrianty, 2007, Taman Nasional Baluran : Secuil Afrika di Pulau
Jawa,www.academia.edu/5003485/TAMAN_NASIONAL_BALURAN_S
ecuil_Afrika_di_Jawa_?auto=download, diakses tanggal 28 Januari
2020