Anda di halaman 1dari 21

Angeline

240210170081
Kelompok 14
IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Pengaruh Suhu Penyimpanan Beku Terhadap Mikroba Pada Bahan Pangan
Bahan pangan umumnya mempunyai sifat perishable (mudah rusak), sehingga
perlu dilakukan berbagai metode pengawetan setelah bahan pangan tersebut dipanen,
ditangkap atau dipotong. Salah satu metode yang banyak digunakan untuk
mempertahankan daya simpan bahan pangan adalah dengan menggunakan suhu dingin.
Dengan menggunakan suhu dingin maka akan memperlambat reaksi kimia,
memperlambat kerja enzim serta menghambat pertumbuhan mikroorganisme
(Sukarminah, 2008).
Pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan,
diantaranya adalah suhu, pH, aktivitas air, adanya oksigen, dan tersedianya zat
makanan. Oleh karena itu, kecepatan pertumbuhan mikroba dapat diubah dengan
mengatur berbagai faktor lingkungan tersebut. Penyimpanan makanan pada suhu
rendah dapat memperpanjang masa simpan makanan tersebut, karena selama
pendinginan pertumbuhan mikroba dapat diperlambat atau dicegah. Prinsip dasar
penyimpanan pada suhu rendah adalah menghambat pertumbuhan mikroba dan
menghambat reaksi-reaksi enzimatis, kimiawi dan biokimiawi. Mikroba yang dapat
tumbuh pada peyimpanan dengan suhu rendah adalah mikroba psikrofilik, yang
mempunyai kemampunan untuk tumbuh pada suhu di antara 00C dan 50C. Peyimpanan
makanan beku pada suhu sekitar –180C dan di bawahnya akan mencegah kerusakan
mikrobiologis, dengan persyaratan tidak terjadi perubahan suhu yang besar (Buckle,
1987).
Ada dua pengaruh pendinginan terhadap makanan yaitu :
1) Penurunan suhu akan mengakibatkan penurunan proses kimia, mikrobiologi dan
biokimia yang berhubungan dengan kelayuan (senescene), kerusakan (decay),
pembusukkan dan lain-lain.
2) Suhu di bawah 0oC air akan membeku dan terpisah dari larutan membentuk es,
yang mirip dalam hal air yang diuapkan pada pengeringan atau suatu penurunan
Aw.
Angeline
240210170081
Kelompok 14
Kebanyakan mikroorganisme pembusuk tumbuh cepat pada suhu diatas 10 oC.
Beberapa jenis mikroorganisme penghasil toksin masih dapat tumbuh pada suhu -3oC
walaupun sangat lambat. Suhu rendah (4–9oC), makanan tersebut tidak beku
seluruhnya, masih ada mikroorganisme yang dapat tumbuh pada makanan, yaitu
golongan mikroorganisme psikotrof. Jenis-jenis mikroorganisme ini tidak
menimbulkan penyakit infeksi tapi banyak diantaranya yang dapat menyebabkan
kebusukan sampai suhu -4oC. (Desrosier, 1988)
Pengawetan dengan suhu rendah ada dua macam, yaitu:
1) Pendinginan
Pendinginan atau refrigerasi ialah penyimpanan dengan suhu rata-rata yang
digunakan masih di atas titik beku bahan. Kisaran suhu yang digunakan biasanya antara
- 1°C sampai 4°C. Pada suhu tersebut, pertumbuhan bakteri dan proses biokimia akan
terhambat. Pendinginan biasanya akan mengawetkan bahan pangan selama beberapa
hari atau beberapa minggu, tergantung kepada jenis bahan pangannya. Pendinginan
yang biasa dilakukan di rumah-rumah tangga adalah dalam lemari es yang mempunyai
suhu –2°C sampai 16°C.
2) Pembekuan
Pembekuan atau freezing ialah penyimpanan di bawah titik beku bahan, jadi
bahan disimpan dalam keadaan beku. Pembekuan yang baik dapat dilakukan pada suhu
kira-kira –17 °C atau lebih rendah lagi. Pada suhu ini pertumbuhan bakteri sama sekali
berhenti. Pembekuan yang baik biasanya dilakukan pada suhu antara -12°C sampai –
24°C. Dengan pembekuan, bahan akan tahan sampai bebarapa bulan, bahkan kadang-
kadang beberapa tahun. Pembekuan cepat, produk yang dibekukan mempunyai kristal
es yang halus. Saat dicairkan, air yang terbentuk akan diserap kembali oleh jaringan
makanan dan hanya sedikit yang lolos menjadi tetesan air. Proses pembekuan lambat
akan menghasilkan kristal es yang besar dan tajam yang akan lolos sebagai tetesan air
pada waktu pencairan. Tetesan air ini akan menyebabkan sari makanan lebih banyak
terbuang dan mengurangi kandungan gizi makanan.
Sampel yang membeku terlebih dahulu di thawing. Thawing merupakan proses
kelanjutan dari proses freezing. Thawing akan mengembalikan bahan baku ataupun
Angeline
240210170081
Kelompok 14
produk dari yang semula berbentuk fase padat menjadi fase cair. Dalam daging beku
akan mengembalikan keempukan dari daging. Suhu thawing berkisar antara 100-150C.
Ada 2 macam thawing yaitu slowly thawing dan rapid thawing. Slowly thawing
menggunakan aliran udara hangat yang akan menyebabkan suhu bahan baku dan
produk menjadi meningkat, sedangkan cara lambat adalah dengan membungkus bahan
baku dengan plastik kemudian dialiri oleh air .
Bahan makanan yang dibekukan bersifat awet karena dua hal, yaitu :
1. Penurunan suhu mengakibatkan dihambatnya laju pertumbuhan mikroorganisme,
reaksi-reaksi kimia dan reaksi-reaksi biokimia dalam bahan pangan tersebut.
2. Pembekuan (penurunan suhu dibawah 0°C) mengakibatkan sebagian air dalam
bahan pangan berubah menjadi es, sehingga tidak tersedia lagi untuk pertumbuhan
mikroorganisme dan reaksi-reaksi kimia. Pembekuan es ini efeknya sama seperti
penurunan aktivitas air (Aw) pada pengeringan pangan.
Kebanyakan mikroorganisme pembusuk tumbuh cepat pada suhu diatas 10 oC.
Beberapa jenis mikroorganisme penghasil toksin masih dapat tumbuh pada suhu -3oC
walaupun sangat lambat. Suhu rendah (4–9oC), makanan tersebut tidak beku
seluruhnya, masih ada mikroorganisme yang dapat tumbuh pada makanan, yaitu
golongan mikroorganisme psikotrof. Jenis-jenis mikroorganisme ini tidak
menimbulkan penyakit infeksi tapi banyak diantaranya yang dapat menyebabkan
kebusukan sampai suhu -4oC. (Desrosier, 1988).
Jenis-jenis mikroorganisme psikrotrof ini tidak menghasilkan racun ataupun
penyakit infeksi, tetapi banyak diantaranya yang masih dapat menyebabkan kebusukan
sampai suhu -40C. Bila suhu diturunkan hingga -90C pertumbuhan mikroorganisme
terhambat sehingga populasinya makin lama makin kecil. Meskipun demikian, suhu
rendah tidak dapat mematikan semua mikroorganisme yang ada dan begitu suhu naik
mikroorganisme segera berkembang biak dengan pesat. Kerusakan makanan juga
banyak diakibatkan oleh aktivitas enzim dan reaksi kimia. Pada suhu rendah, reaksi-
reaksi ini berlangsung lebih lambat tetapi tidak mungkin dihentikan sama sekali.
Mikroba psikrofilik akan tumbuh pada suhu pembekuan air yaitu 0oC atau di
bawahnya, sehingga pertumbuhan mikroba akan semakin lambat. Air dalam makanan
Angeline
240210170081
Kelompok 14
yang telah sempurna membeku maka mikroba tidak akan berkembang biak, tetapi pada
beberapa bahan pangan sebagian air belum membeku sampai suhu -9,9oC atau di
bawahnya, hal ini disebabkan adanya kandungan gula, garam atau zat-zat lain yang
menurunkan titik bekunya. Kerusakan bahan pangan beku biasanya terjadi setelah
bahan pangan tersebut mengalami peristiwa thawing karena pada saat itu
mikroorganisme akan cepat tumbuh kembali.
Tujuan praktikum ini yaitu untuk mengetahui pengaruh suhu penyimpanan
beku terhadap mikroba pada bahan pangan. Praktikum kali ini akan diamati
mikroorganisme yang tumbuh pada makanan yang disimpan pada suhu penyimpanan
beku. Sampel yang digunakan pada praktikum kali ini adalah bahan pangan yang sering
diawetkan dengan cara penyimpanan suhu rendah yaitu daging beku dan udang.
Medium yang digunakan adalah PCA (Plate Count Agar). Medium PCA (Plate Count
Agar) termasuk medium semisintetik karena diketahui sebagian bahan penyusunnya,
sebagian lagi tidak. Medium PCA tersusun atas casein enzymic hydrolisate, substansi
nitrogen kompleks, yeast extract, bacto agar, dan akuades. Yeast extract merupakan
komponen yang tidak diketahui penyusunnya. Yeast extract berfungsi untuk mensuplai
vitamin B kompleks. Substansi nitrogen kompleks memiliki fungsi yang sama dengan
yeast extract. Casein enzymic hydrolisate berfungsi untuk menyediakan asam amino.
Bacto agar berfungsi sebagai pemadat medium, serta akuades berfungsi sebagi pelarut
dan sumber oksigen. PCA merupakan media untuk pertumbuhan semua
mikroorganisme, baik bakteri, kapang, dan khamir.
Metode yang digunakan untuk mengisolasi mikroorganisme pada praktikum
kali ini ada dua, yaitu metode swab pada sampel daging. Menurut Lukman dan
Soejoedono (2009), metode swab merupakan metode pengujian sanitasi yang dapat
digunakan pada permukaan yang rata, bergelombang, atau permukaan yang sulit
dijangkau seperti retakan, sudut, dan celah. Swab tersusun dari tangkai atau gagang
(panjang 12 – 15 cm) dengan kepala swab terbuat dari kapas (diameter 0,5 cm dan 2
cm). Pengambilan sampel pada permukaan dilakukan dengan cara mengusap
permukaan alat yang akan diuji. Penggunaan metode swab ini biasanya untuk
mengetahui jumlah mikroorganisme (per cm2) dan jumlah koliform (per cm2) pada
Angeline
240210170081
Kelompok 14
permukaan yang kontak dengan pangan. Pengolesan sampel dengan menggunakan
tangkai pada area tertentu. Area tersebut kemudian dihitung untuk mengetahui jumlah
mikroorganisme per cm2. Larutan pengencer yang digunakan pada praktikum kali ini
adalah NaCl fis. Tangkai yang sudah dioleskan pada sampel dicelupkan pada NaCl fis.
Hal ini dilakukan secara berulang-ulang sampai secukupnya. Pengenceran sampai 10-2
dilakukan untuk sampel yang didinginkan sedangkan pengenceran sampai 10-4
dilakukan untuk sampel yang disimpan pada suhu ruang. Pengenceran pada suhu ruang
lebih tinggi karena diperkirakan jumlah mikroorganisme yang tumbuh lebih banyak.
Pengenceran yang lebih tinggi akan mempermudah pengamatan mikroorganisme
karena jumlah mikroorganisme yang tumbuh pada pengenceran tinggi semakin sedikit.
Sampel-sampel pengenceran tersebut kemudian diambil masing-masing
sebanyak 1 ml dan ditempatkan pada cawan petri. Media PCA kemudian dituangkan
pada cawan petri tersebut. Cawan petri digerakkan menyerupai angka delapan agar
media dan sampel homogen dan media dibiarkan membeku. Media-media ini
kemudian diletakkan pada tempat yang berbeda, yaitu inkubator pada suhu 30oC
selama 2 hari. Pengamatan koloni dan perhitungan jumlah koloni setelah diinkubator 2
hari menggunakan colony counter yang berfungsi sebagai perhitungan jumlah mikroba
pada cawan petri menggunakan sinar dan lup. Perhitungan mikroba dapat dilakukan
dengan perbesaran menggunakan lup atau dengan menandai beberapa koloni yang
terdapat pada colony counter dan juga menggunakan tombol check.
Tabel 1. Daging Beku
Pengenceran
Kel Sampel TPC BAM Gambar
10-2 10-3 10-4
10-2

Daging 10-3
1 2344 1084 - 1,084x104 9,85x104
Beku
Angeline
240210170081
Kelompok 14
10-2

Daging
6 370 37 - 3,7x104 3,36x103 10-3
Beku

Daging -
11 392 90 - 9x104 8,18x103
Beku
10-2

Daging
16 90 1716 - 9x103 8,18x103 10-3
Beku

(Sumber : dokumentasi pribadi, 2018)


Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan
gizi. Daging juga mempunyai kandungan asam amino esensial yang lengkap dan
seimbang. Keunggulan lain, protein daging lebih mudah dicerna dibandingkan protein
yang berasal dari nabati (Burhan, 2003). Daging terdiri atas zat protein yang disebut
myosin. Bagian yang terlihat putih-putih diantara sel-sel daging disebut elastin atau
tenunan ikat. Makin banyak elastinnya, daging makin keras dan liat. Tenunan ikat
menjadi susut dan tebal bila daging dipanaskan dan membutuhkan waktu yang lama
untuk menjadi empuk bila dimasak edengan temperatur relatif tinggi dalam waktu
relatif singkat (Soejoeti, 1998). Komposisi kimia daging terdiri dari air 56-72%, protein
15-22% dan lemak 5-34%. Protein daging dapat dibagi atas tiga kelompok yaitu
miofibril 9.5%, sarkoplasma 6% dan stroma 3%. Lemak terdiri dari fosfilipida,
kolestrol dan asam-asam lemak esensial (Lawrie, 1995). Sedangkan menurut Oscar
(1972) kandungan protein daging 18.7%. Daging juga mengandung beberapa jenis
mineral dan vitamin 1% (Burhan, 2003).
Daging didefinisikan sebagai urat daging (otot) yang melekat pada kerangka
yang berasal dari hewan yang sehat saat disembelih. Komposisi rata-rata daging terdiri
Angeline
240210170081
Kelompok 14
dari 60% air, 21% lemak, 18% protein, dan 0,1% abu. Protein daging lebih baik
dibandingkan dengan protein nabati karena mengandung susunan asam amino yang
lengkap (Buckle, 1987). Pembekuan merupakan metode yang sangat baik untuk
pengawetan daging dan daging proses. Nilai nutrisi daging secara relatif tidak
mengalami perubahan selama pembekuan dan penyimpanan beku dalam jangka waktu
terbatas. Perubahan kualitas daging beku sangat minimal pada temperatur -18°C,
sehingga temperatur ini dipergunakan sebagai dasar penyimpanan beku. Pada
temperatur ini daging beku mulai menunjukkan perubahan kualitas, terutama flavor
daging setelah penyimpanan 4-6 bulan. Jumlah mikrobia awal juga mempengaruhi
kualitas daging beku (Sutaryo, 2004). Oleh karena itu, dilakukan pengamatan terhadap
jumlah mikroorganisme yang dapat tumbuh pada permukaan daging beku dalam
pengaruhnya terhadap kualitas daging beku.
Hasil pengamatan dengan metode TPC yang didapat setiap kelompok berbeda-
beda, kelompok 1 memperoleh jumlah mikroba 1,084x104 CFU/ml, kelompok 6
memperoleh jumlah mikroba 3,7x104 CFU/ml, kelompok 11 memperoleh jumlah
mikroba 9x104 CFU/ml, dan kelompok 16 memperoleh jumlah mikroba 9x103 CFU/ml.
Hasil pengamatan dengan metode BAM yang didapat setiap kelompok juga berbeda-
beda, kelompok 1 memperoleh jumlah mikroba 9,85x104 ml/gram, kelompok 6
memperoleh jumlah mikroba 3,36x103 ml/gram, kelompok 11 memperoleh jumlah
mikroba 8,18x103 ml/gram, dan kelompok 16 memperoleh jumlah mikroba 8,18x103
ml/gram. Perbedaan hasil pengamatan dimungkinkan oleh bahan yang digunakan
diperoleh dari tempat pengolahan yang berbeda, langkah prosedur yang dilakukan tidak
sesuai, dan kemungkinan bahan telah terkontaminasi.
Tabel 2. Udang
Pengenceran
Kel Sampel -2 TPC BAM Gambar
10 10-3 10-4
10-3

2 Udang - 2 3 2x103 2,5x104


10-4
Angeline
240210170081
Kelompok 14
10-3

7 Udang - 1 5 1x103 2,5x104 10-4

10-3

12 Udang - 60 22 6x104 5,45x104


10-4

10-3

17 Udang - 229 51 3,69x105 2,54x105 10-4

(Sumber : dokumentasi pribadi, 2018)


Udang merupakan bahan pangan yang termasuk golongan Crustacea atau
hewan laut yang berkulit keras, berbuku-buku dan memiliki kepala yang bersatu
dengan tubuh (tanpa leher). Komposisi rata-rata udang adalah karbohidrat 2,6%,
Protein 14,6%, lemak 1,7%, abu 1,8% dan air sebanyak 79,3%. Dengan komposisi
seperti itu, udang segar harus dikonsumsi atau diolah dalam empat hari setelah
penangkapan. Bila disimpan lebih lama maka pada udang yang diberi es terjadi
pembusukan karena aktivitas bakteri dan warnanya menjadi kehitam-hitaman karena
kegiatan enzim (Tjahjadi, 2009). Udang menjadi dewasa dan bertelur hanya di habitat
air laut. Betina mampu menelurkan 50.000 hingga 1 juta telur, yang akan menetas
setelah 24 jam menjadi larva (nauplius). Nauplius kemudian bermetamorfosis
memasuki fase kedua yaitu zoea (jamak zoeae). Zoea memakan ganggang liar. Setelah
beberapa hari bermetamorfosis lagi menjadi mysis (jamak myses). Mysis memakan
Angeline
240210170081
Kelompok 14
ganggang dan zooplankton. Setelah tiga sampai empat hari kemudian mereka
bermetamorfosis terakhir kali memasuki tahap pascalarva: udang muda yang sudah
memiliki ciri-ciri hewan dewasa. Seluruh proses memakan waktu sekitar 12 hari dari
pertama kali menetas. Pada tahap ini, udang budidaya siap untuk diperdagangkan, dan
disebut sebagai benur. Di alam liar, postlarvae kemudian bermigrasi ke estuari, yang
sangat kaya akan nutrisi dan bersalinitas rendah. Di sana mereka tumbuh dan kadang-
kadang bermigrasi lagi ke perairan terbuka di mana mereka menjadi dewasa. Udang
dewasa merupakan hewan yang utamanya tinggal di dasar laut.
Uji pengaruh suhu penyimpanan pada pertumbuhan mikroorganisme di dalam
udang dilakukan dengan cara yang sama seperti pada sampel daging. Semakin
tingginya suhu penyimpanan pada produk beku dimungkinkan bakteri psikorofilik
lebih cepat tumbuh. Jenis mikroroganisme psikrotrofik (tahan suhu dingin) yang
dimungkinkan dominan didalam udang adalah Pseudomonas (suhu optimum
pertumbuhan 5-100C), Acinetobacter (suhu optimum pertumbuhan 5-100C), Moraxella
(suhu optimum pertumbuhan 5-100C), Flavobacterium (suhu optimum pertumbuhan 5-
100C) dan Micrococcus. Acinetobacter dan Moraxella merupakan mikroorganisme
yang dapat menyebabkan adanya lendir di permukaan dan sangat dominan terdapat
pada kerang-kerangan (Sumanti,2008). Micrococcus dapat menyebabkan warna ikan
atau udang menjadi kuning. Bakteri ini mempunyai suhu optimum pertumbuhan 25-
300C, masih dapat tumbuh pada suhu 100C atau kurang, tetapi tidak dapat tumbuh pada
suhu 460C.
Berdasarkan teori udang segar yang disimpan didalam suhu rendah akan
mengandung mikroorganisme yang rendah pula, karena pada suhu rendah proses
metabolisme dan reaksi kimia pada udang akan diperlambat, serta diduga terdapat
mikroorganisme kontaminan pada udang. Mikroorganisme kontaminan ini cenderung
memiliki fase adaptasi yang cukup cepat karena banyaknya koloni yang tumbuh pada
sampel tersebut.
Menurut Fardiaz (1992), udang merupakan sumber makanan yang kaya akan
kandungan protein, tidak lepas dari pengaruh adanya mikroorganisme, terutama bakteri
penyebab pembusukan, yang merupakan salah satu maslaah dalam usaha untuk
Angeline
240210170081
Kelompok 14
mengelola hasil, yang meliputi pengangkutan, penyimpanan, pengawetan, dan
pengelolaan. Bakteri yang terdapat pada udang datang bersama dengan bahan baku
atau sebagai jasad kontaminasi dari lingkungan seperti air dan tanah. Bakteri yang
terdapat pada udang antara lain Salmonella sp., Shigella sp., Proteus sp., Vibrio sp.,
dan Staphylococcus sp.
Menurut Anjispriba (2008), Vibrio cholerae adalah bakteri berbentuk batang
bengkok atau batang lurus, gram negatif, bersifat aerob atau anaerob fakultatif. Bakteri
ini dapat bergerak sangat aktif karena mempunyai flagel kutub. Bakteri ini tidak
membentuk spora. Menurut Ryan (2004), Proteus adalah genus dari gram negatif
proteobakteria. Proteus merupakan bakteri saprofit yang ditemukan pada hewan, tanah,
dan feses. Bakteri pada genus ini dapat menjadi patogen yang mengakibatkan infeksi
saluran kencing.
Bakteri Salmonella sp dapat menyebabkan infeksi pada tubuh manusia yang
dikenal dengan salmonellosis. Sumber utama penyebab infeksi Salmonella sp adalah
bahan makanan yang tidak dipanaskan secara baik. Terlebih lagi bila ia berkembang
pada jenis makanan tertentu yang memang rawan Salmonella sp, yaitu makanan yang
mengandung protein tinggi. Pendinginan makanan dalam lemari es tidak membunuh
bakteri Salmonella. Bakteri ini dalam suhu dingin (<8°C) hanya berhenti
memperbanyak dirinya (inaktif). Salmonella dapat berkembang biak pada suhu antara
8 derajat sampai 70°C. Diatas 70°C Salmonella akan mati. Oleh sebab itu ayam, daging
ikan atau telur harus dimasak dengan baik sampai betul-betul matang. Bakteri yang ada
dalam udang baru dapat mati bila air udang sudah tidak lagi berwarna merah atau
daging dimasak sampai mendidih/masak setidaknya selama 10 menit. Makanan yang
telah masak jangan terlalu lama disimpan dalam kulkas. Sebelum dimakan kembali
hangatkan terlebih dahulu.
Namun, ada bakteri yang mungkin tumbuh pada udang utuh beku, yaitu
Alcaligenes. Bakteri ini tahan akan suhu yang rendah. Alcaligenes ditemukan di
berbagai lokasi, termasuk lingkungan tanah dan air. Kontaminasi bakteri terjadi ketika
proses pembersihan udang yang kurang higenis dan kemungkinan pembersihan
dilakukan dengan air yang kotor. Alcaligenes adalah genus dari bakteri gram-negatif.
Angeline
240210170081
Kelompok 14
Bakteri ini berbentuk coccus dan batang, bersifat gram negatif, motil, mereduksi
material non nitrat, oksidase, ktalase, dan citrat positif. Alcaligenes sp merupakan
mikroorganisme kemoorganotrof yang mampu menggunakan karbon dari berbagai
sumber untuk pertumbuhannya. Mikroorganisme ini normal ditemukan di air dan
tanah. Bakteri ini mengganggu kesehatan bagi orang yang mengonsumsinya, terutama
gangguan pencernaan.
Hasil pengamatan yang didapat dari metode TPC berbeda-beda untuk setiap
kelompok, kelompok 2 memperoleh jumlah mikroba 2x103 CFU/ml, kelompok 7
memperoleh jumlah mikroba 1x103 CFU/ml, kelompok 12 memperoleh jumlah
mikroba 6x104 CFU/ml, dan kelompok 17 memperoleh jumlah mikroba 3,69x105
CFU/ml. Hasil pengamatan yang didapat dari metode BAM juga berbeda-beda untuk
setiao kelompok, kelompok 2 memperoleh jumlah mikroba 2,5x104 ml/gram,
kelompok 7 memperoleh jumlah mikroba 2,5 x104 ml/gram, kelompok 12 memperoleh
jumlah mikroba 5,45x104 ml/gram, dan kelompok 17 memperoleh jumlah mikroba
2,45x105 ml/gram. Perbedaan hasil pengamatan dimungkinkan oleh bahan yang
digunakan diperoleh dari tempat pengolahan yang berbeda, langkah prosedur yang
dilakukan tidak sesuai, dan kemungkinan bahan telah terkontaminasi.
4.2. Mikroorganisme Termodurik Pada Produk Pemanasan
Proses termal merupakan salah satu metode yang hampir selalu digunakan
dalam pengolahan pangan. Proses termal atau yang sering disebut dengan pemanasan
bertujuan untuk membuat makanan menjadi lebih lunak, lebih enak dan lebih awet
karena panas juga akan mematikan mikroorganisme dan menonaktifkan enzim-enzim,
serta membuat makanan itu menjadi lebih aman karena toksin-toksin tertentu rusak
oleh pengaruh panas (Tjahjadi, 2008). Proses termal yang lazim digunakan dalam
pengolahan pangan adalah memasak, menggoreng, membakar atau bahkan dalam skala
industri seperti pasteurisasi, blansing dan sterilisasi.
Pengaruh penggunaan suhu tinggi terhadap mikrorganisme adalah sebagai
berikut.
1. Denaturasi protein sel.
2. Inaktivasi enzim-enzim metabolisme.
Angeline
240210170081
Kelompok 14
3. Spora atau sel vegetatif mati.
Seperti telah dijelaskan di atas, pemanasan dapat membuat awet makanan
karena dapat mematikan mikroorganisme tetapi pada kenyataanya tidak semua
mikroorganisme mati setelah proses pemanasan. Mikroorganisme tersebut dikenal
sebagai mikroorganisme termodurik. Mikroorganisme termodurik sebagian besar
adalah jenis bakteri dan kapang. Mikroorganisme tersebut rata-rata mempunyai suhu
optimum pertumbuhan di atas 45 oC, biasanya 55 oC atau lebih (Fardiaz, 1992).
Praktikum kali ini akan dilakukan uji mikroorganisme termodurik pada produk
yang telah mengalami pengolahan atau pemanasan, seperti pasteurisasi. Kelompok
mikroorganisme yang tahan terhadap suhu pasteurisasi dapat dibedakan atas dua
kelompok, yaitu mikroorganisme termodurik dan mikroorganisme termofilik.
Mikroorganisme termodurik merupakan mikrorganisme yang tahan panas pada suhu
relatif tinggi, tetapi tidak harus tumbuh pada suhu relatif tinggi (Fardiaz, 1992).
Mikroorganisme yang tergolong termodurik dan tahan suhu pasteurisasi misalnya
bakteri (Streptococcus) serta kapang (Aspergillus). Sedangkan bakteri termofilik juga
termasuk kepada kelompok mikroorganisme termodurik. Termofil merupakan jenis
bakteri yang mempunyai suhu optimum pertumbuhan minimal diatas 45˚C, biasanya
55˚C atau lebih. Bakteri ini sering tumbuh pada makanan yang disimpan di suhu tinggi.
Contoh dari bakteri termofilik misalnya Bacillus stearothermophilus penyebab
kebusukan asam tanpa gas, Clostridium thermosaccharolyticum penyebab busuk
kembung pada makanan kaleng dan Lactobacillus thermophilus yang merupakan jenis
bakteri asam laktat termofil.
Bakteri termodurik sering menimbulkan masalah pada susu dan produk susu.
Pada daging yang dimasak setengah matang kemungkinan terdapat bakteri yang
bersifat termodurik seperti Enterokoki. Mikroorganisme termodurik mungkin tidak
menimbulkan perubahan pada makanan atau mengakibatkan pembentukan asam dan
gas serta perubahan proteolitik atau lipolitik. Mikroorganisme termodurik pada
umumnya tidak dapat tumbuh baik pada suhu pendinginan, namun ada pengecualian
untuk Lactobacillus dan Bacillus yang bersifat psikotropik dapat tumbuh pada lemari
es. Sedangkan, mikroorganisme termofilik merupakan mikroorganisme yang tidak
Angeline
240210170081
Kelompok 14
hanya tahan pemanasan pada suhu relatif tinggi, tetapi juga membutuhkan suhu tinggi
untuk pertumbuhannya. Mikroorganisme yang tergolong termofilik adalah Bacillus
dan Clostridium (Fardiaz, 1992). Ketahanan panas mikroorganisme termodurik
berbeda-beda tergantung dari spesies, pH, Aw, dan adanya senyawa-senyawa
pelindung seperti gula, lemak, dan protein.
Sampel yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah rendang, susu
pasteurisasi, dan ayam bakar. Sampel tersebut dibagi menjadi dua, yaitu sampel susu
dan sampel non susu. Kelompok sampel susu adalah susu pasteurisasi dan kelompok
sampel non susu adalah rendang, dan ayam bakar. Prosedur pada tiap kelompok sampel
pun berbeda. Prosedur pada sampel susu adalah pertama-tama dipipet 1 mL sampel
sedangkan pada sampel non susu adalah pertama-tama di swab dengan kapas. Setelah
itu dimasukkan ke dalam 9 mL larutan pengencer NaCl fis pada pengenceran 10 -1.
Pengenceran 10-1 tersebut kemudian dihomogenkan dengan vortex mixer, kemudian
lanjutkan pengenceran sampai tahap 10-4 . Setelah melakukan pengenceran sampai 10-
4
, diambil 1 mL sampel pada pengenceran 10-3 dan 10-4, dimasukkan ke dalam cawan
petri. Lalu, masukkan medium PCA ke dalam cawan petri. Cawan petri digerakkan
menyerupai angka delapan agar media dan sampel homogen dan media dibiarkan
membeku. Media-media ini kemudian diletakkan dibungkus kembali dan ditempatkan
pada tempat yang berbeda, yaitu di inkubator pada suhu 30oC selama 2 hari.
Pengamatan koloni dan perhitungan jumlah koloni dilakukan dengan menggunakan
colony counter.
Tabel 3. Susu Pasteurisasi
Pengenceran
Kel Sampel TPC BAM Gambar
10-2 10-3 10-4
10-3

Susu
3 - 6 43 4,3x105 3,9x104
Pasteurisasi 10-4
Angeline
240210170081
Kelompok 14
10-3

Susu
8 - 5 5 5x103 2,5x104 10-4
Pasteurisasi

10-3

Susu 10-4
13 - 151 105 6,005x105 2,33x105
Pasteurisasi

10-3

Susu
18 - 10 37 3,7x103 3,36x104 10-4
Pasteurisasi

(Sumber : dokumentasi pribadi, 2018)


Susu Pasteurisasai adalah sampel susu. Susu memiliki rasa yang tidak begitu
manis. Pengolahan susu segar dilakukan dengan cara pasteurisasi untuk mencegah
penularan penyakit dan mencegah karena kerusakan mikroorganisme dan enzim. Bila
dilaksanakan dengan cepat, pasteurisasi dapat menghancurkan semua organisme
patogen (Herudiyanto, 2006). Pada susu biasanya selalu terkontaminasi oleh bakteri
Lactobacillus. Lactobacillus adalah bakteri yang dapat mensintesis vitamin sehingga
bakteri ini sering digunakan dalam analis vitamin dan tahan terhadap suhu pasteurisasi
(bersifat termodurik). Bakteri termodurik sering menimbulkan masalah pada susu dan
Angeline
240210170081
Kelompok 14
produk susu. Biasanya bakteri termodurik ini lebih sering kita temukan pada produk
susu pasteurisasi sudah pasti pula karena bakteri termodurik ini memiliki pertumbuhan
optimum pada suhu pasteurisasi.
Karena kandungan gizinya yang hampir sempurna itulah maka susu segar
sangat rentan sekali tercemar mikroorganisme. Oleh karena itu, salah satu cara
pengendalian mikroorganisme pada susu adalah dengan dilakukannya proses
pasteurisasi. Pasteurisasi adalah perlakuan pemanasan yang lebih ringan dari sterilisasi,
biasanya suhu yang digunakan dibawah 100oC. Tujuan pasteurisasi pada susu adalah
sebagai berikut.
1. Membunuh semua bakteri patogen yang umum dijumpai pada susu yaitu
Mycobacterium tuberculosis (penyebab TBC) dan Coxiella burnetti (penyebab
demam Q).
2. Memperpanjang daya tahan simpan dengan jalan mematikan bakteri pembusuk
dan menonaktifkan enzim.
Susu yang dipasteurisasi masih mengandung mikroorganisme kira-kira
beberapa sel per ml. oleh karena itu daya tahan simpannya juga tidak sepanjang
makanan yang steril komersial. Mengingat hal ini maka untuk susu pasteurisasi harus
selalu diikuti dengan cara pengawetan lain, misalnya dengan penyimpanan pada suhu
rendah.
Hasil pengamatan dari metode TPC berbeda-beda untuk setiap kelompok,
kelompok 3 memperoleh jumlah mikroba 4,3x105 CFU/ml, kelompok 8 memperoleh
jumlah mikroba 5x103 CFU/ml, kelompok 13 memperoleh jumlah mikroba 6,005x105
CFU/ml, dan kelompok 18 memperoleh jumlah mikroba 3,7x103 CFU/ml. Hasil
pengamatan dari metode BAM juga berbeda-beda untuk setiap kelompok, kelompok 3
memperoleh jumlah mikroba 3,9x104 ml/gram, kelompok 8 memperoleh jumlah
mikroba 2,5x104 ml/gram, kelompok 13 memperoleh jumlah mikroba 2,33x105
ml/gram, dan kelompok 18 memperoleh jumlah mikroba 3,36x104 ml/gram. Perbedaan
hasil pengamatan dimungkinkan oleh bahan yang digunakan diperoleh dari tempat
pengolahan yang berbeda, langkah prosedur yang dilakukan tidak sesuai, dan
kemungkinan bahan telah terkontaminasi.
Angeline
240210170081
Kelompok 14
Tabel 4. Rendang
Pengenceran
Kel Sampel -2 TPC BAM Gambar
10 10-3 10-4
10-3

4 Rendang - 21 24 2,1x104 2,5x104 10-4

10-3

9 Rendang - 10 5 1x104 2,5x104 10-4

10-3

14 Rendang - 532 213 2,13x106 1,94x105


10-4

10-3

19 Rendang - 61 46 2,605x105 9,73x104

(Sumber : dokumentasi pribadi, 2018)


Daging rendang adalah sampel non susu. Produk daging olahan biasanya dijual
dalam berbagai kondisi, dibekukan, didinginkan atau pada kondisi normal (suhu
Angeline
240210170081
Kelompok 14
ruang). Produk daging olahan, selama masih beku dapat dinyatakan aman. akan tetapi
untuk produk yang didinginkan harus diperhatikan umur simpannya. Produk ini dikenal
juga dengan daging curing, yaitu daging yang telah diolah sehingga memiliki daya
tahan simpan, cita rasa, keempukan dan warna yang berbeda dari daging segar dengan
adanya penambahan berbagai bahan, misalnya NaCl, gula, dan rempah-rempah.
Penambahan zat pada proses curing tersebut menyebabkan terhambatnya pertumbuhan
mikroorganisme. Mikroorganisme yang ditemukan pada makanan produk olahan
daging adalah mikroorganisme yang tahan proses pemanasan, Misalnya Clostridium
dan Bacillus (sporanya). Dengan demikian dalam memproduksi makanan siap santap
yang disimpan dingin harus diperhatikan sanitasi dan hingga selama pengolahan,
kontrol suhu selama penyimpanan dan umur simpan produk.
Produk olahan daging disimpan pada suhu ruang, karena sudah mengalami
proses sterilisasi pun belum tentu terbebas dari mikroorganisme. Karena sterilisasi
yang dilakukan adalah sterilisasi komersial, dimana tidak membunuh semua
mikroorganisme. Produk olahan daging yang diawetkan dengan proses sterilisasi
komersial, masih mengandung mikroba tetapi tidak dapat tumbuh pada kondisi
penyimpanan yang normal. Mikroba yang masih dapat tumbuh tergolong dalam bakteri
termodurik.
Hasil pengamatan pada sampel rendang dari metode TPC berbeda-beda untuk
setiap kelompok, kelompok 4 memperoleh jumlah mikroba 2,1x104 CFU/ml, kelompok
9 memperoleh jumlah mikroba 1x104 CFU/ml, kelompok 14 memperoleh jumlah
mikroba 2,13x106 CFU/ml, dan kelompok 19 memperoleh jumlah mikroba 2,605x105
CFU/ml. Hasil pengamatan dari metode BAM juga berbeda-beda untuk setiap
kelompok, kelompok 4 memperoleh jumlah mikroba 2,5x104 ml/gram, kelompok 9
memperoleh jumlah mikroba 2,5x104 ml/gram, kelompok 14 memperoleh jumlah
mikroba 1,94x105 ml/gram, dan kelompok 19 memperoleh jumlah mikroba 9,73x104
ml/gram. Perbedaan hasil pengamatan dimungkinkan oleh bahan yang digunakan
diperoleh dari tempat pengolahan yang berbeda, langkah prosedur yang dilakukan tidak
sesuai, dan kemungkinan bahan telah terkontaminasi.
Tabel 5. Ayam Bakar
Angeline
240210170081
Kelompok 14
Pengenceran
Kel Sampel TPC BAM Gambar
10-2 10-3 10-4
10-3

Ayam
5 - 34 120 6,17x105 1,4x105
Bakar 10-4

10-3

Ayam
10 - 4 12 4x103 2,5x104
Bakar 10-4

10-2

Ayam
15 1004 1388 - 1,388x106 9,13x104
Bakar 10-3

10-3

Ayam
20 - 18 26 1,8x104 2,36x104
Bakar 10-4

(Sumber : dokumentasi pribadi, 2018)


Ayam bakar merupakan masakan olahan dari daging ayam yang diberi bumbu
kecap hingga madu dan didiamkan dalam waktu tertentu untuk menghasilkan rasa
manis dan gurih. Daging ayam direndam dengan bumbu bakar selama beberapa menit
untuk selanjutnya melalui proses pemanggangan. Bakteri yang sering dijumpai pada
Angeline
240210170081
Kelompok 14
ayam seperti S. aureus, Salmonella, Salmonella sp., dan lain sebagainya. Bakteri
patogen C. jejuni sebagai agen foodborne zoonosis secara umum dapat menyebabkan
gejala gastroenteritis pada manusia. Ayam semasa hidup pada peternakan yang
terinfeksi dapat menyebabkan kontaminasi pada daging yang dihasilkan. Proses
penyiapan daging ayam yang meliputi proses penyembelihan, pendinginan, proses
penyimpanan sebelum sampai konsumen, dan proses pemasakan sangat memengaruhi
jumlah kontaminan dan kualitas daging ayam yang dihasilkan. Daging ayam
merupakan sumber kontaminasi yang terbanyak dapat menularkan Campylobacter sp.
pada manusia (Studahl dan Andersson, 2000). Menurut Pearson dan Healing (1992)
deteksi kontaminasi Campylobacter pada karkas ayam mempunyai peran penting untuk
menentukan sumber kontaminasi yang berhubungan dengan konsumsi daging ayam
yang dimasak kurang sempurna. Hasil pengujian yang diperoleh oleh Blackburn dan
Clure (2003), produk unggas yang dijual di pasar di beberapa negara telah dilaporkan
terkontaminasi Campylobacter dengan tingkat kontaminasi antara 3,7-93,6%.
Hasil pengamatan pada ayam bakar dari metode TPC berbeda-beda untuk tiap
kelompok, kelompok 5 memperoleh jumlah mikroba 6,17x105 CFU/ml, kelompok 10
memperoleh jumlah mikroba 4x103 CFU/ml, kelompok 15 memperoleh jumlah
mikroba 1,388x106 CFU/ml, dan kelompok 20 memperoleh jumlah mikroba 1,8x104
CFU/ml. Hasil pengamatan dari BAM berbeda-beda untuk tiap kelompok, kelompok 5
memperoleh jumlah mikroba 1,4x105 ml/gram, kelompok 10 memperoleh jumlah
mikroba 2,5x104 ml/gram, kelompok 15 memperoleh jumlah mikroba 9,13x104
ml/gram, dan kelompok 20 memperoleh jumlah mikroba 2,36x104 ml/gram. Hasil
pengamatan pada kelompok 15 diperoleh jumlah mikroba yang paling banyak
dibandingkan dengan kelompok lainnya diakibatkan kesalahan praktikan dalam
melakukan prosedur yaitu hanya melakukan pengenceran 10-2 dan 10-3 dan tidak
melakukan pengenceran 10-4. Perbedaan hasil pengamatan pada kelompok lain
dimungkinkan oleh bahan yang digunakan diperoleh dari tempat pengolahan yang
berbeda, langkah prosedur yang dilakukan tidak sesuai, dan kemungkinan bahan telah
terkontaminasi.
Angeline
240210170081
Kelompok 14
V. KESIMPULAN
Kesimpulan yang didapat dari praktikum ini :
1. Meskipun pertumbuhan mikroorganisme dapat dihambat pada suhu dingin, tetapi
masih terdapat berbagai mikroorganisme yang dapat tumbuh dan dikenal dengan
nama bakteri psikrofil. Mikroorganisme ini masih dapat tumbuh pada suhu di atas
suhu pembekuan (-5 – 20oC). Pembekuan bersifat lebih efektif untuk menghambat
pertumbuhan mikroorganisme dibandingkan pendinginan karena enzim yang
inaktif dan aktivitas air yang menurun akibat pembekuan.
2. Mikroorganisme yang masih dapat hidup pada produk pangan yang telah
mengalami pemanasan misalnya pasteurisasi, digolongkan pada mikroorganisme
termodurik. Contoh mikroorganisme termodurik adalah bakteri (Micrococcus,
Mikrobacterium, Streptococcus, Lactobacillus, Bacillus dan Clostridium) dan
kapang (Aspergillus dan Penicillium). Termofil merupakan jenis bakteri yang
mempunyai suhu optimum pertumbuhan minimal diatas 45˚C, biasanya 55˚C atau
lebih.
Angeline
240210170081
Kelompok 14

DAFTAR PUSTAKA
Blackburn, C.W. and P.J. Clure. 2003. Campylobacter dan Areobacter. In Foodborne
Pathogens. Hazards, Risk Analysis and Control. CRC Press, New York.
Buckle, K.A., R. A. Edwards, G. H. Fleet, M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan.
Penerjemah Hari Purnomo, Adiono. Universitas Indonesia, Jakarta.
Desrosier, N.W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. UI-Press, Jakarta.
Fardiaz, Srikandi. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Herudiyanto, Marleen. 2006. Bahan Ajar Pengantar Teknologi Pengolahan Pangan.
Penerbit Universitas Padjajaran, Jatinangor
Hudaya, S. 2008. Pengawetan Dengan Menggunakan Suhu Rendah. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama
Lukman D. W dan R. R Soejoedono. 2009. Uji Sanitasi Dengan Metode RODAC
Penuntun Praktikum Higiene Pangan Asal Ternak. Bagian Kesehatan
Masyarakat Veteriner. Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet.
Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Pearson, A.D. and T.D. Healing. 1992. The surveillance and control of Campylobacter
infection.Commun. Dis. Rev. 2:133-139.
Studahl, A. and Y. Andersson. 2000. Risk factors for indigenous campylobacter
infection: a Swedish case-control study. Epidemiol.Infect. 125:269-275.
Sukarminah, Een, Debby M. Sumanti dan In-In Hanidah. 2008. Mikrobiologi Pangan.
Penerbit Universitas Padjadjaran, Jatinangor.
Sumanti, Debby M. dan Een Sukarminah. 2008. Diktat Penuntun Praktikum
Mikrobiologi Pangan. Jatinangor : Universitas Padjajaran.
Sutaryo. 2004. Dengue. MEDIKA, Yogyakarta
Tjahjadi, C. dan Herlina Marta. 2009. Pengantar Teknologi Pangan (Volume I dan II).
Penerbit Universitas Padjadjaran, Jatinangor.

Anda mungkin juga menyukai