Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH HIDROKOLOID PANGAN

Pengaruh Lama Pemasakan dan Konsentrasi Karagenan terhadap


Karakteristik Selai Nanas

Disusun oleh:
Kelompok 1

Nadia Laksmita Dewi 240210160002


Annisa Dewi F. 240210160014
Lady Malinda 240210160065
Jefry Harianto T. 240210160069
Angeline 240210170081

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PANGAN
JATINANGOR, SUMEDANG
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan terhadap kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena berkat rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
”Mekanisme Terbentuknya Gel pada Selai Nanas” ini tepat pada waktunya.
Makalah ini disusun untuk menambah wawasan penulis dan pembaca.
Penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak oleh karena itu
kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan makalah ini, terkhusus Yth. dosen Hidrokoloid yang telah
memberikan bekal materi pengetahuan dan moral untuk kami serta kepada Asisten
Laboratorium yang telah memberi arahan selama praktikum berlangsung. Kami
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami mohon
maaf atas keterbatasann kami, serta kami mengharapkan saran dan kritik yang
bersifat membangun guna kesempurnaan makalah ini. Terimakasih.

Sumedang, 3 November 2019

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. v
I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1


1.2 Analisis Masalah ..................................................................................... 1
1.3 Maksud dan Tujuan ............................................................................... 1

II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 2

2.1 Hidrokoloid ............................................................................................. 2

2.1.1 Sumber hidrokoloid ........................................................................ 3

2.2 Gel ............................................................................................................ 4


2.3 Selai .......................................................................................................... 6
2.4 Karagenan ............................................................................................... 6

III. METODOLOGI ......................................................................................... 9

3.1. Alat ........................................................................................................... 9


3.2. Bahan ....................................................................................................... 9
3.3. Prosedur ................................................................................................ 10

3.3.1. Prosedur Pembuatan Selai Nanas ............................................... 10


3.3.2. Pengamatan Kestabilan Gel Selai Nanas terhadap Sineresis ... 11

IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN .................................. 12

4.1 Mekanisme Pembentukan Gel ............................................................ 12


4.2 Total Padatan Terlarut Selai Nanas Lembaran ................................ 14
4.3 Sineresis ................................................................................................. 16

V. ANGGARAN DAN JADWAL KEGIATAN ............................................ 20

5.1 Anggaran Biaya .................................................................................... 20

ii
5.2 Jadwal Kegiatan ................................................................................... 20

VI. PENUTUP ................................................................................................. 22

6.1 Kesimpulan ........................................................................................... 22


6.2 Saran ...................................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 23


LAMPIRAN ......................................................................................................... 27

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jenis Hidrokoloid, sumber bahan baku dan bagian yang dapat
dimanfaatkan………………………………………………………………….....4
Tabel 2. Formula Selai Nanas pada Berbagai Konsentrasi Karagenan…….10
Tabel 3. Pembuatan Selai Nanas........................................................................12
Tabel 4. Total Padatan Terlarut Selai Nanas Lembaran…………………….15
Tabel 5. Kecepatan Sinersis Selai Nanas Lembaran (24 jam)………………16
Tabel 6. Karakteristik Organoleptik Selai Nanas pada Berbagai Lama
Pemanasan dan Konsentrasi Karagenan……………………………………...18

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Mekanisme pembentukan gel dari komponen polisakarida………5


Gambar 2. Diagram Alir Pembuatan Selai Nanas dengan Berbagai
Konsentrasi Karagenan………………………………………………………...11
Gambar 3. Hasil Penghalusan Buah Nanas……………………………………26
Gambar 4. Pemasakan Slurry Nanas, Karagenan, dan Asam Sitrat………...26
Gambar 5. Hasil Selai Nanas dengan Karagenan 1%, 1.5%, dan 2%............26
Gambar 6. Penimbangan Pengamatan Sineresis……………………………...26

v
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pemanfaatan buah nanas tersebut hanya terbatas pada konsumsi
buah segar bukan dalam bentuk produk olahan. Padahal, nanas yang
termasuk salah satu buah yang sangat melimpah pada masa panennya
tersebut memiliki sifat yang mudah rusak dan cepat mengalami
kebusukan. Salah satu cara penanganan yang dapat dilakukan adalah
dengan mengolah nanas tersebut menjadi suatu produk olahan lain seperti
selai nanas.
Berkembangnya gaya hidup masyarakat menyebabkan terciptanya
inovasi pembuatan produk olahan buah nanas menjadi selai. Dalam
praktikum ini, diharapkan dapat mengetahui pengaruh lama pemanasan
dan konsentrasi karagenan dalam proses pembentukan gel pada selai
nanas.

1.2 Analisis Masalah


1. Menganalisis pengaruh lama waktu pemasakan terhadap karakteristik selai
2. Menganalisis pengaruh konsentrasi karagenan terhadap karakteristik selai

1.3 Maksud dan Tujuan


Adapun tujuan dari penyusunan proposal ini diantaranya:
1. Mengetahui karakteristik selai berupa kestabilan gel, total padatan terlarut,
dan sineresis berdasarkan konsentrasi karagenan yang ditambahkan
2. Mengetahui karakteristik selai berdasarkan pengamatan tekstur gel pada
waktu pemasakan tertentu

1
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hidrokoloid
Hidrokoloid merupakan komponen polimer yang berasal dari sayuran,
hewan, mikroba atau komponen sintetik yang umumnya mengandung gugus
hidroksil. Komponen polimer ini dapat larut dalam air, mampu membentuk
koloid, dan dapat mengentalkan atau membentuk gel dari suatu larutan.
Berdasarkan karakteristik yang dimiliki, hidrokoloid dimanfaatkan sebagai
pembentuk gel, pengental, emulsifier, perekat, penstabil, dan pembentuk lapisan
film. Hidrokoloid dapat dikelompokkan berdasarkan sumber bahan baku, yaitu
hidrokoloid yang dapat diperoleh secara alami dari alam, hidrokoloid
termodifikasi, dan hidrokoloid sintetis. Menurut Funami (2011), hidrokoloid
dapat diperoleh dari tanaman, hewan, dan mikroba. Beberapa bagian tanaman
yang dapat dimanfaatkan di antaranya biji, buah, akar, dan ekstrudat tanaman
maupun pulp. Lebih lanjut, Li dan Nie (2016) mengklasifikasi hidrokoloid
berdasarkan sumber bahan baku dan struktur kimia. Teknologi proses ekstraksi
terus diteliti dan dikembangkan untuk menghasilkan hidrokoloid secara optimal
dengan tingkat kemurnian yang lebih tinggi. Ekstraksi dapat dilakukan secara
fisik, kimiawi, biokimiawi maupun kombinasinya untuk menghasilkan produk
yang bermutu tinggi. Secara fisik, perlakuan ekstraksi dapat menggunakan suhu
tinggi, sonikasi maupun gelombang pendek (Lin dan Huang 2008; Razavi et al.
2009; Chattbar et al. 2009).
Ekstraksi secara kimiawai dapat menggunakan pelarut asam maupun
basa, sedangkan secara biokimiawi dapat menggunakan enzim (Hamed et al.
2016). Hidrokoloid dapat digunakan sebagai bahan tambahan yang berfungsi
memperbaiki kualitas produk pangan. Hal ini terkait dengan kemampuan
hidrokoloid menyerap air dengan mudah dan membentuk gel. Kemampuan
tersebut juga dapat dimanfaatkan dan diimplementasikan dalam pembutan produk
nonpangan, di antaranya produk farmasi, pelapis yang dapat dimakan (edible
film), bioplastik, dan bahan perekat.
Hingga saat ini kebutuhan hirdokolid di dalam negeri masih diimpor.
Sebenarya Indonesia memiliki sumber hidrokoloid yang potensial, di antaranya

2
dari tanaman dan rumput laut. Pemanfaatan hidrokoloid yang tersedia secara
optimal diharapkan menurunkan ketergantungan impor produk polimer tersebut.
Naskah ini menelaah jenis hidrokoloid, sumber bahan baku, karakteristik, dan
pemanfaatannya sebagai produk pangan dan nonpangan. Salah satu peluang
pemanfaatan yang cukup potensial di Indonesia adalah sebagai bahan tambahan
pangan dan nonpangan, terutama untuk stabilisasi dan thickening agent. Namun
konsentrasi hidrokoloid dalam produk pangan tambahan harus sesuai standar agar
tidak menimbulkan masalah bagi kesehatan konsumen

2.1.1 Sumber hidrokoloid


Hidrokoloid dapat diperoleh dari berberapa sumber. Li dan Nie (2016)
membagi sumber bahan baku hidrokoloid ke dalam lima bagian, yaitu tanaman,
hewan, rumput laut, mikroba, dan sintetis. Berdasarkan struktur kimiawi,
hidrokoloid dapat dibagi ke dalam 14 jenis, yaitu glukan, fruktan, xylan, rhamnan,
galaktomanan, glukomanan, arabinoxylan, galaktan, arabinogalaktan,
galakturonan, glikano-rhamnogalakturonan, glikano-glukuronomannoglican,
polimer glukosamin, dan protein.
Beberapa sumber hidrokoloid dan bagian yang dapat dimanfaatkan
disajikan pada Tabel 1. Pektin merupakan jenis hidrokoloid yang banyak
ditemukan pada bagian kulit buah-buahan seperti tomat, jeruk, dan apel. Herawati
et al. (2013) menemukan kadar pektin yang cukup bervariasi pada beberapa jenis
buah dan daun sayuran. Pada buah pisang ditemukan kadar pektin 8,99% dan pada
mangga 3,27%. Buah pisang mentah mengandung kadar pektin yang lebih tinggi
(14,31%) daripada pisang matang (8,99%). Beberapa sumber hidrokoloid lainnya
adalah locus bean gum dan guar gum yang dapat diekstrak dari bijinya. Gum arab
dapat diperoleh dari bagian ekstrudat pohon legum atau polong-polongan A.
senegal. A. segalanthan gum dan gellan merupakan hasil metabolit dari mikroba.
Glukomanan dapat diperoleh dari umbi-umbian Amorphophallus spp atau dikenal
dengan nama iles-iles, marga dari suku talas-talasan. Beberapa tanaman yang
banyak mengandung kadar glukomanan dan mulai dibudidayakan di Indonesia di
antaranya iles-iles atau porang (Amorphophallus spp). Rumput laut banyak
mengandung komponen hidrokoloid dalam bentuk agar, karagenan, dan alginat.

3
Rumput laut merah adalah sumber hidrokoloid agar dan karagenan, sedangkan
rumput laut cokelat merupakan sumber hidrokoloid alginat. Dalam pemanfaatan
dan ekstraksi lebih lanjut, alginat dapat mengalami proses reaksi dengan pelarut
kimia lainnya untuk menghasilkan kalsium alginat maupun natrium alginat.
Hidrokoloid juga dapat diperoleh dari hasil metabolit mikroba, di antaranya
xanthan gum yang merupakan metabolit bakteri Xanthomonas campestris.
Selulosa juga merupakan sumber hidrokoloid dari bakteri Acetobacter xylinum.
Ekstraksi hidrokoloid dari mikroba cukup potensial dikembangkan.
Tabel 1. Jenis Hidrokoloid, sumber bahan baku dan bagian yang dapat
dimanfaatkan

2.2 Gel
Gel umumnya merupakan suatu sediaan semi padat yang, jernih, tembus
cahaya, dan mengandung zat aktif, merupakan dispersi koloid mempunyai
kekuatan yang disebabkan oleh jaringan yang saling berikatan pada fase
terdispersi (Ansel, 1989).
Zat zat pembentuk gel digunakan sebagai pengikat dalam granulasi, koloid
pelindung dalam suspensi, pengental untuk sediaan oral dan sebagai basis
supositoria. Secara luas sediaan gel banyak digunakan pada produk obat obatan,
kosmetik dan makanan juga pada beberapa proses industri. Pada kosmetik yaitu
sebagai sediaan untuk perawatan kulit, sampo, sediaan pewangi dan pasta gigi
(Herdiana, 2007).
Fardiaz (1989) mengemukakan pembentukan gel adalah fenomena
penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga terbentuk

4
jala tiga dimensi bersambung. Selanjutnya, jala menangkap atau
mengimobilisasikan air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku.
Sifat pembentukan gel ini beragam dari suatu jenis hidrokoloid ke jenis lainnya,
bergantung pada jenisnya. Gel mempunyai sifat seperti padatan, khususnya
elastisitas dan kekakuan. Mekanisme pembentukan gel secara garis besar
dijabarkan Funami (2011) sebagaimana disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Mekanisme pembentukan gel dari komponen polisakarida


Sumber: fumami (2011)
Hidrokoloid umumnya mampu membentuk gel dalam air dan bersifat
reversible, yaitu meleleh jika dipanaskan dan membentuk gel kembali jika
didinginkan. Proses pemanasan dengan suhu yang lebih tinggi dari suhu
pembentukan gel mengakibatkan polimer dalam larutan menjadi random coil
(acak). Bila suhu diturunkan, polimer akan membentuk struktur double helix
(pilinan ganda) dan apabila penurunan suhu terus dilanjutkan maka polimer terikat
silang secara kuat dan bertambahnya bentuk heliks akan terbentuk agregat yang
berperan membentuk gel yang kuat (Glicksman 1983). Jika proses diteruskan, ada
kemungkinan pembentukan agregat terus terjadi dan gel akan mengerut sambil
melepaskan air. Proses terakhir ini disebut sineresis (Fardiaz 1989). Karakteristik
tersebut mempengaruhi pembentukan dan tingkat kekakuan gel. Keberadaan suatu
kation dan anion akan mempengaruhi karakteristik hidrokoloid. Kation yang

5
ditambahkan atau berada dalam campuran hidrokoloid akan terjerembab dalam
struktur ikatan hidrokoloid (Gambar 1). Mekanisme pembentukan ikatan
antarpilin ganda juga dipengaruhi oleh jenis hidrokoloid.

2.3 Selai
Salah satu pangan semi basah berbahan dasar buah yang makin diminati
adalah selai buah. Selai yang beredar di pasaran berupa selai oles dengan kemasan
menarik namun kurang praktis dalam penyajiannya. Salah satu alternatif supaya
selai oles lebih praktis adalah menjadikannya selai, yaitu pemanfaatan buah
menjadi produk selai dapat meningkatkan nilai ekonomi buah dan umur simpan
produk tersebut. Buah-buahan yang biasa diolah menjadi selai lembaran
cenderung mengandung serat yang tinggi (Yeni, 1995). Serat menjadi salah satu
komponen yang dapat mempengaruhi kualitas dari selai lembaran, di samping
serat ada juga pektin dan asam. Ketiga komponen tersebut akan berpengaruh pada
selai lembaran yang dihasilkan (Darmawan, 2013).
Buatan selai adalah mengenai konsentrasi jenis hidrokoloid, karena
apabila konsentrasinya kurang akan menyebabkan tekstur selai terlalu lunak dan
tidak bisa dibentuk menjadi lembaran, namun apabila konsentrasinya berlebih
akan menyebabkan tekstur selai terlalu kaku. Pada penelitian ini dilakukan
pembuatan selai dari buah nanas dengan penambahan hidrokoloid berupa agar-
agar dan karagenan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi agar-
agar dan karagenan terhadap karakteristik fisik, kimia dan sensori, serta
menentukan karakteristik selai lembaran terbaik

2.4 Karagenan
Karagenan merupakan produk olahan rumput laut merah Indonesia yang
mengandung natrium, magnesium, dan kalsium yang dapat terikat pada gugus
ester sulfat dari galaktosa dan kopolimer 3,6-anhydro-galaktosa. Karagenan
banyak digunakan pada sediaan makanan, farmasi dan kosmetik sebagai bahan
pembuat gel, pengental atau penstabil. Karagenan dapat diekstraksi dari protein
dan lignin rumput laut dan dapat digunakan dalam industri pangan karena

6
karakteristiknya yang dapat berbentuk geli, bersifat mengentalkan, dan
menstabilkan material utamanya.
Dari beberapa manfaat yang telah disampaikan, banyak peneliti yang
menggunakan karagenan dalam penelitiannya. Seperti karagenan yang digunakan
dalam meningkatkan kualitas yogurt. Karagenan yang ditambahkan berfungsi
sebagai bahan penstabil. Menurut Helferich, W., et. Al, kestabilan yoghurt dilihat
dari tidak terjadinya kerusakan yoghurt berupa wheying off atau terjadi sineresis.
Kerusakan yogurt ini dapat dicegah dengan menambahkan bahan penstabil. Bahan
penstabil ini berguna untuk meningkatkan dan mempertahankan sifat
karakteristik yoghurt yang diinginkan, seperti kekentalan, konsistensi,
penampakan, dan rasa yang khas. Peranan utama dari bahan penstabil terdiri atas
dua tahap, yaitu pertama pengikatan air, dan yang kedua meningkatkan
kekentalan yoghurt. Bahan penstabil yang sesuai digunakan untuk yogurt adalah
bahan yang mempunyai sifat tidak mengeluarkan flavour lain, efektif pada pH
rendah dan dapat terdispersi dengan baik. Dilihat dari sifat – sifat diatas maka
karagenan dapat digunakan sebagai bahan penstabil yogurt. Hasilnya semakin
tinggi konsentrasi karagenan yang ditambahkan dapat menurunkan kadar air.
Penurunan kadar air oleh karagenan disebabkan oleh kemampuan karagenan
mengikat air pada yoghurt.
Selain digunakan sebagai bahan penstabil karaganenan juga dapat
digunakan sebagai bahan pembuatan jelly. Penelitian yang dilakukan oleh
Susinggih Wijana adalah membuat permen jelly dari nanas. Nanas memiliki kadar
pektin yang rendah namun tingkat keasaman yang cukup untuk pembentukan gel
pada permen jelly (Albrecht, 2010). Karena kadar pektin yang rendah, maka perlu
ditambahkan bahan pembentuk gel untuk dapat membuat permen jelly dari buah
nanas. Karagenan merupakan salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai
bahan pembentukan jelly. Tetapi karena karagenan memiliki kelemahan yaitu gel
yang dibentuk memiliki tekstur yang rapuh dan kurang elastis. Maka perlu
ditambah bahan lain yaitu gelatin yang berfungsi sama seperti karagenan.
Aplikasi lainnya adalah karagenan sebagai emulsifier, Egi Lukiasa
menggunakan karagenan sebagai emulsifier untuk pembuatan sosis tengiri. Sosis
merupakan produk emulsi daging yang ditambahkan bahan pengisi, bahan

7
pengikat dan bumbu-bumbu untuk meningkatkan flavor dan daya terima. Masalah
yang sering timbul dalam pembuatan produk emulsi adalah tidak stabilnya sistem
emulsi adonan. Hal ini mengakibatkan pecahnya sistem emulsi pada saat
pengolahan dan penyimpanan. Upaya pencegahan agar sistem emulsi tersebut
tidak pecah dan tahan lama adalah penambahan emulsifier. Emulsifier merupakan
zat di mana dapat menjaga kesetabilan suatu produk.
Oleh karena itu, perlu penambahan emulsifier pada proses pengolahan
sosis ikan Tenggiri agar adonan memiliki stabilitas yang baik. Salah satu
emulsifier adalah karagenan. Menurut Aryanti (2005), salah satu bahan pengikat
alam yang dapat digunakan yaitu karagenan. Hasilnya, karagenan dapat
digunakan untuk meningkatkan kestabilan bahan pangan baik yang berbentuk
suspensi, emulsi (dispersi dalam cairan). Karagenan dapat meningkatkan emulsi
daging dengan cara mengikat air yang terdapat dalam network (jaringan) protein
dan kemampuannya dikatakan lebih baik daripada interaksi
kimia antara air dengan protein.

8
III. METODOLOGI
3.1. Alat
Alat yang digunakan pada saat praktikum adalah sebagai berikut:
1. Blender
2. Gelas ukur
3. Kompor gas
4. Neraca
5. Panci
6. Pisau
7. Refraktometer
8. Refrigerator
9. Sendok
10. Spatula
11. Tabung sentrifugasi (Peganti corong)
12. Talenan
13. Wadah-wadah (mangkok, baskom, dll.)

3.2. Bahan
Bahan yang digunakan pada saat praktikum adalah sebagai berikut:
1. Air
2. Asam sitrat
3. Gula pasir
4. Karagenan
5. Kertas saring

9
3.3. Prosedur
Pelaksanaan praktikum project based meliputi pembuatan sampel dan
pengamatan. Sampel yang dibuat adalah selai nanas dengan konsentrasi karagenan
1%, 1,5%, dan 2% (Mawarni & Yuwono, 2018). Pengamatan dilakukan terhadap
karakteristik organoleptik meliputi warna dan kekentalan pada 3 menit, 5 menit,
dan 7 menit saat pemasakan telah mencapai suhu 90 oC. Pengamatan juga
dilakukan terhadap total solid menggunakan hand refractometer dan kestabilan
gel selai nanas terhadap sineresis.
3.3.1. Prosedur Pembuatan Selai Nanas
1. Buah nanas dikupas, dibuang bagian tengahnya, dicuci, dan dikecilkan
ukurannya sampai kira-kira memungkinkan untuk dihancurkan
menggunakan blender.
2. Buah nanas dihancurkan menggunakan blender sehingga didapat puree
nanas.
3. Bahan-bahan seperti puree nanas, gula (55%), karagenan, dan asam sitrat
(0,3%) ditimbang sesuai dengan perlakuan. Perbedaan perlakuan
dilakukan terhadap konsentrasi karagenan yang ditambahkan. Berikut
adalah formula yang digunakan untuk membuat selai nanas pada masing-
masing perlakuan:
Tabel 2. Formula Selai Nanas pada Berbagai Konsentrasi Karagenan
Perlakuan
Bahan
Karagenan 1% Karagenan 1,5% Karagenan 2%
Puree Nanas (g) 190,00 256 236,00
Gula (g) 104,50 140,8 130,00
Karagenan (g) 1,90 3,84 4,72
Asam sitrat (g) 0,570 0,768 0,708
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2019)
4. Semua bahan dicampurkan hingga rata kemudian dipanaskan di atas wajan
dan kompor gas.
5. Ketika campuran mencapai suhu 90 oC, dilakukan pengamatan
karakteristik organoleptik berupa warna dan kekentalan. Pengamatan
dilakukan pada 3 menit, 5 menit, dan 7 menit setelah tercapai suhu 90 oC
dalam keadaan tetap dipanaskan.

10
6. Setelah 7 menit pemasakan, selai nanas dimasukan ke dalam wadah dan
didiamkan hingga dingin.
7. Dilakukan pengamatan terhadap total solid menggunakan hand
refractometer dan kestabilan gel selai nanas terhadap sineresis.

Nanas (±200g)

Pengupasan dan pencucian

Pengecilan ukuran

Penambahan gula 55% berat slurry

Penambahan karagenan 1%, 1.50%, 2% dan asam sitrat 0,30%

Pemasakan suhu 90±5oC dan pengamatan tekstur pada 3, 5, dan 7 menit

Selai

Gambar 2. Diagram Alir Pembuatan Selai Nanas dengan Berbagai


Konsentrasi Karagenan
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2019)
3.3.2. Pengamatan Kestabilan Gel Selai Nanas terhadap Sineresis
1. Sampel selai nanas untuk masing-masing perlakuan ditimbang (±3 g).
2. Kertas saring ditimbang.
3. Sampel diletakan di atas kertas saring, kemudian kertas saring yang sudah
bersampel diletakan di atas tabung sentrifugasi.
4. Sistem disimpan pada suhu refrigerasi selama ±24 jam.
5. Perubahan berat diamati sebagai kestabilan sineresis.

11
IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Mekanisme Pembentukan Gel


Tabel 3. Pembuatan Selai Nanas
1 (karagenan 2 (karagenan 3 (karagenan
Bahan
1%) 1,5%) 2%)
Berat Slurry (g) 190 256 236
Gula (g) 104,5 140 130
Karagenan (g) 1,9 3,84 4,72
Asam Sitrat (g) 0,57 0,768 0,708
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2019)
Pembuatan selai pada praktikum ini menggunakan buah nanas dengan
tingkat kematangan yang sedang. Nanas memiliki kadar air 85,3 g/100 g bahan dan
kandungan pektin 0,06-0,16 g/100 g bahan. Buah nanas memperoleh karakteristik
produk pembentuk selai karena mengandung senyawa pektin. Pektin terdapat
hampir dalam semua jenis buah dalam jumlah bervariasi, dalam bentuk protopektin,
pektin, dan asam pektat. Buah yang belum matang banyak mengandung pektin
dalam bentuk protopektin, sedangkan buah matang banyak mengandung soluble
pektin yang banyak dimanfaatkan dalam pembuatan selai. Buah yang lewat matang
ataupun akibat pemasakan yang terlalu lama akan menyebabkan perubahan pektin
menjadi asam pektat. Senyawa pektin berfungsi sebagai bahan perekat antara
dinding sel yang satu dengan lain. Pektin dapat membentuk gel dengan gula apabila
lebih dari 5% gugus karboksil telah termetilasi (derajat metilasi 50%). Semakin
besar konsentrasi pektin maka gel yang terbentuk semakin keras. Konsentrasi 1%
telah menghasilkan kekerasan yang cukup baik (Winarno, 1997).
Nanas yang muda akan menyebabkan rasa masam pada selai. Nanas yang
terlalu matang akan mempengaruhi warna, aroma, rasa asam, dan kandungan pektin
pada selai (Fachruddin, 1997). Tingkat kematangan nanas akan mempengaruhi
jumlah kandungan protopektin, asam pektinat, pektin, dan asam pektat (Muchtadi
& Sugiyono, 2014). Kandungan pektin pada buah nanas yang terlalu matang
jumlahnya akan menurun karena dalam buah terdapat enzim yang dapat memecah
pektin menjadi asam pektat dan alkohol (Fachruddin, 1997). Jumlah pektin yang

12
dibutuhkan untuk pembentukan gel pada selai berkisar antara 0,75-1,5%
(Fachruddin L., 1997). Buah nanas yang matang akan mempunyai rasa yang manis
dan sedikit asam. Kandungan gula yang terdapat pada buah nanas berkisar antara
7,2-8,1 obrix (Kumalasari et al., 2015).
Proses pembuatan selai secara umum terdiri dari persiapan bahan, proses
pemasakan, dan pencetakan ke dalam wadah atau jar (Solechan & Irma, 2005).
Pembuatan selai nanas pada penelitian ini diawali dengan pengupasan dan
pembuangan biji nanas. Kemudian buah nanas dihancurkan dengan menggunakan
blender. Setelah nanas dihaluskan, bubur buah ditambahkan dengan gula pasir
sebanyak 55% dan dilakukan pemasakan selama 7 menit. Gula ditambahkan pada
selai oles berfungsi untuk meningkatkan rasa dan aroma, memperpanjang umur
simpan, dan menambah sumber kalori tubuh (Cahyadi, 2008). Gula yang
ditambahkan pada selai oles ini sebanyak 55% termasuk dalam konsentrasi gula
pada selai oles yang mencapai 55-65%. Penambahan gula pada selai akan membuat
tekstur menjadi lebih kompak. Penambahan gula dengan konsentrasi yang tinggi
akan mengganggu kestabilan adonan selai oles, karena selama proses pemasakan
gugus hidroksil yang dimiliki oleh karagenan membentuk ikatan hidrogen. Ikatan
hidrogen tersebut akan menyebabkan folding dan membentuk heliks (Ramadhan &
Trilaksani, 2017).
Pemasakan berfungsi untuk melarutkan gula yang ditambahkan pada
produk. Selain untuk melarutkan gula, pemanasan berfungsi untuk menguapkan air
yang terdapat pada bubur buah sehingga akan menyebabkan kadar gula yang
terdapat pada selai menjadi meningkat. Pemasakan bubur buah yang terlalu lama
akan menyebabkan aroma asli dari buah akan hilang dan warna pada buah akan
berubah menjadi lebih gelap (Solechan & Irma, 2005). Pemasakan bubur buah yang
kurang akan menyebabkan air yang terdapat dalam bubur buah tidak teruapkan
sehingga akan menghasilkan bubur buah yang terlalu encer dan tidak dapat
membentuk tekstur selai oles yang baik (Solechan & Irma, 2005).
Konsentrasi karagenan yang ditambahkan pada selai oles nanas yaitu 1%,
1,5% dan 2%. Semua jenis karagenan akan larut ke dalam air panas suhu 50 – 80oC
karena pada suhu tersebut karagenan akan mengalami hidrasi (Cahyadi, 2008).
Kappa karagenan dimasukkan dalam bubur buah dan dilakukan pemanasan dan

13
pengadukan dengan kecepatan sedang hingga merata. Pengadukan yang terlalu
cepat akan menyebabkan gelembung udara yang masuk ke dalam bubur buah
meningkat sehingga akan merusak tekstur selai oles dan bentuk fisik dari selai oles
(Solechan & Irma, 2005). Pengadukan yang terlalu lambat akan menyebabkan
porositas gel menjadi mudah rapuh sehingga tekstur selai oles menjadi tidak
kompak (Ramadhan & Trilaksani, 2017).
Asam sitrat ditambahkan ke dalam bubur buah sebanyak 0,2%. Asam sitrat
yang ditambahkan tanpa dilarutkan ke dalam air karena asam sitrat bersifat polar
(Harsanti, 2010). Penambahan asam sitrat yang berlebih akan menyebabkan
kenampakan fisik yang tidak diharapkan, karena gel yang terbentuk pada selai oles
akan mengalami sineresis (Ramadhan & Trilaksani, 2017). Sineresis adalah suatu
kondisi ketika air keluar dari gel sehingga mengakibatkan struktur gel pada selai
oles rapat dan mengkerut (Imeson, 2010). Batas maksimum penggunaan asam sitrat
pada selai oles yaitu secukupnya hingga pH selai oles mencapai 2,8 - 3,5 (Cahyadi,
2008).
Selai yang sangat viskos disebabkan karena struktur tiga dimensi yang
terdapat pada rantai molekul karagenan. Semakin luas pembentukan struktur tiga
dimensi, maka akan meningkatkan nilai kekerasan pada selai. Cara kerja
terbentuknya struktur tiga dimensi pada selai akan terjadi pada saat karagenan
dilarutkan dalam slurry. Pada saat karagenan dicampurkan dengan air panas di atas
suhu 50oC akan mengakibatkan polimer yang terdapat pada karagenan akan
bergerak secara acak. Pada saat karagenan mengalami penurunan suhu akan
membentuk struktur tiga dimensi. Pada saat karagenan mengalami penurunan suhu
yang berlangsung secara terus menerus akan menyebabkan polimer pada karagenan
terikat secara kuat dan jumlah struktur tiga dimensi bertambah, sehingga akan
membentuk agregat yang menyebabkan pembentukan gel semakin kuat (Juwita et
al, 2014).
4.2 Total Padatan Terlarut Selai Nanas Lembaran
Total padatan terlarut menjadi salah satu kriteria mutu dalam produk selai
buah. Menurut SNI 01-3746-2008 syarat mutu selai buah pada total padatan terlarut
minimal 65% (b/b). Dalam percobaan kali ini dilakukan pengukuran total padatan

14
terlarut selai lembaran menggunakan alat refraktometer. Berikut merupakan hasil
pengukurannya :
Tabel 4. Total Padatan Terlarut Selai Nanas Lembaran
Selai Nanas TS (%)
1 (karagenan 1%) 69,9
2 (karagenan 1,5%) 75,6
3 (karagenan 2%) 66,5
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2019)
Berdasarkan tabel 2, total padatan terlaut paling tinggi yaitu pada selai nanas
lembaran dengan penambahan karagenan 1,5%. Sedangkan jumlah padatan terlarut
terendah yaitu pada selai nanas lembaran dengan penambahan karagenan sebesar
2%. Berdasarkan penelitian Dewi (2018), penambahan konsentrasi karagenan
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap total padatan terlarut pada selai
jambu biji merah. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi penambahan
karagenan yang digunakan maka total padatan terlarutnya yang dihasilkan akan
semakin meningkat. Total padatan terlarut pada selai jambu biji merah yang
tertinggi dihasilkan pada konsentrasi karagenan 2% dan sukrosa 65% yaitu 50,00
ºBrix, sedangkan total padatan terlarut yang terendah dihasilkan pada konsentrasi
karagenan 0% dan sukrosa 60% yaitu 45,00 ºBrix.
Terjadinya peningkatan total padatan terlarut disebabkan karena karagenan
dapat menstabilkan bahan dalam bentuk suspensi yang dapat mengikat gula-gula
dan karagenan merupakan jenis polisakarida yang dapat terurai menjadi gula
pereduksi, sehingga meningkatkan total padatan terlarut bahan. Dalam kasus
praktikum kali ini, peningkatan penggunaan karagenan tidak menunjukan
perubahan yang signifikan terhadap total padatan terlarut selai nanas lembaran. Hal
ini dapat terjadi akibat berbagai hal terutama pada proses pemasakan. Kombinasi
antara suhu dan waktu pemanasan sangat mempengaruhi total padatan suatu bahan.
Semakin lama waktu dan semakin tinggi suhu pemasakan/pemanasan,
menyebabkan putusnya senyawa-senyawa karbohidrat menjadi senyawa yang lebih
sederhana yaitu gula yang bersifat lebih larut (Pantastico, 1986). Diduga sampel
selai nanas yang dibuat selama praktikum memiliki waktu dan suhu pemasakan
yang berbeda-beda. Sehingga dibutuhkan pengujian lebih lanjut sehingga data yang
dihasilkan lebih akurat dan dapat dipertanggung jawabkan.

15
4.3 Sineresis
Uji sineresis pada produk selai nanas dilakukan selama 24 jam dengan
mengukur air yang hilang dalam produk tersebut. Sineresis dapat terjadi akibat
pengekerutan gel dan mengakibatkan bahan pangan melepaskan air (Kuncari et al.,
2014). Proses pembentukkan gel disebabkan oleh adanya pemanasan yang lebih
tinggi daripada suhu pembentukkan gel, sehingga terjadi perubahan polimer
menjadi gulungan acak. Ketika suhu semakin diturunkan maka polimer akan
berubah menjadi struktur double helix dan membentuk struktur gel yang kokoh
(Imeson, 2009). Namun terbentuknya agregat yang terus menerus pada suhu dingin
dapat menyebabkan gel semakin mengerut (shrinked) sehingga cenderung memeras
air keluar dalam sel. Sineresis yang semakin tinggi menandakan bahwa kekuatan
gel mulai mengalami kerusakan dan melemah. Imeson (2009) menyatakan bahwa
dari ketiga jenis karagenan, kappa, iota, dan lambda, hanya kappa karagenan yang
mengalami sineresis jika berada dalam bentuk gel. Faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya sineresis adalah suhu, nilai pH, tekanan mekanis, dan
konsentrasi fase terdispersi.
Tabel 5. Kecepatan Sinersis Selai Nanas Lembaran (24 jam)
Selai Nanas W0 (g) W1 (g) Sineresis
1 (karagenan 1%) 6,90 6,77 1,88%
2 (karagenan 1,5%) 6,20 4,95 20,16%
3 (karagenan 2%) 6,10 5,90 3,27%
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2019)
Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa nilai sineresis tertinggi
diperoleh pada selai dengan menggunakan karagenan 2% yaitu sebesar 20,16%
sedangkan nilai sineresis terendah diperoleh pada selai dengan menggunakan
karagenan 1% yaitu sebesar 1,88%. Alasan selai yang ditambahkan karagenan 2%
memiliki sineresisi paling tinggi karena saat di blender ditambahkan air sedangkan
2 sampel lain tidak menggunakan air ketika di blender sehingga selai yang
dihasilkan mengandungkadar air yang tinggi yang menyebabkan sineresis yang
dihasilkan besar. Sineresis yang terjadi dalam bahan pangan sangat berkaitan erat
dengan kekuatan gel. Terjadinya sineresis diakibatkan oleh tidak terikat kuatnya air
dalam komponen bahan pangan. Semakin tinggi nilai sineresis, maka kemampuan

16
bahan untuk mengikat air semakin rendah, yang menyebabkan air dalam produk
banyak keluar. Sebaliknya apabila nilai sineresis rendah, berarti kemampuan untuk
mengikat air semakin tinggi sehingga air yang keluar dari produk sedikit dan gel
yang terbentuk menjadi kuat (Imeson, 2009). Selain itu, dapat dilihat juga bahwa
pada ketiga sampel selai memiliki nilai sineresis yang cenderung meningkat pada
selang waktu 24 jam. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gaman & Sherrington
(1994) bahwa penyimpanan jelly yang terlalu lama dapat menyebabkan terjadinya
sineresis. Kemampuan gel pada karagenan akan menurun seiring dengan
penyimpanan jelly yang semakin lama. Berdasarkan penelitian Warani (2014)
bahwa perubahan pH yang terjadi selama penyimpanan jelly cenderung mengalami
penurunan. Penurunan pH inilah yang dapat menyebabkan polimer karagenan
terhidrolisis, yang mengakibatkan kehilangan kemampuan untuk mempertahankan
gel sehingga cenderung berpengaruh terhadap tekstur jelly yang dihasilkan. Hal ini
juga diperkuat oleh Winarno (1984) bahwa pH yang terlalu rendah dapat
menimbulkan sineresis dan menyebabkan tekstur jelly menjadi tidak kokoh.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa sineresis yang terjadi pada sampel
cukup tinggi. Peristiwa ini erat kaitannya dengan kadar air. Menurut Agustin &
Putri (2014) semakin banyaknya air yang ditambahkan dalam bahan pangan, maka
jaringan karagenan yang terbentuk tidak lagi kuat untuk menahan air sehingga
sineresis akan semakin tinggi. Sineresis gel dapat diperkecil dengan berbagai cara,
yaitu dengan penambahan karbomer lagi atau dengan bahan penstabil lain berupa
hidrokoloid atau polimer yang larut dalam air (Kuncari et al., 2014). Semakin tinggi
konsentrasi penggunaan karagenan maka nilai sineresis semakin menurun. Hal ini
dikarenakan semakin tinggi konsentrasi karagenan, maka struktur double helix
yang terbentuk semakin kuat sehingga dapat menangkap dan mengikat air dalam
gel. Dengan begitu molekul air dalam gel tidak mudah lepas dan dapat mengurangi
sineresis (Agustin & Putri, 2014).
4.4 Pengaruh Lama Pemanasan dan Konsentrasi Karagenan terhadap
Karakteristik Organoleptik Selai Nanas
Karakteristik organoleptik selai nanas diamati pada konsentrasi dan lama
pemanasan yang berbeda. Berikut adalah hasil pengamatan karakteristik
organoleptik selai nanas.

17
Tabel 6. Karakteristik Organoleptik Selai Nanas pada Berbagai Lama
Pemanasan dan Konsentrasi Karagenan
Kriteria Waktu Pemanasan (menit)
Sampel
Pengamatan 3 5 7
Kuning Kuning Kuning
Selai Nanas Warna
+ ++ +++
(karagenan
Kental Kental Kental
1%) Kekentalan
++ ++++ ++++++
Kuning Kuning Kuning
Selai Nanas Warna
+++ ++++ ++++
(karagenan
Kental Kental
1,5%) Kekentalan Kental +++++
+++ ++++
Kuning Kuning Kuning
Selai Nanas Warna
++ +++ +++
(karagenan
Kental Kental Kental
2%) Kekentalan
++ +++ ++++
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2019).
Tanda positif (+) pada pengamatan warna seperti yang tertera pada tabel di
atas menunjukkan tingkat kegelapan pada warna kuning yang dihasilkan, semakin
banyak tanda positif maka semakin gelap warna kuningnya. Berdasarkan tabel,
waktu pemanasan yang semakin lama akan membuat warna selai yang dihasilkan
semakin gelap. Hasil yang didapat ini sesuai dengan penelitian serupa dari Mawarni
dan Yuwono (2018) yang menyebutkan bahwa pemasakan selai yang semakin lama
akan menurunkan kecerahan warnanya. Warna yang semakin gelap ini diduga
disebabkan oleh pencoklatan non enzimatis yakni proses karamelisasi. Menurut
Fennema (1996), karamelisasi merupakan reaksi yang terjadi ketika sukrosa dan
gula-gula pereduksi tanpa senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen. Reaksi
karamelisasi dapat terjadi karena terdapat zat asam dalam jumlah kecil dan
beberapa jenis garam. Penggunaan gula yang tinggi, zat-zat asam yang terkandung
dalam buah nanas, serta penambahan asam sitrat mendukung terjadinya
karamelisasi pada sampel.
Berdasarkan tabel terlihat bahwa data warna yang didapat tidak konsisten
untuk perbedaan konsentrasi karagenan. Menurut Mawarni & Yuwono (2018),
penambahan karagenan seharusnya dapat menjaga warna selai yang dihasilkan.
Karagenan dapat mengurangi pencoklatan akibat degradasi vitamin C. Hal ini
karena karagenan memiliki kemampuan untuk membentuk koloid dengan struktur
double helix lebih banyak dan kuat sehingga oksidasi vitamin C terhambat.

18
Tanda positif pada pengamatan kekentalan menunjukkan tingkat
kekentalan, semakin banyak tanda positif semakin kental selai yang diamati.
Berdasarkan tabel, kekentalan selai semakin tinggi ketika waktu pemanasannya
semakin lama. Meningkatnya kekentalan diduga karena adanya kehilangan air
akibat pemanasan (penguapan) serta adanya beberapa agen pembentuk gel yang
terdapat pada sistem. Pengamatan dilakukan mulai 3 menit setelah tercapai suhu 90
o
C dalam keadaan tetap dipanaskan sehingga mungkin ada sebagian air yang
menguap. Hasil pengamatan tidak sesuai dengan pernyataan Bono, Anisuzzaman,
& Ding (2014) yang menyebutkan bahwa lama pemasakan akan menurunkan
viskositas dari gel karagenan. Selain karagenan yang ditambahkan, buah nanas
secara alami memiliki agen pembentuk gel yakni pektin. Ukiwe & Alinnor (2011)
yang mengekstrak pektin dari buah nanas menyebutkan bahwa kadar pektin yang
didapatkan dari ekstraksi tergantung dari pelarut organik yang digunakan namun
berkisar pada 0,1 sampai 3%.
Berdasarkan tabel, semakin tinggi konsentrasi karagenan yang ditambahkan
semakin rendah pula kekentalan selai yang didapat. Gustaw & Mleko (2003)
menyebutkan bahwa konsentrasi karagenan yang lebih tinggi memberikan
viskositas gel yang lebih tinggi. Pendapat ini dikemukakan berdasarkan penelitian
terhadap penambahan karagenan dan faktor lainnya pada gel isolat whey protein.
Hasil pengamatan tidak sesuai dengan pendapat tersebut diduga akibat banyaknya
faktor penentu viskositas suatu produk. Gustaw & Mleko (2003) menyebutkan
bahwa gaya yang diberikan ketika pengadukan juga mempengaruhi viskositas
produk yang dihasilkan.

19
V. ANGGARAN DAN JADWAL KEGIATAN

5.1 Anggaran Biaya


No. Bahan Jumlah Harga
1. Nanas 2 Buah Rp. 20.000
2. Gula 500 g Rp. 7.000
3. Asam Sitrat 1 bungkus @50 gr Rp. 2.500
4. Kertas Saring 1 lembar Rp. 20.000
Total Rp. 49.500

5.2 Jadwal Kegiatan


September Oktober November
No. Jenis Kegiatan
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Pembagian
kelompok
1. praktikum beserta
tema dan pembuatan
proposal awal
Pengumpulan
proposal lengkap
2.
dan revisi dari
asisten praktikum
3. Pengerjaan proposal
Presentasi proposal
hasil revisi ke-1 dan
4.
revisi dari dosen
pengampu
5. Pengerjaan proposal
Pengumpulan
6.
proposal revisi ke-2

20
September Oktober November
No. Jenis Kegiatan
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
kepada asisten
praktikum
Persiapan alat dan
7.
bahan praktikum
Pelaksanaan
8. praktikum dan
pengamatan
Penyusunan laporan
9.
praktikum
Pengumpulan
10.
laporan praktikum

21
VI. PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari praktikum project based ini adalah :
1. Mekanisme pembentukan gel pada pembuatan selai dipengaruhi oleh
penggunaan berbagai komponen yang ditambahkan seperti karagenan, asam
sitrat, gula, dan pektin yang menghasilkan tekstur gel yang didinginkan.
2. Berdasarkan literatur, peningkatan penggunaan karagenan pada selai nanas
dapat meningkatan jumlah total padatan terlarut. Namun dalam praktikum,
tidak didapatkan keselarasan dengan literatur. Dugaan paling besar yaitu
ketidakkonsistenan suhu dan waktu pemasakan pada setiap sampel yang
dibuat.
3. Konsentrasi karagenan yang semakin tinggi dapat mencegah terjadinya
sineresis dan dapat meningkatkan daya ikat gel sehingga tidak mudah
mengeluarkan air. Semakin lama penyimpanan, sineresis semakin tinggi
dikarenakan kemampuan karagenan dalam mengikat semakin rendah.
4. Konsentrasi karagenan dan lama pemasakan dapat mempengaruhi
karakteristik organolepik selai. Penggunaan karagenan pada konsentrasi
yang tepat serta lama pemasakan yang sesuai akan meningkatkan kualitas
pembentukan gel pada selai.

6.2 Saran
Sebaiknya pada praktikum project based telah dipersiapkan bahan dan juga
alat yang akan digunakan sebelum memulai praktikum, sehingga waktu praktikum
menjadi efektif dan tidak saling menunggu alat dari kelompok lain.

22
DAFTAR PUSTAKA

Ahuja, M., S. Singh, and A. Kumar. 2013. Evaluation of carboxymethyl gellan gum
as a mucoadhesive polymer. International Journal of Biological
Macromolecules. 53: 114–121.

Ali, B.H., A. Ziada, and G. Blunden. 2009. Biological effects of gum arabic: A
review of some recent research. Food and Chemical Toxicology 47: 1–8.

Alonso-Sande, M., A. des Rieux, Y.J. Schneider, C. Remuñán-López, M.J. Alonso,


and V. Préat, 2006. Uptake studies of chitosan and chitosan–glucomannan
nanoparticles in human intestinal FAE Model, in: Proceedings of 33rd
Meeting of the Controlled Release Society, Vienna.

Alonso-Sande, M., D. Teijeiro-Osorio, C. Remuñán-López, and M.J. Alonso. 2009.


Glucomannan, a promising polysaccharide for biopharmaceutical purposes.
European Journal of Pharmaceutics and Biopharmaceutics 72: 453–462.

Badan Standarisasi Nasional. (2008). SNI-3746-2008. Standar Persyaratan Mutu


Selai. Jakarta : Dewan Standarisasi Nasional.

Bejaj, I.B., S.A. Survase, P.S. Saudagar, and R.S. Singhal. 2007. Gellan gum:
fermentative production, downstreamprocessing and applications. Food
Technol. Biotechnol. 45 (4) 341–354.

BeMiller, J.N. 2011. Pasting, paste, and gel properties of starch– hydrocolloid
combinations. Carbohydrate Polymers 86: 386– 423

Bono, A., Anisuzzaman, S. M., & Ding, O. W. (2014). Effect of process conditions
on the gel viscosity and gel strength of semi-refined carrageenan (SRC)
produced from seaweed (Kappaphycus alvarezii). Journal of King Saud
University - Engineering Sciences, 26(1), 3–9.
https://doi.org/10.1016/j.jksues.2012.06.001

Bourtoom, T. 2008, Edible Film and Coating: Characteristic and Properties, Prince
of Songkhla University, Songkhla.

Cahyadi, W. 2008. Analisis dan Aspek Kesehatan. Bahan Tambahan Makanan,


Edisi kedua, Hal, 1-19.

Chattbar, M., R. Meena, K. Prasad, and A.K. Siddhanta. 2009. Microwave assisted
rapid method for hydrolysis of sodium alginate for M/G ratio determination.
Carbohydrate Polymers 76: 650–656.

Collar, C., P. Andreu, J.C. Martinez, and E. Armero. 1999. Optimization of


hydrocolloid addition to improve wheat bread dough functionality: a
response surface methodology study. Food Hydrocolloids. 13: 467–475.

23
Dewi, Ni Wayan V. S. (2018). Pengaruh Konsentrasi Karagenan dan Sukrosa
terhadap Sifat Fisik dan Organoleptik Selai Jambu Biji Merah (Psidium
guajava L.). Mataram : Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri,
Universitas Mataram.

Dickinson, E. 2003. Hydrocolloids at interfaces and the influencen on the properties


of dispersed systems. Food Hydrocolloids. 17, 25–39.

Dickinson, E. 2009. Hydrocolloids as emulsifiers and emulsion stabilizers. Food


Hydrocolloids. 23: 1473–1482.

Fachruddin, I. L. 1997. Teknologi Tepat Guna Membuat Aneka Selai. Kanisius.

Fanta, G.F., and D.D. Christianson. 1996. Starch–hydrocolloid composites


prepared by steam jet cooking. Food Hydrocolloids. 10: 173–178.

Farahnaky, A., N. Darabzadeh, M. Majzoobi, G.H. Mesbahi, E. Rezvani, and G.


Scleining. 2013. Production and rheological properties of locust bean gum
from iranian carob seeds. InsideFood Symposium. 9–12 April 2013,
Leuven, Belgium. 1–6.

Fardiaz, D. 1989. Hidrokoloid. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi,
Institut Pertanian Bogor. Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan.

Farris, S., K.M. Schaich, L. Liu, L. Piergiovanni, and K.L Yam. 2009. Development
of polyion-complex hydrogels as an alternative approach for the production
of bio-based polymers for food packaging applications: a review. Trends in
Food Science & Technology. 20(8): 316–332.

Fathmawati, D., M.R.P.A. Abidin, dan Roesyadi A. 2014. Studi kinetika


pembentukan karaginan dari rumput laut. Jurnal Teknik Pomits. Vol.
3(1).ISSN: 2337–3539.

Fennema, O. R. (Ed.). (1996). Food chemistry (3rd ed). New York: Marcel Dekker.

Fitrah, A.N. 2013. Formulasi Gel Pengharum Ruangan menggunakan Karagenan


dan Glukomanan dengan Pewangi Minyak Jeruk Purut dan Kenanga.
Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Funami, T. 2011. Next target for food hydrocolloid studies texture design of foods
using hydrocolloid technology. Food Hydrocolloids. 25: 1904–1914.

Garti, N., and D. Reichman. 1993. Hydrocolloids as food emulsifiers and


stabilizers. Food Microstructure 12: 411–426.

Glikcsman. 1983. Food Hydrocolloids. Volume I. Florida: CRC Press Boca Raton.
P 207.

24
Gomashe, A.V., P.G. Dharmik, and P.S. Fuke. 2013. Optimization and production
of Xanthomonas campestris NRRL-B-1449 from sugar beet molasses. The
International Journal Of Engineering And Science (IJES). 2(5): 52–55.

Grassino, A.N., B. Mladen, D.V. Topic, S. Roca, M. Dent, and S.R. Brnic. 2016.
Ultrasound assisted extraction and characterization of pectin fromtomato
waste. Food Chemistry. 198: 93–100.

Gustaw, W., & Mleko, S. (2003). THE EFFECT OF pH AND CARRAGEENAN


CONCENTRATION ON THE RHEOLOGICAL PROPERTIES OF
WHEY PROTEIN GELS. Polish Journal of Food and Nutrition Sciences,
12/53(4), 39–44.

Hamed, I., F. Ozogul, and J.M. Regenstein. 2016. Industrial applications of


crustacean by-products (chitin, chitosan, and chitooligosaccharides): A
review. Trends in Food Science & Technology 48: 40–50.

Hargreaves. 2003. Chemical formulation; an overview of surfactantbased


preparations used in everyday life. RSC Paperbacks. pp.119.

Harsanti, D. 2010. Sintesis dan Karakterisasi Boron Karbida dari Asam Borat,
Asam Sitrat dan Karbon Aktif. Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca,
11(1), 29-40.

Herawati, H., F. Kusnandar, D.R. Adawiyah, dan S. Budijanto. 2013. Teknologi


proses pembentukan butiran beras artifisial instan dengan metode ekstrusi.
Pangan. Media Komunikasi dan Informasi 22(4): 317–327.

Imeson, A. 2010. Food stabilisers. Thickeners and Gelling Agents: Wiley-


Blackwell.

Juwita, W., Herla, R., & Era, Y. 2014. Pengaruh Konsentrasi Pektin dan Karagenan
Terhadap Mutu Permen Jely Jahe. Jurnal rekayasa pangan dan pertanian,
2(2), 42-50.

Kumalasari, R, Ekafitri, R, dan Desnilasari, D. 2015. Pengaruh Bahan Penstabil dan


Perbandingan Bubur Buah terhadap Mutu Sari Buah Campuran Pepaya-
Nanas. J. Hort. Vol. 25 No. 3: 266-276

Mawarni, S. A., & Yuwono, S. S. (2018). Effect of Cooking Time and Carrageenan
Concentration on Physical, Chemical, and Organoleptic Properties of Mix
Fruit Sheet Jam (Starfruit and Apple).

Mawarni, S. A., & Yuwono, S. S. (2018). Effect of Cooking Time and Carrageenan
Concentration on Physical, Chemical, and Organoleptic Properties of Mix
Fruit Sheet Jam (Starfruit and Apple).

25
Muchtadi, T. R, dan Sugiyono. 2014. Prinsip Proses Dan Teknologi Pangan.
Bandung: ALVABETA

Pantastico, E. B. (1986). Fisiologi Pascapanen, Penanganan, dan Pemanfaatan


Buah-buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Subtropika. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.

Ramadhan, W., & Trilaksani, W. 2017. Formulasi hidrokolid-agar, sukrosa dan


acidulant pada pengembangan produk selai lembaran. JPHPI, 20 (1), 95-
108.

Solechan dan Irma S. 2005. Mempelajari Formulasi Pembuatan Selai Lembaran


Nanas dan Sirsak. Jurnal Warta IHP. Vol 22 (1), 44-53.

Ukiwe, L. N., & Alinnor, J. I. (2011). Extraction of Pectin from Pineapple (Ananas
comosus) Peel using Inorganic/Organic Acids and Aluminum Chloride. 4.

Winarno, F. G. 1997. Food chemistry and nutrition. Gramedia Pustaka Utama Ltd.,
Jakarta.

26
LAMPIRAN

Gambar 5. Hasil Selai Nanas


dengan Karagenan 1%, 1.5%, dan
Gambar 3. Hasil Penghalusan 2%
Buah Nanas (Sumber : Dokumentasi Pribadi,
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2019)
2019)

Gambar 4. Pemasakan Slurry


Nanas, Karagenan, dan Asam
Sitrat
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, Gambar 6. Penimbangan
2019) Pengamatan Sineresis
(Sumber : Dokumentasi Pribadi,
2019)

27

Anda mungkin juga menyukai