Disusun oleh:
Kelompok 1
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PANGAN
JATINANGOR, SUMEDANG
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan terhadap kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena berkat rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
”Mekanisme Terbentuknya Gel pada Selai Nanas” ini tepat pada waktunya.
Makalah ini disusun untuk menambah wawasan penulis dan pembaca.
Penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak oleh karena itu
kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan makalah ini, terkhusus Yth. dosen Hidrokoloid yang telah
memberikan bekal materi pengetahuan dan moral untuk kami serta kepada Asisten
Laboratorium yang telah memberi arahan selama praktikum berlangsung. Kami
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami mohon
maaf atas keterbatasann kami, serta kami mengharapkan saran dan kritik yang
bersifat membangun guna kesempurnaan makalah ini. Terimakasih.
i
DAFTAR ISI
ii
5.2 Jadwal Kegiatan ................................................................................... 20
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Jenis Hidrokoloid, sumber bahan baku dan bagian yang dapat
dimanfaatkan………………………………………………………………….....4
Tabel 2. Formula Selai Nanas pada Berbagai Konsentrasi Karagenan…….10
Tabel 3. Pembuatan Selai Nanas........................................................................12
Tabel 4. Total Padatan Terlarut Selai Nanas Lembaran…………………….15
Tabel 5. Kecepatan Sinersis Selai Nanas Lembaran (24 jam)………………16
Tabel 6. Karakteristik Organoleptik Selai Nanas pada Berbagai Lama
Pemanasan dan Konsentrasi Karagenan……………………………………...18
iv
DAFTAR GAMBAR
v
I. PENDAHULUAN
1
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hidrokoloid
Hidrokoloid merupakan komponen polimer yang berasal dari sayuran,
hewan, mikroba atau komponen sintetik yang umumnya mengandung gugus
hidroksil. Komponen polimer ini dapat larut dalam air, mampu membentuk
koloid, dan dapat mengentalkan atau membentuk gel dari suatu larutan.
Berdasarkan karakteristik yang dimiliki, hidrokoloid dimanfaatkan sebagai
pembentuk gel, pengental, emulsifier, perekat, penstabil, dan pembentuk lapisan
film. Hidrokoloid dapat dikelompokkan berdasarkan sumber bahan baku, yaitu
hidrokoloid yang dapat diperoleh secara alami dari alam, hidrokoloid
termodifikasi, dan hidrokoloid sintetis. Menurut Funami (2011), hidrokoloid
dapat diperoleh dari tanaman, hewan, dan mikroba. Beberapa bagian tanaman
yang dapat dimanfaatkan di antaranya biji, buah, akar, dan ekstrudat tanaman
maupun pulp. Lebih lanjut, Li dan Nie (2016) mengklasifikasi hidrokoloid
berdasarkan sumber bahan baku dan struktur kimia. Teknologi proses ekstraksi
terus diteliti dan dikembangkan untuk menghasilkan hidrokoloid secara optimal
dengan tingkat kemurnian yang lebih tinggi. Ekstraksi dapat dilakukan secara
fisik, kimiawi, biokimiawi maupun kombinasinya untuk menghasilkan produk
yang bermutu tinggi. Secara fisik, perlakuan ekstraksi dapat menggunakan suhu
tinggi, sonikasi maupun gelombang pendek (Lin dan Huang 2008; Razavi et al.
2009; Chattbar et al. 2009).
Ekstraksi secara kimiawai dapat menggunakan pelarut asam maupun
basa, sedangkan secara biokimiawi dapat menggunakan enzim (Hamed et al.
2016). Hidrokoloid dapat digunakan sebagai bahan tambahan yang berfungsi
memperbaiki kualitas produk pangan. Hal ini terkait dengan kemampuan
hidrokoloid menyerap air dengan mudah dan membentuk gel. Kemampuan
tersebut juga dapat dimanfaatkan dan diimplementasikan dalam pembutan produk
nonpangan, di antaranya produk farmasi, pelapis yang dapat dimakan (edible
film), bioplastik, dan bahan perekat.
Hingga saat ini kebutuhan hirdokolid di dalam negeri masih diimpor.
Sebenarya Indonesia memiliki sumber hidrokoloid yang potensial, di antaranya
2
dari tanaman dan rumput laut. Pemanfaatan hidrokoloid yang tersedia secara
optimal diharapkan menurunkan ketergantungan impor produk polimer tersebut.
Naskah ini menelaah jenis hidrokoloid, sumber bahan baku, karakteristik, dan
pemanfaatannya sebagai produk pangan dan nonpangan. Salah satu peluang
pemanfaatan yang cukup potensial di Indonesia adalah sebagai bahan tambahan
pangan dan nonpangan, terutama untuk stabilisasi dan thickening agent. Namun
konsentrasi hidrokoloid dalam produk pangan tambahan harus sesuai standar agar
tidak menimbulkan masalah bagi kesehatan konsumen
3
Rumput laut merah adalah sumber hidrokoloid agar dan karagenan, sedangkan
rumput laut cokelat merupakan sumber hidrokoloid alginat. Dalam pemanfaatan
dan ekstraksi lebih lanjut, alginat dapat mengalami proses reaksi dengan pelarut
kimia lainnya untuk menghasilkan kalsium alginat maupun natrium alginat.
Hidrokoloid juga dapat diperoleh dari hasil metabolit mikroba, di antaranya
xanthan gum yang merupakan metabolit bakteri Xanthomonas campestris.
Selulosa juga merupakan sumber hidrokoloid dari bakteri Acetobacter xylinum.
Ekstraksi hidrokoloid dari mikroba cukup potensial dikembangkan.
Tabel 1. Jenis Hidrokoloid, sumber bahan baku dan bagian yang dapat
dimanfaatkan
2.2 Gel
Gel umumnya merupakan suatu sediaan semi padat yang, jernih, tembus
cahaya, dan mengandung zat aktif, merupakan dispersi koloid mempunyai
kekuatan yang disebabkan oleh jaringan yang saling berikatan pada fase
terdispersi (Ansel, 1989).
Zat zat pembentuk gel digunakan sebagai pengikat dalam granulasi, koloid
pelindung dalam suspensi, pengental untuk sediaan oral dan sebagai basis
supositoria. Secara luas sediaan gel banyak digunakan pada produk obat obatan,
kosmetik dan makanan juga pada beberapa proses industri. Pada kosmetik yaitu
sebagai sediaan untuk perawatan kulit, sampo, sediaan pewangi dan pasta gigi
(Herdiana, 2007).
Fardiaz (1989) mengemukakan pembentukan gel adalah fenomena
penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga terbentuk
4
jala tiga dimensi bersambung. Selanjutnya, jala menangkap atau
mengimobilisasikan air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku.
Sifat pembentukan gel ini beragam dari suatu jenis hidrokoloid ke jenis lainnya,
bergantung pada jenisnya. Gel mempunyai sifat seperti padatan, khususnya
elastisitas dan kekakuan. Mekanisme pembentukan gel secara garis besar
dijabarkan Funami (2011) sebagaimana disajikan pada Gambar 1.
5
ditambahkan atau berada dalam campuran hidrokoloid akan terjerembab dalam
struktur ikatan hidrokoloid (Gambar 1). Mekanisme pembentukan ikatan
antarpilin ganda juga dipengaruhi oleh jenis hidrokoloid.
2.3 Selai
Salah satu pangan semi basah berbahan dasar buah yang makin diminati
adalah selai buah. Selai yang beredar di pasaran berupa selai oles dengan kemasan
menarik namun kurang praktis dalam penyajiannya. Salah satu alternatif supaya
selai oles lebih praktis adalah menjadikannya selai, yaitu pemanfaatan buah
menjadi produk selai dapat meningkatkan nilai ekonomi buah dan umur simpan
produk tersebut. Buah-buahan yang biasa diolah menjadi selai lembaran
cenderung mengandung serat yang tinggi (Yeni, 1995). Serat menjadi salah satu
komponen yang dapat mempengaruhi kualitas dari selai lembaran, di samping
serat ada juga pektin dan asam. Ketiga komponen tersebut akan berpengaruh pada
selai lembaran yang dihasilkan (Darmawan, 2013).
Buatan selai adalah mengenai konsentrasi jenis hidrokoloid, karena
apabila konsentrasinya kurang akan menyebabkan tekstur selai terlalu lunak dan
tidak bisa dibentuk menjadi lembaran, namun apabila konsentrasinya berlebih
akan menyebabkan tekstur selai terlalu kaku. Pada penelitian ini dilakukan
pembuatan selai dari buah nanas dengan penambahan hidrokoloid berupa agar-
agar dan karagenan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi agar-
agar dan karagenan terhadap karakteristik fisik, kimia dan sensori, serta
menentukan karakteristik selai lembaran terbaik
2.4 Karagenan
Karagenan merupakan produk olahan rumput laut merah Indonesia yang
mengandung natrium, magnesium, dan kalsium yang dapat terikat pada gugus
ester sulfat dari galaktosa dan kopolimer 3,6-anhydro-galaktosa. Karagenan
banyak digunakan pada sediaan makanan, farmasi dan kosmetik sebagai bahan
pembuat gel, pengental atau penstabil. Karagenan dapat diekstraksi dari protein
dan lignin rumput laut dan dapat digunakan dalam industri pangan karena
6
karakteristiknya yang dapat berbentuk geli, bersifat mengentalkan, dan
menstabilkan material utamanya.
Dari beberapa manfaat yang telah disampaikan, banyak peneliti yang
menggunakan karagenan dalam penelitiannya. Seperti karagenan yang digunakan
dalam meningkatkan kualitas yogurt. Karagenan yang ditambahkan berfungsi
sebagai bahan penstabil. Menurut Helferich, W., et. Al, kestabilan yoghurt dilihat
dari tidak terjadinya kerusakan yoghurt berupa wheying off atau terjadi sineresis.
Kerusakan yogurt ini dapat dicegah dengan menambahkan bahan penstabil. Bahan
penstabil ini berguna untuk meningkatkan dan mempertahankan sifat
karakteristik yoghurt yang diinginkan, seperti kekentalan, konsistensi,
penampakan, dan rasa yang khas. Peranan utama dari bahan penstabil terdiri atas
dua tahap, yaitu pertama pengikatan air, dan yang kedua meningkatkan
kekentalan yoghurt. Bahan penstabil yang sesuai digunakan untuk yogurt adalah
bahan yang mempunyai sifat tidak mengeluarkan flavour lain, efektif pada pH
rendah dan dapat terdispersi dengan baik. Dilihat dari sifat – sifat diatas maka
karagenan dapat digunakan sebagai bahan penstabil yogurt. Hasilnya semakin
tinggi konsentrasi karagenan yang ditambahkan dapat menurunkan kadar air.
Penurunan kadar air oleh karagenan disebabkan oleh kemampuan karagenan
mengikat air pada yoghurt.
Selain digunakan sebagai bahan penstabil karaganenan juga dapat
digunakan sebagai bahan pembuatan jelly. Penelitian yang dilakukan oleh
Susinggih Wijana adalah membuat permen jelly dari nanas. Nanas memiliki kadar
pektin yang rendah namun tingkat keasaman yang cukup untuk pembentukan gel
pada permen jelly (Albrecht, 2010). Karena kadar pektin yang rendah, maka perlu
ditambahkan bahan pembentuk gel untuk dapat membuat permen jelly dari buah
nanas. Karagenan merupakan salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai
bahan pembentukan jelly. Tetapi karena karagenan memiliki kelemahan yaitu gel
yang dibentuk memiliki tekstur yang rapuh dan kurang elastis. Maka perlu
ditambah bahan lain yaitu gelatin yang berfungsi sama seperti karagenan.
Aplikasi lainnya adalah karagenan sebagai emulsifier, Egi Lukiasa
menggunakan karagenan sebagai emulsifier untuk pembuatan sosis tengiri. Sosis
merupakan produk emulsi daging yang ditambahkan bahan pengisi, bahan
7
pengikat dan bumbu-bumbu untuk meningkatkan flavor dan daya terima. Masalah
yang sering timbul dalam pembuatan produk emulsi adalah tidak stabilnya sistem
emulsi adonan. Hal ini mengakibatkan pecahnya sistem emulsi pada saat
pengolahan dan penyimpanan. Upaya pencegahan agar sistem emulsi tersebut
tidak pecah dan tahan lama adalah penambahan emulsifier. Emulsifier merupakan
zat di mana dapat menjaga kesetabilan suatu produk.
Oleh karena itu, perlu penambahan emulsifier pada proses pengolahan
sosis ikan Tenggiri agar adonan memiliki stabilitas yang baik. Salah satu
emulsifier adalah karagenan. Menurut Aryanti (2005), salah satu bahan pengikat
alam yang dapat digunakan yaitu karagenan. Hasilnya, karagenan dapat
digunakan untuk meningkatkan kestabilan bahan pangan baik yang berbentuk
suspensi, emulsi (dispersi dalam cairan). Karagenan dapat meningkatkan emulsi
daging dengan cara mengikat air yang terdapat dalam network (jaringan) protein
dan kemampuannya dikatakan lebih baik daripada interaksi
kimia antara air dengan protein.
8
III. METODOLOGI
3.1. Alat
Alat yang digunakan pada saat praktikum adalah sebagai berikut:
1. Blender
2. Gelas ukur
3. Kompor gas
4. Neraca
5. Panci
6. Pisau
7. Refraktometer
8. Refrigerator
9. Sendok
10. Spatula
11. Tabung sentrifugasi (Peganti corong)
12. Talenan
13. Wadah-wadah (mangkok, baskom, dll.)
3.2. Bahan
Bahan yang digunakan pada saat praktikum adalah sebagai berikut:
1. Air
2. Asam sitrat
3. Gula pasir
4. Karagenan
5. Kertas saring
9
3.3. Prosedur
Pelaksanaan praktikum project based meliputi pembuatan sampel dan
pengamatan. Sampel yang dibuat adalah selai nanas dengan konsentrasi karagenan
1%, 1,5%, dan 2% (Mawarni & Yuwono, 2018). Pengamatan dilakukan terhadap
karakteristik organoleptik meliputi warna dan kekentalan pada 3 menit, 5 menit,
dan 7 menit saat pemasakan telah mencapai suhu 90 oC. Pengamatan juga
dilakukan terhadap total solid menggunakan hand refractometer dan kestabilan
gel selai nanas terhadap sineresis.
3.3.1. Prosedur Pembuatan Selai Nanas
1. Buah nanas dikupas, dibuang bagian tengahnya, dicuci, dan dikecilkan
ukurannya sampai kira-kira memungkinkan untuk dihancurkan
menggunakan blender.
2. Buah nanas dihancurkan menggunakan blender sehingga didapat puree
nanas.
3. Bahan-bahan seperti puree nanas, gula (55%), karagenan, dan asam sitrat
(0,3%) ditimbang sesuai dengan perlakuan. Perbedaan perlakuan
dilakukan terhadap konsentrasi karagenan yang ditambahkan. Berikut
adalah formula yang digunakan untuk membuat selai nanas pada masing-
masing perlakuan:
Tabel 2. Formula Selai Nanas pada Berbagai Konsentrasi Karagenan
Perlakuan
Bahan
Karagenan 1% Karagenan 1,5% Karagenan 2%
Puree Nanas (g) 190,00 256 236,00
Gula (g) 104,50 140,8 130,00
Karagenan (g) 1,90 3,84 4,72
Asam sitrat (g) 0,570 0,768 0,708
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2019)
4. Semua bahan dicampurkan hingga rata kemudian dipanaskan di atas wajan
dan kompor gas.
5. Ketika campuran mencapai suhu 90 oC, dilakukan pengamatan
karakteristik organoleptik berupa warna dan kekentalan. Pengamatan
dilakukan pada 3 menit, 5 menit, dan 7 menit setelah tercapai suhu 90 oC
dalam keadaan tetap dipanaskan.
10
6. Setelah 7 menit pemasakan, selai nanas dimasukan ke dalam wadah dan
didiamkan hingga dingin.
7. Dilakukan pengamatan terhadap total solid menggunakan hand
refractometer dan kestabilan gel selai nanas terhadap sineresis.
Nanas (±200g)
Pengecilan ukuran
Selai
11
IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
12
dibutuhkan untuk pembentukan gel pada selai berkisar antara 0,75-1,5%
(Fachruddin L., 1997). Buah nanas yang matang akan mempunyai rasa yang manis
dan sedikit asam. Kandungan gula yang terdapat pada buah nanas berkisar antara
7,2-8,1 obrix (Kumalasari et al., 2015).
Proses pembuatan selai secara umum terdiri dari persiapan bahan, proses
pemasakan, dan pencetakan ke dalam wadah atau jar (Solechan & Irma, 2005).
Pembuatan selai nanas pada penelitian ini diawali dengan pengupasan dan
pembuangan biji nanas. Kemudian buah nanas dihancurkan dengan menggunakan
blender. Setelah nanas dihaluskan, bubur buah ditambahkan dengan gula pasir
sebanyak 55% dan dilakukan pemasakan selama 7 menit. Gula ditambahkan pada
selai oles berfungsi untuk meningkatkan rasa dan aroma, memperpanjang umur
simpan, dan menambah sumber kalori tubuh (Cahyadi, 2008). Gula yang
ditambahkan pada selai oles ini sebanyak 55% termasuk dalam konsentrasi gula
pada selai oles yang mencapai 55-65%. Penambahan gula pada selai akan membuat
tekstur menjadi lebih kompak. Penambahan gula dengan konsentrasi yang tinggi
akan mengganggu kestabilan adonan selai oles, karena selama proses pemasakan
gugus hidroksil yang dimiliki oleh karagenan membentuk ikatan hidrogen. Ikatan
hidrogen tersebut akan menyebabkan folding dan membentuk heliks (Ramadhan &
Trilaksani, 2017).
Pemasakan berfungsi untuk melarutkan gula yang ditambahkan pada
produk. Selain untuk melarutkan gula, pemanasan berfungsi untuk menguapkan air
yang terdapat pada bubur buah sehingga akan menyebabkan kadar gula yang
terdapat pada selai menjadi meningkat. Pemasakan bubur buah yang terlalu lama
akan menyebabkan aroma asli dari buah akan hilang dan warna pada buah akan
berubah menjadi lebih gelap (Solechan & Irma, 2005). Pemasakan bubur buah yang
kurang akan menyebabkan air yang terdapat dalam bubur buah tidak teruapkan
sehingga akan menghasilkan bubur buah yang terlalu encer dan tidak dapat
membentuk tekstur selai oles yang baik (Solechan & Irma, 2005).
Konsentrasi karagenan yang ditambahkan pada selai oles nanas yaitu 1%,
1,5% dan 2%. Semua jenis karagenan akan larut ke dalam air panas suhu 50 – 80oC
karena pada suhu tersebut karagenan akan mengalami hidrasi (Cahyadi, 2008).
Kappa karagenan dimasukkan dalam bubur buah dan dilakukan pemanasan dan
13
pengadukan dengan kecepatan sedang hingga merata. Pengadukan yang terlalu
cepat akan menyebabkan gelembung udara yang masuk ke dalam bubur buah
meningkat sehingga akan merusak tekstur selai oles dan bentuk fisik dari selai oles
(Solechan & Irma, 2005). Pengadukan yang terlalu lambat akan menyebabkan
porositas gel menjadi mudah rapuh sehingga tekstur selai oles menjadi tidak
kompak (Ramadhan & Trilaksani, 2017).
Asam sitrat ditambahkan ke dalam bubur buah sebanyak 0,2%. Asam sitrat
yang ditambahkan tanpa dilarutkan ke dalam air karena asam sitrat bersifat polar
(Harsanti, 2010). Penambahan asam sitrat yang berlebih akan menyebabkan
kenampakan fisik yang tidak diharapkan, karena gel yang terbentuk pada selai oles
akan mengalami sineresis (Ramadhan & Trilaksani, 2017). Sineresis adalah suatu
kondisi ketika air keluar dari gel sehingga mengakibatkan struktur gel pada selai
oles rapat dan mengkerut (Imeson, 2010). Batas maksimum penggunaan asam sitrat
pada selai oles yaitu secukupnya hingga pH selai oles mencapai 2,8 - 3,5 (Cahyadi,
2008).
Selai yang sangat viskos disebabkan karena struktur tiga dimensi yang
terdapat pada rantai molekul karagenan. Semakin luas pembentukan struktur tiga
dimensi, maka akan meningkatkan nilai kekerasan pada selai. Cara kerja
terbentuknya struktur tiga dimensi pada selai akan terjadi pada saat karagenan
dilarutkan dalam slurry. Pada saat karagenan dicampurkan dengan air panas di atas
suhu 50oC akan mengakibatkan polimer yang terdapat pada karagenan akan
bergerak secara acak. Pada saat karagenan mengalami penurunan suhu akan
membentuk struktur tiga dimensi. Pada saat karagenan mengalami penurunan suhu
yang berlangsung secara terus menerus akan menyebabkan polimer pada karagenan
terikat secara kuat dan jumlah struktur tiga dimensi bertambah, sehingga akan
membentuk agregat yang menyebabkan pembentukan gel semakin kuat (Juwita et
al, 2014).
4.2 Total Padatan Terlarut Selai Nanas Lembaran
Total padatan terlarut menjadi salah satu kriteria mutu dalam produk selai
buah. Menurut SNI 01-3746-2008 syarat mutu selai buah pada total padatan terlarut
minimal 65% (b/b). Dalam percobaan kali ini dilakukan pengukuran total padatan
14
terlarut selai lembaran menggunakan alat refraktometer. Berikut merupakan hasil
pengukurannya :
Tabel 4. Total Padatan Terlarut Selai Nanas Lembaran
Selai Nanas TS (%)
1 (karagenan 1%) 69,9
2 (karagenan 1,5%) 75,6
3 (karagenan 2%) 66,5
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2019)
Berdasarkan tabel 2, total padatan terlaut paling tinggi yaitu pada selai nanas
lembaran dengan penambahan karagenan 1,5%. Sedangkan jumlah padatan terlarut
terendah yaitu pada selai nanas lembaran dengan penambahan karagenan sebesar
2%. Berdasarkan penelitian Dewi (2018), penambahan konsentrasi karagenan
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap total padatan terlarut pada selai
jambu biji merah. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi penambahan
karagenan yang digunakan maka total padatan terlarutnya yang dihasilkan akan
semakin meningkat. Total padatan terlarut pada selai jambu biji merah yang
tertinggi dihasilkan pada konsentrasi karagenan 2% dan sukrosa 65% yaitu 50,00
ºBrix, sedangkan total padatan terlarut yang terendah dihasilkan pada konsentrasi
karagenan 0% dan sukrosa 60% yaitu 45,00 ºBrix.
Terjadinya peningkatan total padatan terlarut disebabkan karena karagenan
dapat menstabilkan bahan dalam bentuk suspensi yang dapat mengikat gula-gula
dan karagenan merupakan jenis polisakarida yang dapat terurai menjadi gula
pereduksi, sehingga meningkatkan total padatan terlarut bahan. Dalam kasus
praktikum kali ini, peningkatan penggunaan karagenan tidak menunjukan
perubahan yang signifikan terhadap total padatan terlarut selai nanas lembaran. Hal
ini dapat terjadi akibat berbagai hal terutama pada proses pemasakan. Kombinasi
antara suhu dan waktu pemanasan sangat mempengaruhi total padatan suatu bahan.
Semakin lama waktu dan semakin tinggi suhu pemasakan/pemanasan,
menyebabkan putusnya senyawa-senyawa karbohidrat menjadi senyawa yang lebih
sederhana yaitu gula yang bersifat lebih larut (Pantastico, 1986). Diduga sampel
selai nanas yang dibuat selama praktikum memiliki waktu dan suhu pemasakan
yang berbeda-beda. Sehingga dibutuhkan pengujian lebih lanjut sehingga data yang
dihasilkan lebih akurat dan dapat dipertanggung jawabkan.
15
4.3 Sineresis
Uji sineresis pada produk selai nanas dilakukan selama 24 jam dengan
mengukur air yang hilang dalam produk tersebut. Sineresis dapat terjadi akibat
pengekerutan gel dan mengakibatkan bahan pangan melepaskan air (Kuncari et al.,
2014). Proses pembentukkan gel disebabkan oleh adanya pemanasan yang lebih
tinggi daripada suhu pembentukkan gel, sehingga terjadi perubahan polimer
menjadi gulungan acak. Ketika suhu semakin diturunkan maka polimer akan
berubah menjadi struktur double helix dan membentuk struktur gel yang kokoh
(Imeson, 2009). Namun terbentuknya agregat yang terus menerus pada suhu dingin
dapat menyebabkan gel semakin mengerut (shrinked) sehingga cenderung memeras
air keluar dalam sel. Sineresis yang semakin tinggi menandakan bahwa kekuatan
gel mulai mengalami kerusakan dan melemah. Imeson (2009) menyatakan bahwa
dari ketiga jenis karagenan, kappa, iota, dan lambda, hanya kappa karagenan yang
mengalami sineresis jika berada dalam bentuk gel. Faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya sineresis adalah suhu, nilai pH, tekanan mekanis, dan
konsentrasi fase terdispersi.
Tabel 5. Kecepatan Sinersis Selai Nanas Lembaran (24 jam)
Selai Nanas W0 (g) W1 (g) Sineresis
1 (karagenan 1%) 6,90 6,77 1,88%
2 (karagenan 1,5%) 6,20 4,95 20,16%
3 (karagenan 2%) 6,10 5,90 3,27%
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2019)
Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa nilai sineresis tertinggi
diperoleh pada selai dengan menggunakan karagenan 2% yaitu sebesar 20,16%
sedangkan nilai sineresis terendah diperoleh pada selai dengan menggunakan
karagenan 1% yaitu sebesar 1,88%. Alasan selai yang ditambahkan karagenan 2%
memiliki sineresisi paling tinggi karena saat di blender ditambahkan air sedangkan
2 sampel lain tidak menggunakan air ketika di blender sehingga selai yang
dihasilkan mengandungkadar air yang tinggi yang menyebabkan sineresis yang
dihasilkan besar. Sineresis yang terjadi dalam bahan pangan sangat berkaitan erat
dengan kekuatan gel. Terjadinya sineresis diakibatkan oleh tidak terikat kuatnya air
dalam komponen bahan pangan. Semakin tinggi nilai sineresis, maka kemampuan
16
bahan untuk mengikat air semakin rendah, yang menyebabkan air dalam produk
banyak keluar. Sebaliknya apabila nilai sineresis rendah, berarti kemampuan untuk
mengikat air semakin tinggi sehingga air yang keluar dari produk sedikit dan gel
yang terbentuk menjadi kuat (Imeson, 2009). Selain itu, dapat dilihat juga bahwa
pada ketiga sampel selai memiliki nilai sineresis yang cenderung meningkat pada
selang waktu 24 jam. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gaman & Sherrington
(1994) bahwa penyimpanan jelly yang terlalu lama dapat menyebabkan terjadinya
sineresis. Kemampuan gel pada karagenan akan menurun seiring dengan
penyimpanan jelly yang semakin lama. Berdasarkan penelitian Warani (2014)
bahwa perubahan pH yang terjadi selama penyimpanan jelly cenderung mengalami
penurunan. Penurunan pH inilah yang dapat menyebabkan polimer karagenan
terhidrolisis, yang mengakibatkan kehilangan kemampuan untuk mempertahankan
gel sehingga cenderung berpengaruh terhadap tekstur jelly yang dihasilkan. Hal ini
juga diperkuat oleh Winarno (1984) bahwa pH yang terlalu rendah dapat
menimbulkan sineresis dan menyebabkan tekstur jelly menjadi tidak kokoh.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa sineresis yang terjadi pada sampel
cukup tinggi. Peristiwa ini erat kaitannya dengan kadar air. Menurut Agustin &
Putri (2014) semakin banyaknya air yang ditambahkan dalam bahan pangan, maka
jaringan karagenan yang terbentuk tidak lagi kuat untuk menahan air sehingga
sineresis akan semakin tinggi. Sineresis gel dapat diperkecil dengan berbagai cara,
yaitu dengan penambahan karbomer lagi atau dengan bahan penstabil lain berupa
hidrokoloid atau polimer yang larut dalam air (Kuncari et al., 2014). Semakin tinggi
konsentrasi penggunaan karagenan maka nilai sineresis semakin menurun. Hal ini
dikarenakan semakin tinggi konsentrasi karagenan, maka struktur double helix
yang terbentuk semakin kuat sehingga dapat menangkap dan mengikat air dalam
gel. Dengan begitu molekul air dalam gel tidak mudah lepas dan dapat mengurangi
sineresis (Agustin & Putri, 2014).
4.4 Pengaruh Lama Pemanasan dan Konsentrasi Karagenan terhadap
Karakteristik Organoleptik Selai Nanas
Karakteristik organoleptik selai nanas diamati pada konsentrasi dan lama
pemanasan yang berbeda. Berikut adalah hasil pengamatan karakteristik
organoleptik selai nanas.
17
Tabel 6. Karakteristik Organoleptik Selai Nanas pada Berbagai Lama
Pemanasan dan Konsentrasi Karagenan
Kriteria Waktu Pemanasan (menit)
Sampel
Pengamatan 3 5 7
Kuning Kuning Kuning
Selai Nanas Warna
+ ++ +++
(karagenan
Kental Kental Kental
1%) Kekentalan
++ ++++ ++++++
Kuning Kuning Kuning
Selai Nanas Warna
+++ ++++ ++++
(karagenan
Kental Kental
1,5%) Kekentalan Kental +++++
+++ ++++
Kuning Kuning Kuning
Selai Nanas Warna
++ +++ +++
(karagenan
Kental Kental Kental
2%) Kekentalan
++ +++ ++++
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2019).
Tanda positif (+) pada pengamatan warna seperti yang tertera pada tabel di
atas menunjukkan tingkat kegelapan pada warna kuning yang dihasilkan, semakin
banyak tanda positif maka semakin gelap warna kuningnya. Berdasarkan tabel,
waktu pemanasan yang semakin lama akan membuat warna selai yang dihasilkan
semakin gelap. Hasil yang didapat ini sesuai dengan penelitian serupa dari Mawarni
dan Yuwono (2018) yang menyebutkan bahwa pemasakan selai yang semakin lama
akan menurunkan kecerahan warnanya. Warna yang semakin gelap ini diduga
disebabkan oleh pencoklatan non enzimatis yakni proses karamelisasi. Menurut
Fennema (1996), karamelisasi merupakan reaksi yang terjadi ketika sukrosa dan
gula-gula pereduksi tanpa senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen. Reaksi
karamelisasi dapat terjadi karena terdapat zat asam dalam jumlah kecil dan
beberapa jenis garam. Penggunaan gula yang tinggi, zat-zat asam yang terkandung
dalam buah nanas, serta penambahan asam sitrat mendukung terjadinya
karamelisasi pada sampel.
Berdasarkan tabel terlihat bahwa data warna yang didapat tidak konsisten
untuk perbedaan konsentrasi karagenan. Menurut Mawarni & Yuwono (2018),
penambahan karagenan seharusnya dapat menjaga warna selai yang dihasilkan.
Karagenan dapat mengurangi pencoklatan akibat degradasi vitamin C. Hal ini
karena karagenan memiliki kemampuan untuk membentuk koloid dengan struktur
double helix lebih banyak dan kuat sehingga oksidasi vitamin C terhambat.
18
Tanda positif pada pengamatan kekentalan menunjukkan tingkat
kekentalan, semakin banyak tanda positif semakin kental selai yang diamati.
Berdasarkan tabel, kekentalan selai semakin tinggi ketika waktu pemanasannya
semakin lama. Meningkatnya kekentalan diduga karena adanya kehilangan air
akibat pemanasan (penguapan) serta adanya beberapa agen pembentuk gel yang
terdapat pada sistem. Pengamatan dilakukan mulai 3 menit setelah tercapai suhu 90
o
C dalam keadaan tetap dipanaskan sehingga mungkin ada sebagian air yang
menguap. Hasil pengamatan tidak sesuai dengan pernyataan Bono, Anisuzzaman,
& Ding (2014) yang menyebutkan bahwa lama pemasakan akan menurunkan
viskositas dari gel karagenan. Selain karagenan yang ditambahkan, buah nanas
secara alami memiliki agen pembentuk gel yakni pektin. Ukiwe & Alinnor (2011)
yang mengekstrak pektin dari buah nanas menyebutkan bahwa kadar pektin yang
didapatkan dari ekstraksi tergantung dari pelarut organik yang digunakan namun
berkisar pada 0,1 sampai 3%.
Berdasarkan tabel, semakin tinggi konsentrasi karagenan yang ditambahkan
semakin rendah pula kekentalan selai yang didapat. Gustaw & Mleko (2003)
menyebutkan bahwa konsentrasi karagenan yang lebih tinggi memberikan
viskositas gel yang lebih tinggi. Pendapat ini dikemukakan berdasarkan penelitian
terhadap penambahan karagenan dan faktor lainnya pada gel isolat whey protein.
Hasil pengamatan tidak sesuai dengan pendapat tersebut diduga akibat banyaknya
faktor penentu viskositas suatu produk. Gustaw & Mleko (2003) menyebutkan
bahwa gaya yang diberikan ketika pengadukan juga mempengaruhi viskositas
produk yang dihasilkan.
19
V. ANGGARAN DAN JADWAL KEGIATAN
20
September Oktober November
No. Jenis Kegiatan
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
kepada asisten
praktikum
Persiapan alat dan
7.
bahan praktikum
Pelaksanaan
8. praktikum dan
pengamatan
Penyusunan laporan
9.
praktikum
Pengumpulan
10.
laporan praktikum
21
VI. PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari praktikum project based ini adalah :
1. Mekanisme pembentukan gel pada pembuatan selai dipengaruhi oleh
penggunaan berbagai komponen yang ditambahkan seperti karagenan, asam
sitrat, gula, dan pektin yang menghasilkan tekstur gel yang didinginkan.
2. Berdasarkan literatur, peningkatan penggunaan karagenan pada selai nanas
dapat meningkatan jumlah total padatan terlarut. Namun dalam praktikum,
tidak didapatkan keselarasan dengan literatur. Dugaan paling besar yaitu
ketidakkonsistenan suhu dan waktu pemasakan pada setiap sampel yang
dibuat.
3. Konsentrasi karagenan yang semakin tinggi dapat mencegah terjadinya
sineresis dan dapat meningkatkan daya ikat gel sehingga tidak mudah
mengeluarkan air. Semakin lama penyimpanan, sineresis semakin tinggi
dikarenakan kemampuan karagenan dalam mengikat semakin rendah.
4. Konsentrasi karagenan dan lama pemasakan dapat mempengaruhi
karakteristik organolepik selai. Penggunaan karagenan pada konsentrasi
yang tepat serta lama pemasakan yang sesuai akan meningkatkan kualitas
pembentukan gel pada selai.
6.2 Saran
Sebaiknya pada praktikum project based telah dipersiapkan bahan dan juga
alat yang akan digunakan sebelum memulai praktikum, sehingga waktu praktikum
menjadi efektif dan tidak saling menunggu alat dari kelompok lain.
22
DAFTAR PUSTAKA
Ahuja, M., S. Singh, and A. Kumar. 2013. Evaluation of carboxymethyl gellan gum
as a mucoadhesive polymer. International Journal of Biological
Macromolecules. 53: 114–121.
Ali, B.H., A. Ziada, and G. Blunden. 2009. Biological effects of gum arabic: A
review of some recent research. Food and Chemical Toxicology 47: 1–8.
Bejaj, I.B., S.A. Survase, P.S. Saudagar, and R.S. Singhal. 2007. Gellan gum:
fermentative production, downstreamprocessing and applications. Food
Technol. Biotechnol. 45 (4) 341–354.
BeMiller, J.N. 2011. Pasting, paste, and gel properties of starch– hydrocolloid
combinations. Carbohydrate Polymers 86: 386– 423
Bono, A., Anisuzzaman, S. M., & Ding, O. W. (2014). Effect of process conditions
on the gel viscosity and gel strength of semi-refined carrageenan (SRC)
produced from seaweed (Kappaphycus alvarezii). Journal of King Saud
University - Engineering Sciences, 26(1), 3–9.
https://doi.org/10.1016/j.jksues.2012.06.001
Bourtoom, T. 2008, Edible Film and Coating: Characteristic and Properties, Prince
of Songkhla University, Songkhla.
Chattbar, M., R. Meena, K. Prasad, and A.K. Siddhanta. 2009. Microwave assisted
rapid method for hydrolysis of sodium alginate for M/G ratio determination.
Carbohydrate Polymers 76: 650–656.
23
Dewi, Ni Wayan V. S. (2018). Pengaruh Konsentrasi Karagenan dan Sukrosa
terhadap Sifat Fisik dan Organoleptik Selai Jambu Biji Merah (Psidium
guajava L.). Mataram : Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri,
Universitas Mataram.
Fardiaz, D. 1989. Hidrokoloid. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi,
Institut Pertanian Bogor. Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan.
Farris, S., K.M. Schaich, L. Liu, L. Piergiovanni, and K.L Yam. 2009. Development
of polyion-complex hydrogels as an alternative approach for the production
of bio-based polymers for food packaging applications: a review. Trends in
Food Science & Technology. 20(8): 316–332.
Fennema, O. R. (Ed.). (1996). Food chemistry (3rd ed). New York: Marcel Dekker.
Funami, T. 2011. Next target for food hydrocolloid studies texture design of foods
using hydrocolloid technology. Food Hydrocolloids. 25: 1904–1914.
Glikcsman. 1983. Food Hydrocolloids. Volume I. Florida: CRC Press Boca Raton.
P 207.
24
Gomashe, A.V., P.G. Dharmik, and P.S. Fuke. 2013. Optimization and production
of Xanthomonas campestris NRRL-B-1449 from sugar beet molasses. The
International Journal Of Engineering And Science (IJES). 2(5): 52–55.
Grassino, A.N., B. Mladen, D.V. Topic, S. Roca, M. Dent, and S.R. Brnic. 2016.
Ultrasound assisted extraction and characterization of pectin fromtomato
waste. Food Chemistry. 198: 93–100.
Harsanti, D. 2010. Sintesis dan Karakterisasi Boron Karbida dari Asam Borat,
Asam Sitrat dan Karbon Aktif. Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca,
11(1), 29-40.
Juwita, W., Herla, R., & Era, Y. 2014. Pengaruh Konsentrasi Pektin dan Karagenan
Terhadap Mutu Permen Jely Jahe. Jurnal rekayasa pangan dan pertanian,
2(2), 42-50.
Mawarni, S. A., & Yuwono, S. S. (2018). Effect of Cooking Time and Carrageenan
Concentration on Physical, Chemical, and Organoleptic Properties of Mix
Fruit Sheet Jam (Starfruit and Apple).
Mawarni, S. A., & Yuwono, S. S. (2018). Effect of Cooking Time and Carrageenan
Concentration on Physical, Chemical, and Organoleptic Properties of Mix
Fruit Sheet Jam (Starfruit and Apple).
25
Muchtadi, T. R, dan Sugiyono. 2014. Prinsip Proses Dan Teknologi Pangan.
Bandung: ALVABETA
Ukiwe, L. N., & Alinnor, J. I. (2011). Extraction of Pectin from Pineapple (Ananas
comosus) Peel using Inorganic/Organic Acids and Aluminum Chloride. 4.
Winarno, F. G. 1997. Food chemistry and nutrition. Gramedia Pustaka Utama Ltd.,
Jakarta.
26
LAMPIRAN
27