OLEH :
(17.321.2749)
AII-B
DENPASAR
2020
A. Pengertian Perawatan Intensif
a. Sejarah ICU
Sejarah pelayanan medis intensif paling kurang telah dimulai oleh
seorang “Nurse” bernama Florence Nightingale yang secara brilian
menerapkan “metode dan prosedur pemantauan secara ketat” (intensif)
bagi para pasien korban perang yang telah selesai menjalani pembedahan.
Hasilnya didapati penurunan angka morbiditas dan mortalitas pasien pasca
bedah dengan sangat significant. Pada tahun 1942 di Mayo Clinic AS
secara khusus dibangun dan disediakan ruang khusus yang dikenal sebagai
“ruang pulih sadar” yang diperuntukkan bagi pasie-pasien pasca bedah, ini
juga dianggap sebagai rintisan terbentuknya ruang ICU dikemudian hari.
Pada tahun 1950 ketika dunia dilanda wabah Polio para dokter anestesi
bertindak secara sukarela melakukan “tindakan intubasi dan bantuan
ventilasi”, yang kemudia dinilai memiliki peran menyelamatkan banyak
pasien dari kematian yang bisa dihindarkan (tidak seharusnya). Penemuan
Mesin ventilator mekanis “Engstrom” tahun 1952 sangat membantu
menyelesaikan fungsi bantuan pernafasan bagi pasien yang mengalami
gagal pernafasan. Tahun 1958 seorang anesthesiologist bernama Peter
Syafar yang bertugas sebagai dokter di Baltimore City Hospital USA
secara formal membangun ruang perawatan yang kemudian dikenal
sebagai ruang Intensive Care Unit. Pada periode waktu berikutnya sejarah
pelayanan intensif berkembang dengan sangat pesat menyebar ke seluruh
penjuru dunia. Ilmu kedokteran Intensive menjadi cabang ilmu tersendiri
yang menjadi dasar pada praktek pelayanan medis secara Intensive.
Bagaimana dengan di Indonesia, Sejarah pelayanan medis
intensive di Indonesia dimulai pada tahun 1970-an menyusul setelah
beberapa dokter Indonesia memperdalam secara khusus ilmu kedokteran
anesthesia demikian juga ilmu Intensive Care, para pelopor generasi
pertama adalah Prof. Dr. M kelan, DSAN, Prof. Dr. Muhardi Muhiman,
DSAN. Yang mengembangkan di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo
Jakarta, Prof. Dr. Kariadi DSAN, mengembangkan di Rumah Sakit Dokter
Soetomo Surabaya dan Prof Dr. Haditopo, DSAN di Rumah Sakit Dokter
Kariyadi Semarang.
Dengan berjalan dan bergantinya waktu pelayanan intensive care di
Indonesia dengan sendirinya tidak lepas mengikuti perkembangan sejarah
Intensive Care yang terjadi secara umum di dunia.
Berkembang dan dibangunlah Unit-Unit Intensive Care di berbagai
kota besar lainnya seperti di Yogyakarta, Bandung, Medan, Makasar,
Denpasar Malang, Solo dan lain sebagainya. Saat ini bisa dikatakan
hampir semua kota propinsi dan sebagian besar kota kabupaten telah
memiliki rumah saki yang dilengkapi dengan pelayanan Unit Intensive
Care.
Pada periode akhir tahun 1980-an adalah merupakan periode yang
bisa dianggap sebagai tonggak sejarah tersendiri, dimana beberapa dokter
diataranya almarhum DR. Dr. Iqbal Mustafa, DSAN, seorang anestesiolog
dan juga Intensivist secara khusus memilih hanya menekuni praktek medis
intensive khususnya di rumah sakit Harapan Kita Jakarta sekaligus
meninggalkan praktek pembiusan yang lazim dilakukan dokter anesthesia
pada umumnya. DR. Dr. Iqbal Mustafa, DSAN kemudian diakui sebagai
pakar di bidang Intensive Care yang dihormati dan disegani di dunia. Pada
saat ini bukan tidak mungkin telah terdapat dokter KIC yang secara khusus
hanya melakukan pelayanan medis Intensive di ruang ICU, sebagai misal
dr. Rudy SpAn KIC di RSCM Jakarta.
Pada akhir era dasa warsa 1990-an Di Indonesia telah dimulai
sejarah baru dalam kedokteran intensif dimana Indonesia telah mulai
melakukan pendidikan Intensivist yang berpusat di di Unit Intensive Care
rumah sakit Cipto Mangunkusumo dan didukung oleh rumah sakit jejaring
lainnya. Dokter Rupii, SpAn. KIC. adalah mahasiswa pendidikan dokter
Konsultan Iintensive Care pertama di Indonesia yang selanjutnya diikuti
oleh banyak dokter muda lainnya. Pendidikan dokter KIC diikuti bukan
saja olek dokter spesialis I anestesiologi tetapi oleh dokter umum dan
spesialis I lainnya. Dokter-dokter Intensivist / KIC muda inilah yang
sekarang menjadi pionir pengembangan Intensive Care Unit di rumah-
sakit di berbagai wilayah kota di Indonesia.
Penuturan sejarah tersebut diatas tidak terlepas dari pengetahuan
dan pemahaman yang mungkin sangat terbatas, Sejarah bukan milik
penulis oleh karena itu penulis sangat terbuka terhadap kritik dan koreksi
dari pembaca sekalian.
b. Pembangunan ICU di Indonesia
Membangun dan merintis Pelayanan Intensive Care di Indonesia
bukan suatu perkara yang mudah. baik itu di pusat kota ibu kota negara
terlebih di kota-kota di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini bukan semata
karena Unit ICU adalah unit pelayanan yang mahal dan padat modal tetapi
terlebih disebabkan oleh karena "budaya pelayanan" yang harus dirubah
disesuaikan dengan tuntutan pelayanan secara intensive, demikian juga
disebabkan oleh karena "interesan kepentingan" diantara para pelaku
pelayanan yang masih sangat kental dan tidak dapat dihindarkan.
Secara substansial beberapa hal yang membedakan antara
pelayanan medis pada umumnya di rumah sakit dibandingkan terhadap
pelayanan medis Intensif di ruang ICU adalah bahwa pelayanan medis
intensive adalah cabang ilmu kedokteran tersendiri yang memiliki falsafah,
nilai-nilai serta pola fikir demikian juga prosedur-prosedur yang khas dan
berbeda sehingga melahirkan perilaku pelayanan medis maupun pelayanan
lainnya yang berbeda dari pelayanan medis umum lain di rumah sakit.
Keharusan bagi para dokter maupun perawat ICU untuk
menempuh jenjang pendidikan dan pelatihan berbasis pelayanan intensive
adalah merupakan upaya terpenting sebagai kompromi yang harus
dilakukan oleh para pelaku pelayanan. Bukan saja agar setiap pelaku
pelayanan di ICU (dokter maupun perawat) menjadi lebih kompeten
( pengetahuan ketrampilan dan attitude-nya ), tetapi agar setiap pelaku
pelaksana pelayanan kesehatan intensive di ruang ICU memiliki persepsi
dan pemahaman yang sama atau hampir sama perihal bagaimana
pelayanan intensive di ICU akan dilaksanakan.
Dokter ICU adalah "Intensivist" yaitu seorang dokter / dokter
spesialis I yang telah menyelesaikan jenjang pendidikan khusus di bidang
IIlmu Kedokteran Intensive Care. Bagaimana kalau tenaga dengan
kualifikasi seperti tersebut diatas tidak ada. Pelayanan medis intensive
tetap bisa dilaksanakan !!!, dengan asumsi bahwa setiap pelaku pelayanan
khususnya dokter bersedia menajamkan pengetahuan dan ketrampilannya
dengan mengikuti pelatihan-pelatihan seperti ACLS, ATLS. FCCS dan
atau sejenisnya serta bersedia melakukan evaluasi pengembangan diri
melalui "kelompok peer", mengikuti course / workshop / simposium di
bidang ilmu dan pelayanan intensive secara berkala agar ilmu dan
ketrampilannya dapat berkembang sesuai perkembangan ilmu kedokteran
intensive.
Kesediaan dan kesadaran untuk membangun "Team Medis
Intensive Care" tidak boleh diabaikan, ini menyangkut kesadaran dan
kesediaan untuk menempuh "jalan" untuk berprestasi secara bersama.
Dalam hal ini Setiap dokter harus merelakan hak previlige dokter menjadi
agak dibatasi karena harus memberikan toleransi kepada pendapat lain
yang mungkin bisa sangat bertolak belakang. Disinilah persoalannya.
Untuk itu maka harus ada fihak yang dikedepankan untuk menjadi
"pemimpin / memimpin" dan sebagian besar lainnya adalah "anggota"
tanpa harus berkurang dedikasi dan tanggung jawabnya.
Kesediaan Dokter meluangkan waktu untuk pelayanan medis
intensive di ICU menjadi persoalan lainnya.Penatalaksanaan pasien di ICU
berbeda sama sekali dengan penatalaksanaan pasien di "poliklinik"
maupun di "general ward". Seorang intensivist atau dokter lain yang
diperlakukan sebagai intensivist harus bersedia meluangkan waktu dan
tenaganya untuk pelayanan di ICU, menunggui dan meluangkan waktu
untuk memantau perkembangan atas pengobatan / tindakan yang
dilakukan sampai bersedia datang setiap saat dipanggil dan diperlukan.
Perilaku demikian tidak mudah bagi setiap dokter untuk memenuhinya.
Membangun ICU adalah membangun kelompok kerja yang
"dedicated" mengungkap "konpleks misteri" yang akan selalu datang
menghampiri memintakan pertolongannya.
Kita semua mengetahui bahwa orang sakit yang memerlukan
pertolongan ICU adalah orang sakit yang mengalami penderitaan pada
tingkat yang berat, mengenai beberapa sistem organ vital dan mengancam
keselamatan jiwanya. Bahkan sering kali kompleksitas itu
menggambarkan problema kompleksitas kehidupan sosial pada umumnya.
Saya mengambil contoh misalnya SARS / avian influenzae / flu babi yang
akhir-akhir ini muncul mengancam kehidupan kita. ini adalah salah satu
contoh dimana kompleksitas kehidupan kemudian juga secara langsung
menjadi tantangan bagi penyelenggaraan pelayanan ICU.
Monitoring
1. COC (cardiac
output computer)
2. Analisa oksigen
3. Mesin EKG 12
Lead
4. Mesin EKG/
fungsi cerebral
5. Analisa gula darah
7. Analisa Na/K/Cl
(elektrolit)
9. Pengangkatan (alat
untuk
memindahkan
pasien )
CPAP
Alat bronkoskopi
fibrioptik
Trakeostomi set
Ventilator
Intubasi set
Resusitator manual
Krikotirotomi set
Humifier
Oksigen set
Masker Oksigen
Parentral Renal
Set continuous
arteriouvenos
Haeofiltration
Mesin Hemodialisa
Cardiovaskular
CRV
Defibrilator
CVP Set
Micelancous
Tempat tidur multi fungsi
Autoclave
Drip standa
Trolley emergency
Matras
pemanas/pendingin
Blood/fluid warming
devices, pressure bags,
dan skala
NGT pump
Bedpans
Blood fridge
c. Pemeliharaaan alat
1) Advokat
Perawat juga berperan sebagai advokat atau pelindung klien, yaitu
membantu mempertahankan lingkungan yang aman bagi klien dan
mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kecelakaan dan
melindungi klien dari efek yang tidak diinginkan yang berasal dari
pengobatan atau tindakan diagnostik tertentu (Potter dan Perry, 2005).
2) Caregiver
3) Kolaborator
4) Peneliti
5) Koordinator
6) Konsultan
Perawat sebagai narasumber bagi keluarga dalam mengatasi masalah
keperawatan terutama mengenai keamanan pasien dan keluarga
(Vicky, 2010).
Pengertian
http://repository.unimus.ac.id/1996/4/BAB%20II%20TINJAUAN
%20TEORI.pdf diakses 28 September 2020
Sejarah/perkembangan
https://sites.google.com/site/purnomodrspan/ diakses 28 September 2020
Peralatan
https://perdatinaceh.files.wordpress.com/2018/01/standar-pelayanan-
keperawatan-icu-depkes-ri-2006.pdf diakses 28 September 2020