Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENUGASAN

BLOK INFEKSI TROPIS 4.1

REFERAT

PEDIKULOSIS

OLEH

ADITYA BIMANTARA

11711135

KELOMPOK TUTORIAL 5

dr Nofi

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

2014/2015
I. Definisi

Pedikulosis adalah penyakit kulit menular yang ditimbulkan oleh investasi parasit
Pediculus (kutu). Pediculus merupakan parasit obligat yang artinya harus menghisap darah
manusia untuk dapat mempertahankan hidup. Pedikulosis merupakan penyakit kosmopolit,
tersebar di seluruh dunia dan dapat ditemukan pada semua lapisan masyarakat. Secara garis
besar dikenal dua bentuk spesies Pediculus yang patogen pada manusia, yaitu: Pediculus
humanus dan Pediculus pubis. Kedua bentuk spesies ini memiliki bentuk dan ukuran anatomi
yang berbeda. Selain menyerang manusia, penyakit ini juga menyerang binatang, oleh karena
itu dibedakan antara Pediculus humanus dengan Pediculus animalis (Hendra U., 2011;
Finlay J., et al 2009)

II. Epidemiologi
Pedikulosis tersebar di seluruh dunia dan tidak dipengaruhi oleh musim. Timbulnya
penyakit ini erat sekali hubungannya dengan faktor lingkungan dan faktor kebersihan.
Pedikulosis lebih banyak terjadi di daerah urban dari pada rural karena penduduk di daerah
urban lebih padat dan pada umumnya hidup dengan keadaan higiene yang buruk. Kebersihan
pribadi memegang peranan penting pada infestasi pedikulosis. Penderita pedikulosis lebih
banyak pada orang yang kurang menjaga kebersihan dan hidup dalam lingkungan yang padat
seperti daerah kumuh, penjara, panti asuhan, dan pesantren. Oleh karena itu dikatakan bahwa
pedikulosis dapat digunakan sebagai indikator keadaan sosial ekonomi dan higiene suatu
daerah. Namun dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pedikulosis tidak hanya terdapat
pada orang-orang miskin dan kurang menjaga kebersihan tetapi juga terjadi pada orang-orang
kaya dan bersih. Kemungkinan hal ini terjadi karena meningkatnya hubungan seks bebas,
meningkatnya kepadatan penduduk, kurangnya program pemberantasan dan timbulnya
resistensi Pediculus terhadap insektisida.
Pedikulosis dapat menyerang semua orang, namun prevalensi pada anak usia sekolah
dasar lebih tinggi dibandingkan pada orang dewasa. Prevalensi pedikulosis terutama
Pediculosis capitis pada anak perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan anak laki-laki,
karena biasanya rambut anak perempuan lebih panjang dan Pediculosis capitis tidak dapat
hidup pada rambut yang panjangnya kurang dari sepertiga inci. Infestasi Pediculosis capitis
juga dipengaruhi oleh ketebalan rambut dan model rambut. Pediculosis capitis lebih sering
ditemui pada orang dengan model rambut yang lebat dan gemar menjalin (kepang)
rambutnya. Karena pada rambut yang tebal dan dikepang lebih lembab sehingga lebih
disukai oleh Pediculosis capitis. Pada penelitian lainnya menyatakan bahwa pada orang
dengan kulit hitam kejadian Pediculosis capitis lebih rendah dibandingkan pada orang
berkulit putih. Hal ini disebabkan karena pada orang berkulit hitam memiliki tekstur rambut
yang lebih keras dan kering dibandingkan dengan orang berkulit putih. Pediculosis capitis
lebih menyukai tekstur rambut yang lurus dan lembut (Hendra U., 2011)

III.Etiologi
Penyebab dari pedikulosis adalah parasit Pediculus / Phitirus / kutu. Pediculosis
merupakan insekta / hexapoda (berkaki enam) dengan subkelas Apterygota (serangga tidak
bersayap), ordo Phthiraptera (kutu). Berdasarkan predileksi infestasinya, Pediculus pada
manusia dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :
1. Pediculus humanus capitis
Merupakan kutu kepala yang menyebabkan penyakit pedikulosis kapitis. Jenis
kutu ini berukuran 1-3 mm, kutu betina lebih besar dibandingkan dengan kutu jantan.
Pediculus humanus capitis berwana putih sampai dengan abu-abu yang menyerang
kulit kepala manusia terutama bagian belakang telinga dan belakang kepala yang
berbatasan dengan leher (Hendra U., 2011; Schmidt & Roberts, 2009)
2. Pediculus humanus corporis
Merupakan kutu badan/pakaian yang menyebabkan penyakit pedikulosis korporis.
Jenis kutu ini berukuran sama dengan Pediculus humanus capitis yaitu 1-3 mm
dengan kutu betina lebih besar dibandingkan dengan kutu jantan. Spesies ini yang
paling umum ditemukan karena bersifat kosmopolit, dapat dengan mudah tersebar
melalui pakaian, sepatu, seprai, bantal, handuk atau kontak langsung dengan
penderita. Pediculus humanus corporis berwarna putih sampai dengan abu-abu yang
biasanya bersembunyi di sela-sela pakaian seperti diantara jahitan, celana dalam dan
lain-lain (Hendra U., 2011; Schmidt & Roberts, 2009).
Gambar 1. A,C,D Pediculus humanus capitis dan B Pediculus humanus corporis
3. Pediculus pubis
Merupakan kutu pubis yang menyebabkan penyakit pedikulosis pubis. Kutu ini juga
dikenal dengan sebutan pubic louse atau crab louse kerena bentuknya seperti kepiting
dengan tungkai tengah dan belakang berukuran besar dan kuat degan kuku depan
yang besar/capit. Capit yang besar tersebut digunakan untuk memegang rambut di
daerah inguinal yang lebih kasar dari rambut kepala. Panjang tubuh kutu ini lebih
pendek dari pada Pediculus humanus corporis sekitar berukuran 1-2 mm, berwarna
putih sampai abu-abu, berbentuk oval, serta memiliki abdomen yang lebih kecil
dibanding dengan kutu-kutu lainnya. Kutu ini ditemukan di rambut daerah genital,
abdomen bagian bawah, namun juga dapat ditemukan di ketiak, alis mata dan
jenggot. Pediculus pubis tidak segesit dengan jenis Pediculus humanus capitis dan
corporis. Pediculus pubis lebih banyak berdiam diri pada rambut dan sangat
bergantung sekali dengan hospesnya. Jika Pediculosis pubis terlepas dari hospesnya,
dalam waktu 1 hari kutu akan mati (Hendra U., 2011; Schmidt & Roberts, 2009).

Gambar 2. Pediculus Pubis


IV. Penularan dan Penyebaran
Pedikulosis ditularkan secara kontak langsung dan tidak langsung / melalui alat-alat
pribadi yang digunakan secara bersama-sama. Pediculosis humanus capitis tidak dapat
terbang ataupun melompat namun dapat merayap dengan cepat (23 cm/menit). Binatang
bukan merupakan vektor untuk pedikulosis (Finlay J., et al 2009).
Di Sekolah penularan secara kontak langsung seperti kepala dengan kepala dapat terjadi
saat bermain. Penularan ini juga dapat terjadi didalam bis dan pasar yang penuh sesak
ataupun tempat-tempat ramai lainnya. Bahkan berdasarkan penelitian pada tahun-tahun
terakhir ini penyakit pedikulosis dapat ditularkan melalui hubungan kelamin sehingga
dimasukkan kedalam golongan Sexually Transmitted Disesase (STD). Sedangkan penularan
tidak langsung dapat terjadi dengan perantara topi, sisir, kerudung, baju, dan loker.
Kebiasaan tukar-menukar / pinjam-meminjam alat-alat pribadi memudahkan penularan
pedikulosis. Namun penularan melalui alat-alat tersebut kecil kemungkinannya karena kutu
akan mati dalam 48-55 jam setelah terlepas dari hospesnya. Begitu pula dengan telur kutu
yang terdapat pada rambut yang rontok hanya kecil kemungkinan dapat menetas. Karena
telur kutu yang telah terlepas dari hospes tidak dapat menetas pada suhu kamar (Hendra U.,
2011)
Pediculus humanus capitis betina akan menempelkan telurnya yang berbentuk oval dan
berwana putih pada rambut manusia. Jumlah telur yang diletakkan oleh seekor betina dapat
mencapai 150 butir dan menetas menjadi nimfa setelah 3-10 hari. Siklus hidup dari telur
sampai menjadi dewasa berkisar 3 minggu dan lama hidup dapat mencapai 30-40 hari.
Kemudian setelah menjadi nimfa, kutu akan menghisap darah manusia. Namun apabila
pakaian yang terinfeksi kutu tersebut tidak digunakan dalam beberapa hari atau beberapa
minggu, maka kutu-kutu tersebut akan mati karena tidak dapat menghisap darah manusia.
Pediculus humanus corporis betina meletakkan telurnya disela-sela pakaian atau kadang-
kadang pada rambut tubuh. Jumlah telur yang dapat dihasilkan oleh satu ekor kutu betina
mencapai 300 butir, tapi rata-rata antara 50-150 butir selama hidupnya dan menetas setelah
5-7 hari. Setelah menjadi nimfa, kutu akan menghisap darah manusia. Kutu biasanya
menghisap darah manusia pada waktu malam hari (nokturnal).
Pediculus pubis betina meletakkan telur-telurnya pada rambut yang agak kasar dan
jumlah telur yang dapat dihasilkan berkisar 15-50 butir dan menetas menjadi nimfa setelah 6-
8 hari. Dari nimfa menjadi kutu dewasa membutuhkan kurang lebih 2 minggu. Baik dalam
bentuk nimfa atau dewasa, kutu tidak banyak bergerak. Dan setelah menjadi nimfa, kutu akan
menghisap darah manusia. Pediculus pubis biasanya tidak ditemukan pada anak-anak
sebelum mencapai pubertas (Schmidt & Roberts, 2009; Sembel, D.T., 2009).

V. Faktor Resiko

a. Kontak dengan individu yang telah terkena pedikulosis


b. Menggunakan alat pribadi berganti-gantian ( baju, handuk, sisir, dll)
c. Jarang membersihkan diri
d. Rambut kepala yang panjang (khususnya pedikulosis kapitis)
e. Lingkungan yang padat
f. Menggunakan pakaian yang tebal dan jarang dicuci (khususnya pedikulosis korporis)
g. Seks bebas (khususnya pedikulosis pubis)
VI. Patogenesis

Kelainan kulit yang timbul diakibatkan oleh garukan untuk menghilangkan rasa gatal.
Rasa gatal ini disebabkan oleh pengaruh liur dan ekskreta dari kutu pada waktu menghisap
darah (Hendra U., 2011; Finlay J., et al 2009).

VII. Manifestasi Klinis

a. Pedikulosis Kapitis
Gejala yang ditimbulkan berupa rasa gatal yang disebabkan oleh gigitan kutu dan
sekresi air liur yang bersifat antigenik. Pada kulit kepala tampak papula yang
berwarna merah. Rasa gatal ini mengakibatkan garukan-garukan pada kulit kepala
sehingga dapat menimbulkan infeksi sekunder (impetigo dan furunkel). Sehingga bisa
didapatkan krusta-krusta tebal dan nanah yang berbau busuk. Karena predileksinya
pada kulit kepala bagian oksipital dan retro aurikular menyebabkan rambut pada
daerah tersebut menjadi kering dan tidak mengkilat lagi. Jika ketiga gejala tersebut
muncul yaitu rambut kering, tidak mengkilap, kulit kepala bernanah, krusta, dan
berbau busuk member gambaran yang disebut plika polinika (rambut gimbal). Jika
keadaan ini tidak segera diobati maka akan menyebabkan rambut mudah rontok.
Dapat terjadi limfadenitis di daerah belakang kepala (oksipital) dan belakang telinga
(retro aurikular). Pediculus humanus capitis tidak dapat menjadi vektor bagi penyakit
lainnya seperti Pediculus humanus corporis yang dapat menyebabkan penyakit
riketsia/ penyakit tifus/ louse-borne epidemic typhus (Hendra U., 2011; Finlay J., et
al 2009).

b. Pedikulosis Korporis
Gejala klinis yang muncul berupa bintik merah sebagai reaksi gigitan kutu
sewaktu menghisap darah (act of feeding) di daerah dada, bahu punggung, dan
abdomen. Pada orang yang sensitif, bintik merah tersebut akan akan segera diikuti
timbulnya papula-papula kecil berwarna merah, sangat gatal, dan kadang-kadang
dapat muncul urtika disekitarnya. Kemudian rasa gatal tersebut akan mengakibatkan
garukan-garukan sehingga memberikan gambaran ekskoriasi. Infeksi sekunder dapat
juga terjadi pada pedikulosis korporis. Pada kasus-kasus yang kronis didapatkan
likenifikasi dan hiperpigmentasi akibat dari garukan (Hendra U., 2011; Densise, L.B.,
et al 2013).

c. Pedikulosis Pubis
Gejala klinis yang muncul berupa gatal yang hebat akibat gigitan kutu. Pada
sekitar gigitan dapat ditemukan adanya bercak biru keabuan yang dikenal sebagai
maculae caeruleae yang timbul beberapa jam setelah gigitan dan menetap untuk
beberapa hari sampai beberapa bulan. Maculae caerulae berbentuk bulat, tepi tidak
rata, diameternya 3-15 mm dan pada penekanan dengan diaskop tidak menghilang.
Letak maculae caerulae tersebar dan kadang-kadang terlihat di sisi dalam paha,
abdomen dan toraks. Patogenesis dari munculnya maculae caerulae masih belum
dapat dijelaskan secara pasti, namun diduga akibat enzim yang ada dalam sekresi air
liur kutu yang dapat mengubah pigmen darah dari bilirubin menjadi biliverdin
(Hendra U., 2011; Sembel, D.T., 2009).

VIII. Penegakan Diagnosis

a. Pedikulosis Kapitis

Seseorang dicurigai menderita pedikulosis kapitis bila terdapat gatal-gatal pada


kepala (khususnya oksipital & retroaurikula) dengan adanya tanda pioderma.
Diagnosis pasti ditetapkan dengan menemukan telur, nimfa atau kutu dewasa dengan
cara menyisir rambut dengan sisir serit (sisir yang mempunyai gigi sisir yang halus
dan rapat) sehingga tuma dapat menempel pada sisir. Untuk membedakan telur
dengan ketombe diperlukan mikroskop atau dapat menggunakan pemeriksaan dengan
lampu wood dengan fluoresensi putih (Hendra U., 2011)

b. Pedikulosis Korporis

Seseorang dicurigai menderita pedikulosis korporis jika terdapat gatal pada


daerah dada, bahu, punggung, dan abdomen yang dapat disertai dengan pioderma.
Diagnosis pasti dengan cara menemukan kutu atau telur pada pakaian penderita.
Diagnosis sulit pada orang-orang dengan higiene yang baik (Hendra U., 2011;
Sembel, D.T., 2009).
c. Pedikulosis Pubis
Seseorang dicurigai menderita pedikulosis pubis jika terdapat gatal-gatal di
daerah pubis yang tidak jelas penyebabnya. Adanya maculae caerulae didaerah pubis,
sisi dalam paha, abdomen atau toraks. Diagnosis pasti dengan cara menemukan telur
atau kutu pada rambut pubis atau rambut perianal (Anderson, A.L., et al 2009).
IX. Terapi
a. Pedikulosis Kapitis
Terdapat berbagai macam pilihan pengobatan untuk pasien yang menderita
pedikulosis kapitis yaitu insektisida topikal, agent oral, wet combing dan obat non-
insektisidal (Finlay, J., et al 2009).
1. Insektisida topikal
Contoh dari jenis insektisida topikal adalah piretrin, permetrin 1% dan
lindane (gamma benzene heksakloride). Dari ketiga macam obat tersebut tidak
100 ovicidal/membunuh telur kutu, sehingga dianjurkan untuk mengulang
kembali penggunaan obat tersebut dalam 7-10 hari kemudian. Obat insektisida
topikal memiliki efek toksisitas, namun untuk piretrin dan permetrin memiliki
tingkat penyerapan perkutan yang minimal. Sedangkan lindane (gamma
benzene heksakloride) menjadi terapi second-line karena memiliki efek
neurotoxicity dan supresi sum-sum tulang belakang yang potent melalui
absorbsi perkutan (Finlay, J., et al 2009).
2. Agent oral
Trimetropim-sulfametoksazole telah digunakan dalam penelitian
eksperimental RCT untuk mengobati pedikulosis kapitis. Namun potensi
untuk timbulnya resistensi dalam pemakaian jika digunakan secara luas pada
pasien dengan pedikulosis kapitis menyebabkan pemakaian trimetropim-
sulfametoksazole belum direkomendasikan untuk pedikulosis kapitis. (Finlay,
J., et al 2009).
Menurut Ferrara, P., et al (2013), trimetropim-sulfametoksazol tidak
ovodical, mekanisme aksi hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti.
Terdapat efek samping yang penting walaupun jarang terjadi, yaitu nekrosis
epidermal, stevens-johnson syndrome, dan anemia aplastik.
3. Wet combing
Wet combing atau menyisir rambut yang basah memiliki bukti dapat
menyembuhkan infeksi pedikulosis kapitis. Dari hasil penelitian
eksperimental di Wales, United Kingdom uji RCT pada anak-anak sekolah
dengan menyisir rambut yang basah setiap 3-4 kali sehari selama 2 minggu
dibandingkan dengan pemberian malathion 0,5%. Didapatkan pada wet
combing 38% pasien bebas dari kutu sedangkan pada malathion 78% bebas
dari kutu (Finlay, J., et al 2009).
4. Obat non-insektisida
Di Canada telah ditemukan obat baru untuk pedikulosis yang bersifat non-
insektisida yaitu isopropyl myristate 50% dan ST-cyclomethicone 50% untuk
pasien pedikulosis pada anak 4 tahun ke atas. Kedua agen ini bekerja dengan
cara melisiskan lapisan lilin eksoskeleton dari kutu yang akan menyebabkan
dehidrasi dan akhirnya kutu mati. Namun kedua obat tersebut tidak bersifat
ovicidal dan diberikan sebanyak 2 kali dalam seminggu. Efek samping yang
diberikan cukup minimal yaitu berupa eritema ringan dan pruritus pada kulit
kepala (Finlay, J., et al 2009)
Cara penggunaan masing-masing obat dapat dilihat pada tabel 1.
b. Pedikulosis Korporis
1. Pengobatan farmako-terapi sama dengan pedikulosis kapitis
2. Untuk membunuh kutu dan telurnya pada pakaian harus didesinfeksi dengan
insektisida. Cara-cara eradikasi bergantung dari jumlah orang yang terkena. Bila
hanya beberapa saja, cukup dengan dicuci bersih kemudian distrika panas
terutama didaerah lipatan-lipatan. Bila bersifat masal, pakaian ditaburi dengan
serbuk Dichloro-Diphenyl-Trichloroethane / DDT 10%. Jika DDT sudah
dianggap resisten, dapat digunakan gameksan 10% atau serbuk melathion.
3. Jika pakaian yang terinfeksi tidak digunakan kira-kira selama 10 hari maka kutu
akan mati dengan sendirinya karena tidak dapat menghisap darah manusia.
Namun untuk menghindari kutu dari telur kutu yang belum menetas, disarankan
untuk tidak menggunakan pakaian tersebut selama 1 bulan (Densise, L.B., et al
2013; Irianto, K., 2009).
c. Pedikulosis Pubis
Prinsip terapi pedikulosis pubis sama dengan terapi pedikulosis kapitis. Namun
untuk infestasi pada bulu mata dapat digunakan salep mata yang mengadung
isoflurofanat 0,025% (Densise, L.B., et al 2013).

X. Komplikasi

Hingga saat ini tidak terdapat komplikasi yang serius pada pasien dengan pedikulosis.
Adapun komplikasi yang dapat ditimbulkan bergantung dari jenis pedikulosis yang dialami.

a. Pedikulosis kapitis : infeksi sekunder / pioderma, dan kebotakan


b. Pedikulosis korporis : infeksi sekunder / pioderma
c. Pedikulosis pubis : infeksi sekunder / pioderma, maculae caerulae/blue spot,
konjungtivitis (jika bulu mata terinfeksi kutu)

XI. Prognosis

Morbiditas dan mortalitas dari pedikulosis sangat rendah, sehingga prognosis baik
dengan pengobatan dan pencegahan yang tepat.
XII. Pencegahan Primer, Sekunder dan Tersier

a. Pencegahan Primer
1. Menghindari kontak langsung dengan seseorang yang terinfeksi pedikulosis
2. Tidak menggunakan alat-alat pribadi seperti sisir, baju, celana, handuk, dan seprai
bergantian
3. Tidak menggunakan pakaian bekas yang belum dicuci dengan air panas dan
dikeringkan
4. Tidak melakukan hubungan sex bebas
b. Pencegahan Sekunder
1. Mencari kutu dan membunuh secara mekanik
2. Membasahi rambut dengan air lalu menyisir dengan sisir halus untuk
mengeluarkan kutu atau telur kutu
3. Menggunakan obat kutu
4. Mencuci semua peralatan dengan air panas dan dikeringkan
c. Pencegahan Tersier
1. Menghindari garukan yang dapat melukai kulit
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, A.L., Chaney E. Pubic Lice (Pthirus pubis): History, Biology and Treatmen vs.
Knowledge and Beliefs of US College Students. International Journal of Enviromental
Research and Public Health, 2009, 592-600.

Densise, L.B., Lance, A.D., Mairna, E.E., Gregory, A.D., The Biology and Taxonomy of Head
and Body Lice-Implications for Louse-Borne Disease Prevention, PLOS Pathogen 9(11),
2013.

Ferrara, P., Bufalo, F.D., Romano, V., Tiberi, E., Bottaro, D., Romani, L., Malamisura, M., Ian-
Niello, F., Ceni, L., Mottini, G., Gatto, A. Efficacy and Safety of Dimeticone in the
Treatment of Lice Infestation through Prophylaxis of Classmates, Iranian J Publ Health,
2013, Vol 42 : 700-706.

Finlay, J., Richmond, Columbia, B., MacDonald N.E., Halifax, Scotia, N. Head Lice Infestation:
A Clinical Update, Canadian Paediatric Society, 2009,Vol 13 : 699.

Hendra, U., 2011. Dasar Parasitologi Klinik (Ed.1). Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

Irianto, K., 2009. Parasitologi Berbagai Penyakit Yang Mempengaruhi Kesehatan Manusia.
Bandung: CV.Yrama Widya.

Schmidt, G.D., Roberts, L.S., 2009. Foundations Of Parasitology (Ed.8). New York: McGraw-
Hill Companies.

Sembel, D.T., 2009. Entomologi Kedokteran. Yogyakarta: C.V Andi.

Anda mungkin juga menyukai