Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Udara merupakan faktor penting dalam kehidupan manusia, karena tanpa udara kita tidak
bisa bernapas. Namun, dengan semakin meningkatnya pembangunan di sektor industri, semakin tinggi
pula tingkat pencemaran udara. Pencemaran udara terjadi karena adanya bahan kontaminasi di
atmosfer akibat aktivitas manusia.
Pencemaran udara selain menyebabkan penyakit pada manusia, seperti saluran pernapasan
juga bisa sampai menyebabkan kanker yang mengancam langsung kelangsungan makhluk hidup dan
sekitarnya. Beberapa unsur pencemar kembali ke bumi melalui proses deposisi asam yang dapat
menyebabkan sifat korosif pada bangunan, tanaman, dan hutan. Selain itu, unsur pencemar juga
menyebabkan sungai dan danau menjadi suatu lingkungan yang berbahaya bagi makhluk hidup yang
disekitarnya karena pH yang rendah.
Hujan asam dapat berdampak negatif terhadap ekosistem perairan dan terestrial antara lain
keasaman air bawah tanah, keasaman tanah dan air permukaan. Dampak yang diberikan dapat secara
langsung memberikan perubahan terhadap lingkungan. Dengan adanya perubahan lingkungan, yaitu
perubahan lingkungan menjadi suasana asam serta kejenuhan asam nitrat dan asam sulfat akan
mengakibatkan gangguan kesehatan terhadap manusia. Efek atau gangguan kesehatan yang
ditimbulkan dari menghirup polutan tersebut adalah gangguan kerja saluran pernapasan.
Dari permasalahan di atas dapat diketahui bahwa hujan asam tidak hanya mengakibatkan
dampak terhadap lingkungan namun juga kesehatan, maka selayaknya kita mengetahui akan
pengertian, proses, penyebab, dampak, dan penanganan yang lebih jelas mengenai hujan asam. Oleh
karena itu, disusunlah makalah dengan judul ”Hujan Asam”.

1.2 Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memahami dan mengetahui lebih dalam tentang
fenomena lingkungan yakni hujan asam sehingga kedepannya tidak mengalami kekeliruan dalam
upaya pengendalian terhadap dampak buruk yang akan terjadi bagi kelangsungan hidup.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Hujan Asam


Fenomena hujan asam mulai dikenal sejak akhir abad 17. Hal ini diketahui dari buku karya
Robert Boyle pada tahun 1960 dengan judul “A General History of the Air“. Buku tersebut
menggambarkan fenomena hujan asam sebagai “nitrous or salino-sulforus spiris“. Selanjutnya
revolusi industri di Eropa yang dimulai sekitar awal abad ke 18 memaksa penggunaan bahan bakar
batubara dan minyak sebagai sumber utama energi untuk mesin-mesin. Sebagai akibatnya, tingkat
emisi precursor (faktor penyebab) dari hujan asam yakni gas-gas SO2, NOX dan HCl meningkat.
Padahal biasanya precursor hanya berasal dari gas-gas gunung berapi dan kebakaran hutan (Anonim,
2009).
Istilah hujan asam pertama kali digunakan oleh Robert Angus Smith pada tahun 1872 saat
menguraikan keadaan di Manchester, sebuah daerah industri di Inggris bagian utara. Smith
menjelaskan fenomena hujan pada bukunya yang berjudul “Air and Rain: The Beginnings of
Chemical Technology”.
Masalah hujan asam dalam skala yang cukup besar pertama terjadi pada tahun 1960-an
ketika sebuah danau di Skandinavia meningkat keasamannya hingga mengakibatkan berkurangnya
populasi ikan. Hal tersebut juga terjadi di Amerika Utara, pada masa itu pula banyak hutan-hutan di
bagian Eropa dan Amerika yang rusak. Sejak saat itulah dimulai berbagai usaha penaggulangannya,
baik melalui bidang ilmu pengetahuan maupun teknis (Anonim, 2009).

2.2 Daerah yang Diperkirakan Bisa Terjadi Hujan Asam


Hujan Asam bisa terjadi di daerah perkotaan karena adanya pencemaran udara dari lalu lintas
yang berat dan daerah yang langsung terkena udara yang tercemar dari pabrik. Hujan asam dapat pula
terjadi di daerah perbukitan yang terkena angin yang membawa udara yang mengandung asam.
Deposisi kering biasanya terjadi di tempat dekat sumber pencemaran.
Daerah Yogyakarta sudah rawan dengan hujan asam, semakin memburuknya kualitas udara
dari tahun ke tahun sehingga berdampak buruk, di antaranya kemungkinan terjadi hujan asam. Di
Yogyakarta fenomena alam itu diperkirakan akan terjadi 10 tahun mendatang. Walau sampai sekarang
belum pernah terjadi hujan asam di Yogyakarta, namun jika kondisi lingkungan dan kualitas udara
tidak dijaga, kemungkinan hujan tersebut bisa terjadi sepuluh tahun mendatang (Anonim, 2009).
Saat ini, di Yogyakarta terdapat sekitar satu juta sepeda motor dan sekitar 200.000 unit mobil
yang memiliki pertumbuhan lima hingga 10 persen setiap tahun. Kendaraan bermotor menjadi salah
satu penyumbang polutan, disamping pabrik karena bahan bakar yang digunakan yaitu premium
masih belum bebas dari timbal. Selain itu, rawan pangan pun kemudian bisa menjadi ancaman yang
serius apabila hujan asam benar-benar terjadi di Yogyakarta, karena tanaman akan mati, selain

2
menurunnya kesehatan manusia. Oleh karena itu, upaya untuk meredam polusi udara di Yogyakarta
dilakukan dengan bantuan teknologi yaitu pengoperasian stasiun pemantauan kualitas udara ambien
otomatis yang akan memantau lima parameter indeks standar pencemaran udara (ISPU), yakni
partikulat (PM10), karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO 2), Nitrogen dioksida (NO2), dan ozon
(O3) (Anonim, 2009).
Tingkat polusi udara di Jawa Barat diklaim tertinggi di Indonesia. Pada tahun 2010,
peningkatan kadar polutan berbahaya terus bertambah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Penyebabnya adalah pertambahan jumlah penduduk, jumlah kendaraan bermotor, dan polusi industri.
Kadar gas berbahaya semakin meningkat di Jawa Barat yaitu karbon dioksida (CO 2), nitrogen oksida
(NOX), sulfur oksida (SOX), dan materi partikulat tersuspensi (SPM). Bila dibiarkan terus-menerus,
selain menurunkan kualitas hidup masyarakat, bisa juga menimbulkan hujan asam yang dampaknya
lebih berbahaya. Hujan disebut asam bila keasaman air di bawah 5,6.

2.3 Pengertian Hujan Asam


Istilah hujan asam pertama kali diperkenalkan oleh Angus Smith ketika ia menulis tentang
polusi industri di Inggris. Tetapi istilah hujan asam tidaklah tepat, yang benar adalah deposisi asam.
Deposisi asam ada dua jenis, yaitu deposisi kering dan deposisi basah. Deposisi kering ialah peristiwa
terkenanya benda dan makhluk hidup oleh asam yang ada dalam udara. Ini dapat terjadi pada daerah
perkotaan karena pencemaran udara akibat kendaraan maupun asap pabrik. Selain itu deposisi kering
juga dapat terjadi di daerah perbukitan yang terkena angin yang membawa udara yang mengandung
asam. Biasanya deposisi jenis ini terjadi dekat dari sumber pencemaran.
Deposisi basah ialah turunnya asam dalam bentuk hujan. Hal ini terjadi apabila asap di dalam
udara larut di dalam butir-butir air di awan. Jika turun hujan dari awan tadi, maka air hujan yang turun
bersifat asam. Deposisi asam dapat pula terjadi karena hujan turun melalui udara yang mengandung
asam sehingga asam itu terlarut ke dalam air hujan dan turun ke bumi. Asam itu tercuci atau wash out.
Deposisi jenis ini dapat terjadi sangat jauh dari sumber pencemaran.
Hujan secara alami bersifat asam karena karbon dioksida (CO 2) di udara yang larut dengan
air hujan memiliki bentuk sebagai asam lemah. Jenis asam dalam hujan ini sangat bermanfaat karena
membantu melarutkan mineral dalam tanah yang dibutuhkan oleh tumbuhan dan binatang.
Hujan pada dasarnya memiliki tingkat keasaman berkisar pH 5, apabila hujan terkontaminasi
dengan gas belerang yang bereaksi serta bercampur di atmosphere sehingga tingkat keasaman lebih

rendah dari pH 5, disebut dengan hujan asam.

2.4 Penyebab terjadinya Hujan Asam


Pemakaian batu bara sebagai bahan bakar pada beberapa kegiatan industri yang terjadi di
beberapa Negara Eropa Barat dan Amerika, menyebabkan kadar gas SO x di udara meningkat yang
apabila bereaksi dengan uap air akan membentuk asam sulfit dan asam sulfat. Asam-asam ini yang
kemudian turun ke bumi bersama-sama dengan jatuhnya hujan dan terjadilah yang dikenal dengan

3
acid rain atau hujan asam. Hujan asam sangat merugikan karena dapat merusak tanaman maupun
kesuburan tanah. Sumber utama pencemaran SOx yaitu barasal dari pembakaran stasioner (generator
listrik dan mesin-mesin) yang memakai bahan batubara. Sumber pencemaran SO x yang kedua adalah
proses industri.

Belerang dalam batubara berupa mineral besi pirits atau FeS 2 dan dapat pula berbentuk
mineral logam sulfida lainnya seperti PbS, HgS, ZnS, CuFeS 2, dan Cu2S. Dalam proses industri besi
dan baja (tanur logam) banyak dihasilkan SOx karena mineral-mineral logam banyak terikat dalam
bentuk sulfida. Pada poses peleburan logam sulfida logam diubah menjadi oksida logam. Proses ini
menghilangkan belerang dari kandungan logam karena belerang merupakan pengotor logam. Selain
terbentuk oksida logam terbentuk pula logamnya secara langsung. Sehingga dapat dipahami bahwa
pada proses industri besi dan baja akan banyak menghasilkan gas SO x yang dapat menyebar
kelingkungan sekitar. Selain itu, penyebaran SO x juga tergantung dari keadaan meteorologi dan
geografi setempat. Kelembapan udara akan mempngaruhi kecepatan perubahan SOx menjadi asam
sulfit maupun asam sulfat yang akan berkumpul bersama awan yang akhirnya jatuh sebagai hujan
asam.

2.5 Proses Terjadinya Hujan Asam


Hujan asam disebabkan oleh belerang yang merupakan pengotor dalam bahan bakar fosil
ditambah nitrogen di udara, yang kemudian bereaksi dengan oksigen membentuk sulfur dioksida dan
nitrogen oksida. Zat-zat tersebut kemudian berdifusi ke atmosfer dan bereaksi dengan air membentuk
asam sulfat serta asam nitrat yang mudah. Kemudian asam sulfat dan asam nitrat yang ada di atmosfer
baik sebagai gas maupun cair terdeposisikan ke tanah, sungai, danau, hutan, lahan pertanian, atau
bangunan melalui tetes hujan, kabut, embun, salju, atau butiran-butiran cairan (aerosol), ataupun jatuh
bersama angin (Sumahamijaya, 2009)
Asam-asam tersebut berasal dari faktor penyebab hujan asam dari kegiatan manusia seperti
emisi pembakaran batubara dan minyak bumi, serta emisi dari kendaraan bermotor serta kegiatan alam
seperti letusan gunung berapi. Reaksi pembentukan asam di atmosfer dari faktor penyebab hujan
asamnya melalui reaksi katalitis dan photokimia. Reaksi-reaksi yang terjadi cukup banyak dan
kompleks.
Gas belerang atau SOx terdiri atas gas SO2 dan SO3 yang keduanya mempunyai sifat berbeda.
Gas SO2 berbau tajam dan tidak mudah terbakar, sedangkan SO3 bersifat sangat reaktif. Gas SO3
mudah bereaksi dengan uap air yang ada di udara untuk membentuk asam sulfat atau H 2SO4. Asam
sulfat sangat reaktif, mudah bereaksi benda-benda lain yang mengakibatkan kerusakan, seperti proses
pengkaratan dan proses kimiawi lainnya.
Konsentrasi gas SO2 di udara akan mulai terdeteksi oleh indera manusia dan tercium baunya
dengan konsentrasinya berkisar antara 0,3-1 ppm. Gas buangan hasil pembakaran umumnya
mengandung gas SO2 lebih banyak dari pada gas SO 3, sehingga yang dominan adalah gas SO 2. Namun

4
demikian gas SO2 akan bertemu dengan oksigen yang ada di udara dan kemudian membentuk gas SO 3
melalui reaksi sebagai berikut:
2SO2 + O2 (udara) ------> 2SO3
Gas SO2 juga dapat membentuk garam sulfat apabila bertemu dengan oksida logam, yaitu melalui
proses kimiawi berikut ini:
4MgO + 4SO2 -----> 3MgSO4 + MgS
Udara yang mengandung uap air akan bereaksi dengan gas SO2 sehingga membentuk asam sulfit
melalui reaksi berikut:
SO2 + H2O -----> H2SO3 (asam sulfit)
Udara yang mengandung uap air juga bereaksi dengan gas SO3 membentuk asam sulfat:
SO3 + H2O -----> H2SO4 (asam sulfat)
(Wardhana, 2004)

2.6 Dampak terjadinya Hujan Asam


Beberapa Dampak Hujan Asam terhadap Danau, Tumbuhan, Hewan dan Manusia
diantaranya:
 Danau
Kelebihan zat asam pada danau akan mengakibatkan sedikitnya species yang bertahan. Jenis
Plankton dan invertebrate merupakan mahkluk yang paling pertama mati akibat pengaruh pengasaman
selain itu lebih dari 75 % dari spesies ikan akan hilang. Ini disebabkan oleh pengaruh rantai makanan,
yang secara signifikan berdampak pada keberlangsungan suatu ekosistem. Tidak semua danau yang
terkena hujan asam akan menjadi pengasaman karena ditemukan jenis batuan dan tanah yang dapat
membantu menetralkan keasaman dibeberapa danau.

 Tumbuhan dan hewan


Hujan asam yang larut bersama nutrisi di dalam tanah akan menghilangkan kandungan
tersebut sebelum pohon-pohon dapat menggunakannya untuk tumbuh. Serta akan melepaskan zat
kimia beracun seperti aluminium, yang akan bercampur di dalam nutrisi. Sehingga apabila nutrisi ini
dimakan oleh tumbuhan akan menghambat pertumbuhan dan mempercepat daun berguguran,
selebihnya pohon-pohon akan terserang penyakit, kekeringan dan mati. Seperti halnya danau, Hutan
juga mempunyai kemampuan untuk menetralisir hujan asam dengan jenis batuan dan tanah yang dapat
mengurangi tingkat keasaman.
Pencemaran udara telah menghambat fotosintesis dan immobilisasi hasil fotosintesis dengan
pembentukan metabolit sekunder yang potensial beracun. Sebagai akibatnya akan kekurangan energi,
karena hasil fotosintesis tertahan di tajuk. Sebaliknya tajuk mengakumulasikan zat yang potensial
beracun tersebut. Dengan demikian pertumbuhan akar dan mikoriza terhambat sedangkan daunpun

5
menjadi rontok. Pohon menjadi lemah dan mudah terserang penyakit dan hama. Penurunan pH tanah
akibat deposisi asam atau hujan asam juga menyebabkan terlepasnya aluminium dari tanah dan
menimbulkan keracunan. Akar yang halus akan mengalami nekrosis sehingga penyerapan hara dan air
terhambat. Hal ini menyebabkan pohon kekurangan air dan hara serta akhirnya mati. Hanya tumbuhan
tertentu yang dapat bertahan hidup pada daerah tersebut, hal ini akan berakibat pada hilangnya
beberapa spesies. Ini juga berarti bahwa keragaman hayati tamanan juga semakin menurun. Kadar SO 2
yang tinggi di hutan menyebabkan noda putih atau coklat pada permukaan daun, jika hal ini terjadi
dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan kematian tumbuhan tersebut. Menurut
Soemarmoto (1992), dari analisis daun yang terkena deposisi asam menunjukkan kadar magnesium
yang rendah. Sedangkan magnesium merupakan salah satu nutrisi essensial bagi tanaman.
Kekurangan magnesium disebabkan oleh pencucian magnesium dari tanah karena pH yang rendah
dan kerusakan daun meyebabkan pencucian magnesium di daun.
Sebagaimana tumbuhan, hewan juga memiliki ambang toleransi terhadap hujan asam.
Spesies hewan tanah yang mikroskopis akan langsung mati saat pH tanah meningkat karena sifat
hewan mikroskopis adalah sangat spesifik dan rentan terhadap perubahan lingkungan yang ekstrim.
Spesies hewan yang lain juga akan terancam karena jumlah produsen (tumbuhan) semakin sedikit.
Berbagai penyakit juga akan terjadi pada hewan karena kulitnya terkena air dengan keasaman tinggi.
Hal ini jelas akan menyebabkan kepunahan spesies.

 Manusia
Berdasarkan hasil penelitian, sulphur dioxide yang dihasilkan oleh hujan asam juga dapat
bereaksi secara kimia didalam udara, dengan terbentuknya partikel halus sulfat, yang mana partikel
halus ini akan mengikat dalam paru-paru yang akan menyebabkan penyakit pernapasan. Selain itu
juga dapat mempertinggi resiko terkena kanker kulit karena senyawa sulfat dan nitrat mengalami
kontak langsung dengan kulit.

 Pengkaratan
Hujan asam dapat mempercepat proses pengkaratan dari beberapa material seperti batu
kapur, pasir besi, marmer, batu pada dinding beton serta logam. Ancaman serius juga dapat terjadi
pada bangunan tua serta monument termasuk candi dan patung. Hujan asam dapat merusak batuan
sebab akan melarutkan kalsium karbonat, meninggalkan kristal pada batuan yang telah menguap.

Seperti halnya sifat kristal semakin banyak akan merusak batuan (Anonim, 2011).

2.7 Upaya Pengendalian Hujan Asam


Usaha untuk mengendalikan hujan asam ialah menggunakan bahan bakar yang mengandung
sedikit zat pencemar, menghindari terbentuknya zat pencemar saat terjadinya pembakaran, menangkap
zat pencemar dari gas buangan dan penghematan energi.
 Bahan Bakar Dengan kandungan Belerang Rendah

6
Kandungan belerang dalam bahan bakar bervariasi. Minyak bumi merupakan sumber bahan
bakar dengan kandungan belerang tinggi. Penggunaan gas alam akan mengurangi emisi zat pembentuk
asam, akan tetapi kebocoran gas ini dapat menambah emisi metan. Usaha lain yaitu dengan
menggunakan bahan bakar non-belerang misalnya metanol, etanol dan hidrogen. Akan tetapi
penggantian jenis bahan bakar ini harus dilakukan dengan hati-hati, jika tidak akan menimbulkan
masalah yang lain. Misalnya pembakaran metanol menghasilkan dua sampai lima kali formaldehide
daripada pembakaran bensin. Zat ini mempunyai sifat karsinogenik yaitu pemicu kanker.

 Mengurangi kandungan Belerang sebelum Pembakaran


Kadar belarang dalam bahan bakar dapat dikurangi dengan menggunakan teknologi tertentu.
Dalam proses produksi, misalnya batubara, batubara biasanya dicuci untuk membersihkan batubara
dari pasir, tanah dan kotoran lain, serta mengurangi kadar belerang yang berupa pirit yaitu belerang
dalam bentuk besi sulfide sampai 50-90 (Anonim, 2009).
 Pengendalian Pencemaran Selama Pembakaran
Beberapa teknologi untuk mengurangi emisi SO2 dan NOx pada waktu pembakaran telah
dikembangkan. Salah satu teknologi ialah lime injection in multiple burners (LIMB). Dengan
teknologi ini, emisi SO2 dapat dikurangi sampai 80% dan NOx 50%.
Caranya dengan menginjeksikan kapur dalam dapur pembakaran dan suhu pembakaran
diturunkan dengan alat pembakar khusus. Kapur akan bereaksi dengan belerang dan membentuk
gipsum yaitu kalsium sulfat dihidrat. Penurunan suhu mengakibatkan penurunan pembentukan NO x
baik dari nitrogen yang ada dalam bahan bakar maupun dari nitrogen udara.
Pemisahan polutan dapat dilakukan menggunakan penyerap batu kapur atau Ca(OH) 2. Gas
buang dari cerobong dimasukkan ke dalam fasilitas FGD. Ke dalam alat ini kemudian disemprotkan
udara sehingga SO2 dalam gas buang teroksidasi oleh oksigen menjadi SO 3. Gas buang selanjutnya
“didinginkan” dengan air, sehingga SO 3 bereaksi dengan air (H2O) membentuk asam sulfat (H 2SO4).
Asam sulfat selanjutnya direaksikan dengan Ca(OH)2 sehingga diperoleh hasil pemisahan berupa
gipsum (gypsum). Gas buang yang keluar dari sistem FGD sudah terbebas dari oksida sulfur. Hasil
samping proses FGD disebut gipsum sintetis karena memiliki senyawa kimia yang sama dengan
gipsum alam.

 Setelah Pembakaran
Zat pencemar juga dapat dikurangi dengan gas ilmiah hasil pembakaran. Teknologi yang
sudah banyak dipakai ialah fle gas desulfurization (FGD). Prinsip teknologi ini ialah untuk mengikat
SO2 di dalam gas limbah di cerobong asap dengan absorben, yang disebut scubbing. Dengan cara ini
70-95% SO2 yang terbentuk dapat diikat. Kerugian dari cara ini ialah terbentuknya limbah. Akan
tetapi limbah dapat pula diubah menjadi gipsum yang dapat digunakan dalam berbagai industri. Cara
lain ialah dengan menggunakan amonia sebagai zat pengikatnya sehingga limbah yang dihasilkan

7
dapat dipergunakan sebagi pupuk. Selain dapat mengurangi sumber polutan penyebab hujan asam,
gipsum yang dihasilkan melalui proses FGD ternyata juga memiliki nilai ekonomi karena dapat
dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, misal untuk bahan bangunan.
 Mengaplikasikan prinsip 3R (Reuse, Recycle, Reduce)
Prinsip ini dijadikan landasan saat memproduksi suatu barang, dimana produk harus dapat
digunakan kembali atau dapat didaur ulang sehingga jumlah sampah atau limbah yang dihasilkan
dapat dikurangi. Teknologi yang digunakan juga harus diperhatikan, teknologi yang berpotensi
mengeluarkan emisi hendaknya diganti dengan teknologi yang lebih baik dan bersifat ramah
lingkungan. Hal ini juga berkaitan dengan perubahan gaya hidup.

UU mengenai kadar pencemar yang dipebolehkan


Undang-undang yang mengatur hal ini yaitu Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Thn
1982 tentang Ketentuan-Ketentua Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada UU ini telah
ditetapkan kadar pecemar yang diperbolehkan di dalam udara di disekitar pabrik.

 Pajak untuk keluaran cemaran


Pajak ditetapkan berdasarkan jumlah keluaran cemaran, sehingga menjadi dorongan ekonomi
untuk mengurangi cemaran udara. Hal ini telah diatur dalam UU RI No.4 thn 1982 bab VI pasal 20
dan bab VII pasal 22 (Wardhana, 2004).

 System izin
Pemasangan dan dijalakannya peralatan yang menghasilkan cemaran hanya diizinkan setelah
ditunjukkan bahwa cemaran yang dihasilkan oleh peralatan dari suatu industri telah memenuhi standar
baku yang telah dietatapkan.

 Kendaraan yang masih diperbolehkan digunakan.


Pemerintah membuat beberapa kebijakan baru misalnya mengenai tahun pembuatan kendaraan yang
masih diperbolehkan untuk digunakan, dan pembatasan akses sehingga dengan peraturan tersebut
masyarakat mulai berpikir ulang jika ingin memiliki atau menggunakan kendaraan pribadi.

2.8 Upaya Pencegahan Hujan Asam


Selain itu ada berbagai cara untuk dapat mencegah terjadinya kerusakan lingkungan akibat
hujan asam antara lain :
 Tidak berlebihan menggunakan kendaraan yang mengeluarkan polusi.
 Menyemprotkan kapur agar menetralkan hujan asam karena kapur bersifat basa.
 Tidak membuang sampah sembarangan dan menanam pohon (reboisasi).
 Mengurangi emisi gas buang (penggunaan pengubah katalik/catalyc converter).
 Memperbanyak taman kota.
 Menata kembali kawasan industri.

8
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hujan asam merupakan suatu masalah lingkungan yang perlu diperhatikan oleh manusia.
Hujan asam terjadi akibat terkontaminasinya uap air di atmosfer dengan gas SO x sehingga merusak
lingkungan dan kesehatan manusia. Untuk itu perlu dilakukan penanggulangn dengan menggunakan
bahan bakar dengan kandungan belerang rendah, pengunaan teknologi pengurang emisi SO2, serta
mengaplikasikan prinsip 3R (Reuse, Recycle, Reduce). Upaya pencegahan hujan asam perlu
diterapkan agar menghidari terjadinya hujan asam di beberapa daerah yang diperkirakan terjadi
maupun tidak. Upaya penanggulangan dan pencegahan tersebut adalah untuk menjaga kelangsungan
hidup.

3.2 Saran
Saran-saran yang dapat penyusun sampaikan antara lain:
1. Penggunaan bahan bakar fosil, terutama batu bara, lebih dikendalikan lagi agar pencemaran
udara bisa berkurang.
2. Pemerintah dan masyarakat harus lebih perhatian dan peduli terhadap masalah-masalah
lingkungan sekitar.
3. Pemerintah menerapkan system izin tentang peralatan yang digunakan oleh industri.

9
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Hujan Asam Mencegah Global Warming. http://webache.google- sercontent.com


[diakses tanggal 23 Februari 2011]
Anonim. 2009. Yogyakarta Rawan Hujan Asam. http://www.forumkami.com [diakses tanggal 23
Februari 2011]
Neiburger, Morris, et al.1982. Memahami Lingkungan Atmosfir Kita. Bandung: ITB
Sumahamijaya, Inra. 2009. Hujan Asam Menghancurkan Bumi. http://majaakrimagazine.com
[diakses tanggal 23 Februari 2011
Wardhana, Wisnu Area. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: Andi Yogyakarta

10

Anda mungkin juga menyukai