Anda di halaman 1dari 9

BERKAS PEMBULUH

Secara umum, struktur kelenjar sekresi dapat dibedakan menjadi dua yaitu struktur sekresi luar
(extracellular) yang terdapat di permukaan tumbuhan (organ) dan struktur sekresi dalam (intracellular)
yang terdapat di dalam organ tumbuhan (sel atau ruang antar sel) (Hidayat, 1995).

Sekresi adalah peristiwa pemisahan sejumlah zat dari protoplas atau isolasinya dalam sebagian
protoplas. Zat yang disekresikan dapat berupa ion berlebih yang dipisahkan dalam bentuk garam,
kelebihan hasil asimilasi yang dikeluarkan sebagai gula ataupun senyawa dalam dinding sel. Zat yang
disimpan dalam dinding sel atau dipermukaannya antara lain zat seperti lignin, suberin, kutin, dan
malam. Selain itu juga termasuk senyawa yang merupakan hasil akhir atau bukan merupakan hasil akhir
metabolisme, namun tidak dapat digunakan atau hanya separuh yang dapat digunakan secara fisiologis
(alkaloid, tanin, terpen, harsa, dan bermacam kristal) (Hidayat, 1995). Peristiwa sekresi dalam tumbuhan
biasanya ditunjukkan pada rambut kelenjar, nektarium, saluran harsa, dan latisfer (sel getah, sel lateks).
Namun, perlu disadari bahwa kegiatan sekresi terjadi dalam semua sel hidup dan menjadi bagian
metabolisme normalnya. Sekret yang dihasilkan oleh suatu kelenjar amat beragam. Beberapa kelenjar
(hidatoda, kelenjar lendir, nektarium, kelenjar garam) mensekresikan zat hidrofilik, sementara kelenjar
lain (kelenjr minyak, sel epiteliumpada saluran harsa) melepaskan zat lipofilik. Struktur kelenjar sekresi
sendiri dibedakan menjadi struktur kelenjar sekresi luar dan struktur kelenjar sekresi dalam. Kelenjar
sekresi luar antara lain nektarium (mensekresikan cairan gula), osmofor (menghasilkan bau harum), dan
hidatoda (pengeluaran air ke permukaan), sedangkan kelenjar sekresi dalam antara lain yaitu latisifer
(berisi lateks yang susunannya rumit) (Hidayat, 1995).

Dalam tumbuhan, sel seringkali menghasilkan zat-zat yang mungkin tidak digunakan dan dipisahkan dari
sitoplasma atau sama sekali dikeluarkan olehtumbuhan.Tempat-tempat dimana zat-zat tersebut
(getahkaret, dammar, minyak,nectar,latex, dll) terkumpul atau dikeluarkan dari dalam tumbuhan
disebutstruktur sekresi dan jaringannya disebut jaringan sekresi. Jaringan Sekresi (Kelenjar Internal)
adalah senyawa yang dihasilkan tidak dikeluarkan dari tubuh. Peristiwa sekresi dalam tumbuhan
biasanya ditunjukkan pada rambut kelenjar, nektarium, saluran harsa, dan latisfer (sel getah, sel lateks).
Struktur kelenjar sekresi sendiri dibedakan menjadi struktur kelenjar sekresi luar dan struktur kelenjar
sekresi dalam. Kelenjar sekresi luar antara lain nektarium (mensekresikan cairan gula), osmofor
(menghasilkan bau harum), dan hidatoda (pengeluaran air ke permukaan), sedangkan kelenjar sekresi
dalam antara lain yaitu latisifer (berisi lateks yang susunannya rumit). Peristiwa sekresi juga terjadi pada
tumbuhan jeruk atau buah jeruk, Pada tumbuhan jeruk biasanya yang dipakai untuk mengetahui jenis
sel sekretori adalah bagian daun.Sebagian tumbuhan jeruk banyak menghasilkan minyak atsiri, minyak
atsiri ini berasal dari hasil ekstraksi batang, daun, akar, bunga, dan buah. Akan tetapi tidak semua
tumbuhan menghasilkan minyak atsiri, begitu pula tidak semua bagian tumbuhan menghasilan minyak
atsiri.
Bau khas yang dihasilkan jeruk adalah berasal dari minyak atsiri yang merupakan salah satu senyawa
metabolit sekunder yang dihasilkan oleh sel sekretori. Sel sekretori merupakan struktur sekresi khusus
yang mensekresikan senyawa-senyawa tertentu yang tidak dikeluarkan oleh tubuh tumbuhan

Sel sekretori bersifat idioblas dan tunggal yang memiliki cairan sel berbeda dari sekelilingnya misalnya
sel minyak pada rimpang jahe, sedangkan kelenjar sekretori merupakan sekelompok sel yang berdinding
tipis mengelilingi suatu ruangan yang berisi senyawa, misalnya pada kelenjar daun Citrus sp. (Nugroho,
2017 : 32). Sekresi adalah peristiwa pemisahan sejumlah zat atau substansi dari protoplasma atau
terisolasi dalam sebagian protoplas. Zat yang disekresikan dapat berupa garam, gula dan senyawa
penyusun dinding sel (Hidayat, 1995). Masalah yang akan coba dianalisis dalam tulisan ini adalah
bagaimana proses pembentukan sel sekretori pada jeruk nipis (Citrus aurantifolia) yaitu pada bagian
daun dan buahnya.

a. Struktur sekretori yang terdapat pada genus Coleus yang berpotensi menghasilkan minyak atsiri
adalah trikoma kelenjar dengan empat jenis, yaitu kapitat, peltat, konoidal, dan digitiform. Trikoma
kelenjar kapitat dan digitiform ditemukan pada ketiga tumbuhan dari genus Coleus. Trikoma kelenjar
peltat ditemukan pada tumbuhan Coleus scutellarioides dan Coleus tuberosus. Trikoma kelenjar
konoidal ditemukan pada tumbuhan Coleus scutellarioides. Sebaran trikoma kelenjar kapitat paling
banyak terdapat pada nodus ke 1 permukaan adaksial dan abaksial helai daun Coleus amboinicus.
Semakin bertambah usia daun (nodus 3-5) ada penurunan jenis dan sebaran trikoma kelenjar.

b. Perbandingan struktur anatomi dilakukan terhadap helai daun, pelepah daun, batang semu, rimpang
dan akar.

1) Anatomi Helai Daun

Daun anggota familia Zingiberaceae terdiri dari pelepah, upih, tangkai dan helai. Daun C. speciosus
tersusun spiral di batang, sedang daun spesies lainnya tersusun berseling. Sifat ini merupakan kriteria
pembeda untuk sub familia. Irisan melintang helai daun memperlihatkan kutikula, epidermis,
hipodermis, parenkim palisade, parenkim bunga karang dan berkas pengangkut. Epidermis selapis di
kedua permukaan, berbentuk segienam, segienam memanjang atau tidak beraturan, ukuran lebih kecil
dari pada sel-sel lain. Letak epidermis atas lebih teratur dari pada epidermis bawah. Pada irisan
paradermal, sel epidermis di sisi-sisi rusuk berkas pengangkut mengalami modifikasi menjadi lebih kecil
dan rapat, berbentuk pipih memanjang pada Z. officinale dan tetap segienam pada spesies lainnya. Pada
A. galanga dan A. javanica jumlah sel epidermis yang mengalami modifikasi tersebut hanya satu baris,
pada A. Hookeriana, A. malaccensis, A. nutans dan Z. officinale umumnya tiga baris dan pada H.
coronarium 3-4 baris. Pada C. speciosus sel epidermis besar, seragam dan tidak ada yang mengalami
modifikasi.
Kristal Ca-oksalat ditemukan sangat melimpah di epidermis atas C. speciosus, berbentuk bintang (druse),
dimana hampir semua sel mempunyai sebuah kristal Caoksalat. Pada spesies non-Costus kristal Ca-
oksalat berbentuk bulat atau pasir, dengan kekerapan bervariasi tergantung usia dan jenis. Sel minyak
atsiri irisan paradermal hanya ditemukan pada A. galanga, H. coronarium dan Z. officinale. Pada A.
galanga dan Z. officinale ditemukan di kedua permukaan daun, sedang pada H. coronarium hanya di
permukaan bawah saja. Kerapatan sel minyak atsiri di permukaan atas A. galanga 4-6 psbp, bawah 50-60
psbp. Di permukaan atas Z. officinale 1-3 psbp, bawah 50-60 psbp. Di permukaan bawah H. coronarium
27-28 psbp. Kutikula umumnya tipis, tetapi pada C. speciosus tebal. Bulu-bulu di permukaan atas daun
hanya ditemukan pada A. javanica 1-3 psbp dan A. nutans 4-6 psbp. Bulubulu di permukaan bawah
ditemukan pada A. javanica 45-55 psbp, A. malaccensis 25-30 psbp, A. nutans 30-35 psbp dan paling
rapat pada C. speciosus 85-95 psbp. Bulu-bulu pada C. speciosus berbentuk multiseluler, lebih pendek
dan hanya tertanam sampai epidermis, sedang bulu-bulu spesies lainnya uniseluler, lebih panjang dan
tertanam cukup dalam melebihi batas epidermis. Stomata bertipe ginjal, terdapat pada kedua sisi daun,
kecuali pada C. speciosus hanya terdapat di permukaan bawah. Stomata sangat melimpah di permukaan
bawah, bahkan pada kelompok Alpinia (kecuali A. galanga) selalu berdempetan disepanjang sisi berkas
pengangkut perifer daun. Kerapatan stomata sangat bervariasi tergantung spesiesnya. Kerapatan
stomata di permukaan atas sebagai berikut: A. Hookeriana 1-2 psbp, A. nutans dan H. coronarium 3-4
psbp, A. galanga dan A. malaccensis 4-6 psbp, serta A. javanica dan Z. officinale 9-10 psbp. Kerapatan
stomata di permukaan bawah sebagai berikut: C. speciosus dan Z. officinale sekitar 80-90 psbp, A.
malaccensis dan A. nutans sekitar 100 psbp, A. galanga, A. javanica dan H. coronarium sekitar 150 psbp
dan pada A. Hookeriana sekitar 200 psbp. Sel tetangga lateral pada kelompok Alpinia berbentuk
menyerupai segitiga, sedang pada C. speciosus, H. coronarium dan Z. officinale berbentuk menyerupai
bulan sabit. Pada C. speciosus jumlahnya 2 buah, sedang pada spesies lain 1 buah. Sel tetangga terminal
1 buah berbentuk bulan sabit. Pada kelompok Alpinia ukuran stomata sekitar 7-7,5X3,5-6 µm, sedang
pada C. speciosus, H. coronarium dan Z. officinale sekitar ukurannya 9-10X4,5-8 µm. Hipodermis
umumnya selapis, ditemukan pada kedua permukaan helai daun, namun pada kelompok Alpinia hanya
ditemukan di permukaan atas saja. Di permukaan atas A. galanga, A. Hookeriana dan C. speciosus 1-2
lapis, pada spesies lainya hanya selapis. Di permukaan bawah C. speciosus, H. coronarium dan Z.
officinale hanya selapis. Hipodermis berbentuk segienam memanjang atau bulat memanjang, umumnya
memanjang antiklinal, namun pada A. malaccensis, H. coronarium dan Z. officinale memanjang
periklinal. Ukuran hipodermis bervariasi, pada A. galanga dan A. Hookeriana 9-9,75X8,75-9,75 µm, pada
A. javanica, A.

malaccensis dan A. nutans sekitar 13-13,5X8,25-10 µm, pada H. coronarium 7-14,25 µm, pada Z.
officinale 13- 16,25 µm dan yang terbesar pada C. speciosus 26,75 38,5 µm. ukuran hipodermis di
permukaan bawah helai daun C. speciosus 29-31 µm, H. coronarium 65-70 µm dan Z. officinale 13,5-19,5
µm. Hipodermis pada daerah berkas pengangkut perifer tertekan atau terpotong, di daerah antar berkas
pengangkut perifer beraturan, sedang di bawah stomata tidak beraturan. Klorenkim berdinding tipis
terdiri dari lapisan palisade yang memanjang antiklinal dan sel-sel conus. Lapisan palisade biasanya 1-2,
kecuali pada H. coronarium dan Z. officinale 2-3 lapis. Sel conus umumnya juga 1-2 lapis, kecuali pad A.
Hookeriana, A. javanica dan A. malaccensis 3-5 lapis. Berkas pengangkut agak rapat hingga sangat rapat,
pada A. galanga, C. speciosus dan Z. officinale tidak pernah berdempetan, sedang pada spesies lain
kadangkadang berdempetan. Berkas pengangkut umumnya berbentuk pipih antiklinal, pada A. galanga,
C. speciosus dan Z. officinale kadang-kadang membulat. Jumlah dan ukuran berkas pengangkut pada
tulang daun bervariasi, umumnya 8 buah, tetapi pada C. speciosus hanya sekitar 5 buah. Berkas
pengangkut selalu menyentuh salah satu atau kedua permukaan daun kecuali pada berkas pengangkut
yang kecil. Pada C. speciosus berkas pengangkut tidak pernah menyentuh permukaan daun. Sarung
berkas pengangkut luar parenkimatis, berdinding tipis, sedikit mengalami penebalan, umumnya 1-2
lapis. Tetapi pada A. Hookeriana dan H. coronarium biasanya hanya selapis. Pada Berkas pengangkut
kecil sarung berkas mengelilingi utuh, sedang pada berkas pengangkut besar sarung berkas terpotong
pada salah satu atau kedua ujungnya. Sarung berkas pengangkut dalam berserat, berdinding tebal.
kompak dan padat, Pada berkas pengangkut kecil sarung ini hanya terletak di sisi bawah, sedang pada
berkas pengangkut besar terletak di bawah dan di atas, kadangkadang hanya berupa serabut-serabut
tidak kompak.

2) Anatomi pelepah daun

Permukaan luar pelepah daun berlekuk-lekuk atau tidak. Lekuk-lekuk ini disebabkan oleh penonjolan
rusuk-rusuk berkas pengangkut perifer. Pada A. javanica, A. malaccensis, A. nutans, H. coronarium dan Z.
officinale berlekuk-lekuk, sedang pada A. galanga, A. Hookeriana dan C. speciosus tepi rata, tidak
berlekuklekuk. Seperti pada helai daun, epidermis pelepah daun pada berkas pengangkut perifer
biasanya berbeda dengan daerah antara rusuk berkas pengangkut perifer, yakni lebih kecil dan pipih.
Stomata agak melimpah disepanjang garis rusuk tersebut. Bulu-bulu tidak ditemukan pada A. galanga
dan Z. officinale, sangat jarang pada A. Hookeriana dan H. coronarium, rapat-sangat rapat pada spesies
lainnya. Bulu-bulu C. speciosus multiseluler, sedang pada spesies lain uniseluler. Sel minyak atsiri hadir,
kecuali pada C. speciosus, bentuk khas, berwarna kuning. Pada sisi adaksial biasanya ditemukan kristal
Ca-oksalat, berbentuk druse pada C. speciosus dan berbentuk bulat atau pasir pada spesies sisanya.
Rongga udara besar ditemukan terutama pada kelompok Alpinia (kecuali A. galanga), bersekat-sekat
melintang oleh untaian sel-sel bulat atau sel-sel bintang (stellate). Pada A. nutans antara rongga udara
dipisahkan oleh septa tebal berisi berkas pengangkut. Sistem berkas pengangkut pelepah daun dapat
dibedakan menjadi 4 macam, namun tidak semua berkembang sama pada setiap tingkatan, yaitu: sistem
berkas pengangkut utama (I), sistem berkas pengangkut adaksial (II), sistem berkas pengangkut sentral
(III) dan sistem berkas pengangkut abaksial (IV). Pada C. speciosus sistem berkas pengangkut utama (I)
berbentuk bulat memanjang, berderet membentuk busur tunggal di dekat permukaan adaksial dan
berderet sejajar dengan rongga udara membentuk seperti sisir. Setiap berkas pengangkut utama
mempunyai serabut padat di sebelah atas xilem dan di sebelah bawah floem. Berkas pengangkut utama
mempunyai trachea tunggal, lebar, protoxilem panjang, metaxilem kecil dan floem tunggal. Busur sistem
berkas pengangkut lainnya tereduksi tanpa protoxilem, namun dikelilingi sabuk kolenkim samar-samar.
Sistem berkas pengangkut adaksial (II) agak rapat, berbentuk bulat, ukuran bermacam-macam,
membentuk selapis busur di dekat atau menempel di sisi abaksial pelepah. Berkas pengangkut yang
besar dikelilingi oleh sarung serabut tebal, sedang berkas pengangkut yang kecil sarung serabutnya tipis,
kadang-kadang terdapat kumpulan serabut-serabut kompak tanpa berkas pengangkut, seperti pada A.
javanica dan A. malaccensis. Sistem berkas pengangkut adaksial membentuk zona tepi yang kaku. Sistem
berkas pengangkut sentral (III) dan sistem berkas pengangkut abaksial (IV) umumnya tidak dapat
dibedakan, namun pada A. Hookeriana dan A. javanica masih bisa dipisahkan. Pada C. speciosus
keduanya tereduksi. Sistem berkas pengangkut sentral umumnya hanya selapis, terletak di medula
mesofil dan agak besar. Pada A. Hookeriana sarung serabut agak tebal, sedang pada A. javanica hampir
tidak ada. Sistem berkas pengangkut abaksial biasanya 1-2 lapis, terletak agak jauh dari sisi abaksial
pelepah daun, kecil-kecil, sarung serabut agak tebal dan kadang-kadang tidak ada. Sel-sel sarung berkas
pengangkut kolenkimatis. Sel parenkim menjadi sklerotis di permukaan bawah.

3) Anatomi batang

Irisan batang semu terdiri dari korteks dan stele yang dipisahkan cincin tengah. Bagian terluar korteks
berupa sel epidermis. Tepi batang biasanya rata, tetapi pada C. speciosus dan H. coronarium tidak rata
karena adanya berkas pengangkut perifer. Pada A. javanica, A. malaccensis dan A. nutans korteks
sempit, sedang pada spesies lainnya lebar. Pada A. Hookeriana, A. nutans dan H. coronarium cincin
tengah tebal. Stele selalu tebal. Berkas pengangkut rapat, tidak beraturan, bentuk kurang lebih bulat,
ukuran bermacam-macam. Sel minyak atsiri kekuning-kuningan tersebar merata diseluruh batang. Pada
C. speciosus minyak atsiri tidak ditemukan.

4) Anatomi Rimpang

Irisan melintang rimpang menunjukkan adanya kutikula, epidermis, korteks, endodermis dan stele.
Berkas pengangkut terletak pada parenkim korteks dan stele. Epidermis selapis berupa sel-sel kecil agak
pipih, berdinding kuning kecoklatan, pada A. galanga kadangkadang kemerah-merahan. Kutikula hadir,
biasanya tipis, tetapi pada A. galanga agak tebal dan berkilat. Pada rimpang tua epidermis seringkali
robek, sehingga rimpang hanya dilindungi periderm. Hipodermis biasanya lebih dari selapis, sedang
periderm terdiri dari beberapa lapis sel gabus. Pada kelompok Alpinia (kecuali A. Hookeriana)
hipodermis dan periderm tidak teramati. Korteks parenkimatis. Pada kelompok Alpinia parenkim korteks
besar berdinding tipis, beberapa lapis di sebelah luar tidak berpati, sedang sisanya berpati, sangat rapat
hingga pusat stele. Pada H. coronarium pati mengumpul di sekitar berkas pengangkut, sedang pada C.
speciosus dan Z. officinale pati tersebar merata hingga stele, tidak terlalu tebal. Sel minyak atsiri tidak
ditemukan hanya pada C. speciosus. Pada kelompok Alpinia dan H. coronarium jumlahnya sekitar 10
psbp, sedang pada Z. officinale sekitar 18 psbp. Pada distilasi air, kadar minyak atsiri yang diperoleh
berbeda-beda karema perbedaan ukuran sel minyak atsiri, kadar oleoresin dalam minyak atsiri yang ikut
menguap dan banyaknya minyak atsiri yang tidak berhasil diuapkan oleh alat destilasi. Endodermis
berupa selapis sel dengan dinding radial agak tebal, tidak mengandung pati. Berkas pengangkut bertipe
kolateral. Di sebelah dalam endodermis berkas pengangkut membentuk sabuk melingkar. Pada A.
galanga, A. Hookeriana dan Z. officinale sabuk tersebut tidak bersambung, dimana antara berkas
pengangkut satu dengan berkas pengangkut lainnya dipisahkan oleh parenkim, sedangkan pada spesies
lain bersambung bahkan sering bertumpuk 2-3 secara radial. Stele bertipe ataktostele. Di dalamnya
ditemukan pula pati dan sel minyak atsiri dengan kerapatan sama dengan korteks namun jumlah berkas
pengangkut lebih rapat. Pada kelompok Alpinia (kecuali A. galanga) berkas pengangkut di korteks sangat
rapat, sehigga rimpang berserat, ulet dan sulit dipatahkan. Pada kelompok Alpinia xilem umumnya
berupa pembuluh jala, pembuluh bernoktah dan pembuluh tangga, sedang pada C. speciosus, H.
coronarium dan Z. officinale xilem berupa pembuluh spiral dan jala. Floem berkelompok, kadang-kadang
tidak jelas. Pada irisan makroskopis terdapat dua sektor. Sektor luar (korteks) dan sektor dalam (stele)
dipisahkan olen cincin melingkar umumnya tebal (mengandung endodermis) berwarna kuning tua,
tetapi pada A. Hookeriana berwarna biru tua.

5) Anatomi akar

Irisan melintang akar terdiri dari korteks dan stele yang dibatasi endodermis. Bagian terluar korteks
berupa selapis sel eksodermis, berbentuk bulat memanjangbulat, rapat dan mengalami penebalan. Pada
C. speciosus, H. coronarium dan Z. officinale di sebelah dalam eksodermis terdapat beberapa lapis sel
serupa eksodermis. Sebagian sel eksodermis terdiferensiasi menjadi bulu-bulu akar, pada C. speciosus
sebagian juga terdiferensiasi menjadi bulu-bulu eksodermal. Sekitar 1/5-1/3 bagian korteks terluar
terdiri dari sel parenkim kecil, bulat, rapat, tersusun teratur dan mengalami penebalan, sedang
parenkim yang terletak di sebelah dalam besar, berdinding tipis dan susunannya tidak teratur.
Menjelang endodermis terdapat 3-5 baris sel yang tersusun teratur secara radial. Pada H. coronarium
jumlah baris ini hanya 1-2. Sel minyak atsiri ditemukan di korteks kecuali pada C. speciosus. Endodermis
selapis, menyerupai huruf "U" dengan penebalan radial, semakin menebal pada akar yang tua. Stele
memiliki berkas pengangkut padat di tepi dan jaringan parenkimatis tipis di tengah. Serabut floem
umumnya bulat panjang, tetapi pada A. galanga bulat tidak memanjang. Floem berjajar dalam dua baris,
baris luar kecil-kecil, kadang-kadang bersekat 2-3, baris dalam besarnya mencapai 2-5 kalinya. Jumlah
lingkaran dalam akar umumnya 20 buah, tetapi pada A. galanga dan Z. officinale hanya sekitar 10 buah,
sedang pada C. speciosus sekitar 15 buah. Pada A. galanga seluruh ruangan stele merupakan berkas
pengangkut yang menebal, parenkim empulur sangat sedikit ditengah. Pada C. speciosus seluruhnya
menebal, parankim empulur tidak ada, sedang pada spesies lain empulur masih ada.

c. Karakter anatomi daun Purwoceng

1) Struktur Stomata dan Sel Epidermis

purwoceng memiliki stomata pada kedua permukaan daun, baik adaksial (atas) maupun abaksial
(bawah), disebut juga amfistomatik (Fahn, 1990). Jumlah stomata pada permukaan daun abaksial lebih
banyak atau lebih rapat dari adaksial. Stomata memiliki sel penjaga berbentuk seperti ginjal, dikelilingi
oleh dua sel tetangga dengan dinding bersama dari kedua sel tetangga itu tegak lurus terhadap sumbu
melalui panjang sel penutup serta celah (diasitik). Selain itu, ditemukan pula tipe stomata anomositik di
mana bentuk sel tetangga tidak dapat dibedakan dengan sel epidermis lainnya (Fahn, 1990). Sel
epidermis bervariasi, ada yang memanjang-berlekuk (Gambar 1 A, B, D, F, G) dan pendek-membulat
(Gambar 1 C, E, H). Pengamatan terhadap struktur kualitatif stomata dan sel epidermis menunjukkan
tidak ada perbedaan di antara kontrol dan semua kombinasi perlakuan. Variasi bentuk sel epidermis
tidak hanya pada kontrol, tetapi juga pada semua kombinasi perlakuan. Diduga perbedaan ini bukan
pengaruh dari perlakuan, tetapi merupakan variasi dari sifat tanaman sampel.

2) Kerapatan Stomata

Hasil analisis ragam terhadap rata-rata kerapatan stomata menunjukkan bahwa interaksi sorbitol dan
paklobutrazol selama periode konservasi 4 bulan nyata meningkatkan kerapatan stomata daun yang
telah diregenerasi (RPPK4). Kerapatan stomata paling tinggi terdapat pada daun dari planlet yang telah
mengalami penyimpanan dengan kombinasi perlakuan S4P3 (239 stomata/mm2 ). Tingkat kerapatan
stomata paling rendah terdapat pada daun yang diberi kombinasi perlakuan S2P1 (133,8
stomata/mm2 ), lebih rendah dibandingkan dengan kontrol (155,7 stomata/mm2 ), tetapi secara
statistik tidak berbeda nyata (Gambar 2). Daun dari dua kombinasi perlakuan (S5P3 dan S5P5) tidak
diamati karena ukuran daun sangat kecil (lebar ±0,3 cm) sehingga sulit dibuat sayatan. Pengamatan
karakter anatomi daun regeneran pascakonservasi 8 bulan (RPPK8) hanya dilakukan terhadap 11
kombinasi perlakuan, karena sebagian planlet mati pada saat dikonservasi atau diregenerasi sebelum
mencapai bulan ketiga. Kerapatan stomata daun planlet RPPK8 menunjukkan hasil yang bervariasi. Ada
kecenderungan, semakin tinggi konsentrasi kombinasi perlakuan semakin tinggi pula nilai kerapatan
stomata/mm2 daun (Gambar 2). Sebagai pembanding, kerapatan stomata daun di lapang adalah
206,3/mm2 . Kerapatan stomata daun kultur pada RPPK8 secara umum lebih tinggi dari daun pada
planlet RPPK4 (Gambar 2). Hasil pengamatan terhadap karakter kerapatan stomata daun regeneran
pada periode konservasi 4 bulan (RPPK4) dan 8 bulan (RPPK8) menunjukkan bahwa aplikasi sorbitol dan
paklobutrazol selama periode konservasi masih berpengaruh. Nilai kerapatan stomata cenderung
meningkat seiring dengan penambahan konsentrasi kedua faktor tersebut. Hal ini berhubungan dengan
pengecilan ukuran daun seiring dengan peningkatan konsentrasi selama periode konservasi, meskipun
planlet sudah dipindah ke media regenerasi. Menurut Kasele et al. (1995), aplikasi retardan menurunkan
luas daun dan bobot kering daun, tetapi meningkatkan kerapatan stomata s7-19%. Stomata daun pada
bulan ketiga RPPK8 cenderung lebih rapat dari daun RPPK4. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama
periode konservasi semakin kuat pula efek perlakuan sorbitol dan paklobutrazol, meskipun tanaman
sudah disubkultur ke media regenerasi selama 3 bulan.

3) Panjang Stomata

Menurut hasil analisis ragam, interaksi sorbitol dan paklobutrazol nyata menurunkan panjang stomata
(PS) daun pada bulan ketiga RPPK4. Rata-rata PS daun paling tinggi dimiliki oleh kontrol (37,8 µm),
terendah pada kombinasi perlakuan S0P5 (26 µm) (Gambar 3).
Panjang stomata daun pada RPPK8 bervariasi, paling besar terdapat pada kombinasi perlakuan S1P5
(32,8 µm) dan terkecil S0P3 (25,6 µm). Sebagai pembanding, panjang stomata dari lapang rata-rata 29,1
µm. Panjang stomata daun RPPK8 pada sebagian kombinasi perlakuan mengalami penurunan
dibandingkan dengan daun pada RPPK4 (Gambar 3). Penurunan panjang stomata daun RPPK4
merupakan respon terhadap interaksi sorbitol dan paklobutrazol selama periode konservasi. Semakin
tinggi konsentrasi kedua faktor tersebut semakin kecil ukuran stomata. Panjang stomata pada daun
kontrol in vitro (37,8 µm) lebih besar dari stomata daun yang berasal dari lapang (29,1 µm). Stomata
terpendek terdapat pada daun yang diberi perlakuan S0P5 (26 µm), lebih pendek pula dibandingkan
dengan stomata daun dari lapang. Sebagaimana halnya sorbitol, peningkatan konsentrasi sukrosa
sebagai regulator osmotik dalam media MS sampai 9% dapat meningkatkan kandungan gula, pati, dan
jumlah stomata tetapi menurunkan potensial air dan ukuran stomata planlet Alocasia amazonica selama
periode pertumbuhan in vitro (Jo et al., 2009). Menurut Ermayanti et al. (2004), karakter anatomi daun
yang menyangkut ukuran seperti jumlah, panjang, dan lebar stomata daun bagian bawah tanaman
merupakan karakter anatomi yang dapat berubah karena pengaruh lingkungan. Diharapkan perbedaan
karakter kuantitatif anatomi ini dapat dihilangkan setelah kultur diaklimatisasi ke rumah kaca.

4) Struktur Daun

Sayatan melintang daun purwoceng dari lapang tersusun dari bagian-bagian sebagai berikut: epidermis
atas, jaringan palisade, jaringan bunga karang, berkas pembuluh, dan epidermis bawah. Sel-sel
epidermis atas berukuran relatif lebih besar dari yang ada di bawah. Epidermis atas dan bawah
mengandung stomata (amfistomatik), kedudukan stomata lebih tinggi dari epidermis (faneropor).
Jaringan palisade terdiferensiasi sempurna memanjang tegak lurus dengan epidermis, tersusun rapat
dan mengandung banyak kloroplas. Jaringan bunga karang terdiri atas sel-sel yang berukuran relatif
lebih kecil membulat, susunannya tidak teratur sehingga banyak mengandung rongga udara (Gambar 4A
dan B). Struktur daun purwoceng in vitro memiliki sedikit perbedaan, yaitu jaringan mesofil tidak
terdiferensiasi dengan sempurna, sehingga tidak dapat dibedakan antara palisade dengan bunga karang.
Jaringan mesofil atas dapat dibedakan dari mesofil bawah melalui distribusi kloroplasnya. Kloroplas lebih
banyak berada pada jaringan mesofil bagian atas, selain itu sel-selnya berukuran relatif lebih besar,
tersusun rapat tetapi masih berbentuk membulat. Jaringan bunga karang tersusun atas sel-sel dengan
ukuran lebih kecil dan tersusun rapat (Gambar 4C dan D). Pengamatan kualitatif terhadap struktur
anatomi daun memperlihatkan adanya perbedaan antara daun purwoceng dari lapang dan dari
lingkungan kultur (in vitro). Daun dari lapang memiliki mesofil yang terdiferensiasi menjadi parenkim
palisade dan parenkim spons, parenkim palisade terdapat pada bagian adaksial (ventral) disebut juga
daun bifasial atau dorsiventral (Suradinata, 1998). Mesofil daun in vitro tidak berdiferensiasi secara
sempurna menjadi parenkim palisade. Menurut Sandoval et al. (1994) serta Dami dan Hughes (1995),
daun dari kultur in vitro memiliki helaian lebih sempit, tipis, dan tingkatan diferensiasi jaringan lebih
rendah daripada daun dari lapang. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan kondisi lingkungan
kultur dengan kondisi di lapang. Tanaman di lapang menerima secara optimal cahaya dari matahari
langsung, sedangkan tanaman di lingkungan kultur terbatas pada pencahayaan dari lampu. Akibatnya,
daun tanaman kultur in vitro tidak dapat berdiferensiasi sempurna membentuk jaringan palisade dan
bunga karang. Menurut Suradinata (1998), air dan cahaya merupakan faktor yang mempengaruhi
diferensiasi jaringan palisade. Hasil pengamatan kualitatif terhadap sayatan melintang daun pada
kombinasi perlakuan sorbitol dan paklobutrazol menunjukkan adanya sedikit perbedaan ketebalan,
struktur jaringan mesofil, dan kandungan kloroplas. Struktur daun purwoceng yang diberi perlakuan
tidak menunjukkan kerusakan namun menghasilkan sedikit perbedaan dibanding kontrol (Gambar 5).

Struktur jaringan mesofil daun yang diberi perlakuan paklobutrazol konsentrasi tinggi sedikit lebih
terdiferensiasi menyerupai palisade, di mana kandungan klorofil terkonsentrasi pada mesofil atas,
susunan sel agak memanjang dan rapat. Bentuk dan susunan sel-sel mesofil bawah lebih membulat.
Diduga cekaman yang disebabkan oleh sorbitol dan paklobutrazol berpengaruh terhadap diferensiasi
parenkim palisade. Daun yang diberi pelakuan sorbitol dan paklobutrazol konsentrasi tinggi
mengandung banyak kloroplas dibanding kontrol sehingga menginduksi diferensiasi jaringan palisade.
Menurut Sinha (1999), perkembangan kloroplas menginduksi diferensiasi jaringan fotosintesis pada
tomat. Selain itu, cekaman osmotik pada daun planlet in vitro tanaman anggur menyebabkan
diferensiasi palisade yang lebih nyata dan kloroplas lebih banyak dibandingkan dengan daun kontrol in
vitro. Diduga zat osmotikum dapat memperbaiki anatomi daun mendekati keadaan normal seperti daun
dari rumah kaca (Dami dan Hughes, 1995).

Anda mungkin juga menyukai