Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

KEBUTUHAN OBAT DALAM KEGAWATDARURATAN BENCANA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pertolongan Pertama Pada Kegawat-
daruratan (P3GD)

Oleh :

Anisah Hasna Nur Maudi P17335119003

Dea Yuniar P17335119007

Dewi Anjani P17335119008

Dita Hanifan Rhoosan P17335119011

Erna Prihatini P17335119013

Febry Liani Habbie P17335119015

Fikri Ikhlasul Amal P17335119016

Lutfiah Sarlita Anfhusina P17335119018

Rini Rahmawati P17335119029

Risma Pirdayanti P17335119030

Zulfah Ainun P17335119036

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN

JURUSAN FARMASI

BANDUNG 2020
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji serta syukur atas kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas
mata kuliah Pertolongan Pertama Pada Kegawat-daruratan (P3GD) yang berjudul “Kebutuhan
Obat dalam Kegawatdaruratan” dengan tepat waktu.

Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
baik materi maupun cara penulisannya. Maka kami memohon maaf dan meminta saran yang
dapat membangun menjadi lebih baik kedepannya.

Dalam pembuatan makalah ini, kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini. Penulisan makalah ini tidak hanya untuk
memenuhi tugas mata kuliah Pertolongan Pertama Pada Kegawat-daruratan (P3GD) tetapi untuk
mengasah kemampuan penulis sebagai mahasiswa untuk menempuh pendidikan yang lebih baik
dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri maupun bagi pembaca.

Bandung, 27 September 2020

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................1
DAFTAR ISI...................................................................................................................................2
BAB I...............................................................................................................................................3
PENDAHULUAN...........................................................................................................................3
A. Latar Belakang......................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................4
C. Tujuan...................................................................................................................................4
BAB II.............................................................................................................................................5
PEMBAHASAN..............................................................................................................................5
A. Pengertian Gawat Darurat.....................................................................................................5
B. Pelaksanaan Pelayanan Kebutuhan Obat dalam Kegawatdaruratan Bencana......................5
C. Upaya Pengembangan Dalam Perencanaan Kebutuhan Obat Dalam Kegawatdaruratan
Bencana........................................................................................................................................8
BAB III..........................................................................................................................................14
PENUTUP.....................................................................................................................................14
A. Kesimpulan.........................................................................................................................14
B. Saran...................................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................15

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan adalah suatu keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun
sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan
ekonomis. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan atau serangkaian kegiatan yang
dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit,
peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, serta pemulihan kesehatan oleh pemerintah
dan atau masyarakat. Untuk mendukung upaya kesehatan diperlukan fasilitas kesehatan
(Undang-undang No. 36, 2009).
Fasilitas pelayanan kesehatan merupakan suatu alat dan atau tempat yang
digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif,
kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah pusat, pemerintah daerah,
dan atau masyarakat (Undang-undang No. 36, 2009; Permenkes No. 56, 2014).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 75 Tahun 2014 Tentang Pusat
Kesehatan Masyarakat, Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan
tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk
mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.
Ruang lingkup kegiatan pelayanan kefarmasian di puskesmas meliputi pengelolaan obat
dan bahan medis habis pakai dan kegiatan pelayanan farmasi klinik didukung dengan
adanya sarana prasarana dan sumber daya manusia .
Pengelolaan obat merupakan suatu rangkaian kegiatan yang menyangkut aspek
perencanaan, pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian obat yang dikelola secara
optimal untuk menjamin tercapainya ketepatan jumlah dan jenis perbekalan farmasi dan
alat kesehatan, dengan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia seperti tenaga, dana,
sarana, dan perangkat lunak (metode dan tata laksana) dalam upaya mencapai tujuan
yang ditetapkan diberbagai tingkat unit kerja . Menurut Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesi Nomor 72 tahun 2016 Tentang Standar pelayanan kefarmasian di

3
Rumah Sakit, pengelolaan obat dan alat kesehatan kegawatdaruratan harus menjamin
jumlah dan jenis obat sesuai dengan daftar obat kegawatdarurat yang telah ditetapkan,
tidak boleh bercampur dengan persediaan obat untuk kebutuhan lain, bila dipakai untuk
keperluan gawatdarurat harus segera diganti, dicek secara berkala apakah ada yang
kadaluwarsa, dilarang untuk dipinjam untuk kebutuhan lain. Dalam pengelolaan obat
kegawatdaruraant, puskesmas seharusnya memiliki kebijakan maupun prosedur agar
lebih mudah dan tertata dalam pelaksanaannya.
Obat Kegawatdaruratan merupakan sebagian dari obat-obatan yang harus ada
dalam persediaan ruangan, obat ini mutlak harus tersedia disetiap ruangan karena
pengaruhnya yang begitu besar terhadap pelayanan yang terkait yaitu mengembalikan
fungsi sirkulasi dan mengatasi keadaan gawatdarurat lainnya dengan menggunakan obat-
obatan ini (Hadiani, 2013). Obat kegawatdaruratan harus tersedia pada unit-unit dan
dapat terakses segera saat diperlukan, idealnya obat-obat kegawatdarurat harus ada pada
setiap unit perawatan atau pelayanan. Jika terkendala denga jumlahnya, maka obat-obatan
tersebut bisa ditempatkan pada titik-titik lokasi yang sering atau rawan terjadi kondisi
gawatdarurat. Beberapa kondisi gawatdarurat seperti Kecelakaan/tenggelam/keracunan,
penurunan kesadaran, kejang, sesak napas, luka bakar, serangan jantung, diare/muntah
dengan dehidrasi, persalinan, alergi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka masalah penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pelaksanaan dan masalah yang dihadapi dalam perencanaan
kebutuhan obat dalam kegawatdaruratan bencana.
2. Upaya pengembangan dalam perencanaan kebutuhan obat dalam kegawatdaruratan
bencana.

C. Tujuan

1. Mengidentifikasi kendala atau masalah yang dihadapi oleh Instalasi Farmasi dalam
menyusun rencana kebutuhan obat dalam kegawatdaruratan bencana.
2. Pengembangan perencanaan obat yang dilakukan untuk menghasilkan perencanaan
kebutuhan obat kegawatdaruratan bencana di Instalasi Farmasi

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Gawat Darurat

Gawat artinya mengancam nyawa, sedangkan darurat adalah perlu mendapatkan


penanganan atau tindakan segera untuk menghilangkan ancaman nyawa korban. Jadi,
gawat darurat adalah keadaan yang mengancam nyawa yang harus dilakukan tindakan
segera untuk menghindari kecacatan bahkan kematian korban (Hutabarat & Putra,
2016).
Situasi gawat darurat tidak hanya terjadi akibat lalu lintas jalan raya yang sangat
padat saja, tapi juga dalam lingkup keluarga dan perumahan pun sering terjadi.
Misalnya, habis melakukan olahraga tiba-tiba terserang penyakit jantung, seorang
yang makan tiba-tiba tersedak, seorang yang sedang membersihkan rumput di kebun
tiba-tiba digigit ular berbisa, dan sebagainya. Semua situasi tersebut perlu diatasi
segera dalam hitungan menit bahkan detik, sehingga perlu pengetahuan praktis bagi
semua masyarakat tentang pertolongan pertama pada gawat darurat. Pertolongan
pertama pada gawat darurat adalah serangkaian usaha-usaha pertama yang dapat
dilakukan pada kondisi gawat darurat dalam rangka menyelamatkan pasien dari
kematian (Sutawijaya, 2009).

B. Pelaksanaan Pelayanan Kebutuhan Obat dalam Kegawatdaruratan Bencana

Dalam upaya peningkatan mutu dan keselamatan pasien, rumah sakit wajib
memiliki sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dapat digunakan dalam penanganan
kasus emergensi. Sediaan emergensi yang dimaksud adalah obat-obat yang bersifat
life saving atau life threatening beserta alat kesehatan yang mendukung kondisi
emergensi. Untuk itu pengelolaan obat emergensi menjadi hal yang penting dan
menjadi tanggung jawab bersama, baik dari instalasi farmasi sebagai penyedia
sediaan farmasi dan alat kesehatannya, serta dokter dan perawat sebagai pengguna.
Selain itu pengelolaan sediaan emergensi ini masuk di dalam standar Akreditasi
Rumah Sakit yaitu standar Managemen Penggunaan Obat (MPO) dan Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.

5
Menurut Permenkes nomor 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit, pengelolaan obat emergensi harus menjamin beberapa
hal sebagai berikut :
1. Jumlah dan jenis obat emergensi sesuai dengan standar/daftar obat emergensi
yang sudah ditetapkan rumah sakit
2. Tidak boleh bercampur dengan persediaan obat untuk kebutuhan lain
3. Bila dipakai untuk keperluan emergensi harus segera diganti
4. Dicek secara berkala apakah ada yang kadaluarsa
5. Dilarang dipinjam untuk kebutuhan lain

Dalam pengelolaan obat emergensi, rumah sakit seharusnya memiliki


kebijakan maupun prosedur agar lebih mudah dan tertata dalam pelaksanaannya.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan pengelolaan obat emergensi
di antaranya adalah penentuan jenis serta jumlah sediaan emergensi, penyimpanan,
penggunaan, dan penggantian sediaan emergensi.

Rumah sakit harus menyediakan lokasi penyimpanan obat emergensi untuk


kondisi kegawatdaruratan. Obat emergensi harus tersedia pada unit-unit dan dapat
terakses segera saat diperlukan di rumah sakit. Idealnya obat-obat emergensi harus
ada pada setiap unit perawatan atau pelayanan. Jika terkendala dengan jumlahnya,
maka obat-obat tersebut bisa ditempatkan pada titik-titik lokasi yang sering atau
rawan terjadi kondisi emergensi. Apabila terjadi keadaan emergensi yang jauh dari
lokasi perawatan atau tempat sediaan emergensi, maka untuk pertolongannya dapat
dilakukan dengan cara pemanggilan tim code blue rumah sakit.

Rumah sakit sebaiknya menetapkan daftar obat emergensi yang sama untuk
setiap unit perawatan. Daftar tersebut dapat berisi nama obat, kekuatan sediaan,
bentuk sediaan dan jumlah. Alangkah baiknya juga disediakan daftar dosis untuk
obat emergensi. Daftar obat emergensi dapat ditempatkan/ditempel pada tempat
penyimpanan obat emergensi agar memudahkan dokter/perawat yang akan memakai
obat tersebut.

6
Obat-obat emergensi tidak boleh dicampur dengan obat lain dan dapat
disimpan pada troli, kit, lemari, tas atau kotak obat emergensi sesuai dengan
kebutuhan unit. Perbedaan tempat penyimpanan tersebut menyesuaikan dengan isi
dan kebutuhan unit tersebut, sebagai contoh untuk troli bisa ditempatkan defibrilator,
sedangkan tas emergensi lebih mudah dibawa oleh petugas kesehatan untuk
menjangkau lokasi yang jauh dari tempat obat emergensi. Lokasi penyimpanan obat-
obat tersebut harus mudah diakses ketika dibutuhkanya dan tidak terhalang oleh
barier fisik atau benda lain. Selain itu perlu juga mempertimbangkan stabilitas
obatnya yaitu pada suhu ruang yang terkontrol.

Guna menjamin keamanan baik dari penyalahgunaan maupun dari pencurian,


tempat penyimpanan obat harus dikunci atau disegel dengan segel yang memiliki
nomor register yang berbeda-beda dan segel tersebut terbuat dari bahan sekali pakai,
artinya ketika segel dibuka, segel tersebut akan rusak sehingga tidak bisa dipakai
lagi. Penggunaan segel sekali pakai memiliki keuntungan sebagai indikator apakah
obat emergensi tersebut dalam keadaan utuh atau tidak.

Penataan sediaan emergensi juga harus memenuhi prinsip keamanan, sebagai


pertimbangan untuk obat yang penampilan dan penamaannya mirip (Look Alike
Sound Alike atau LASA), ditempatkan tidak berdekatan dan diberi label LASA
untuk mencegah terjadinya kesalahan pengambilan. Untuk obat-obat yang termasuk
dalam daftar High Alert Medication (HAM) juga diberi label HAM.

Dalam penggunaannya, tempat penyimpanan obat emergensi harus dibuka


dengan cara menarik segel sampai putus dan mengambil obat sesuai dengan yang
dibutuhkan, kemudian dokter menulis resep yang berisi obat yang sudah digunakan.
Resep tersebut diberikan kepada petugas farmasi untuk dilakukan penggantian obat
yang sudah digunakan. Pada saat mengambil dan mengganti obat emergensi, hal
yang juga penting untuk dilakukan adalah menulis pada lembar pemakaian dan
penggantian sediaan emergensi yang berisi daftar nama pasien yang menggunakan,
berikut nama obat, tanggal kadaluarsa dan jumlahnya serta tidak lupa mengisi nama
petugas yang melakukannya dan no segel yang baru.

7
Obat emergensi harus selalu terjaga stok obatnya agar selalu siap dipakai.
Oleh karena itu, petugas yang ada di unit terkait harus segera melaporkan
penggunaan obat emergensi tersebut kepada petugas farmasi untuk dilakukan
penggantian stok dan penyegelan kembali untuk menjaga keamanan dan kelengkapan
obat tersebut. Penggantian harus dilakukan sesegera mungkin, dan rumah sakit perlu
menetapkan standar waktu maksimal penggantian obat agar obat selalu siap
digunakan pada saat dibutuhkan. Apabila ada keterbatasan kemampuan maupun
jumlah petugas farmasi, penggantian obat emergensi bisa diprioritaskan untuk unit
yang rawan/sering terjadi kasus emergensi terlebih dahulu. Bisa juga dengan
menetapkan standar waktu yang berbeda untuk penggantian obat emergensi pada unit
yang sering dengan yang jarang pemakaiannya.

Sediaan emergensi perlu dilakukan monitoring dan pengecekan secara berkala


untuk memastikan kualitas obat di dalamnya. Oleh karena itu rumah sakit juga harus
menetapkan jangka waktu monitoring obat emergensi. Apabila terdapat obat yang
rusak atau hampir kadaluarsa maupun obat yang sudah kadaluarsa ditemukan, maka
harus segera dilakukan penggantian. Setelah dilakukan penggantian stok obat, perlu
dilakukan kembali penyegelan dengan menggunakan segel dengan nomor register
yang baru oleh petugas farmasi. Dalam melakukan monitoring obat-obat emergensi
perlu adanya lembar catatan yang berisi mengenai catatan pengecekan pengambilan,
pemakaian dan penggantian obat emergensi yang berfungsi untuk memastikan obat
emergensi dalam keadaan utuh dan siap dipakai.

C. Upaya Pengembangan Dalam Perencanaan Kebutuhan Obat Dalam


Kegawatdaruratan Bencana

Keputusan Menteri Kesehatan No.59 tahun 2011 mengamanatkan adanya


buffer stok obat dan perbekalan kesehatan pada kondisi bencana yang tersedia mulai
dari tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga pusat. Pengelolaan obat dan perbekalan
kesehatan dalam kondisi krisis atau bencana di Indonesia merujuk pada Buku Peta
Bencana di Indonesia yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan pedoman teknis
penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana yang memuat alur koordinasi di

8
instansi pemerintah pada kondisi bencana dan daftar obat yang harus disediakan
sesuai dengan jenis bencana yang terjadi (Kemenkes, 2011).
Obat dan perbekalan kesehatan yang wajib tersedia di lokasi bencana
mengikuti tren penyakit yang sering muncul pada keadaan bencana dan di tempat
pengungsian, seperti diare, ISPA, campak, tifoid, stress, hipertensi, penyakit mata,
asma, kurang gizi, penyakit kulit, DBD, dan tetanus (Kemenkes, 2011). Namun,
terdapat pendekatan lain yang dapat dilakukan untuk menghitung kebutuhan obat
dalam situasi bencana, yaitu: melihat jenis bencana yang terjadi dan melakukan
penghitungan relatif sesuai kebutuhan obat, mendata jumlah pengungsi berikut usia
dan jenis kelaminnya, dan menggunakan pedoman pengobatan umum (Kemenkes,
2008).
Prinsip buffer stok obat adalah keberadaan stok obat nasional yang
ditujukan untuk disalurkan pada daerah-daerah yang terkena dampak bencana.
Pengelolaan buffer stok obat dan perbekalan kesehatan yang ditujukan sebagai
persiapan pada kondisi bencana diatur mulai dari tingkat nasional hingga tingkat
terendah seperti instansi yang berada di daerah. Stok obat nasional tersebut berfungsi
sebagai tambahan terhadap stok obat yang tersedia di lokasi terdampak atau terdekat
dari lokasi terdampak. Sebagai contoh, Amerika Serikat memiliki stok obat yang
disebut “12-hour Push Package” yang harus didistribusikan dalam kurun waktu 12
jam setelah terjadi bencana (Bell et.al., 2014).
Selain stok obat nasional, apoteker di Instalasi Farmasi Rumah Sakit
(IFRS), apotek komunitas, dan distributor farmasi di daerah-daerah rawan bencana
atau di daerah sekitarnya juga dapat mengambil peran aktif dalam menyediakan
buffer obat yang dapat digunakan dengan segera pada kondisi bencana (Noe & Smith,
2013). IFRS dan Apotek Komunitas disarankan agar dapat menyediakan buffer stok
obat untuk keperluan 72 sampai 96 jam setelah terjadinya bencana, hingga stok obat
bantuan datang. Distributor farmasi dapat bekerjasama dengan pemerintah daerah
untuk menyediakan obat dan perbekalan kesehatan krusial yang dibutuhkan oleh
pusat pelayanan kesehatan yang menangani korban bencana (Bell et al., 2014). Obat-
obat tersebut dapat dikemas dalam wadah yang terlindung dari bahaya dengan
penanda yang jelas dan mudah dibawa, seperti dalam tas yang kedap air. Namun,

9
yang perlu diperhatikan adalah penyusunan dan penyiapan stok obat yang tersedia di
IFRS dan apotek harus dikoordinasikan dan sesuai dengan rencana stok obat baik di
tingkat lokal maupun nasional (ASHP, 2003).
Tenaga kefarmasian, baik apoteker maupun tenaga teknis kefarmasian
bertugas memberikan layanan kefarmasian dalam berbagai situasi seperti pelayanan
ambulatori, pelayanan komunitas, pelayanan kefarmasian di rumah, dan pelayanan
kefarmasian dirumah sakit. Meskipun peran tenaga kefarmasian dalam kesehatan
masyarakat secara umum sudah meningkat, namun perlu disadari bahwa tenaga
kefarmasianmampu memerankan tanggung jawab yang lebih besar dalam sistem
kesehatan untuk meningkatkan kualitas layanan (Lai et al., 2013; Kusharwanti et al.,
2014). Peran tenaga kefarmasian dalam meningkatkan layanan kesehatan sama
pentingnya baik dalam kondisi normal maupun dalam situasi bencana. Dalam
keadaan bencana atau tanggap bencana, tenaga kefarmasian baik di rumah sakit,
komunitas, maupun unit lainnya dalam sistem kesehatan harus secara asertif terlibat
dan menjalankan tanggung jawabnya dalam proses manajemen kebencanaan terkait
obat dan perbekalan kesehatan (Pincock et al., 2011)
International Pharmaceutical Organization (FIP) sebagai organisasi tenaga
kefarmasian dunia merumuskan beberapa prinsip utama terkait dengan peran tenaga
kefarmasian dalam merencanakan dan mengimplementasikan rencana tanggap
bencana, antara lain (FIP, 2006): Tenaga kefarmasian merupakan salah satu pemeran
utama dalam melakukan perencanaan dan implementasi
1. Keahlian tenaga kefarmasian dapat diaplikasikan dalam mengembangkan tata
laksana pengobatan, pemilihan obat dan alat kesehatan, penjaminankualitas
obat dan alat kesehatan, serta penjaminan distribusi.
2. Tenaga kefarmasian dapat dilibatkan dalam setiap tahap penanganan bencana
sesuai dengan keahliannya
3. Pada kondisi pandemik, tenaga kefarmasian dapat berperan dalam memberikan
edukasi mengenai pencegahan dan deteksi penyakit
Telah disebutkan sebelumnya bahwa terdapat tiga tahapan dalam
penanggulangan bencana, yaitu tahap prabencana tahap tanggap darurat, dan tahap
pascabencana. Seorang tenaga kefarmasian berperan di seluruh tahapan

10
penanggulangan bencana. Dalam Pedoman Teknis Penanggulanan Krisis Kesehatan
Akibat Bencana yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan, Apoteker telah
dilibatkan dalam tim reaksi cepat dan tim bantuan kesehatan dalam penanggulangan
bencana. Estimasi jumlah tenaga kesehatan yang dibutuhkan adalah 2 (dua) orang
apoteker per 10.000 – 20.000 penduduk atau pengungsi (Kemenkes, 2011).
Berdasarkan keahlian dan keterampilannya, tenaga kefarmasian memiliki 2 (dua)
peran penting dalam kondisi tanggap bencana, yaitu dalam pengaturan dan
pendistribusian obat dan alat kesehatan, serta manajemen terapi pasien selama
kondisi bencana. Keahlian seorang tenaga kefarmasian harus diikutsertakan dalam
beberapa kegiatan di tahap prabencana dan tanggap bencana, antara lain (ASHP,
2003):
1. Menyusun pedoman tata laksana untuk melakukan diagnosis dan pengobatan
korban bencana.
2. Memilih jenis obat dan alat kesehatan untuk stok dalam program tanggap
bencana baik di tingkat lokal, regional, maupun nasional.
3. Menjamin pengemasan, penyimpanan, penanganan, pemberian label, dan
penyediaan obat/alat Kesehatan yang sesuai untuk kondisi kegawat daruratan.
4. Menjamin distribusi yang sesuai dan lancar pada kondisi prabencana dan
pascabencana.
5. Melakukan edukasi dan konseling pada individu yang mendapatkan suplai
gawat darurat ketika bencana terjadi.
Pada tahap prabencana, tugas tenaga kefarmasian, dalam hal ini adalah
Apoteker yang dibantu oleh Tenaga Teknis Kefarmasian, adalah merencanakan dan
menyiapkan dengan seksama perbekalan kesehatan yang sewaktuwaktu diperlukan
dalam keadaan darurat. Perbekalan kesehatan yang dimaksud adalah obat-obat
untuk pertolongan pertama dan kasus gawat darurat, dan alat-alat kesehatan. Pada
tahap tanggap darurat, selain memastikan stok dan distribusi obat-obatan ke daerah
terdampak bencana, tenaga kefarmasian, dalam hal ini apoteker, juga bekerja sama
dengan tenaga Kesehatan lain dalam manajemen dan monitoring terapi pasien.

11
Ditahap pascabencana, tenaga kefarmasian bersama dengan tenaga
kesehatan lain bertugas untuk memberikan layanan kesehatan pascabencana
termasuk memberikan konseling penggunaan obat dan melakukan inventarisasi
serta evaluasi tindakan yang telah dilakukan (Kemenkes, 2011; Lai et al., 2013).
Dalam tahap tanggap bencana dan pascabencana, tenaga kefarmasian yang bertugas
baik di rumah sakit, klinik, dan komunitas harus melakukan beberapa hal berikut
(FIP, 2006):
1. Menjamin keamanan dan keselamatan staf farmasi lainnya bila terjadi bencana
di waktu kerja.
2. Mengatur dan menjamin stok kebutuhan obat di apotek/instalasi farmasi rumah
sakit.
3. Menyediakan obat yang dibutuhkan berdasarkan data yang ada.
4. Melakukan konseling pada pasien tentang keamanan obat yang selamat dari
bencana.
5. Mengantisipasi adanya perubahan penyakit atau luka dan mencari obat serta alat
kesehatan yang sesuai untuk penanganan hal tersebut.
6. Menjamin keamanan dan penyimpanan obat yang sesuai di pusat distribusi obat.
7. Siap menyediakan berbagai kebutuhan obat dan alat kesehatan pada berbagai
tahap penanganan bencana.
8. Menjamin pasien tidak terinfeksi penyakit pandemik.
9. Menetapkan prosedur agar aktivitas di instalasi farmasi/apotek tetap berjalan
Selain berperan dalam pengaturan dan pendistribusian obat dan alat kesehatan,
tenaga kefarmasian juga berperan dalam edukasi dan konseling pasien selama
masa bencana Fungsi peran ini antara lain untuk menjamin keamanan obat dan
penggunaan obat yang tepat,mencegah terjadinya toksisitas obat,
meminimalisasi munculnya efek samping, melakukan identifikasi kondisi medis
atau fisiologis, melakukan pemantauan efek samping yang terjadi serta
keamanan manfaat, dan memantau kepatuhan pasien korban bencana alam
(Laiet al., 2013).

BAB III

12
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan paparan di atas, penulis dapat menyimpulkan beberapa hal, yaitu:


1. Pelaksanaan oleh Instalasi Farmasi dalam menyusun kebutuhan obat dalam
kegawatdaruratan bencana yaitu di rumah sakit harus menyediakan lokasi
penyimpanan obat emergensi untuk kondisi kegawatdaruratan, rumah sakit
sebaiknya menetapkan daftar obat emergensi yang sama untuk setiap unit
perawatan, obat-obatan emergensi tidak boleh dicampur dengan obat lain dan
dapat disimpan pada troli, kit, lemari atau kotak obat emergensi sesuai
kebutuhan, mempertimbangkan stabilitas obat, pemberian label HAM untuk obat-
obat yang termasuk dalam daftar HAM, obat emergensi selalu terjaga stok
obatnya agar selalu siap dipakai, dan sediaan emergensi perlu dilakukan
monitoring dan pengecekan secara berkala untuk memastikan kualitas obatnya.
2. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 59 tahun 2011 mengamanatkan adanya
buffer stok obat dan perbekalan kesehatan pada kondisi bencana yang tersedia
mulai dari tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga pusat. Amanat tersebut dapat
digunakan untuk pengembangan perencanaan obat untuk menghasilkan
perencanaan kebutuhan obat kegawatdaruratan bencana di Instalasi Farmasi.

B. Saran

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan
jauh dari sempurna. Untuk kedepannya penulis akan menjelaskan makalah secara
lebih focus dan detail dengan sumber yang lebih banyak dan dapat
dipertanggungjawabkan. Kritik dan saran yang dapat membangun dari para pembaca
sangat dibutuhkan penulis.

DAFTAR PUSTAKA

13
ASHP. 2003.Statement on the Role of Health-System Pharmacists in Emergency
Preparedness, Medication Therapy and Patient Care: Specific Practice Areas. Am J
Health-Syst Pharm. 60, 1993-1995.
Bell C, Daniel S. 2014. Director’s forum: Pharmacy leader’s role in hospital emergency
preparedness planning. Hosp Pharm, 49(4), 398-404.
FIP Statement of Professional Standards. 2006. The role of the pharmacist in crisis
management: Including manmade and natural disasters and pandemics.
Handayani. 2002. Gambaran Indikator evaluasi Pengelolaan dan Pembiayaan Obat di 20
Puskesmas di Sumatera Barat . Medan Puslitbang Sistem dan Kebijakan Kesehatan
Universitas Sumatera Utara.
Hutabarat, R. Y., & Putra, C. S. 2016. Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan.
Bogor: In Media
Kementerian Kesehatan. 2011. Pedoman teknis penanggulangan krisis kesehatan akibat
bencana (edisi revisi). Jakarta..
Kusharwanti W, Dewi SC, Setiawati MK. 2014. Pengoptimalan peran apoteker dalam
pemantauan dan evaluasi insiden keselamatan pasien. Jurnal Farmasi Klinik
Indonesia.

Lai E, Le Trac, Lovett A. 2013. Expanding the pharmacist’s role in public health.
Universal Journal of Public Health 1(3), 79-85.

Permenkes, 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor72 Tahun


2016 TentangStandar Pelayanan kefarmasian di Rumah sakit.Jakarta:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Pincock LL, Montello MJ, Tarosky MJ, Pierce WF, Edwards CW. 2011. Pharmacist
readiness roles for emergency preparedness. Am J Health-Syst Pharma, 68, 620-
623.
Sutawijaya, Bagus Risang. 2009. Gawat darurat Panduan Kesehatan Wajib di
Rumah Anda. Yogyakarta : Aulia Publishing

14

Anda mungkin juga menyukai