Dosen Pembimbing :
Disusun Oleh :
KELAS IV-B
2019
i
KATA PENGANTAR
Segala puji kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa berkat rahmat dan
hidayah-Nya, kami selaku penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-
sebaiknya. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Besar
Muhammad S.A.W, beserta para keluarganya, sahabatnya, hingga kita selaku umatnya
hingga akhir zaman. Tak lupa kami ucapkan terimakasih kepada Ibu Shentya yang senantiasa
mendampingi kami sehingga kami bisa menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik.
Makalah ini berisi tentang penilaian kondisi klien dengan kegawatdaruratan maternal
neonatal. Semoga isi makalah ini dapat bermanfaat bagi para membaca dan dapat
dipergunakan sebagaimana mestinya. Makalah ini tak luput dari kekurangan, oleh sebab itu,
kami mengharapan agar para pembaca dapat memberikan saran dan kritiknya kepada kami.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
1.1. Latar Belakang.............................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.......................................................................................................1
1.3. Tujuan Penyusunan.....................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................2
2.1 Aturan yang berlaku dalam permenkes terkait peran tenaga kesehatan dan
stakeholder dalam manajemen kasus kegawatdaruratan maternal neonatal...........................2
2.2 Permasalahan yang sering terjadi saat praktik baik di PMB, Puskesmas, dan RS......7
2.3 Peran stakeholder dalam mengatasi masalah kegawatdaruratan maternal neonatal..12
BAB III PENUTUP..................................................................................................................15
3.1. Kesimpulan................................................................................................................15
3.2. Saran..........................................................................................................................16
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1. Apa saja aturan yang berlaku dalam permenkes terkait peran tenaga kesehatan dan
stakeholder dalam manajemen kasus kegawatdaruratan maternal neonatal ?
2. Apa saja permasalahan yang sering terjadi saat praktik baik di PMB, Puskesmas, dan
RS ?
3. Bagaimanakan peran stakeholder dalam mengatasi masalah kegawatdaruratan
maternal neonatal ?
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Aturan yang berlaku dalam permenkes terkait peran tenaga kesehatan
dan stakeholder dalam manajemen kasus kegawatdaruratan maternal neonatal
PASAL 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
2) Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan
untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif,
kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah
daerah, dan/atau masyarakat.
3) Gawat Darurat adalah keadaan klinis yang membutuhkan tindakan medis segera
untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan.
4) Pasien Gawat Darurat yang selanjutnya disebut Pasien adalah orang yang berada
dalam ancaman kematian dan kecacatan yang memerlukan tindakan medis segera.
2
7) Klinik adalah Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perseorangan yang menyediakan pelayanan medik dasar dan/atau
spesialistik.
8) Dokter adalah dokter dan dokter spesialis lulusan pendidikan kedokteran baik di
dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
9) Dokter Gigi adalah dokter gigi dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan
kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah
Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
PASAL 2
BAB II KRITERIA
PASAL 3
PASAL 4
3
1) Pelayanan Kegawatdaruratan meliputi penanganan kegawatdaruratan:
PASAL 5
(1) Penanganan kegawatdaruratan prafasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a meliputi :
a. tindakan pertolongan; dan/atau
b. evakuasi medik, terhadap Pasien.
(2) Tindakan pertolongan terhadap Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dilakukan di tempat kejadian atau pada saat evakuasi medik.
(3) Evakuasi medik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan upaya
memindahkan Pasien dari lokasi kejadian ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan sesuai
kebutuhan medis Pasien dengan menggunakan ambulans transportasi atau
ambulans Gawat Darurat disertai dengan upaya menjaga resusitasi dan stabilisasi.
(4) Dalam hal tidak terdapat ambulans transportasi atau ambulans Gawat Darurat,
evakuasi medik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat menggunakan alat
transportasi lain di sekitar lokasi kejadian dengan tetap melakukan upaya menjaga
resusitasi dan stabilisasi.
PASAL 6
4
3. Tempat praktik mandiri Dokter;
4. Tempat praktik mandiri Dokter Gigi;
5. Tempat praktik mandiri tenaga kesehatan lain; dan
6. Rumah Sakit.
PASAL 7
PASAL 8
PASAL 9
5
1. Ruang pelayanan Gawat Darurat atau ruang tindakan untuk Puskesmas, Klinik,
dan tempat praktik mandiri Dokter, Dokter Gigi, serta tenaga kesehatan; dan
(2) Selain dilakukan pada tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelayanan
Kegawatdaruratan dapat dilakukan terhadap Pasien di ruangan lain.
PASAL 10
Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang menyelenggarakan Pelayanan Kegawatdaruratan
harus memiliki:
2. Sarana, prasarana, obat dan bahan medis habis pakai, dan alat kesehatan.
PASAL 11
(1) Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a disesuaikan
dengan jenis Fasilitas Pelayanan Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Dokter;
1. Dokter gigi;
2. Perawat; dan/atau
3. Tenaga kesehatan lain dan tenaga nonkesehatan.
(3) Dokter, Dokter Gigi, perawat, dan/atau tenaga kesehatan lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus memiliki kompetensi kegawatdaruratan.
(4) Jenis dan jumlah tenaga kesehatan lain dan tenaga nonkesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c disesuaikan dengan kategori dan kemampuan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
PASAL 12
(1) Dokter atau Dokter Gigi pada Puskesmas, Klinik, praktik mandiri Dokter atau
praktik mandiri Dokter Gigi, dan Rumah Sakit merupakan penanggung jawab
Pelayanan Kegawatdaruratan.
6
(2) Dokter atau Dokter Gigi penanggung jawab pelayanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memiliki kewenangan untuk menetapkan kondisi pasien memenuhi
kriteria kegawatdaruratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).
(3) Dalam hal Pelayanan Kegawatdaruratan diselenggarakan di Puskesmas, Klinik,
dan Rumah Sakit, penanggung jawab Pelayanan Kegawatdaruratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dokter atau dokter spesialis.
(4) Dokter atau Dokter Gigi penanggung jawab pelayanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus ditetapkan oleh pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan atau
kepala atau direktur Rumah Sakit.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikecualikan untuk praktik
mandiri Dokter atau Dokter Gigi.
(6) Penanggungjawab Pelayanan Kegawatdaruratan di tempat praktik mandiri tenaga
kesehatan lain disesuaikan dengan jenis tenaga yang melaksanakan praktik tenaga
kesehatan.
PASAL 13
Sarana, prasarana, obat dan bahan medis habis pakai, dan alat kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 huruf b dipenuhi berdasarkan standar masing-masing jenis
Fasilitas Pelayanan Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
PASAL 14
2.2 Permasalahan yang sering terjadi saat praktik baik di PMB, Puskesmas,
dan RS
Maternal dan neonatal dapat terjadi kematian menjelang persalinan, saat persalinan,
dansetelah melahirkan. Penyebab dari kematian ini dapat dicegah dan ditangani di
fasilitas kesehatan (Zulhadi et al., 2013).
7
Gambar 1. Determinasi Kematian Ibu (Astuti, 2008)
Beberapa permasalahan kegawatdaruratan yang dapat terjadi di Praktik Mandiri
Bidan, puskesmas, dan Rumah Sakit dapat terjadi (Astuti, 2008):
1. Keterlambatan dalam mengambil keputusan setuju merujuk dari pihak keluarga.
2. Terlambat dalam mengenali risiko tinggi ibu bersalin.
3. Terlambat dalam mencari bidan yang bersedia menolong persalinan.
4. Terlambat dalam mencari transportasi.
5. Terlambat dalam keputusan merujuk atau membawa ke rumah sakit yang disebabkan
adat isitiadat. Faktor dari keterlambatan merujuk adalah predisposisi, penguat,
pemungkin dan lingkungan.
Faktor predisposisi terdiri dari usia ibu bersalin kategori risiko tinggi,
pengetahuan keluarga tentang tanda-tanda bahaya dan/atau risiko tinggi
persalinan, persepsi bahwa kehamilan ibu bersalin normal dan tanda-tanda bahaya
dari ibu bersalin masih dianggap wajar, keluarga tidak mengetahui hal-hal yang
berkaitan dengan rujukan.
Faktor penguat terdiri dari dukungan dari suami, anggota keluarga lain, bidan,
dokter, dan tetangga.
Faktor pemungkin terdiri dari jarak jauh, pendapatan keluarga rendah, bidan
belum terdistribusi belum merata, biaya transportasi mahal, biaya periksa
8
kehamilan mahal, obat dan peralatan bidan relatif lengkap, belum adanya
ambulan, tabulin, dan sistem donor darah, dan kualitas bidan.
Faktor dari bidan meliputi pengetahuan untuk mengenali tanda- tanda bahaya ibu
bersalin dan ibu bersalin risiko tinggi, keyakinan mengenai cara menghadapi
permasalahan dalam persalinan, dan sikap dalam menghadapi permasalahan
dalam persalinan, hasil konsultasi dengan dokter, harapan yang dimiliki bidan
supaya ibu bersalin mendapatkan pertolongan yang tepat, dukungan keluarga
(tanggapan responsif dari keluarga), kualitas pengetahuan tentang kehamilan dan
persalinan yang relatif baik, kemampuan dalam mengenali tanda-tanda bahaya
dan kesulitan keluarga dalam mengambil keputusan merujuk, pengalaman
membantu persalinan, pelatihan mengenai kehamilan dan persalinan, kemampuan
membantu memecahkan masalah keluarga dalam merujuk.
Faktor lingkungan adalah adat istiadat. Pola pengambilan keputusan bidan dalam
merujuk ibu bersalin ke rumah sakit juga merupakan faktor kematian ibu bersalin.
Keputusan bidan dalam merujuk dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan, tingkat
ketrampilan, pengalaman, dan pelatihan yang pernah diikuti, serta dukungan
dokter.
Selanjutnya pola pengambilan keputusan bidan dan keluarga dalam merujuk ibu
bersalin ke rumah sakit membutuhkan waktu antara 30 menit sampai 2,5 jam dan
terdiri dari tahapan sebagai berikut :
1) Bidan mengenali tanda-tanda bahaya ibu bersalin,
2) Bidan melakukan tindakan mandiri untuk menolong ibu bersalin dan/atau
konsultasi dengan dokter,
3) Mengevaluasi hasil tindakan mandiri dan/atau konsultasi dengan dokter,
4) Bidan mengambil keputusan untuk merujuk ibu bersalin ke Rumah Sakit,
5) Bidan memberitahu keluarga bahwa ibu bersalin dalam kondisi gawat
sehingga perlu dirujuk,
6) Bidan menunggu keputusan keluarga sambil mengawasi, memperhatikan
atau tidak melakukan intervensi. Pada keluarga proses pembuatan keputusan
berlangsung secara cepat atau relatif lambat serta melibatkan perundingan
dengan anggota lainnya (orangtua, suami, anak, atau saudara) atau tetangga.
Suasana pengambilan keputusan merujuk pada keluarga berlangsung secara
tenang atau ketegangan,
9
7) Keluarga memberikan keputusan setuju untuk dilakukan rujukan ibu bersalin
ke rumah sakit,
8) Persiapan ke rumah sakit. Pada bidan mempersiapkan hal-hal yang berkaitan
dengan tindakan merujuk, mempersiapkan transportasi, biaya dan pakaian,
atau tidak mempersiapkan dan memasrahkan keseluruhannya pada keluarga
ibu bersalin. Pada keluarga mempersiapkan transportasi, biaya dan pakaian,
atau tidak mempersiapkan karena dipersiapkan segalanya oleh bidan, dan
9) Berangkat ke rumah sakit. Keluarga membawa ibu bersalin ke rumah sakit,
sedangkan sebagian besar ikut berangkat ke rumah sakit juga untuk
mendampingi ibu bersalin.
A. Permasalahan Yang Terjadi Di Puskesmas
Astuti (2008) menyebutkan faktor pelayanan kesehatan yang termasuk sebagai
faktor penghambat berkaitan dengan pemberi pelayanan di puskesmas, antara lain,
yaitu :
1. Belum adanya atau belum ditetapkannya SOP tetap dalam penanganan kasus
gawat darurat kebidanan secara konsisten.
2. Kurangnya pengalaman bidan di desa yang baru ditempati dalam mendeteksi
ibu resiko tinggi.
3. Kurangnya keahlian dokter puskesmas dalam menangani kegawatdaruratan
kebidanan.
4. Kurangnya keahlian bidan puskesmas dan bidan praktek swasta untuk aktif
dalam jaringan sistem rujukan, dan kurangnya upaya alih teknologi tepat guna
dari dokter spesialis kandungan RSU Kabupaten kepada Dokter/ bidan
puskesmas.
Permasalahan yang muncul dalam menangani kegawatdaruratan di unit gawat
darurat puskesmas, antara lain adanya rasa tidak berdaya saat merawat korban
kecelakaan lalu lintas di UGD Puskesmas, dan merasakan respon emosional pada
proses berubah (Kusumaningrum et al., 2013).
1. Ketidakberdayaan perawat saat merawat korban kecelakaan lalu lintas didukung
oleh kurangnya pengetahuan, ada rasa takut membahayakan pasien, kehilangan
otoritas, takut tuntutan hukum, kurang insentif (Kusumaningrum et al., 2013).
Berkaitan dengan pengambilan keputusan, jika perawat kurang pengetahuan
atau update pengetahuan. Penyebabnya adalah tidak ada pelatihan lanjutan seperti
BTLS, BLS, PPGD, serta sertifikat yang dimiliki sudah kadaluarsa lebih dari 5
10
tahun. Perasaan takut membahayakan pasien membuat tenaga kesehatan hanya
ingin segera merujuk pasien tanpa penanganan awal (Kusumaningrum et al.,
2013).
Kehilangan otoritas karena kewenangan dalm pengambilan keputusan
tindakan bergantung pada dokter. Hal ini disebabkan adanya aturan harus
konfirmasi dengan dokter sebagai penentu pasien dirujuk atau tidak
(Kusumaningrum et al., 2013).
2. Merasakan respon emosional dalam proses berubah. Pelayanan puskesmas
menjadi puskesmas perawatan dengan UGD 24 jam mennunjukan adanya suatu
perubahan. Sesuai dengan teori transisi oleh Meleis (2010) menyebutkan bahwa
kondisi transisi membutuhkan suatu pengetahuan agar berdampak pada hasil
perubahan. Jika pengetahuan tidak mencukupi maka hasil yang diharapkan tidak
sesuai. Hal ini terjadi pada perawat puskesmas dimana mereka dituntut untuk
melayani pasien gawat darurat tetapi pengetahuan mengenai kegawatdaruratan
kurang dan tidak di fasilitasi pelatihan rutin untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan (Kusumaningrum et al., 2013).
B. Permasalahan Yang Terjadi Di Rumah Sakit
Permasalahan kesehatan tidak bisa diselesaikan hanya dengan salah satu
profesi kesehatan, namun perlu adanya kerjasama atau kolaborasi interprofesi.
Kolaborasi dan model interdisiplin merupakan fondasi utama dalam memberikan
asuhan keperawatan yang bermutu tinggi dan hemat biaya (Hasibuan, 2019).
Sumber Daya Manusia Kesehatan yang kurang, ditribusi serta perpaduan
tenaga kesehatan yang belum merata menyebabkan kebutuhan tenaga kerja di daerah
pelosok tidak terpenuhi. Hal tersebut berdampak pada kondisi kesehatan, khususnya
kesehatan ibu dan anak. Solusi yang dapat dilakukan adalah interprofessional
collaborative practise, yaitu praktik kolaborasi yang dapat menurunkan angka
komplikasi, lama rawat di rumah sakit, konflik diantara tim kesehatan, dan tingkat
kematian. Perawat atau bidan yang melaksanakan instruksi dokter dipandang sebagai
kolaborasi oleh dokter, sedangkan bagi perawat atau bidan mereka merasa sebagai
perintah. Hal ini terjadi disebabkan oleh pola pikir yang yang sudah ditanamkan sejak
awal proses pendidikan serta Masa menjadi akademisi, dokter pra klinis lebih sering
terlibat langsung dengan pasien. Saat itu, tidak ada kontak formal dengan para
perawat pekerja sosial atau professional kesehatan lain. Dalam pelaksanaan kolaborasi
11
interprofesional di rumah sakit antar sesama tenaga kesehatan haruslah berjalan sesuai
ketentuan. Jika tidak, hal ini akan berdampak pada saat implementasi tindakan
kolaborasi maupun tindakan sesuai keahlian masing-masing. Untuk mengatasi
penghambat tersebut, sebaiknya diadakan pertemuan rutin antar semua profesi
kesehatan serta staff pelaksana untuk mendukung interprofssional collaborative
practice (Hasibuan, 2019).
2.3 Peran stakeholder dalam mengatasi masalah kegawatdaruratan maternal
neonatal
12
kendala yang sering di hadapi terutama kelengkapan obat-obatan yang dirasakan
masih sangat terbatas dan kurang untuk penaganan kasus kegawatdaruratan maternal.
Dibeberapa puskesmas, tidak jarang pasien yang diminta untuk membeli obat
keawatdaruratan maternal yang dibutuhkan sedangkan tidak disediakan di Puskesmas.
Pentingnya peran dari berbagai pihak terkait yaitu Dinas kesehatan dan BPJS untuk
melengkapi obat-obatan yang di perlukan sehingga tidak terjadi peningkatan rujukan.
Obat-obatan yang cukup tidak membuat khawatir para petugas medis untuk
memberikan pelayanan yang terbaik kepada pasien (Hidayati, 2017).
3. Untuk mengurangi angka rujukan maternal, kelengkapan peralatan fasilitas medis di
puskesmas sangat dibutuhkan. Hal ini perlu adanya dukungan dari pihak manajemen
baik kepala puskesmas, Dinas kesehatan kota dan Pemerintah Daerah untuk
menyediakan peralatan medis yang memadai di puskesmas dalam upaya memberikan
pelayanan yang baik kepada masyarakat, sehingga puskesmas bisa menjalankan
fungsinya sebagai gatekepeer. Kelengkapan alat medis yang di maksudkan adalah
peralatan tindakan medis dan sarana penujang seperti inkubator, oksigen dan lainnya
khusus penanganan kasus kegawatdaruratan. Hal ini perlu adanya dukungan dari
pihak manajemen baik kepala puskesmas maupun peran dinas kesehatan kota untuk
menyediakan sarana dan prasarana yang memadai di puskesmas dalam upaya
memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat (Utarini, 2007).
4. Dalam memberikan pelayanan rujukan pasien misalnya untuk merujuk pasien ke
fasilitas tingkat lanjut masing-masing puskesmas telah memiliki ambulance yang
sudah standbye dan siap pakai, namun permasalahannya sampai dengan saat ini
terkendala dengan tenaga sopir. Upaya yang dilakukan agar tidak menggangu petugas
medis yang memberikan pelayanan kepada masyarakat yang memiliki perkerjaan
yang merangkap. Puskesmas harus mempunyai tenaga supir khusus yang standbye.
Dalam memberikan pelayanan rujukan pasien misalnya untuk merujuk pasien ke
fasilitas tingkat lanjut masing-masing puskesmas telah memiliki ambulance yang
sudah standbye dan siap pakai, namun permasalahannya sampai dengan saat ini
terkendala dengan tenaga sopir yang akan membawa ambulance. Selama ini
puskesmas terpaksa menyuruh petugas puskesmas itu sendiri untuk menjadi supir
pada proses rujukan. Kepala puskesmas berperan dalam menyediakan tenaga sopir
yang standby dalam membantu petugas kesehatan untuk merujuk pasien ke fasilitas
tingkat lanjut (Hidayati, 2017).
13
5. Sebelum penatalaksanaan rujukan di laksanakan terlebih dahulu dilakukan analisis
dengan tim sehingga keputusan untuk rujukan pasien di sepakati bersama-sama,
apakah dokter yang menentukan tempat rujukan maupun keputusan pasien sendiri
ingin mendapatkan fasilitas pelayanan tingkat lanjut dimana. Selain petugas medis
yang menentukan dimana pasien akan di rujuk, namun sebelumnya di koordinasikan
atau ditawarkan terlebih dahulu kepada pasien yang bersangkutan. Pasien mempunyai
hak untuk menentukan pilihan dimana fasilitas kesehatan tingkat lanjut mana yang
diinginkan dan petugas hanya menyarankan saja tapi tetap mengacu pada peraturan
rujukan berjenjang yang diberikan oleh BPJS (BPJS Kesehatan, 2015).
14
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Aturan yang mengatur dalam peran tenaga kesehatan dan stakeholder dalam
manajemen kasus kegawatdaruratan maternal dan neonatal, yaitu pada Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2018 Tentang
Pelayanan Kegawatdaruratan dari pasal 1 sampai pasal 14.
2. Berikut merupakan permasalahan yang sering terjadi di PMB, Puskesmas, dan
RS, yaitu :
a. Keterlambatan dalam mengambil keputusan setuju merujuk dari pihak
keluarga.
b. Terlambat dalam mengenali risiko tinggi ibu bersalin.
c. Terlambat dalam mencari bidan yang bersedia menolong persalinan.
d. Terlambat dalam mencari transportasi.
e. Terlambat dalam keputusan merujuk atau membawa ke rumah sakit yang
disebabkan adat isitiadat.
3. Berikut merupakan peran stakeholder dalam manajemen kasus kegawatdaruratan
maternal dan neonatal, yaitu :
a. Sumber daya manusia kesehatan adalah ketersediaan tenaga medis dokter
dan bidan dalam memberikan pelayanan kepada pasien dengan kasus
meternal.
b. Obat merupakan komponen utama dalam intervensi mengatasi masalah
kesehatan, maka pengadaan obat dalam pelayanan kesehatan juga merupakan
indikator untuk mengukur tercapainya efektifitas dan keadilan dalam
pelayanan kesehatan.
c. Untuk mengurangi angka rujukan maternal, kelengkapan peralatan fasilitas
medis di puskesmas sangat dibutuhkan.
d. Dalam memberikan pelayanan rujukan pasien misalnya untuk merujuk pasien
ke fasilitas tingkat lanjut masing-masing puskesmas telah memiliki
ambulance yang sudah standbye dan siap pakai, namun permasalahannya
sampai dengan saat ini terkendala dengan tenaga sopir.
15
e. Sebelum penatalaksanaan rujukan di laksanakan terlebih dahulu dilakukan
analisis dengan tim sehingga keputusan untuk rujukan pasien di sepakati
bersama-sama, apakah dokter yang menentukan tempat rujukan maupun
keputusan pasien sendiri ingin mendapatkan fasilitas pelayanan tingkat lanjut
dimana.
3.2. Saran
16
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, Sri Puji. (2008). Pola pengambilan keputusan keluarga dan bidan dalam merujuk ibu
bersalin ke rumah sakit pada kasus kematian ibu di Kabupaten Demak.
Hidayati, Putri. et al. 2017. Analisis Pelaksanaan Rujukan Berjenjang Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama Kasus Kegawatdaruratan MAternal Peserta Bdan Penyelenggara
Jaminan Sosial Di 3 Puskesmas Perawtaan Kota Bengkulu. Bengkulu. Jurnal Kebijakan
Kesehatan Indonesia.
Kusumaningrum, B. R., Winarni, I., & Ratnawati, R. (2013). Pengalaman Perawat Unit
Gawat Darurat ( Ugd ) Puskesmas. Ilmu Keperawatan, 2, 83–90.
Mahfud, Muhammad Ali Z. Haryono, Bambang Santoso. Anggraeni, Niken Lastiti Veri.
2014. Peran dan Koordinasi Stakeholder dalam Pengembangan Kawasan Minapolitan
di Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar. Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 3, No.
12, Hal. 2070-2076.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2018 Tentang Pelayanan
Kegawatdaruratan.
Syafruddin, 2009. Ilmu Kesehatan Masyarakat untuk mahasiswa kebidanan. Jakarta. Trans
Infomedia
Zulhadi, Trisnantoro, L., & Zaenab, S. N. (2013). Problem dan Tantangan Puskesmas dan
Rumah Sakit Umum Daerah Dalam Mendukung Sistem Rujukan Maternal di Kabupaten
Karimun Provinsi Kepri Tahun 2012. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, 02(04),
189–201.
17
18