Anda di halaman 1dari 4

Pendidikan dalam Waktu Masa Lampau, Masa Kini dan Masa Depan

Asumsi dan Keprihatinan tentang “Masa Lampau”

Salah satu asumsi utama yang menyebabkan kegiatan pendidikan timbul adalah bahwa orang-
orang yang ada sebelum kita belajar dari pengalaman mereka. Asumsi ini menimbulkan
keprihatinan agar kita memelihara apa yang “telah” diketahui dalam warisan keluarga manusia.
Inilah yang disebut Dewey sebagai “modal peradaban yang dikumpulkan. Sebagai tugas
pendidikan adalah menjamin “modalyang dikumpulkan” kita dilestarikan dan disediakan bagi
orang-orang pada masa kini. Tanpa hal tersebut masa kini menjadi miskin dan amsa depan
menyusut. Meskipun kita dapat memakai “modal yang dikumpulkan” hanya dalam pengalaman
masa kini milik kita sendiri, pengetahuan itu datang kepada kita dari masa lampau orang-orang
kita, hasil dari percobaan dan pengalaman mereka. Dengan kata lain, kita lebih diwarisi dari
komunitas dimana kita menjadi anggota daripada ditemukan dari pengalaman milik kita sendiri.

Dalam konteks kegiatan pendidikan, modal peradaban yang dikumpulkan disusun menjadi
tradisi-tradisi pengetahuan dan disiplin-disiplin pengetahuan. Sebagai contoh, ada tradisi dan
disiplin ilmu teknik yang dihasilkan oleh pengalaman dan percobaan komunitasahli teknik masa
lampau. Tugas pendidik adalah membuat tradisi itu tersedia bagi generasi-generasi ahli teknik
masa kini dan masa depan. Tanpa pemeliharaan dan transmisi yang demikian setiap generasi
harus menemukan kembali rodanya. Oleh karena itu, kita dimotivasi untuk mendidik agar dari
warisan masa lampau masyarakat kita, kita dapat membentuk masa kini dan masa depan bagi diri
kita dan para pendidik kita.

Ada kebijaksanaan dan validitas yang nyata dalam asumsi dan keprihatinan tentang pengetahuan
yang telah diketahui. Ketika asumsi dan keprihatinan tentang masa lampau ini diberi kedudukam
tertinggi dalam keputusan-keputusan pendidikan, sebagian besar kurikulum diambil dari disiplin-
disiplin pengetahuan. Secara pedagogis, kurikulum yang seperti itu cenderung mengekspresikan
dirinya dalam model mengajar didaktik dan deduktif yang menggunakan isi disiplin-disiplin
pengetahuan sebagai titik pangkalnya. Tidak diragukan lagi, mengajar disiplin-disiplin
pengetahuan secara deduktif dapat menjadi bentuk kegiatan pendidikan yang paling kaya dan
cocok. Sebagaimana Whitehead tulis dengan baik, “Jagan pernah lupa bahwa pendidikan
bukanlah proses memasukkan barang-barang kedalam sebuah peti.” Perhatian pada apa yang
telah diketahui akan selalu menjadi sebuah tekanan kegiatan pendidikan yang penting, tetapi hal
tersebut tidak boleh bergoyang tanpa keseimbangan.1

1
Thomas H. Groome, Christian Religius Education-Pendidikan Agama Kristen:berbagi cerita dan visi kita (PT BPK Gunung mulia,
2020) hal. 7-8
Asumsi dan Keprhatinan tentang “Masa Kini”

Bagian mengenai waktu di bawah menyatakan bahwa “masa kini” adalah satu-satunya waktu
yang benar-benar ada untuk kita, dan dalam masa kini terdapat warisan masa lampaudan
kemudian masa depan. Bahkan juga sebelum pengertian waktu eksitensialisme tersebar luas,
kegiatan pendidikan memperlihatkan asumsi dan keprihatinan terhadap masa kini dan kepedulian
terhadap perannya dalam pengetahuan manusia. Alasan untuk memperhatikkan masa kini dapat
diungkapkan secara sederhana. Waktu yang terlibat secara langsung dalam kehidupan adalah
masa kini. Kita bukan “sekarang” di masa lampau, atau bukan “sekarang” di masa depan. Oleh
karena itu, pengetahuan sebagai sebuah kemungkinan manusia harus dipakai oleh proses masa
kini. Bahkan ketika para pendidik menekankan warisan pengetahuan yang telah diketahui
sebagai titik pangkal bagi kegiatan pendidikan, para pendidik yang bijaksana sangat menyadari
untuk benar-benar menggunakan pengetahuan yang demikian sebagai milik mereka, para
naradidik harus berjumpa secara aktif dengan warisan itu di masa kini. Tanpa proses yang aktif
yang demikian di masa kini para naradidik direduksi ke sikap pasif, dan yang terjadi adalah
penghafalan, bukan kegiatan kognitif. Ekspresi kontenporer mengenai pemahaman ini dapat
dijumpai dalam desakan Piaget bahwa untuk benar-benar mengerti apa saja, bahkan apa yang
telah diketahui sebelumnya, kita diwajibkan “menemukan kembali” dalam arti berusaha
menemukan kebenarannya bagi diri kita sendiri. Akibatnya, Piaget menegaskan bahwa seluruh
kognisi harus didasarkan pada proses yang aktif dan reklitif di masa kini.

Pendekatan pendidikan yang demikian tentu saja cocok dan sah.Akan tetapi, disini sekali lagi
ada bahaya ketidakseimbangan. Ketika terlalu menekankan pengalaman masa kini dan minat
para pendidik, warisan masa lampau dapat dengan mudah dilupakan dan tanggung jawab atas
amsa depan diabaikan. Kemudian masa kini (dan orang-orang didalamnya) menjadi tawanan,
tertangkap dalam penjara “sekarang”yang tidak historis, dicabut dari masa lampaunya dan
memungkiri masanya yang akan datang.2

Asumsi dan Keprihatinan tentang “Masa Depan”

Sebagaimana disebutkan, dalam sebuah kegiatan pendidikan ada dimensi “belum” yang
menuntun keluar, ke arah pengetahuan yang belum direalisasikan. Masa depan bersifat terbuka,
tidak hanya bagi para naradidik, tetapi juga bagi paar pendidik. Asumsi yang mendasari dimensi
kegiatan pendidikan ini adalah jika kita memilki masa depan yang dapat digunakan, kita harus
mendidik menuju kea rah itu. Asumsi ini menimbulkan keprihatinan tentang masa depan denagn
para pendidik, tetapi juga, sebenarnya, keprihatinan para pendidik tenatng masa depan seluruh
komunitas. Kita mendidik untuk menjamin bahwa kita semua memiliki masa depan. Ketika
keprihatinan ini diekspresikan secara tepat dalam kegiatan pendidikan, maka masa depa dilihat
sebagai sesuatu yang timbul dari warisan masa lampau dan dari kreativitas masa kini, tetapi
dengan hal-hal yang baru melampaui masa lampau atau masa kini.

2
Ibid., hlm 9
Perhatian pada dimensi pendidikan masa depan ini dapat ditelususri secara historis ketika orang
untuk pertama kalinya mulai ingin tahu mengenai hakikat pendidikan. Dalam The republic, Plato
menjelaskan bahwa visinya tentang masa depan naradidik adalah apa yang paling menentukan
cara seseorang mendidik. Dalam pendidikan kontenporer perhatian yang serupa selalu nyata
dalam karya John Dewey. “Pendidik menurut sifat pekerjaannya diwajibkan untuk melihat
pekerjaan masa depan dari sudut apa yang telah berhasil atau gagal dicapai, demi masa depan
yang tujuan-tujuannya bersangkut paut dengan tujuan-tujuan masa kini.

Dalam keputusan-keputusan pendidikan, lebih dominannya keprihatinan tentang masa depan


yang berkaitan dengan masyarakat ini telah menimbulkan sebuah mazbah, khususnya nyata
didalam “perdebatan kurikulum” Jelas, perhatian paad kesinambungan adalah perhatian yang
diperlukan setiap kelompok, dan pendidikan harus mempersiapkan oarng-orang untuk
menangani dan berfungsi secara efektif dalam masyarakat. Akan tetapi, jika dimensi kegaiatn
pendidikan masa depan dipilih secara mutlak oleh keprihatinan untuk mempertahankan dan
menyesuaikan orang-orang dengan masyarakat masa kini, akibatnya adalah lebih bersifa
menjinakkan daripada bersifat mendidik. Hal itu akan menuntun kea rah stagnasi pribadi dan
sosial daripada pertumbuhan dan perubahan. Hal yang demikian adalah sebuah penghianatan
terhadap dimensi kegiatan pendidikan masa depan; hal yang demikian menyangkal kreativitas
masa kini dengan kemungkinan masa depan yang baru didalamnya.3

KEHIDUPAN SOSIAL DAN LINGKUNGAN DALAM PENDIDIKAN

Sosial dalam PAK

Pendidikan agama Kristen membutuhkan konteks komunitas iman Kristen, dan komunitas yang
demikian membutuhkan kegiatan pendidikan yang kritis daripada agen sosialisasi yang lain.
Berkenaan dengan bagian pertama, baik pemahaman-pemahaman dari ilmu-ilmu pengetahuan
sosial maupun pengalaman hidup gereja menunjukkan dengan jelas bahwa menjadi Kristen
memerlukan proses sosialisasi dari komunitas yang mampu membentuk identitas diri Kristen
dalam diri orang-orang. Kita “menjadi Kristen secara bersama-sama.” Proses sosial menjadi
Kristen hanya membantu membuat tuags pendidikan kita sedikit lebih jelas, bukan meringankan
kita, khususnya tanggung jawab pendidikan kita. Harrison Elliot memberikan peringatan yang
bijaksana empat puluh tahun yang lampau yang telah sering dilupakan, “ Pengakuan bahwa diri
bersifat sosial membuktikkan pentingnya teori pendidikan sosial, tetapi teori pendidikan sosial
menambah dan bukan menguarngi masalah pendidikan agama.” Dia mengatakan lebih lanjut
“Dibutukan beberapa faktor dalam proses pendidikan agama yang akan mengangkat kehidupan
manusia melampaui standar-standar dan hasil karya yang ada sekarang. Jika tidak, baik
pendidikan maupun agama akan membiarkan individu pada level masyarakat yang ada sekarang
entah baik atau buruk.”

3
Ibid., hlm 11
Pendidikan akan menjadi lebih daripada agen sosialisasi yang lain juga dapat dihindarkan.
Sedungguhnya, jika pendidikan dituntun hanya oleh minat sosial, maka pendidikan yang
dituntun hanya oleh minat sosial mendidik orang-orang untuk menerima realitas sebagaimana
adanya daripada melakukan perubahan. Pendidikan yang menimbulkan kesadaran kritis perlu
dan jika pendidikan yang demikian dibiarkan berlangsung dengan sendirinya, maka hal itu
mungkin tidak akan terjadi.4

Lingkungan dalam PAK

Beberapa tahun yang lalu John Dewey melihat dengan pengertian yang dalam, “Kita tidak
pernah mendidik secara langsung, tetapi secara tidak langsung dengan mempergunakan
lingkungan.” Itu sangat benar dalam situasi berbagi praksis. Riset yang kemudian secara
konsisten telah menunjukkan bahwa pandangan Dewey benar tidak diragukan. Lingkungan
pendidikan dalam situasi berbagi praksis sangat penting, bagi kualitas pendidikan yang terjadi.
Ada dua dimensi yang saling berhubungan terkait dengan apa yang dimaksudkan disini dengan
lingkungan : lingkungan emosional dan fisik. Lingkungan emosional, seluruh suasana
pertemuan harus menjadis suasana yang didalamnya ada sambutan dengan gembira, keramahan
dan keterbukaan. Hal yang sangat berhubungan erat dengan perlunya lingkungan yang disambut
dengan gembira dan aramh adalah perlunya suasana rasa percaya. Rasa percaya dibangun diatas
kerelaan menerima tamu dibangun di atas rasa percaya sehingga kelompok tidak dapat memilki
salah satu tanpa yang lain. Lingkungan fisik. Besarnya kelompok juga adalah bagian dari fisik.
Saya jumpai dalam praksis bahwa kedua belas orang kelihatanya adalah jumlah ideal bagi
sebuah kelompok. Jika mungkin, para partisipan satu dengan yang lain harus melakukan kontak
mata dan oleh karena itu formasi berbentuk lingkaran diperlukan. Akan tetapi, saya harus bekerja
sama dengan kelompok-kelompok yang lebih besar dari dua belas orang. Disini kreativiats
memimpin akan ditantang. 5

4
Ibid., hlm 185
5
Ibid., hlm 333

Anda mungkin juga menyukai