Anda di halaman 1dari 3

Gangguan fisik akibat Stres (Psikosomatis)

1. Definisi

Menurut Atkinson (dalam Zulva, 2019) psikosomatis berasal dari bahasa Yunani psyche yaitu
jiwa dan Soma adalah badan.

Kartini Kartono (dalam Zulva, 2019) mendefinisikan psikosomatis adalah bentuk macam-macam
penyakit fisik yang ditimbulkan oleh konflik psikis dan kecemasan kronis.

Menurut Wika & Yuslen (dalam Zuva, 2019) menyebutkan psikosomatis adalah gangguan fisik
yang disebabkan faktor kejiwaan dan sosial emosi yang menumpuk serta dapat menimbulkan
guncangan dalam diri seseorang.

Menurut Zulfa (2019) psikosomatis adalah penyakit fisik disebabkan oleh tekanan psikologis
yang dapat berasal dari stressor/sumber stress seperti lingkungan sosial sehingga membentuk
kecemasan yang memengaruhi fungsi tubuh, contohnya stress dapat menyebabkan magh.

Gangguan psikosomatis dapat diartikan sebagai penyakit fisik yang dipengaruhi oleh faktor
psikologis. Gangguan psikosomatis sebenarnya tidak termasuk faktor psikologis yang terlalu
berat untuk digolongkan ke dalam gangguan mental tetapi gangguan ini sangat berperan
mempengaruhi gangguan medis (Sarnot dalam Hermawan dan Lestari, 2020).

Menurut Sholihah (2018) psikosomatis merupakan penyakit fisik yang gejalanya disebabkan
oleh proses mental seseorang. Jika dalam pemeriksaan medis tidak ditemukan penyebab fisik
atas gejala-gejala yang muncul, atau gejala fisik ini sering muncul akibat dari kondisi emosional,
seperti kemarahan, depresi, dan rasa bersalah.

2. Respon tubuh ketika stres dan gejala psikosomatis

Menurut Stuart (Sholihah, 2018) ketika seorang mengalami stres ringan maka hal ini
berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari- hari, menyebabkan individu menjadi
waspada dan meningkatkan lapang persepsinya. Dapat memotivasi belajar dan menghasilkan
pertumbuhan serta kreativitas. Ditandai dengan respon fisiologis sesekali nafas pendek, nadi
dantekanan darah naik, gejala ringan pada lambung, muka berkerut, bibir bergetar. Respon
kognitif merupakan lapang persepsi luas, mampu menerima rangsangan yang kompleks,
konsentrasi pada masalah, menyelesaikan masalah secara efektif. Respon perilaku dan emosi
seperti tidak dapat duduk tenang, tremor halus pada tangan, suarakadangkadang
meningkatmeningkat.
Saat stres sedan menurut Stuart (Sholihah, 2018) memungkinkan seseorang untuk memusatkan
perhatiannya, pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga seseorang
mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang terarah. Respon
fisiologis: sering nafas pendek, nadi dan tekanan darah meningkat,mulut kering, diare,gelisah.
Respon kognitif: lapang persepsi menyempit, rangsangan luar tidak mampu diterima, berfokus
pada apa yangmenjadi perhatiannya. Respon perilaku dan emosi: meremas tangan,
bicarabanyak dan lebih cepat, susah tidur dan perasaan tidak enak.

Pada kondisi stres berat biasanya orang itu susah untuk berkonsentrasi. Semua perilaku
ditujukan untuk menghentikan ketegangan individu dengan stress berat memerlukan banyak
pengarahan untuk dapat memusatkan pikiran pada suatu area lain. Respon fisiologi : nafas
pendek, nadi dan tekanan darah meningkat, berkeringat, ketegangan dan sakit kepala. Respon
kognitif : lapang persepsi amat sempit, tidak mampu menyelesaikan masalah. Respon perilaku
dan emosi: perasaan ancaman meningkat (Sholihah, 2018).

Pada teori lain yang dikemukakan oleh Robert J. VanAmberg (Sholihah, 2018) disebutkan stress
pada tahapan berat maka orang tersebut tetap memaksakan diri dalam pekerjaannya tanpa
menghiraukan keluhan – keluhan yang semakin nyata dan mengganggu yaitu :

a. Gangguan lambung dan usus semakin nyata; misalnya keluhan”maag” (gastritis), buang air
besar tidak teratur ( diare).

b. Ketegangan otot – otot semakin terasa.

c. Perasaan ketidak – tenangan dan ketegangan emosional semakin meningkat.

d. Gangguan pola tidur ( insomnia), misalnya sukar untuk mulai masuk tidur (early insomnia)
atau terbangun tengah malam dan sukar kembali tidur ( middle insomnia) atau bangun terlalu
pagi/ dini hari dan tidak dapat kembali tidur (late insomnia) Atau pada Gangguan pola tidur
disertai dengan mimpi – mimpi yang menegangkan.

e. Koordinasi tubuh terganggu (badan terasa oyong dan serasa mau pingsan).

f. Daya konsentrasi dan daya ingat menurun.g. Timbul perasaan takut dan kecemasan yang
tidak dapat dijelasakan apa penyebabnya.

Hakim (dalam Zulfa, 2019) menjelaskan keluhan psikosomatis dapat berupa jantung berdebar,
sakit maag, sakit kepala, sesak napas, dan lesu. Psikosomatis erat kaitannya dengan psikososial,
teori behavioristik menyatakan bahwalingkungan sangat memengaruhi kepribadian individu,
saat ini informasi dapat dijangkau secara mudah dan cepat oleh masyarakat melalui jaringan
internet.
Maramis (dalam Apriyani, 2018) mengungkapkan bahwa hasil penelitian Strecter pada 239
penderita dengan gangguan psikogenik, ditemukan gejala yang paling sering didapati yaitu 89
persen terlalu memperhatikan gejala-gejala pada badannya dan 45 persen merasa kecemasan.
Oleh karena itu pada pasien psikosomatis perlu ditanyakan beberapa faktor yaitu, faktor sosial
dan ekonomi, faktor perkawinan atau keluarga, faktor kesehatan, dan faktor psikologis.

Menurut Futriani dan Rois (Hernawan & Lestari, 2020) gejala dari kecemasan akan diikuti oleh
perubahan-perubahan fisik, seperti perubahan detak jantung, tekanan darah, hilangnya selera
makan, gangguan pernafasan, keringat dingin, terganggunya kualitas tidur dan gangguan fisik
lainnya

Kecemasan terhadap kematian yang berlebih akan menimbulkan gangguan fungsi emosional
seperti neurotisma, depresi, dan gangguan psikosomatis (Gina dalam Zulva, 2019). Prawiharjo
(dalam Zulva, 2019) yang menyebutkan salah satu jenis psikosomatis adalah system respiratory
(psikosomatis yang sering menyerang saluran pernapasan).

3. Penyebab Psikosomatis

Theory of somatic weakness menyatakan bahwa psikosomatis dapat terjadi karena organ secara
biologis sudah peka/lemah. Hal tersebut memberi arti bahwa psikosomatis akan sering
terjadi/banyak menyerang masyaraka seiring dengan berkembangnya informasi dan kurangnya
pengetahuan terlebih jika individu yang mengalami memiliki organ biologis yang lemahlemah
(Zulfa, 2019).

Tidak ada penyebab tunggal untuk menjelaskan gangguan psikosomatis. Berbagai mekanisme
psikologis, sosial, patofisiologis, keluarga, dan genetik telah diusulkan untuk menjelaskan asal
gangguan psikosomatis (Colak dalam Apriyani, 2018).

Dapus:

Sholihah, A. N. (2018). RAGAM KOPING PADA REMAJA SAAT MENGALAMI PSIKOSOMATIS.


Jurnal Keperawatan Intan Husada, 6(1), 22-30.

Zulva, T. N. I. (2019). COVID-19 dan kecenderungan psikosomatis. Makalah. Diunduh dari


https://www.academia.edu/42352261.

Apriyani SP, R. (2018). Faktor - faktor penyebab psikosomatis pada orang dengan
kecenderungan psikosomatis di Samarinda. Psikoborneo: Jurnal Ilmiah Psikologi, 6 (3), 609-617.

Hernawan, D. & Lestari, L. (2020). Mengatasi Psikosomatis Akibat Covid-19. Buletin Konsorsium
Psikologi Ilmiah Nusantara. Vol. 6

Anda mungkin juga menyukai