Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

BAGIAN ILMU BEDAH


OKTOBER, 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

PRIAPISMUS

Oleh:
REZKY RAMADHANI SYARIF

Pembimbing:
dr. Abd. Aziz, Sp. U

(Dibawakan dalam rangka tugas kepaniteraan klinik bagian Bedah)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menerangkan, bahwa:


Nama : REZKY RAMADHANI SYARIF
Judul Refarat : PRIAPISMUS
telah menyelesaikan refarat dalam rangka Kepanitraan Klinik di Bagian Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Oktober 2020

Pembimbing,

dr. Abd. Aziz, Sp. U

i
KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Dengan mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas
rahmat, hidayah, kesehatan dan kesempatan-Nya sehingga referat dengan judul
“Priapismus” ini dapat terselesaikan. Salam dan shalawat senantiasa tercurah
kepada baginda Rasulullah SAW, sang pembelajar sejati yang memberikan
pedoman hidup yang sesungguhnya.
Pada kesempatan ini, secara khusus penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dosen pembimbing dr. Abd. Aziz,
Sp. U, yang telah memberikan petunjuk, arahan dan nasehat yang sangat berharga
dalam penyusunan sampai dengan selesainya referat ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dengan niat dan kesungguhan yang
penuh serta usaha yang maksimal dalam menyusun referat ini, masih banyak celah
yang dapat diisi untuk menyempurnakan referat ini, baik dari isi maupun
penulisannya. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak senantiasa penulis
harapkan.
Demikian, semoga referat ini bermanfaat bagi pembaca secara umum dan
penulis secara khususnya.
Wassalamu Alaikum Wr.Wb.

Makassar, Oktober 2020

Rezky Ramadhani Syarif, S.Ked

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ......................................................i

KATA PENGANTAR ........................................................................................ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 2

A. Definisi ........................................................................................ 2
B. Anatomi, Histologi dan Fisiologi ................................................ 2
C. Klasifikasi ................................................................................... 6
D. Epidemiologi ............................................................................... 7
E. Etiologi ........................................................................................ 8
F. Patomekanisme ........................................................................... 9
G. Diagnosis ..................................................................................... 10
H. Penatalaksanaan .......................................................................... 15
I. Diagnosis Banding ...................................................................... 18
J. Komplikasi & Prognosis ............................................................. 20

BAB III KESIMPULAN .................................................................................. 21

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 22

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

Priapismus adalah suatu keadaan yang abnormal dari penis dimana terjadinya
ereksi yang berkepanjangan. Biasanya rasa nyeri dan tidak ada keinginan seksual.
Sebanyak 60% kasus adalah idiopatik,sisanya 40% berhubungan degan penyakit
lain, seperti: leukemia, sickle cell disease, tumor-tumor pelvis, infeksi pelvis,
trauma penis, trauma spinal dan penggunaan obat-obatan. Pengobatan impotensi
dengan penyuntikan intracavernosus merupakan penyebab utama terjadinya
priapismus akhir-akhir ini. Bentuk idiopatik sering diawali oleh rangsangan
seksual yang berkepanjangan.(1)
Bagaimana sebenarnya mekanisme terjadinya priapismus masih
diperdebatkan, kebanyakan ahli percaya bahwa kelainan yang mendasar adalah
aliran darah venous yang terganggu akibat obstruksi fisiologis. Obstruksi ini
menyebabkan meningkatkanya viskositas darah dan rendahnya oksigenasi di
dalam corpus cavernosus. (1)
Priapismus disubklasifikasikan berdasarkan etiologi dan penanganan yang
adekuat tergantung pada status aliran darah pada penis. Identifikasi priapismus
merupakan hal penting karena memerlukan terapi dalam waktu sesegera mungkin
sehingga termasuk dalam keadaan Emergensi Urologi terutama untuk priapismus
yang lowflow/ischemic subgroup. Penanganan yang terlambat dapat
menyebabkan persisting erectile dysfunction sebagai akibat dari irreversible
corporal fibrosis. (2)

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Priapismus adalah ereksi penis yang berkepanjangan tanpa diikuti dengan
hasrat seksual dan sering disertai dengan rasa nyeri. Istilah priapismus berasal
dari kata Yunani priapus yaitu nama dewa kejantanan pada Yunani Kuno.
Priapismus merupakan salah satu kedaruratan di bidang urologi karena jika
tidak ditangani dengan cepat dan tepat dapat menimbulkan kecacatan yang
menetap berupa disfungsi ereksi. (3)

B. Anatomi, Histologi dan Fisiologi Penis


Penis terdiri atas 3 buah corpora berbentuk silindris, yaitu 2 buah corpora
kavernosa yang saling berpasangan dan sebuah korpus spongiosum yang
berada di sebelah ventralnya. Corpora kavernos dibungkus oleh jaringan
fibroelastik tunika albuginea sehingga merupakan satu kesatuan, sedangkan di
sebelah proksimal terpisah menjadi dua sebagai kruris penis. Setiap kruris
penis dibungkus oleh otot ishio-kavernosus yang kemudian menempel pada
rami osis ischii.(4)

2
Gambar 2.1 Anatomi Penis & Penis dalam Os Pubis(5)
Korpus spongiosum membungkus uretra mulai dari diafragma urogenitalis
dan di sebelah proksimal dilapisi oleh otot bulbo-kavernosus. Korpus
spongiosum ini berakhir pada sebelah distal sebagai glans penis. Ketiga
corpora itu dibungkus oleh fasia Buck dan lebih superficial lagi oleh fasia
Dartos yang merupakan kelanjutan dari fasia Buck dan lebih superficial lagi
oleh fasia Dartos yang merupakan kelanjutan dari fasia Scarpa tampak pada
potongan melintang penis.(4)

3
Gambar 2.2 Penampang Melintang Batang Penis(5)
Penis mendapatkan aliran darah dari arteri iliaka interna menuju arteri
pudenda interna yang kemudian menjadi arteri penis komunis. Selanjutnya
arteri ini bercabang menjadi arteri kavernosa atau arteri sentralis, arteri dorsalis
penis, dan arteri bulbo-uretralis. Arteri penis komunis ini melewati kanal dari
Alock yang berdekatan dengan os pubis dan mudah mengalami cedera jika
terjadi fraktur pelvis. Arteri sentralis memasuki rongga kavernosa kemudian
bercabang-cabang menjadi arteriole helisin, yang kemudian arteriole ini akan
mengisikan darah ke dalam sinusoid.(4)
Daerah vena dari rongga sinusoid dialirkan melalui anyaman/pleksus yang
terletak di bawah tunika albuginea. Anyaman/pleksus ini bergabung
membentuk venule emisaria dan kemudian menembus tunika albuginea untuk
mengalirkan darah ke vena dorsalis penis.(4)

4
Gambar 2.3 Vaskularisasi Penis(5)
Rangsangan seksual menimbulkan peningatan aktivitas saraf parasimpatis
yang mengakibatkan terjadinya dilatasi arteriole dan konstriksi venule sehingga
inflow (aliran darah yang menuju ke korporas) meningkat sedangkan outflow
(aliran darah yang meninggalkan korpora) akan menurun; hal ini menyebabkan
peningkatan volume darah dan ketegangan pada corpora meningkat sehingga
penis menjadi ereksi (tegang). Persarafan penis terdiri atas sistem saraf
otonomik (simpatik dan parasimpatik) dan somatik (sensorik dan motorik)
yang berpusat di nucleus intermediolateralis medula spinalis pada segmen S2-4
dan Th10-L2. Dari neuron yang berpusat di kordaspinalis, serabut-serabut saraf
simaptik dan parasimpatik membentuk nervus kavernosus yang memasuki
korpora kavernosa dan korpus spongiosum.(4)
Saraf ini memacu neurotransmitter untuk memulai proses ereksi serta
mengakhirinya pada proses detumesensi. Saraf somato-sensorik menerima
rangsangan di sekitar genitalia dan saraf somato-motorik menyebabkan

5
kontraksi otot bulbokavernosus dan ischiokavernosus. Fase ereksi dimulai dari
rangsangan yang berasal dari genitalia eksterna berupa rangsangan raba (taktil)
atau rangsangan yang berasal dari otak berupa fantasi, rangsangan
pendengaran, atau penglihatan. Rangsangan tersebut menyebabkan terlepasnya
neurotransmitter dan mengakibatkan terjadinya dilatasi arteri kavernosus/arteri
helisin, relaksasi otot kavernosus, dan konstriksi venule emisaria. Keadaan ini
menyebabkan banyak darah yang mengisi rongga sinusoid dan menyebabkan
ketegangan penis. Demikian pula sebaliknya pada fase flaksid terjadi konstriksi
arteriole, konstraksi otot kavernosus, dan dilatasi venule untuk mengalirkan
darah ke vena-vena penis sehingga rongga sinusoid berkurang volumenya. Saat
ini diketahui bahwa sebagai neuroefektor yang paling utama di dalam korpus
kavernosum pada proses ereksi adalah non adrenergic non kolinergik atau
NANC. Rangsangan seksual yang diteruskan oleh neuroefektor NANC
menyebabkan terlepasnya nitrit oksida (NO), yang selanjutnya akan
mempengaruhi enzim guanilat siklase untuk merubah guanil tri fosfat (GTP)
menjadi siklik guanil mono fosfat (cGMP). Substansi terakhir ini menurunkan
jumlah kadar kalsium di dalam sel otot polos yang menyebabkan relaksasi otot
polos kavernosum sehingga terjadi ereksi penis. (4)

C. Klasifikasi
Ereksi penis yang berkepanjangan pada priapismus dapat terjadi karena:
(1) gangguan mekanisme outflow (veno-oklusi) sehingga darah tidak dapat
keluar dari jaringan erektil, atau (2) adanya peningkatan inflow aliran darah
arteriel yang masuk ke jaringan erektil. Oleh karena itu secara hemodinamik,
priapismus dibedakan menjadi (1) priapismus tipe veno oklusif atau low flow
dan (2) priapismus tipe arteriel atau high flow. Kedua jenis itu dapat dibedakan
dengan memperhatikan gambaran klinis, laboratorium, dan pemeriksaan
pencitraan ultrasonografi color doppller dan arteriografi (tabel 2-1).(3)
Priapismus jenis iskemik ditandai dengan adanya iskemia atau anoksia
pada otot polos kavernosa. Semakin lama ereksi, iskemia semakin berat, dan
setelah 3-4 jam, ereksi dirasakan sangat sakit. setelah 12 jam terjadi edema
6
interstisial dan kerusakan endothelium sinusoid. Nekrosis otot polos kavernosa
terjadi setelah 24-48 jam. Setelah lebih dari 48 jam terjadi pembekuan darah
dalam kaverne dan terjadi destruksi endotel sehingga jaringan trabekel
kehilangan daya elastisitasnya.(3)
Tabel 2-1. Perbedaan Priapismus Iskemik dan Non Iskemik(3)
Parameter Low flow (statik/iskemik)-Veno High flow (non iskemik)-
oklusif Arterial
Onset Pada saat tidur Setelah trauma
Nyeri Mula-mula ringan menjadi Ringan sampai sedang
sangat nyeri
Ketegangan penis Sangat tegang Tidak terlalu tegang
Darah Kavernosa
Warna Hitam Merah
pO2 <30 mmHg >50 mmHg
pCO2 >80 mmHg <50 mmHg
pH <7,25 >7,5
Color Doppler Tidak ada aliran Ada aliran, dan fistula
Arteriografi Pembuluh darah utuh Malformasi arterio-vena

Jika tidak diterapi, detumesensi terjadi setelah 2-4 minggu dan otot polos
yang mengalami nekrosis diganti oleh jaringan fibrosa sehingga kehilangan
kemampuan untuk mempertahankan ereksi maksimal. Priapismus jenis non
iskemik banyak terjadi setelah mengalami suatu trauma pada daerah perineum
atau setelah operasi rekonstruksi arteri pada disfungsi ereksi. Prognosisnya
lebih baik daripada jenis iskemik dan ereksi dapat kembali seperti sedia kala.(3)
D. Epidemiologi
Data tentang insidensi priapismus cukup rendah hal ini dapat dikarenakan
pasien tidak tercatat dengan baik. Menurut Eland dkk. Pada penelitiannya
tentang insidensi priapismus didapatkan sekitar 1,5 per 100.000 laki-laki
pertahun. Priapismus dapat terjadi di semua usia pada anak-anal 5-10 tahun,

7
tercatat pasien anak dengan sickle cell disease. Rata pasien priapismus pada
usia aktif seksual yaitu 20-50 tahun.(6,7)
Pada penelitian di Australia selama 16 tahun dilaporkan hanya 82 episode
priapismus yang terjadi pada 63 pasien. Penelitian lain juga melaporkan sekitar
1,5% dari kelainan hematologi dapat terjadi priapismus.(8,9)
E. Etiologi
Menurut etiologinya priapismus bisa primer, sekunder atau idiopatik.
Priapismus dengan etiologi primer tidak disertai dengan gangguan yang
menyebabkan ereksi yang berkepanjangan, misalnya fisik ataupun psikis.
Priapismus sekunder bisa disebabkan oleh faktor-faktor yang secara langsung
ataupun tidak langsung berpengaruh pada ereksi penis. Telah diindikasikan
bahwa peningkatan frekuensi priapisme terkait dengan meningkatkan
penggunaan terapi injeksi intracavernosus (CCIT) untuk disfungsi ereksi.(3) Di
antara 1,1% (untuk PGE1) dan 7,7% (kombinasi papaverine dan phentolamine)
pasien yang diterapi dengan CCIT mengalami ereksi yang berkepanjangan.
Penyebab priapismus idiopatik tidak dapat ditelusuri dan tidak ada kondisi
patologis yang jelas. Insidennya diperkirakan antara 50% dan 60%.(10)
Selama penilaian awal, tergantung pada patologi hemodinamik yang
mendasari, pemeriksa harus membedakan antara 2 tipe dasar priapismus yaitu
high flow (non-ischemic) dan low flow (ischemic) karena metode pengobatan
dn prognosis berbeda. Penyebab priapismus arterial high-flow masih belum
jelas, meskipun penyakit farmakologis, traumatis dan neurologis telah
diusulkan. Priapismus high-flow disebabkan oleh aliran masuk arterial yang
tidak beraturan dan secara terus menerus ke dalam lacunas space (fistula
arterial-lacunar), biasanya sekunder dari arteri kavernosus yang robek akibat
trauma tumpul atau tajam. Peningkatan aliran arteri tidak diatur oleh arteri
helisin dan tidak mengaktifkan mekanisme veno-oklusif. Kurangnya kasus
yang dilaporkan dalam literature menyiratkan bahwa priapisme arteri adalah
kelainan yang langka. Awalnya priapismus high-flow yang diinduksi oleh
CCIT terbukti. Seiring berjalannya waktu, mekanisme veno-oklusif menjadi
aktif berubah menjadi priapismus ischemic low-flow yang sangat nyeri.(3,10)
8
Priapismus low-flow atau veno-oklusi yang lebih umum terjadi akibat
obstruksi aliran vena yang terus-menerus dari lacunar space. 80%-90% dari
priapismus yang disajikan secara klinis adalah gangguang low flow.(10)
Untuk menentukan jenis priapisme secara tepat, penilaian riwayat,
pemeriksaan fisis, hemodinamik penis dan kualitas darah metabolic korporeal
sangat penting. Pada priapisme low-flow aliran keluar vena tidak ditunjukkan
oleh kavernosonografi dan pulsasi tidak teraba. Salah satu patologi utama
priapisme low-flow adalah stasis darah di korpora kavernosa yang
mengakibatkan pO2 rendah dan pCO2 tinggi. Ph darah corporeal turun di
bawah 7,0 (asidosis). Ereksi kemudian menjadi nyeri dan fibrosis corporeal
yang ireversibel (irreversible corporeal fibrosis) dapat terjadi. Nyeri
berhubungan dengan hipoksia jaringan dan asidosis. Intervensi terapeutik yang
mendesak dengan irigasi dan aspirasi darah corporeal hingga 150 ml hingga 20
ml diperlukan.(10)
Dalam color-flow duplex sonography, priapisme high-flow yang seringkali
tidak menimbulkan rasa sakit menunjukkan aliran masuk arteri yang tinggi dan
kavernosonografi menunjukkan aliran keluar vena yang normal. pH meningkat
di atas 7,0. Level gas darah mirip dengan darah arteri. Color-flow duplex
sonography diusulkan menjadi metode pemeriksaan diagnostic yang kurang
invasive dibandingkan dengan kavernosonografi.(10)
F. Patomekanisme
Priapismus iskemik melibatkan ketidakseimbangan antara mekanisme
vasokonstriksi dan vasodilatasi yang menyebabkan sindroma kompartemen
penis tertutup. Hal ini ditandai dengan hipoksia, hiperkapnia, dan asidosis.
Paparan otot polos korpus penis yang terlalu lama dalam kondisi demikian
akan mengakibatkan keadaan refrakter otot terhadap bahan konstriktor dan
kerusakan ireversibel pada jaringan erektil penis dengan akibat terjadinya
fibrosis korpus. Asidosis akan mengurangi kontraktilias otot polos trabekilla
terhadap agonis adrenergik. Lebih lanjut, keadaan hipoksemia akan
mengaktivasi kaskade reaksi sel endotel yang ditandai dengan peningkatan

9
adhesi neutrofil, penurunan aktivitas mitokondria dan peningkatan kalsium
intrasel.(11)
Priapismus non-iskemik terjadi sebagai akibat dari aliran darah arterial
kavernosa yang tidak teratur setelah trauma perineal akut. Trauma ini
menyebabkan terbentuknya fistula lakunar arterial yang mana aliran turbulensi
arteri ini menyebabkan pelepasan nitrit oksida (NO), suatu vasodilator poten
dan antikoagulan yang mencegah detumesensi penis dan pembekuan fistula
lakunar arterial. Priapismus arterial dikarakteristikkan dengan ereksi parsial
permanen yang tidak nyeri, hampir selalu dengan rigiditas penis normal selama
aktivitas seksual. Apabila terjadi priapismus arteri terjadi dengan adanya ereksi
penis yang inadekuat selama berhubungan seksual, harus dicurigai adanya
trauma yang menyebabkan laserasi arteri kavernosa yang diikuti dengan
kerusakan endoter yang cukup berat dan obstruksi arteri patologis.(11)
G. Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan yang teliti diharapkan dapat mengungkapkan
etiologi priapismus. Pada pemeriksaan lokal didapatkan batang penis yang
tegang tanpa diikuti oleh ketegangan pada glans penis. Ultrasonografi Doppler
yang dapat mendeteksi adanya pulsasi arteri kavernosa dan analisis gas darah
yang diambil intrakavernosa dapat membedakan priapismus jenis ischemic atau
non ischemic. Penyelidikan lebih lanjut menggunakan toksikologi urin,
skrining hematologi, dan pencitraan perut dilakukan untuk menyelidiki
penyebab yang mendasari, meskipun sebagian besar kasus priapisme iskemik
cenderung idiopatik.(12)
Riwayat klinis (Anamnesis)
Anamnesis yang komperhensif adalah hal yang perlu dalam mendiagnosis
priapismus. Riwayat medis harus mencakup riwayat sickle cell disease atau
kelainan hematologi lainnya dan riwayat trauma pelvis, genital, atau perineum.
Riwayat hubungan seksual harus mencakup hal-hal seperti durasi ereksi,
adanya nyeri dan derajat nyerinya, riwayat konsumsi obat sebelumnya, riwayat
priapisme dan fungsi ereksi sebelumnya sebelum episode priapisme terakhir.
Riwayat klinis dapat membantu untuk menentukan jenis priapisme yang
10
mendasari pasien (tabel 2-2). Priapisme iskemik dikaitkan dengan nyeri penis
yang progresif dan ereksinya kaku.(13)

Tabel 2-2 Poin penting dalam melakukan anamnesis pada pasien


priapismus(13)
Durasi ereksi
Adanya nyeri & derajatnya
Episode priapismus sebelumnya dan metode pengobatannya
Fungsi ereksi saat ini, terutama penggunaan resep terapi erektogenik atau
suplemen nutrisi
Riwayat pengobatan dan penggunaan obat-obatan terlarang
Sickle cell disease, hemoglobinopati dan keadaan hiperkoagulasi
Trauma pelvis, perineum atau penis

Pemeriksaan fisik
Pada priapismus iskemik, korpora sepenuhnya kaku tetapi kelenjar penis
lunak. Pasien mengeluh nyeri. Pemeriksaan panggul bisa mengungkap kasus
keganasan.(13)

Gambar 2.4 Priapismus dengan chronic myeloid leukemia

11
Gambar 2.5 Priapismus post injeksi obat kuat
Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium harus mencakup pemeriksaan darah
lengkap, leukosit dan diferensial leukosti, platelet dan profil koagulasi untuk
menilai anemia dan mendeteksi kelainan hematologis. (13)
Aspirasi darah dari korpora kavernosa menunjukkan darah iskemik gelap
(Tabel 2-3). Analisis gas darah penting untuk membedakan antara priapisme
iskemik dan non-iskemik (Tabel 2-4). (13)
Tabel 2-3 Kunci untuk membedakan priapismus(13)
Iskemik priapismus Arterial priapismus
Corpora cavernosa sepenuhnya kaku Biasanya Jarang
Nyeri penis Biasanya Jarang
Analisa gas darah penis abnormal Biasanya Jarang
Kelainan hematologi Biasanya Jarang
Injeksi intracorporeal baru-baru ini Kadang-kadang Kadang-kadang
Trauma perineal Jarang Biasanya

Tabel 2-4 Nilai gas darah(13)


Sumber pO2 (mmHg) pCO2 (mmHg) pH
Darah arteri normal (udara >90 < 40 7,40
ruangan) [nilai serupa
ditemukan pada priapisme

12
arteri]
Darah vena campuran normal 40 50 7,35
(udara ruangan)
Priapismus iskemik (aspirasi < 30 >60 < 7,25
corporal pertama)

Gambaran radiologis pada priapismus


Colour Doppler ultrasound (US) dari penis dan perineum
direkomendasikan dan dapat membedakan priapismus iskemik dan priapismus
arteri (non-iskemik) sebagai alternatif atau tambahan untuk mendukung
diagnose selain hasil analisa gas darah. Pemindaian penis harus dilakukan
sebelum aspirasi pada priapismus iskemik. (13)
Pemeriksaan batang penis dan perineum dianjurkan. Pada priapismus
iskemik tidak ada aliran darah di arteri kavernosus. Kembalinya bentuk
gelombang arteri kavernosa akan menghasilkan detumesensi yang berhasil.
Setelah aspirasi, hyperemia reaktif bisa saja terjadi dengan aliran arteri yang
tinggi yang dapat menyesatkan diagnosis sebagai priapismus arteri. (13)

Gambar 2.6 USG Doppler priapismus iskemik gambaran melintang


Gambar melintang melalui batang penis yang membesar. Korpora
kavernosa nampak hypoechoic ovoid (bintang merah). Arteri kavernosus
nampak echogenic (panah hijau)

13
Gambar 2.7 USG Doppler priapismus iskemik gambaran melintang
Menunjukkan aliran vena (V) dan arteri (A) dorsalis. Tidak ada aliran di
corpora cavernosa.

Gambar 2.8 USG Doppler priapismus iskemik gambaran longitudinal


Menunjukkan aliran darah di arteri dorsalis penis. Tidak ada aliran di
cavernosa.

14
Gamba 2.9 USG Doppler priapismus non-iskemik gambaran melintang dan
longitudinal menunjukkan corpora cavernosa kanan menunjukkan vascular
yang melebar dengan aliran turbulen dan kecepatan aliran tinggi yang
menunjukkan fistula arteriovenosa.
H. Penatalaksanaan
Tatalaksana tipe iskemik harus dilakukan dlaam waktu 4 jam (setelah 72
jam biasanya jaringan ireversibel dan menyebabkan DE permanen), dapat
dicoba (walaupun tidak ada bukti klinis yang jelas) dengan compress es di
perineum, olah raga, ejakulasi, enema air dingin pada non iskemik, namun
pada tipe iskemik, maka harus dilakukan tindakan segera berupa:
Aspirasi darah (teknik non operatif) pada corpora penis (menggunakan
abocath 16-18Fr pada arah 10 dan 2, menjauhi kompleks neurovasklar bundle
di arah jam 12 dan urethra di arah jam 6), aspirasi hingga ditemukan darah
merah terang. Prosesini dapat disertai irigasi NaCl 0,9 % di dalam korpora
penis, dan pemberian injeksi cavernosa penis dengan phenileprin 200 mg per 3-
5 menit (max 1 mg/jam) yaitu suatu obat alfa-1 adrenergic selektif yang
bekerja pada reseptor alfa di pembuluh darah dan menyebabkan vasokonstriksi,
dengan harapan dapat terjadi detumesensi penis. Teknik ini dapat digunakan
pada kasus tipe iskemik atau non iskemik.(14)
Terapi pilihan lain dengan teknik operatif. Intervensi bedah, harus segera
dilakukanstelah manajemen konservatif gagal setelah 1 jam dilakukan (tanda
kegagalan adalah masih adanya kerasnya korpus yang berkelanjutan, nyeri
persisten, asidosis korpus, anoxia, glukopenia berat, dan absennya aliran darah

15
di korpus pada dopler US, serta terus meningkatnya tekanan intra korporal).
Teknik yang digunakan berupa penile shunt yang terbagi menjadi 4 yaitu(14):
a. Distal corpora-glandular shunt perkutan (Winter-menggunakan jarum
truncut biopsy untuk membuat shunt dari glans penis ke kedua korpus
kavernosa, Ebbehoj- menggunakan blade 11 dan membuat tusukan multiple
pada glans penis dan T Shunt-rotasi 90 derajat setelah blade 11 ditusukkan
dari glans ke korpus, dilanjutkan dengan tunneling menggunakan dilator
20Fr).

Gambar 2.10 Distal corpora-glandular shunt perkutan

16
Gambar 2.11 Distal corpora-glandular shunt perkutan
b. Open distal corpora-glandular shunt (Al Ghorab-eksisi corpora secara
sirkuler pada kedua korpus kavernosa, burnett/snake maneuver-modifikasi
al ghorab yang dilanjutkan dengan dilatasi hegar 7/8),
c. Open proximal (corporaspongiosal) shunts (Quckles- akses transscrotal
/perinerum untuk membuat komunikasi spongiosum dan cavernosum),

Gambar 2.12 Open proximal (corpora-spongiosal) shunts


d. Shunt anstomosis vena (grayhack/shunt vena safenus to corpus
cavernosum). Implantasi protesis penis segera (pada akut priapismus yang
telah melewati periode 48-72 jam, karena dipastikan akan mengalami DE,
dengan indikasi yaitu : iskemia >36 jam, gagal terapi aspirasi dan iv
simpatomimetik, kegagalan shunt proximal/distal serta MRI atau biopsy
corporal yang menunjukkan nekrosis otot polos corpus).
Pada tipe non iskemik tatalaksana bersifat tidak emergensi, karena fistula
dapat menutup spontan, terapi berupa pemberian kompresi dan kompres es di
perineum, pemberian Gonadotropin Releasing Hormone (GNRH) agonis
(leuprolide, bicatulanide dan ketokonazol) dengan tujuan mencegah ereksi saat
tidur. Dapat diusulkan terapi embolisasi selektif (yang dapat diulang jika belum
berhasil). Tindakan aspirasi darah dan pemberian alfa adrenergic antagonis
tidak diindikasikan karena tidak bermanfaat. (14)

17
I. Diagnosis Banding Priapismus
Peyronie’s Disease
Penyakit Peyroni adalah didapatkannya plaque atau indurasi pada tunika
albuginea korpus kavernosum penis sehingga menyebabkan terjadinya angulasi
(pembengkokan) batang penis pada saat ereksi.(3)

Gambar 2.13 Penyakit Peyroni. Jaringan fibrosis menyebabkan angulasi


batang penis.
Gambaran Klinis
Pasien mengeluh nyeri dan terjadi angulasi (penis bengkok) pada saat
ereksi, sedangkan pada saat tidak ereksi nyeri menghilang. Akibat nyeri dan
angulasi ini kemampuan penetrasi ke vagina menjadi berkurang. Pada
pemeriksaan, teraba jaringan-jaringan keras (fibrus) tunggal ataupun berpa plak
multiple pada tunika albuginea. Pada kasus yang berat dapat teraba kalsifikasi
sehingga dapat terlihat pada pemeriksaan foto polos penis. (3)

18
Gambar 2.14 Gambaran klinis penyakit Peyroni
Etiologi
Penyebab yang pasti dari penyakit ini belum diketahui, tetapi secara
histopatologi plak itu mirip dengan vaskulitis pada kontraktur Dupuytren yang
disebabkan oleh reaksi imunologik. Hasil anamnesis pada pasien penyakit
Peyronie menyebutkan bahwa sebelunnya mereka mengalami trauma pada
penis yang berulang pada saat senggama. (3)
Terapi
Konservatif. Tanpa terapi, 50% penyakit ini dapat mengalami remisi
spontan setelah observasi selama 1 tahun. Dapat dicoba dengan pemberian
tamoxifen 20mg dua kali sehari selama 6 minggu. Jika menunjukkan respon
yang baik pengobatan diteruskan sampai 6 bulan. Untuk mencegah aktivitas
fibroblast dapat dicegah dengan pemberian colchicines atau verapamil. Nyeri
yang berkepanjangan dapat diberikan vitamin E 200mg tiga kali sehari.
Pemberian potassium aminobenzoat (PABA) tidak menyenangkan karena
menimbulkan banyak efek samping. (3)
Injeksi topikal pada lesi yang ditujukan dalam mengurangi derajat
kurvatura tidak banyak memberikan hasil yang memuaskan. Injeksi harus
diberikan berulang kali sampai beberapa bulan, dengan memberikan anestesi
lokal sebelumnya. Obat yang dipakai berupa 1) Verapamil, yaitu obat anti
hipertensi, yang ternyata dapat menghambat produksi kolagen, 2) Interferon,
suatu protein yang dapat menghancurkan kolagen, dan 3) kolagenase, suatu

19
enzim yang dapat menghancurkan kolagen dan mungkin menyingkirkan
jaringan parut. (3)
Operasi. Indikasi operasi adalah pada penyakit Peyronie adalah deformitas
penis yang mengganggu senggama atau disfungsi ereksi akibat Peyronie.
Sebelum operasi harus ditentukan bahwa penyakit telah stabil atau matang,
antara lain: sudah tidak ada nyeri saat ereksi dan kurvatura atau deformitas
penis saaat ereksi sudah menetap atau stabil. Biasanya keadaan itu dicapai
setelah 12-18 bulan sejak awal timbulnya penyakit. (3)
Banyak teknik operasi yang dikerjakan hingga kini, mulai dari eksisi plak
kemudian tandur kulit atau cara Nesbitt. Nesbitt melakukan eksisi oval pada
konveksitas tunika albuginea, dan selanjutnya defek yang terjadi dijahit dengan
benang tidak diserap. Pasca operasi sering terjadi pemendekan penis. Jika
dengan operasi tidak memberikan perbaikan, ditawarkan untuk pemasangan
prosthesis penis. (3)
J. Komplikasi & Prognosis
Bila tidak diterapi >24 jam, dapat terjsdi kerusakan seluler yang parah dan
nekrosis penis dan jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat dapat
menimbulkan kecatatan yang menetap berupa disfungsi ereksi. (2,3)

20
BAB III

KESIMPULAN

Adapun Kesimpulan yang dapat ditarik dalam referat dengan judul


priapismus ini adalah priapismus merupakan kondisi patologis dimana terjadi
ereksi penis yang berlangsung melebihi 4 jam bukan karena stimulasi seksual.
Berdasarkan patologi hemodinamik yang mendasari, priapismus dapat
diklasifikasikan menjadi high-flow priapism (non-ischemic priapism)dan low-flow
priapism (ischemic priapism). Radiologis memiliki peran sentral dalam
manajemen priapismus, baik pada presentasi akut maupun pada penilaian lanjut
untuk kemungkinan sekuele. USG Doppler digunakan untuk membedakan apakah
priapismus tersebut termasuk high-low priapism atau low-flow priapism karena
terkait dengan penatalaksanaannya yang berbeda. Pemeriksaan USG Doppler pada
low-flow priapism, tidak tampak adanya venous outflow, tidak adanya aliran
kavernosal dengan resistensi tinggi, low velocity trace dari arteri. Sedangkan pada
high-flow priapism, USG Doppler menunjukkan high arterial inflow, dapat
menunjukkan adanya fistula, peak systolic velocity (PSV) biasanya meningkat
dengan high diastolic flow dan draining veins sering terlihat prominen.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Zakaria I. Cavernosografi. J Kedokt Syiah Kuala. 2007;7(3):171.

2. Haryuni I, Sudarmanta. Priapism on Doppler Ultrasound. J Radiol Indones.


2016;1(4):256–9.

3. Purnomo BB. Disfungsi Ereksi. In: Dasar-dasar Urologi. 3rd ed. Jakarta:
Sagung Seto; 2012. p. 299–303.

4. Smith RP, Turek PJ. The Penis and Male Perineum. In: The Netter
Collection of Medical Illustrations Reproductive System. 2nd ed.
Philadelphia: Elsevier; 2011. p. 23.

5. Netter FH. Netter’s Atlas of Human Anatomy. 5th ed. Philadelphia:


Elsevier; 2011. 361-362, 383 p.

6. M.W C, C.C T. Pripism a rare presentation in chronic myeloid leukemia:


case report and review of literature. Chang Gung med J. 2003;26:288–92.

7. Elanda IA, Leib J van der, Strickera BHC, Sturkenbooma MJC. Incidence
of priapism in the general population. 2001;57(5):970–97.

8. Ilias T. Priapism as the first manifestation of chronic myeloid leukemia.


Ann Saudi Med. 2009;29(5):412.

9. Earle C, Stuckey B, Ching H, Wisniewski Z. The incidence and


management of priapism in Western Australia: a 16 year audit. Int J Impot
Res. 2003;15:272–6.

10. Van der Horst C, Stuebinger H, Seif C, Melchior D, Martínez-Portillo FJ,


Juenemann KP. Priapism - Etiology, pathophysiology and management. Int
Braz J Urol. 2003;29(5):391–400.

11. Meir D. Priapism in Handbook of Urology : Diagnosis & Therapy. 3rd ed.

22
USA: Lippincott Williams & Wilkins; 2004.

12. Muneer A, Alnajjar HM, Ralph D. Recent advances in the management of


priapism. F1000Research. 2018;7(0):1–7.

13. Salonia A, Eardley I, Giuliano F, Hatzichristou D, Moncada I, Vardi Y, et


al. Guidelines on Priapism. Eur Assoc Urol. 2015;4–26.

14. Marista A. Wellness and healthy magazine. Wellness Heal Mag.


2020;2(February):187–92.

23

Anda mungkin juga menyukai