Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 . Latar Belakang

Kebutuhan sayuran yang terus meningkat berbanding lurus dengan nilai

ekonomisnya yang semakin tinggi. Namun, hal ini menjadi kendala karena

kenaikan kebutuhan tidak diimbangi dengan pertambahan luas lahan yang

digunakan untuk penanaman sayuran. Dalam upaya memenuhi kebutuhan sayuran

bagi masyarakat, untuk mengatasi hal tersebut ditempuh berbagai cara agar

produktivitas tanaman meningkat, dengan harapan dari lahan yang sempit dapat

dihasilkan produksi yang tinggi, terutama di wilayah perkotaan yang memiliki

keterbatasan lahan kosong. Oleh karena itu, diperlukan suatu sistem penanaman

yang dapat menghemat penggunaan lahan, tetapi mampu memproduksi sayuran

yang sehat berkualitas. Salah satunya dengan sistem hidroponik, baik dengan atau

tanpa rumah kaca (green house).

Terbatasnya lahan produksi pangan (pertanian-perikanan) telah

mendorong budidaya pertanian-perikanan di lahan sempit atau wadah yang

terbatas. Agar terjadi sinergitas yang saling mendukung, usaha budidaya

perikanan di lahan terbata akan lebih baik apabila digabungkan dengan pertanian,

hal ini tentunya dapat meningkatkan efiesiensi pada tahap produksi.

Akuaponik memberikan alternatif bercocok tanam di lahan terbatas

dengan menggabungkan akuakultur dan hidroponik dalam lingkungan yang

simbiotik. Nutrisi akuaponik bisa didapat dengan mudah, yaitu kotoran ikan.

Umumnya, pada akuakultur ekskresi dari ikan yang dipelihara akan terakumulasi
di air dan meningkatkan toksisitas jika tidak dibuang. Dalam akuaponik, kotoran

ikan ini akan dipecah menjadi nitrat dan nitrit melalui proses alami dan

dimanfaatkan oleh tanaman sebagai sumber nutrisi. Dalam kegiatan ini sistem

hidroponik berperan sebagai filter bagi lingkungan ikan (Hasbullah, dkk., 2011).

Tanaman sawi merupakan jenis sayuran yang digemari oleh semua

golongan masyarakat. Permintaan terhadap tanaman sawi selalu meningkat seiring

dengan bertambahnya jumlah penduduk dan kesadaran kebutuhan gizi. Di lain

pihak, hasil sawi belum mencukupi kebutuhan dan permintaan masyarakat karena

areal pertanaman semakin sempit dan produktivitas tanaman sawi masih relatif

rendah. Bagian tanaman sawi yang bernilai ekonomis adalah daun maka upaya

peningkatan produksi diusahakn pada peningkatan produk vegetatif untuk

mendukung upaya tersebut dilakukan pemupukan (Rubatzky dan Yamaguchi,

1998).

Kotoran ikan yang seringkali menimbulkan masalah karena bau yang tidak

sedap dan membuat kolom menjadi kotor ternyata bisa memberikan manfaat. Sisa

pakan yang ditebar di kolam yang tidak termakan oleh ikan dan mengendap di

kolam pun bisa bermanfaat pula. Kedua limbah yang berasal dari hasil budidaya

di kolam ikan tersebut dapat dimanfaatkan untuk akuaponik. Inti dasar dari sistem

teknologi ini adalah penyediaan air yang optimum untuk masing-masing

komoditas dengan memanfaatkan sistem re-sirkulasi. Sistem teknologi akuaponik

ini muncul sebagai jawaban atas adanya permasalahan semakin sulitnya

mendapatkan sumber air yang sesuai untuk budidaya ikan, khususnya di lahan

2
yang sempit. Akuaponik merupakan salah satu teknologi hemat lahan dan air yang

dapat dikombinasikan dengan berbagai tanaman sayuran. 

Penelitian yang telah dilakukan sebelumya oleh Rakhman (2015)

menunjukkan bahwa tanaman sawi dapat dibudidayakan dengan teknologi

aquaponik. Namun, belum ada penelitian yang membahas tentang variasi larutan

nutrisi dengan kombinasi kotoran ikan dan dampaknya terhadap produktivitas

tanaman. Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilakukan untuk membandingkan

pertumbuhan tanaman sawi menggunakan campuran larutan nutrisi limbah cair

ikan dengan AB Mix dan limbah cair ikan dengan larutan EM4.

1. 2 . Rumusan Masalah

Apakah dengan memanfaatkan limbah cair ikan (nila) dan tambahan

larutan nutrisi dapat membantu meningkatkan produktifitas tanaman sawi.

1. 3 . Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Membandingkan pertumbuhan tanaman sawi menggunakan sistem aquaponik

dengan variasi larutan nutrisi.

2. Mengukur produktivitas tanaman sawi pada sistem aquaponik dengan variasi

larutan nutrisi.

1. 4 . Manfat Penelitian

Manfaat dari penilitian ini adalah sebagai sumber informasi dan referensi

bagi petani tanaman sayur untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil

produksi tanaman sayuran.

3
1. 5 . Hipotesis

Untuk mengarahkan jalannya penelitian ini, maka diajukan hipotesis sebagai

berikut: Diduga bahwa menggunakan tambahan nutisi EM4 lebih baik bagi

pertumbuhan tanaman sawi dibandingkan AB Mix atau hanya dengan nutrisi

organik (limbah ikan).

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 . Tanaman Hortikultura

Hortikultura berasal dari bahasa latin, yaitu hortus (kebun) dan colere

(menumbuhkan). Secara harfiah, hortikultura berarti ilmu yang mempelajari

pembudidayaan kebun. Hortikultura merupakan cabang pertanian yang berurusan

dengan budidaya intensif tanaman yang diajukan untuk bahan pangan manusia

obat-obatan dan pemenuhan kepuasan (Zulkarnain, 2009). Hortikultura adalah

gabungan ilmu, seni, dan teknologi dalam mengelola tanaman sayuran, buah,

ornamen, bumbu-bumbu, dan tanaman obat obatan. Hortikultura merupakan

budidaya tanaman sayuran, buah-buahan, dan berbagai tanaman hias. Hortikultura

saat ini menjadi komoditas yang menguntungkan karena pertumbuhan ekonomi

yang semakin meningkat mengakibatkan pendapatan masyarakat yang juga

meningkat. Peningkatan konsumsi hortikultura disebabkan karena struktur

konsumsi bahan pangan cenderung bergeser pada bahan non pangan. Konsumsi

masyarakat sekarang ini memiliki kecenderungan menghindari bahan pangan

dengan kolestrol tinggi seperti produk pangan asal ternak.

Hortikultura juga berperan sebagai sumber gizi masyarakat, penyedia

lapangan pekerjaan, serta penunjang kegiatan agrowisata dan agroindustri. Hal ini

menunjukkan bahwa pengembangan hortikultura terkait dengan aspek yang lebih

luas yang meliputi tekno-ekonomi dan sosio-budaya petani. Ditinjau dari proses

waktu produksi, musim tanam yang pendek memungkinkan perputaran modal


semakin cepat dan dapat meminimalkan ketidakpastian karena faktor alam

(Mubyarto, 1995).

2. 2 . Tanaman Sawi Caisim (Brassica juncea L)

Sawi caisim (Brassica juncea L) masih satu famili dengan kubis-krop,

kubis-bunga, broccoli, dan lobak atau rades, yakni famili cruciferae

(brassicaceae atau kubis-kubisan). Oleh karena itu, sifat morfologis tanamannya

hampir sama, terutama pada sistem perakaran, struktur batang, bunga, buah

(polong) maupun bijinya.

Sawi termasuk ke dalam kelompok tanaman sayuran daun yang

mengandung zat-zat gizi lengkap yang memenuhi syarat untuk kebutuhan gizi

masyarakat. Sawi hijau bisa dikonsumsi dalam bentuk mentah sebagai lalapan

maupun dalam bentuk olahan berbagai macam masakan. Selain itu berguna untuk

pengobatan (terapi) berbagai macam penyakit (Cahyono, 2003).

Klasifikasi sawi sebagai berikut (Rukmana, 2002):

Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Angiospermae
Sub-kelas : Dicotyledonae
Ordo : Papavorales
Famili : Brassicaceae
Genus : Brassica
Spesies : Brassica juncea L

Sawi (Brassica juncea L.) merupakan jenis sayuran yang digemari setelah

bayam dan kangkung. Tanaman ini bukan asli tanaman Indonesia, melainkan

berasal dari daerah Mediterania. Caisim mempunyai sifat menyerbuk silang

bahkan sulit untuk menyerbuk sendiri. Sulitnya penyerbukan sendiri disebabkan

6
sawi mempunyai sifat self incompatible, artinya bunga jantan dan bunga betina

pada tanaman caisim tidak mekar secara bersamaan sehingga caisim sulit untuk

menyerbuk sendiri.

Caisim (Brassica juncea L.) merupakan tanaman semusim, berbatang

pendek hingga hampir tidak terlihat. Daun sawi berbentuk bulat panjang serta

berbulu halus dan tajam, urat daun utama lebar dan berwarna putih (gambar 2.1).

Daun caisim ketika masak bersifat lunak, sedangkan yang mentah rasanya agak

pedas. Pola pertumbuhan daun mirip tanaman kubis, daun yang muncul terlebih

dahulu menutup daun yang tumbuh kemudian hingga membentuk krop bulat

panjang (Sunarjono, 2004).

Sistem perakaran sawi memiliki akar tunggang (radix primaria) dan

cabang-cabang akar yang bentuknya bulat panjang (silindris) menyebar kesemua

arah dengan kedalaman antara 30-50 cm. Akar-akar ini berfungsi antara lain

mengisap air dan zat makanan dari dalam tanah, serta menguatkan berdirinya

batang tanaman (Heru dan Yovita, 2003).

Gambar 2.1 Tanaman sawi (Brassica juncea L)

7
2. 3 . Teknologi Hidroponik

Hidroponik adalah suatu teknik budidaya tanaman tanpa menggunakan

media tanah. Berdasarkan jenis medianya dikenal dua jenis sistem hidroponik,

yaitu hidroponik kultur air dan substrat. Hidroponik kultur air menggunakan air

sebagai media tanamnya; sedangkan pada sistem hidroponik substrat, tanaman

ditumbuhkan pada suatu media inert yang bisa berupa pasir, rockwool, kerikil,

perlit dan sebagainya. Pada sistem hidroponik substrat, sistem pengairan yang

digunakan bersifat terbuka, yaitu air bersama larutan nutrisi dialirkan ke tanaman

dengan jumlah tertentu, sehingga dapat langsung diserap akar tanaman (Indriyati,

2002).

Kelebihan sistem hidroponik antara lain penggunaan lahan lebih efisien,

tanaman berproduksi tanpa menggunakan tanah, tidak ada resiko untuk

penanaman terus menerus sepanjang tahun, kuantitas dan kualitas produksi lebih

tinggi dan lebih bersih, penggunaan pupuk dan air lebih efisien, periode tanam

lebih pendek, pengendalian hama dan penyakit lebih mudah.

Kekurangan sistem hidroponik, antara lain membutuhkan modal yang

besar; pada “Close sistem” (nutrisi disirkulasi), jika ada tanaman yang terserang

patogen maka dalam waktu yang sangat singkat seluruh tanaman akan terkena

serangan tersebut; pada kultur substrat, kapasitas memegang air media substrat

lebih kecil daripadamedia tanah; sedangkan pada kultur air volume air dan jumlah

nutrisi sangat terbatas sehingga akan menyebabkan pelayuan tanaman yang cepat

dan stres yang serius (Rosliani dan Sumarni, 2005).

8
Menurut Sutiyoso (2004), kultur hidroponik terdiri dari beragam sistem

antara lain sistem substrat, Nutrient Film Technique (NFT), Floating Raft

Hydroponic atau Hidroponik Rakit Apung, kombinasi NFT-Rakit Apung,

Aeroponik dan kombinasi Aeroponik-Rakit Apung. Selain itu, beberapa model

dasar hidroponik yang biasa dikembangkan di Indonesia, yaitu: Sistem sumbu

(Wick Sistem), Kultur air (Water Culture), Pasang surut (Ebb and Flow), Irigasi

tetes (Drips Sistem), DFT (Deep Flow Technique), Kultur udara/kabut (Aeroponic

Culture).

Hidroponik DFT merupakan sistem pengairan dengan meletakkan akar

tanaman pada lapisan air dengan kedalaman berkisar antara 4-6 cm. Penelitian ini

menggunakan sistem hidroponik DFT karena termasuk sistem hidroponik yang

banyak dilakukan. Keunggulan sistem hidroponik DFT adalah tanaman tidak

akan kering atau layu ketika sistem tidak bekerja karena pasokan listrik mati,

nutrisi selalu tersedia dalam jumlah yang cukup dan tidak selalu membutuhkan

listrik selama 24 jam.

2. 4 . Sistem Aquaponik

Akuaponik memberikan alternatif bercocok tanam di lahan terbatas dengan

menggabungkan akuakultur dan hidroponik dalam lingkungan yang simbiotik.

Nutrisi akuaponik bisa didapat dengan mudah, yaitu kotoran ikan. Umumnya,

pada akuakultur ekskresi dari ikan yang dipelihara akan terakumulasi di air dan

meningkatkan toksisitas jika tidak dibuang. Dalam akuaponik, kotoran ikan ini

akan dipecah menjadi nitrat dan nitrit melalui proses alami dan dimanfaatkan oleh

9
tanaman sebagai sumber nutrisi. Dalam kegiatan ini sistem hidroponik berperan

sebagai filter bagi lingkungan ikan (Hasbullah, dkk., 2011).

Akuaponik adalah teknik budidaya tanaman yang terintegrasi dengan

budidaya hewan air, seperti ikan, udang serta moluska (Rakocy, et al., 2006).

Teknik budidaya akuaponik serupa dengan yang digunakan dalam budidaya

hidroponik secara konvensional (Somerville, et al., 2014). Perbedaan keduanya

adalah terkait dengan sumber nutrisi tanaman. Hidroponik konvensional

menggunakan sumber nutrisi kimia, sedangkan akuaponik memanfaatkan feses

dan ammonia hasil metabolisme ikan, sebagai sumber nutrisi (Graber dan Junge,

2009; Laund, 2014). Namun demikian, dari aspek pengelompokan, budidaya

hidroponik konvensial merupakan teknik budidaya non organik, sedangkan

akuaponik merupakan teknis budidaya organik (Diver, 2006; Roosta dan

Hamidpour, 2011).

Apabila dibandingkan dengan budidaya konvensional berbasis tanah,

terdapat beberapa keunggulan akuaponik, diantaranya adalah tidak memerlukan

pupuk serta air; dapat dilakukan pada lahan non pertanian; produktivitas tinggi;

menghasilkan dua produk sekaligus yakni tanaman dan ikan; produk yang

dihasilkan terkategori organik tenaga kerja serta dapat dilakukan oleh setiap orang

pada berbagai lapisan umur (Somerville, et al., 2014). Oleh sebab itu,

pengembangan akuaponik tersebut sangat sesuai pada tempat dimana tanah dan

air langka serta mahal contohnya di wilayah perkotaan, di daerah kering dan

padang pasir serta pulau-pulau kecil (Rakocy, 2007; Bernstien, 2011; Tokunaga,

et al., 2015). Penerapan akuaponik juga akan terhindar dari masalah-masalah

10
klasik seperti pemadatan tanah, salinisasi, polusi, penyakit dan kelelahan tanah

akibat pemanfaatan yang intensif (Pantanella, et al., 2012). Namun demikian,

terdapat beberapa permasalahan dalam pengembangan akuaponik, khususnya (N),

kalium (K), kalsium (Ca), dan besi (Fe).

2. 5 . Larutan Nutrisi

Unsur-unsur nutrisi penting dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok

berdasarkan kecepatan hilangnya dari larutan (Bugbee, 2003). Kelompok pertama

adalah unsur- unsur yang secara aktif diserap oleh akar dan hilang dari larutan

dalam beberapa jam yaitu N, P, K dan Mn. Kelompok kedua adalah unsur-unsur

yang mempunyai tingkaserapannya sedang dan biasanya hilang dari larutan agak

lebih cepat daripada air yang hilang (Mg, S, Fe, Zn, Cu, Mo, Cl). Kelompok

ketiga adalah unsur-unsur yang secara pasif diserap dari larutan dan sering

bertumpuk dalam larutan (Ca dan B), P, K, dan Mn harus tetap dijaga pada

konsentrasi rendah dalam larutan untuk mencegah akumulasi yang bersifat racun

bagi tanaman (Rosliani dan Sumarni, 2005).

Konsentrasi yang tinggi dalam larutan dapat menyebabkan serapan yang

berlebihan, yang dapat mengakibatkan ketidakseimbangan hara. N untuk larutan

hidroponik disuplai dalam bentuk nitrat. N dalam bentuk ammonium nitrat

mengurangi serapan

K, Ca, Mg, dan unsur mikro. Kandungan ammonium nitrat harus di bawah 10 %

datotal kandungan nitrogen pada larutan nutrisi untuk mempertahankan

keseimbangan pertumbuhan dan menghindari penyakit fisiologi yang

berhubungan dengan keracunan amonia. K yang tinggi dapat mengganggu

11
serapan Ca dan Mg, sedangkakonsentrasi fosfor yang tinggi menimbulkan

defisiensi Fe dan Zn.

Unsur mikro dibutuhkan dalam jumlah kecil sebagai nutrisi untuk

pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Selain itu juga penting untuk

meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan penyakit atau hama.

Menurut Bugbee (2003), kekurangan Mn menyebabkan tanaman mudah terinfeksi

oleh cendawan Pythium. Tembaga (Cu) dan seng (Zn) dapat menekan

pertumbuhan mikrobia, tetapi pada konsentrasi agak tinggi menjadi racun bagi

tanaman (Rosliani dan Sumarni, 2005).

2.5.1. Limbah Cair Kolam Ikan

Limbah cair yang berasal dari kolam ikan biasanya belum dikelola dan di-

olah secara khusus. Limbah cair tersebut hanya dibuang di sekitar lingkungan

kolam atau langsung dibuang di paritparit kecil di sekitar kolam ikan.

Pembuangan limbah cair kolam ikan di lingkungan sekitar kolam yang dilakukan

terus menerus dapat berdampak negatif bagi masyarakat sekitar, terutama

terjadinya pencemaran air sumur. Oleh karena itu, pengolahan limbah kolam ikan

menjadi hal penting untuk dilakukan sebelum limbah tersebut dibuang ke

lingkungan. Pengolahan limbah kolam ikan yang sudah mulai dilakukan adalah

pemanfaatan kotoran ikan dalam limbah sebagai pupuk cair meskipun belum

dilakukan secara maksimal (Maharani, 2019).

Terkait dengan masalah pengolahan limbah cair kolam ikan yang kurang

dikelola secara khusus, aquaponik bisa menjadi salah satu pilihan utama untuk

mengatasi masalah tersebut. Aquaponic merupakan sistem perpaduan budi daya

12
ikan dan cocok tanam. Akan tetapi, sumber daya manusia untuk mendukung

keberlanjutan upaya tersebut masih sangat kurang sehingga perlu dilakukan

pengenalan dan penerapan sistem pengolahan limbah kolam ikan dengan sistem

aquaponic kepada masyarakat.

2.5.2. Larutan AB Mix

Untuk tumbuh dan berkembang maka tanaman membutuhkan 16 unsur.

Dari 16 unsur tersebut, unsur karbondioksida (CO2) dan oksigen (O2) dipasok

dari udara sedangkan hidrogen (H) berasal dari air. Enam unsur makro serta tujuh

unsur mikro lainnya didapat tanaman melalui mekanisme serapan akar. Guna

memenuhi kebutuhan hara atau nutrisi tersebut, tanaman hidroponik memerlukan

larutan nutrisi atau pupuk. Nutrisi hidroponik biasanya menggunakan konsep

formulasi AB mix. Yaitu kalsium pada grup A dan tidak bertemu sulfat dan fosfat

pada grup B.(Sastro, 2015) Dibawah ini adalah nama bahan-bahan yang

dibutuhkan dalam membuat pupuk hidroponik AB Mix:

AB-Mix Sayuran Daun :

Komposisi Pekatan A

• Kalsium nitrat: 1176 gram

• Kalium nitrat: 616 gram

• Fe EDTA: 38 gram

Komposisi B

• Kalium dihidro fosfat: 335 gram

• Amnonium sulfat: 122 gram

• Kalium sulfat: 36 gram

13
• Magnesium sulfat: 790

• Cupri sulfat: 0,4 gram

• Zinc sulfat: 1,5 gram

• Asam borat: 4,0 gram

• Mangan Sulfat: 8 gram

• Amonium hepta molibdat: 0,1 gram

2.5.3. Effective Microorganism 4 (EM4)

Effective Microorganisms (EM) merupakan kultur campuran dari

mikroorganisme yang menguntungkan bagi petumbuhan tanaman. EM4yang

dikenal saat ini adalah EM4 yang diaplikasikan sebagai inokulan untuk

meningkatkan keanekaragaman dan populasi mikroorganisme di dalam tanah dan

tanaman, yang selanjutnya dapat meningkatkan kesehatan, pertumbuhan, kuantitas

dan kualitas produksi tanaman. Pencampuran bahan organic seperti pupuk

kandang atau limbah rumah tangga dan limbah pertanian dengan EM4merupakan

pupuk organik yang sangat efektif untuk meningkatkan produksi pertanian.

Campuran ini selain dapat digunakan sebagai starter mikroorganisme yang

menguntungkan yang ada didalam tanah juga dapat memberikan respon positif

terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Wididana, 1994).

Efective Microorganisme 4(EM4) bagi tanaman tidak terjadi secara

langsung. Penggunaan EM4akan lebih efisien bila terlebih dahulu

ditambahkanbahan organik yang berupa pupuk organik ke dalam tanah. EM4

akanmempercepat fermentasi bahan organik sehingga unsur hara yang

terkandungakan terserap dan tersedia bagi tanaman, EM4 juga sangat efektif

14
digunakansebagai pestisida hayati yang bermanfaat untuk meningkatkan

kesehatan tanamanEM4 juga bermanfaat untuk sektor perikanan dan peternakan.

Kelebihan dari EM4 ini adalah bahan yang mampu mempercepat proses

pembentukan pupuk organik dan meningkatkan kualitasnya. Selain itu, EM4

mampu memperbaiki struktur tanah menjadi lebih baik serta menyuplaiunsur hara

yang dibutuhkan tanaman. (Meriatna, 2018). Gambar 2.2 memperlihatkan nutrisi

EM4 yang digunakan pada penelitian ini.

Gambar 2.2 Botol kemasan EM4 untuk pertanian. (sumber: mediatani.co)

15
BAB III

METODE PENELITIAN

3. 1 . Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei – Juli 2019 dalam Greenhouse

mini di Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri Universitas Mataram,

3. 2 . Alat dan Bahan

Alat utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem aquaponik

yang terdiri dari pipa ukuran 2,5 in, pompa kapasitas 2 m, pH-meter, TDS/ EC

meter, hygrometer, dan bak penampung (limbah ikan). Bahan yang digunakan

yaitu, pupuk AB Mix, larutan EM4, air, bibit tanaman sawi, dan ikan.

3. 3 . Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

eksperimental dengan percobaan lapangan dengan Rancangan Acak Lengkap

(RAL). Penelitian menggunakan 3 perlakuan dan 2 aliran/talang sebagai tempat

pertumbuhan tanaman. Masing-masing talang terdiri dari 10 lubang tanaman,

sehingga dalam satu perlakuan ada 20 tanaman.

Untuk pemberian nutrisi menggunakan konsentrasi limbah ikan dan

beberapa campuran larutan nutrisi selengkapnya diuraikan sebagai betikut:

1. Perlakuan tahap pertama (P1)menggunakan limbah dari ikan sebagai pasokan

nutrisi pada tanaman sawi.

2. Perlakuan kedua (P2) menggunakan larutan EM4 dan limbah dari ikan dengan

perbandingan 60 ml larutan EM4 dicampur dengan 20 liter air kolam ikan.


3. Perlakuan yang ketiga (P3) menggunakan larutan AB Mix dan limbah ikan

dengan perbandingan 10 ml nutrisi AB Mix dicampur dengan 1 liter air kolam

ikan.

3. 4 . Tahap Penelitian

3.4.1. Persiapan

Persiapan merupakan tahap awal untuk mengidentifikasi kelengkapan alat

dan bahan yang dibutuhkan seperti: sistem aquaponik,bor tangan, pH-meter, gelas

plastik, larutan EM4, pupuk AB Mix, air bersih, air kolam ikan, dan bibit tanaman

sawi.

3.4.2. Pembuatan Miniatur Aquaponik Skala Laboratorium

Gambar 3.1 memperlihatkan disain sistem aquaponik dalam penelitian ini.

Sistem aquaponik tersebut terdiri dari: (1) Bak penampung nutrisi, (2)

Pipa/Talanag aliran, (3) Bak filter, (4) Bak pembagi nutrisi, (5) Lubang tanam,

dan (6) Pipa penyalur air.

Gambar 3.1 Desain aquaponik

17
3.5. Parameter Penelitian

Penelitian dilakukan selama 30 hari setelah tanaman ditanam disistem

aquaponik. Adapun beberapa parameter yang diukur dan diamati dalam penelitian

ini terdiri dari parameter larutan nutrisi dan pertumbuhan tanaman. Masing-

masing parameter ini ada yang diukur harian, mingguan dan saat panen.

3.5.1. pH Larutan Nutrisi

Pengukuran nilai pH larutan nutrisi dilakukan menggunakan pH meter.

Pengukuran dilakukan setiap hari pada pukul 17.00-18.00 WITA.

3.5.2. Keseragaman pH Larutan Nutrisi

Keseragaman air irigasi (larutan nutrisi) diketahui dengan menghitung

nilai variasi dari pH larutan nutrisi pada setiap lubang tanam. Keseragaman pH

larutan nutrisi ditentukan dengan menyesuaikan variabel yang dihitung

menggunkan persamaan 3.1.

Ʃǀxi −x́ ǀ
Cu = 100 { 1- n x́ }………………………………………………
(3.1)

Dimana :
Cu = Koefisien keseragaman pH larutan (%)
n = Jumlah pot / lubang tanam
x́ = Nilai rata-rata pH larutan nutrisi pada tiap lubang tanam
xi = Ph larutan nutrisi air pada tiap lubang tanam
Ʃǀxi-x́ǀ = Jumlah dari deviasi absolut rata-rata pengukuran

3.5.3. Total Dissolve Solid (TDS)

Pengukuran jumlah zat padatan terlarut dilakukan menggunakan TDS-

meter. Pengukuran dilakukan setiap hari pada pukul 17.00-18.00 WITA.

18
3.5.4. Electrical Conductivity (EC)/konduktivitas listrik larutan

Pengukuran nilai Electrical Conductivity(EC) larutan nutrisi menggunakan

TDS-meter.Pengukurandilakukan setiap hari pada pukul 17.00-18.00 WITA.

3.5.5. Suhu Larutan Nutrisi

Pengukuran suhu larutan nutrisi menggunakan TDS-meter. Pengukuran

dilakukan setiap hari pada pukul 17.00-18.00 WITA.

3.5.6. Pertumbuhan Tanaman

Pengukuran pertumbuhan tanaman meliputi tinggi tanaman, jumlah daun

dan indeks luas daun.

1. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan dengan mengukur pangkal batang

sampai ujung batang dengan menggunakan mistar (penggaris). Pengukuran ini

dilakukan seminggu sekali pada pukul 17.00-18.00 WITA.

2. melakukan perhitungan jumlah daun tanaman sawi secara manual.

Pengukurandilakukan seminggu sekali pada pukul 17.00-18.00 WITA.

3. Indeks luas daun diamati setiap seminggu sekali dengan menggunakan metode

millimeter blok. Pengukuran ini dilakukan seminggu sekali pada pukul 17.00-

18.00 WITA.

3.5.7. Produktivitas Tanaman

Pengukuran produktivitas tanaman meliputi beberapaperlakuan yaitu

sebagai berikut:

19
1. Berat Total Tanaman

Berat tanaman diukur dengan cara menimbang seluruh bagian tanaman

sawi pada setiap perlakuan. Pengukuran ini dilakukan pada saat panen setelah

tanaman berumur 30 hari.

2. Panjang Akar Tanaman

Akar tanaman diukur panjangnya menggunakan mistar (penggaris).

Pengukuran ini dilakukan pada saat panen setelah tanaman berumur 30 hari.

3.6. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakuakan dalam penelitan ini adalah

teknik eksperimental. Dimana teknik ekspermental ini menggunakan teknik

pengumpulan data dalam kondisi terkendali dan melakukan pengamatan langsung

untuk memperoleh data tersebut. Data yang akan diperoleh yaitu kuantitatif yang

dinyatakan dalam bentuk angka atau bilangan.

3.7. Analisa Data

Data hasil penelitian diperoleh akan analisis menggunakan microsoft

Excel kemudian ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik.

20
3.8. Diagram Alir Penelitian

Gambar 3.1. menunjukkan diagram alir dalam penelitian ini.


Mulai

Persiapan alat dan bahan

Pembuatan larutan nutrisi


Penyamaian bibit sawi Pembuatan sistem aquaponik
AB MIX dan EM4

Pelaksanaan penelitian

P1 limbah ikan P2 limbah ikan + EM4 P3 limbah ikan ABMix

Pengumpulan data :
1. Pengukuran nilai pH, TDS, EC, dan suhu.
2. Pertumbuhan tanaman,Tinggi tanaman, jumlah daun, berat
total tanaman dan panjang akar

Analisis data

Hasil penelitian :

1. Keseragaman pH, TDS, EC dan suhu.


2. Pertumbuhan tanaman
3. produktifitas tanaman.

Pembahasan dan Kesimpulan

Selesai

21
Gambar 3.2 Diagram Alir Penelitian Secara Keseluruhan

22
DAFTAR PUSTAKA

Bernstien, S. 2011. Aquaponic Gardening: a step-by-step guide to raising


vegetables New Society Publishers.

Bugbee, B. 2003. Nutrient management in recirculating hydroponic culture.


Paper presented at The South Pacific Soil-less Culture Conferen ce.
PalmerstonNorth. New Zealand.

Cahyono, B. 2003. Teknik dan Strategi Budidaya Sawi Hijau (Pat-Tsai). Yayasan
Nusatama. Yogyakarta.

Diver, S. 2006. Aquaponics–Integration of Hydroponics and


Aquaculture.Appropriate Technology Transfer forRural Areas (ATTRA).

Ekawati, ikhsan M, N. 2006. Kombinasi pupuk granul kompos daun lamtoro dan
urea pada budidaya sawi (Brasicca Juncea L). program studi agroteknologi
fakultas pertanian Yogyakarta

Farid, Nur Fitria. 2017. Analisis Kualitas Air Pada Sistem Pengairan Aquaponik.
Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem. Vol. 5. No. 2.

Gardner, 1991.Fisiologi Tanaman Budidaya. UI Press: jakarta.

Graber, A., and R. Junge. 2009. Aquaponic sistem: nutrient recycling from
fishwastewater by vegetable production.Desalination 246:147–156.

Hasbullah, B., Adrianus, Putriani N, Sedubun S, Sabirin S, dan Suwar. 2011.


Akuaponik, Sistem Resilkulasi Alternatif yang Memanfaatkan Simbiosis
Mutualisme antara Ikan dan Tanaman. Laporan Praktikum Manajemen
Kualitas Air. Universitas Padjadjaran, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Program Alih Jenjang Diploma IV. Cianjur.

Haerani, 2019. Kajian Sistem Hidroponik Dengan Pemanfaatan Limbah Industri


Tahu. Teknik Pertanian. Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri.
Universitas Mataram

Heru, P dan Yovita, H. I. 2003. Hidroponik sayuran semusim untuk hobi dan
bisnis. Gramedia, Jakarta.

Indriyati, D.J. 2002. Kajian Karakteristik Termal Aliran Larutan Nutrisi


Sepanjang Pipa Lateral pada Sistem HidroponikSubstrat. Teknik Pertanian.
Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Irfan, 2019. Pengembangan irigasi mikro metode kapilaritas tanah untuk
tanaman sawi. Teknik Pertanian. Fakultas Teknologi Pangan dan
Agroindustri. Universitas Mataram

Izzati, I.R. 2006. Penggunaan pupuk majemuk sebagaai sumber hara pada
budidaya selada (lactuca santiva L.) secara hidroponik dengan tiga cara
fertigasi. Program studi horticultural. Fakultas pertanian IPB. bogor

Laund, J. 2014. Aquaculture Effluents as fertile -izer in Hydroponic Cultivation:


A Case Study Comparing Nutritional and Microbiological Properties.
Swedish University of agricultural Science.

Nerotama, S. 2014. Pengaruh Dua Jenis Pupuk Daun Dan Dosis Pupuk NPK
Terhadap Pertumbuhan Vegetative Awal Tanman Jambu Biji (Psidium
Guajava L.) Kultivar Citaya. Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian
Universitas Lampung

Nugraha, R U. 2014. Sumber Hara Sebagai Pengganti Ab mix Pada Budidaya


Sayuran Daun Secara Hidroponik. Depertemen Agronomi dan
Holtikultural; Istitut Pertanian Bogor.

Nxawe, S., C.P. Laubscher, and P.A. Ndakidemi. 2009. Effect of Regulated
Irrigation Water Temperature On Hydroponics Production of Spinach
(Spinacia Oleracea L). African Journal Of Agriculture Research Vol. 4,
No. 12: 1442-1446.

Maharani, Nur Annisa. 2016. Penerapan Aquaponic Sebagai teknologi tepat guna
Pengolahan limbah cair kolam ikan di dusun kergan, Tirtomulyo, kretek,
bantul, Yogyakarta. ndonesian Journal of Community Engagement Vol. 01,
No. 02, Maret 2016

Masda, P.R. 2018. Budidaya Tanaman Hidroponik Dft Pada Tiga Kondisi Nutrisi
Yang Berbeda (Skripsi).. Fakultas pertanian universitas lampung. Bandar
lampung

Meriatna, suriyati, dan fahri, A. 2018. Pengaruh Waktu Fermentasi Dan Volume
Bio Aktovator EM4 (Effective Microorganisme) Pada Pembuatan Pupuk
Organic Cair (POC) Dari Limbah Buah-Buahan. Jurnal Teknologi Kimia
Unimal 7:1 13-29

Mubyarto. 1995. Pengantar Ekonomi Pertanian. PT Pustaka LP3ES Indonesia

Pantanella, E., M. Cardarelli, G. Colla, E. Rea, and Marcucci, A. 2012.


Aquaponics vs.hydroponics: production and quality of lettuce crop. Acta
Hortic. (ISHS) 927:887–893.

24
Pertamawati, 2010. Pengaruh Fotosintesis Terhadap Pertumbuhan Tanaman
Kentang (Solanium Tuberosum L.) Dalam Lingkungan Fotoautrotof Secara
Invitro. Jurnal Sains Dan Teknologi Indonesia. Pusat TFM-BPP Teknologi.
ejurnal.bppt.go.id/index.php/jsti/article/download/694/643. 1 Maret 2015

Rakocy, J.E., M.P. Masser, and T.M. Losordo. 2006. Raciculating Aquaculture
Tankproduction Sistems: Aquaponics- Integrating Fish And Plant Culture.
SRAC publication No. 464.

Rakocy, J. 2007. Ten Guidelines for Aquaponics Sistem. Aquaponics Journal 46


3quarter :14-17.

Rakhman, A., Budianto L, Bustomi R A, dan M.Zen K. 2015. Pertumbuhan


Tanaman Sawi Menggunakan Sistem hidroponik dan aquaponik. Jurnal
Teknik Pertanian Lampung Vol.4, No.4: 245-254

Roosta, H.R. and Hamidpour, M. 2011. Effects of foliar application of some


macro-and micro-nutrients on tomato plants in aquaponic and hydroponic
sistem. Sci.Hortic. 129:396-402.

Rubatzky, V. E. dan Yamaguchi, M. 1998. Sayuran Dunia, Prinsip, Produksi dan


Gizi, Jilid 2. Penebar Swadaya, Jakarta.

Rukmana. 2002. Bertanam Petsai dan Sawi. Kanisius, Yogyakarta

Sastro, Y. 2015. Aquaponik: Budidaya Tanaman Terintegrasi Dengan Ikan,


Permasalahan Keharaan Dan Strategi Mengatasinya. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Jakarta

Setyamidjaja. 1986. Pupuk dan pemupukan. CV. Simplex. jakarta.

Sutiyoso, Y. 2004. Hidroponik ala Yos. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sunarjono, H. 2004. Bertanam 36 jenis sayuran. Penebar swadaya. Jakarta. 204


Hal.

Somerville, C. M. Cohen, E. Pantanella, A. Stankus, and Lovatelli, A. 2014.


SmallscaleAquaponics Food Production :Integrated Fish and Plant
Farming.FAO. Rome.

Tokunaga, K., C. Tamaru, H. Ako, and Leung, P. 2015. Economics of small –


scalecommercial aquaponics in Hawai’i.J. World Aquac. Soc. 46 : 20–32.

Wididana, G.N. 1994. Application of Effective Microorganism (EM) and Bokashi


on Natural Farming. Bulletin Kyusei Nature Farming 03 (2) : 47-54.

25
Wijayani, A., W Widodo. (2005). Usaha meningkatkan kualitas beberapa
varietas tomat dengan system budaya hidroponik, ilmu pertanian 12 (1)

Wirosoedarmo, R., J. Bambang Rahadi, dan Dita Ermayanti. 2001. Pengaruh


Sistem Pemberian Air Dan Ketebalan SponTerendam Terhadap
Pertumbuhan Tanaman Sawi (Brassica Juncea) Dengan Metode
Aquaculture. Jurnal Teknologi Pertanian, Vol. 2, No. 2: 52 – 57.

Zulkarnain. 2009. Dasar-dasar Horticultural. Jakarta; Bumi Aksara.

26
27

Anda mungkin juga menyukai