Anda di halaman 1dari 19

Laporan Kasus Serial

SINDROM KARDIORENAL PADA GAGAL JANTUNG


Patofisiologi dan Tata Laksana

Nuriza Karuniawan
1606970253
Semester 3

Pembimbing
dr. Nani Hersunarti, Sp.JP(K)

Divisi Kardiologi Klinik


Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
2018
0
ABSTRAK

Latar Belakang: Sindrom kardiorenal adalah kondisi dimana disfungsi akut atau kronik pada jantung
menyebabkan penurunan fungsi ginjal. Hal ini cukup sering dijumpai pada kasus gagal jantung
dekompensata akut dan dikaitkan dengan luaran klinis yang buruk. Penting untuk memahami mekanisme
yang mendasari dan memberikan tata laksana secara tepat untuk memperbaiki prognosis dan menghindari
pengehentian terapi yang bersifat life saving pada pasien gagal jantung yang mengalami perburukan fungsi
ginjal.
Tujuan: Mempresentasikan tata laksana gagal jantung yang mengalami perburukan fungsi ginjal dan
mekanisme yang mendasarinya.
Ilustrasi Kasus: Kasus pertama adalah laki-laki, 64 tahun, datang ke IGD dengan keluhan sesak yang
memberat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit disertai paroxysmal nocturnal dyspnea (PND)
dan Orthopnea (OP). Pasien memiliki riwayat CAD 2VD, hipertensi, dan DM tipe 2. Pasien
didiagnosa sebagai gagal jantung dekompensata akut dengan gangguan fungsi ginjal berupa
peningkatan kreatinin 2.3 mg/dL. Selama perawatan, terjadi perbaikan fungsi ginjal dengan
pemberian diuretik dan optimalisasi terapi gagal jantung. Kasus kedua adalah laki-laki, 47 tahun,
datang ke IGD dengan keluhan sesak napas yang semakin memberat sejak 7 hari sebelum masuk
rumah sakit, orthopnea dan paroxysmal nocturnal dyspnea serta produksi urin semakin sedikit
dalam 2 hari sebelumnya. Pasien memiliki penyakit jantung koroner dan diabetes sebelumnya.
Tekanan darah saat masuk 58/32 mmHg, frekuensi nadi 116x/menit dengan akral dingin. Pasien
didiagnosa syok kardiogenik dengan gangguan fungsi ginjal, yaitu nilai kreatinin 9.4 mg/dL. Saat
perawatan terjadi perbaikan fungsi ginjal setelah dilakukan optimalisasi hemodinamik,
ultrafiltrasi, dan inisiasi terapi gagal jantung setelah kondisi stabil.

Kata Kunci: Gangguan Fungsi Ginjal, Gagal Jantung Dekompensata Akut, Syok Kardiogenik, Diuretik

1
I. PENDAHULUAN
Sindrom kardiorenal adalah gangguan fisiologi, biokimia, dan hormonal pada jantung dan ginjal
yang bersifat kompleks, dimana disfungsi akut atau kronik pada salah satu organ tersebut
menyebabkan disfungsi pada organ lainnya. Sindrom kardiorenal sering dijumpai pada pasien-
pasien dengan gagal jantung dan dikaitkan dengan luaran klinis yang lebih buruk. Pada studi Acute
Decompensated Heart Failure National Registry (ADHERE) dimana 105.000 pasien dirawat
dengan gagal jantung dekompensata akut, sekitar 30% memiliki penurunan fungsi ginjal dengan
kadar kreatinin serum > 2.0 mg/dL. Selain dikaitkan dengan prognosis yang buruk, perburukan fungsi
ginjal menjadi alasan untuk menghentikan atau menurunkan dosis obat-obatan gagal jantung yang terbukti
bermanfaat dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan gagal jantung.1,2

II. TUJUAN
Mempresentasikan tata laksana gagal jantung dengan perburukan fungsi ginjal serta mekanisme
yang mendasarinya.

III. ILUSTRASI KASUS


Kasus Pertama
Pasien laki-laki, 64 tahun, datang ke IGD RSJPDHK dengan keluhan sesak yang memberat sejak
3 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak dirasakan saat berjalan ke kamar mandi. Pasien terbiasa
tidur dengan tiga bantal karena sesak, disertai terbangun malam karena batuk. Pasien juga
mengeluh bengkak kedua tungkai dan perut begah, disertai mual dan muntah. Demam disangkal.
Riwayat nyeri dada tidak ada. Pasien adalah pasien baru RSJPDHK. Pasien memiliki riwayat
pasang stent 2x di RS Bengkulu, tahun 2015 dan 2016. Riwayat perawatan berulang 2 kali yaitu
Oktober 2017 dan April 2018 karena gagal jantung. Pasien memiliki riwayat DM tipe 2 dan
hipertensi sejak 2 tahun yang lalu.
Pasien konsumsi furosemide 1x40 mg, candesartan 1x8 mg, lantus 1x 10 unit sc, dan aspilet 1x80
mg. Pemeriksaan fisik di IGD didapatkan kesadaran compos mentis, tekanan darah 86/55 mmHg,
frekuensi nadi 88x/menit, frekuensi napas 24x/menit, dan saturasi oksigen 98%. Pemeriksaan
jantung didapatkan bunyi jantung satu dan dua normal, tidak ditemukan murmur maupun bunyi

2
jantung tambahan. Pemeriksaan paru didapatkan rhonki basah halus di kedua basal paru.
Pemeriksaan fisis lain didapatkan asites dan edema pretibial pada kedua tungkai bawah, akral
hangat. Pemeriksaan elektrokardiografi didapatkan irama sinus, laju QRS 88x/menit disertai
gambaran hipertrofi ventrikel kiri dengan poor R wave progression di V1-V5 (gambar 1).

Gambar 1. Elektrokardiografi. Irama sinus, laju QRS 88x/menit, aksis normal, Gelombang P normal, PR
interval 0.16s, durasi QRS 0.10s, poor R wave progression V1-V5, LVH dengan strain (+)

Gambaran rontgen thoraks menunjukkan kardiomegali disertai tanda kongesti (gambar 2). Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan ureum 148 mg/dl, kreatinin 2.3 mg/dl, laju filtrasi
glomerulus 29 mL/menit/1.73 m2, natrium 123 mmol/L, kalium 5.3 mmol/L. Pemeriksaan
ekokardiografi didapatkan fraksi ejeksi 22%, dilatasi atrium kiri, ventrikel kiri, dan ventrikel
kanan.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan penunjang, pasien didiagnosis sebagai


gagal jantung dekompensata akut, hipertensi tekanan darah terkontrol, DM tipe 2, gangguan fungsi
ginjal, dan hiperkalemia. Pasien mendapatkan terapi furosemid 2x40 mg iv, candesartan 1x8 mg,
lantus 1x10 unit sc, aspilet 1x80 mg, dan kalitake 3x1.

3
Gambar 2. Rontgen Thoraks. CTR 65%, segmen aorta
dan pulmonal normal, pinggang jantung ada, apeks
tertanam, infiltrat (-), kongesti (+)

Pada perawatan hari kedua, pasien masih mengeluh sesak napas dengan balans cairan +250
cc/24 jam, disertai perburukan nilai kreatinin menjadi 3.75 mg/dL sehingga candesartan
diturunkan menjadi 1x4 mg. Keesokan harinya, pasien masih mengeluh sesak napas, balans cairan
+400 ml/24 jam dengan nilai kreatinin justru semakin bertambah menjadi 4.38 mg/dL. Karena
tanda kongesti makin bertambah diputuskan untuk meningkatkan dosis furosemide menjadi 5
mg/jam dan optimalisasi terapi gagal jantung dengan peningkatan dosis candesartan 1x8 mg. Pada
perawatan hari keempat, keluhan sesak napas berkurang dengan balans cairan -1750 ml/24 jam.
Nilai kreatinin perbaikan menjadi 3.55 mg/dL. Pada hari kelima perawatan, dosis furosemide
ditingkatkan lagi menjadi 10 mg/jam dan inisiasi carvedilol 1x3.125 mg. Keluhan sesak napas
membaik tanpa tanda-tanda kongesti. Pasien diijinkan rawat jalan dengan nilai kreatinin 1.75
mg/dL.

Kasus Kedua
Laki-laki, 47 tahun, datang ke IGD RSJPDHK dengan keluhan sesak napas yang semakin
memberat sejak 7 hari SMRS. Pasien harus tidur 3 bantal karena sesak dan sering terbangun karena
batuk atau sesak. Pasien juga mengeluh kedua kaki bengkak, disertai perut yang semakin
bertambah membuncit. Mual atau cepat kenyang juga dirasakan oleh pasien. Demam disangkal.
Keluhan nyeri dada disangkal. Pasien merasa jumlah produksi urin semakin berkurang dalam 1
minggu terakhir terutama 2 hari terakhir sebelum masuk rumah sakit. Pasien memiliki penyakit

4
jantung koroner dan DM tipe 2 sejak 2 tahun yang lalu. Pasien konsumsi furosemide 2x40 mg,
candesartan 1x8 mg, carvedilol 2x3.125 mg, lantus 1x10 unit sc. Pemeriksaan fisik didapatkan
pasien tampak gelisah, tekanan darah 58/32 mmHg, frekuensi nadi 116x/mnt, frekuensi napas
28x/mnt. Pemeriksaan fisis lainnya didapatkan tekanan vena jugularis meningkat, rhonki basah
halus di ½ kedua lapang paru, asites, edema tungkai dan akral dingin. Dari hasil pemeriksaan EKG
irama sinus, laju QRS 116 x/menit, dengan gambaran blok cabang berkas kiri (sama dengan hasil
EKG sebelumnya). (Gambar 3)

Gambar 3. Elektrokardiografi. irama sinus, 116 x/menit, diaviasi aksis ke kiri, P mitral (+), interval PR 0.18s,
durasi kompleks QRS 0.14s, blok cabang berkas kiri (+)
Pemeriksaan rontgen thoraks menunjukkan kardiomegali dengan tanda kongesti.

Gambar 4. Rontgen Thoraks. CTR 70%, segmen


aorta dan pulmonal normal, pinggang jantung ada,
apeks tertanam, infiltrat (-), kongesti (+)

5
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan ureum 286 mg/dL, kreatinin 9.4 mg/dL, laju filtrasi
glomerulus 6 mL/menit/1.73 m2 natrium 136 mmol/L, kalium 6.3 mmol/L. Pada pemeriksaan
ekokardiografi, didapatkan hasil EF 18%, LV dilatasi, TAPSE 0.5 cm.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan penunjang, pasien didiagnosa sebagai syok
kardiogenik, DM tipe II, gangguan fungsi ginjal, dan hiperkalemia. Pasien dilakukan optimalisasi
hemodinamik dengan fluid challenge test, pemberian inotropik dengan dobutamin 5 mcg/ kg/
menit dan adrenalin 0.3 mcg/kg/menit yang di titrasi sesuai respon klinis. Dilakukan koreksi
hiperkalemia. Karena produksi urin kurang dari 0.3 cc/kg/jam selama 6 jam maka diputuskan
untuk terapi pengganti ginjal dengan Continous Veno-Venous Hemofiltration (CVVH) di CVC.
Selama perawatan kondisi pasien berangsur membaik, produksi urin mulai ada dan hemodinamik
mulai stabil. Pada hari ke-7 perawatan, nilai kreatinin turun menjadi 1.5 mg/dL. Saat hemodinamik
mulai stabil, topangan inotropik mulai dititrasi turun hingga dihentikan dan dilakukan inisiasi
terapi gagal jantung, dimulai dengan pemberian captopril 3x6.25 mg. Furosemid injeksi mulai
diberikan secara intermitten. Respon klinis baik. Karena produski urin adekuat dan hemodinamik
stabil maka CVVH diputuskan untuk dilepas (pada perawatan hari ke-10). Pada perawatan hari
ke-14 nilai kreatinin naik menjadi 2.2 mg/dL walau klinis perbaikan dan produksi urin baik. Oleh
karena itu penyekat EKA dititrasi naik dan penyekat reseptor beta diinisiasi. Pada saat perawatan
di GP, masih ditemukan tanda-tanda kongesti sehingga pemberian furosemide ditingkatkan
dosisnya dengan drip kontinyu sampai dengan 15 mg/jam dan ditambahkan pemberian ivabradine.
Kondisi pasien berangsur membaik dengan hemodinamik stabil. Pasien pulang dengan nilai
kreatinin 1.8 mg/dL. Saat pasien kontrol ke poli, dilakukan optimalisasi pemberian terapi gagal
jantung dan pada bulan berikutnya didapatkan nilai kreatinin semakin membaik yaitu 1.23 mg/dL.

6
IV. DISKUSI
Definisi dan Klasifikasi
Menurut Ronco dkk, sindrom kardiorenal adalah gangguan patologis dari jantung dan ginjal
dimana disfungsi akut maupun kronis dari satu organ dapat menyebabkan disfungsi organ yang
lain. Berdasarkan mekanisme patofisiologis yang mendasari, sindrom kardiorenal dibagi menjadi
5 subtipe, yaitu acute cardio-renal (tipe I), chronic cardio-renal (tipe II), acute reno-cardiac (tipe
III), chronic reno-cardiac (tipe IV), dan secondary cardiorenal (tipe V).3

Tipe Sindrom Patofisiologi


I Acute Cardio-renal Penurunan fungsi jantung akut (syok kardiogenik atau
sindrom koroner akut) menyebabkan disfungsi ginjal akut
II Chronic Cardio-renal Penurunan fungsi jantung kronis (gagal jantung kongestif)
yang menyebabkan penyakit ginjal kronis (PGK)
III Acute Reno-cardiac Penurunan fungsi ginjal akut (iskemik atau
glomerulonefritis) menyebabkan disfungsi jantung akut
IV Chronic Reno-cardiac Penurunan fungsi ginjal kronis (iskemik atau
glomerulonefritis kronik) menyebabkan disfungsi jantung
kronis (hipertrofi ventrikel kiri, gagal jantung)
V Secondary Cardiorenal Kondisi sistemik (diabetes mellitus, sepsis) menyebabkan
gangguan pada jantung dan ginjal
Tabel 1. Klasifikasi Sindrom Kardiorenal. 3

Kasus pertama merupakan sindrom kardiorenal tipe II dimana penurunan fungsi jantung kronis
menyebabkan penyakit ginjal kronis. Kasus kedua merupakan sindrom kardiorenal tipe I dimana
syok kardiogenik menyebabkan hipoperfusi dan kongesti ginjal sehingga terjadi penurunan fungsi
ginjal akut yang ditandai oleh peningkatan nilai kreatinin mencapai 9.4 mg/dL dan anuria.

7
Patofisiologi
Terdapat tiga proses patofisiologis yang penting dalam interaksi antara jantung dan ginjal pada
sindrom kardiorenal yaitu:
1. Perubahan Hemodinamik
2. Disregulasi Neurohormonal
3. Mekanisme Terkait Penyakit Kardiovaskuler

Perubahan Hemodinamik
Gagal jantung dengan atau tanpa penurunan fraksi ejeksi dapat menyebabkan penurunan curah
jantung. Laju filtrasi glomerulus dipertahankan melalui mekanisme autoregulasi ginjal dengan
mengatur tonus arteriol aferen dan eferen melalui vasokonstriksi atau vasodilatasi.2

Studi ADHERE menunjukkan bahwa rerata fraksi ejeksi ventrikel kiri tidak jauh berbeda
antara pasien yang mengalami disfungsi ginjal baik ringan maupun berat. Pada studi lain,
ESCAPE, menujukkan bahwa tidak ada hubungan antara indeks kardiak dan fungsi ginjal, dimana
perbaikan indeks kardiak tidak memperbaiki fungsi ginjal. Pada studi ini yang bermakna
mempengaruhi penurunan fungsi ginjal adalah tekanan atrium kanan. Hal ini menunjukkan bahwa
peningkatan tekanan vena sentral atau tekanan atrium kanan berhubungan dengan hipertensi vena
renalis dan kongesti ginjal. Kongesti ginjal menyebabkan peningkatan tekanan interstisial ginjal,
tekanan intrtubular, tekanan hidrostatik intraglomerular sehingga tekanan perfusi transrenal
menurun. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan laju filtrasi glomerulus.2,4,5 Pada kasus
pertama, peningkatan kreatinin disebabkan oleh adanya kongesti ginjal akibat dari peningkatan
tekanan vena sentral. Peningkatan tekanan vena sentral menyebabkan hipertensi vena renalis dan
kongesti pada interstisium ginjal. Pada pemeriksaan fisik dijumpai peningkatan tekanan vena
jugularis, asites, dan edema pretibial yang menggambarkan peningkatan tekanan vena sentral.
Selain itu, adanya asites menyebabkan peningkatan tekanan intra abdomen sehingga tekanan vena
renalis juga akan meningkat.5

Penurunan fungsi ginjal pada pasien gagal jantung juga dapat disebabkan oleh penurunan
perfusi ginjal. Pada pasien dengan gagal jantung terjadi penurunan curah jantung dan perfusi ke
ginjal juga berkurang. Ginjal memiliki mekanisme autoregulasi untuk mempertahankan tekanan

8
perfusi transrenal dan laju filtrasi glomerulus dengan vasokonstriksi arteriol eferen. Hal ini terjadi
akibat peningkatan katekolamin dan angiotensin II dimana pada awal perjalanan penyakit
menyebabkan vasokonstriksi arteriol eferen. Namun demikian, dalam jangka waktu lama
mekanisme ini menjadi maladaptif dimana arteriol aferen juga akan mengalami vasokonstriksi
sehingga terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus.4 Hipoperfusi dan hipotensi dapat
menyebabkan perburukan fungsi ginjal pada kondisi syok kardiogenik dimana mekanisme
autoregulasi ginjal tidak mampu mengatasi perubahan hemodinamik yang terjadi.6 Pada kasus
kedua, syok kardiogenik menyebabkan penurunan perfusi ginjal sehingga mekanisme autoregulasi
tidak bisa bekerja mempertahankan laju filtrasi glomerulus. Selain itu, peningkatan tekanan vena
sentral ditandai oleh tekanan vena jugalaris yang tinggi, asites menyebabkan hipertensi vena
renalis dan kongesti ginjal (Backward Failure). Jadi, perubahan hemodinamik yang menyebabkan
penurunan fungsi ginjal pada kasus kedua adalah hipoperfusi dan kongesti ginjal akibat
peningkatan tekanan vena sentral.

Respon Neurohormonal

Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) dan sistem saraf simpatis adalah karakteristik
dari gagal jantung kronis dan gagal ginjal kronis. Angiotensin II dan aldosteron memicu retensi
natrium dan air dan vasokonstriksi vaskuler ginjal dan sistemik, meningkatkan aliran balik dan
tekanan akhir diastolik ventrikel, stres oksidatif, agen-agen proinflamasi dan mempercepat
remodeling struktur ginjal dan jantung dengan peningkatan akumulasi jaringan fibrosis.2

Sekresi angiotensin II dan aldosteron secara tidak langsung menyebabkan stimulasi sistem
peptida natriuretik, yaitu ANP (Atrial Natriuretic Peptide) dan BNP (Brain Natriuretic Peptide),
tetapi tidak cukup untuk melawan retensi sodium yang ditimbulkan oleh sistem RAA.2 Pada kedua
kasus terjadi aktivasi sistem RAA dan sistem saraf simpatis, ditandai oleh adanya tanda-tanda
kongesti pada kedua pasien.

9
Mekanisme Terkait Penyakit Kardiovaskular

Penyakit kardiovaskular dan komorbidnya,


seperti aterosklerosis sistemik, diabetes melitus,
hipertensi, cachexia, berkontribusi pada
perkembangan dan/atau percepatan disfungsi
jantung dan/atau ginjal. Disfungsi jantung dan
ginjal dapat dipercepat lebih lanjut dengan
adanya anemia kardiorenal, akibat berkurangnya
kadar hemoglobin, besi, ferritin dan eritropoetin
(EPO), dan / atau gangguan tulang dan mineral,
yang dapat dipicu oleh kondisi yang terkait
dengan penyakit ginjal kronis dan gagal ginjal
Gambar 5. Interaksi Kardiorenal Pada Patofisiologi Sindrom
akut, seperti hyperphosphataemia.2 Kardiorenal2

Pada kasus pertama, pasien memiliki atherosclerosis, hipertensi, dan DM tipe 2, sedangkan kasus
kedua adalah atherosclerosis dan DM tipe 2 sebagai penyakit kardiovaskuler penyerta yang
mempercepat progresivitas penurunan fungsi jantung dan ginjal.

Perburukan Fungsi Ginjal Pada Pasien Dengan Gagal Jantung


Perburukan fungsi ginjal (Worsening Renal Function, WRF) pada pasien gagal jantung dikaitkan
dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Terdapat berbagai variasi definisi pada studi-studi
gagal jantung, baik variasi dalam penanda yang digunakan, kadar peningkatan kreatinin, maupun
besarnya penurunan laju filtrasi glomerulus.1,5 Namun demikian, peningkatan kreatinin lebih besar
atau sama dengan 0.3 mg/dL dan/atau peningkatan 25% dari nilai basal kreatinin atau penurunan
20% atau lebih dari laju filtrasi glomerulus merupakan titik potong yang digunakan untuk
mendefinisikan perburukan fungsi ginjal pada pasien dengan gagal jantung, sesuai dengan
panduan gagal jantung dari European Society of Cardiology (ESC) tahun 2016.7

10
No Definisi Yang Digunakan
1 Berdasarkan nilai Kreatinin  peningkatan kreatinin > 0.3 mg/dL
 peningkatan kreatinin > 0.3 mg/dL dan > 25% dari
nilai basal
 peningkatan kreatinin 0.5 mg/dL dan > 1.5x dari
nilai basal
 peningkatan kreatinin lebih 2 mg/dL dan > 25%
2 Berdasarkan nilai cystatin C Peningkatan lebih dari 0.3 mg/L
3 Berdasarkan laju filtrasi  Penurunan LFG > 20%
glomerulus (LFG)  Penurunan LFG > 25%
 Penurunan LFG > 5 ml/min/tahun
Tabel 2. Variasi Definisi Perburukan Fungsi Ginjal Pada Gagal Jantung 2,5
Penting untuk membedakan perburukan fungsi ginjal semu (pseudo WRF) dengan
perburukan fungsi ginjal sejati (True WRF). Perburukan fungsi ginjal telah lama dikaitkan dengan
peningkatan mortalitas dan peningkatan risiko rehospitalisasi ulang pada pasien dengan gagal
jantung akut. Namun demikian, kondisi klinis yang menyertai dan penggunaan terapi tertentu
seperti penyekat EKA (Enzim Konversi Angiotensin) turut berperan dalam mempengaruhi
prognosis pasien dengan perburukan fungsi ginjal. Studi pada pasien dengan gagal jantung
menyebutkan bahwa hubungan antara perburukan fungsi ginjal pada gagal jantung akut terhadap
luaran klinis dapat bersifat netral atau negatif, tergantung pada apakah masih terdapat residual
kongesti atau tidak.8 Perburukan fungsi ginjal yang terjadi pada kondisi klinis yang membaik atau
tetap sama dikenal sebagai pseudo WRF, dan hal ini tidak berkaitan dengan prognosis yang buruk.
Jadi, pada gagal jantung akut, peningkatan kreatinin pada titik tertentu masih dapat diterima
sepanjang kondisi klinis secara keseluruhan tidak mengalami perburukan.1,8
Pada kasus gagal jantung kronik, hal yang sama juga berlaku, dimana peningkatan nilai
kreatinin pada batas tertentu masih dapat diterima jika kondisi klinis masih tetap stabil atau justru
semakin membaik. Terkecuali kondisi khusus, yaitu pada saat inisiasi atau titrasi obat penghambat
sistem RAA. Perburukan fungsi ginjal pada saat inisiasi atau titrasi penyekat
EKA/ARB/penghambat aldosteron tidak berkaitan dengan luaran klinis yang buruk. Hal ini
disebabkan karena efek protektif dari obat penghambat sistem RAA dapat memberi keseimbangan
terhadap efek negatif dari perburukan fungsi ginjal.1,8 Kasus pertama dan kedua merupakan

11
perburukan fungsi ginjal sejati pada kasus gagal jantung dimana terjadi peningkatan kreatinin lebih
dari 0.3 mg/dL dan lebih dari 25% basal kreatinin disertai perburukan status klinis pasien.

Gambar 6. Hubungan Perburukan Fungsi Ginjal, Status Klinis, dan Risiko Mortalitas1

Tata Laksana Perburukan Fungsi Ginjal Pada Gagal Jantung


Perburukan Fungsi Ginjal Pada Gagal Jantung Kronik
Perburukan fungsi ginjal pada pasien dengan gagal jantung kronik dapat terjadi pada saat inisiasi
penghambat EKA atau ARB (Angiotensin Receptor Blocker), akibat kongesti ginjal, dan atau
hipoperfusi ginjal. Peningkatan nilai kreatinin pada saat inisiasi atau titrasi penghambat EKA atau
ARB yaitu apabila peningkatannya kurang dari 50% atau kurang dari 3 mg/dL atau laju filtrasi
glomerulus lebih dari 25 mL/menit/1.73 m2 maka disebut sebagai perburukan fungsi ginjal semu
(Pseudo WRF), cukup observasi dan periksa fungsi ginjal dan elektrolit berkala.1 Pada kasus
pertama, perburukan fungsi ginjal terjadi akibat kongesti ginjal karena peningkatan tekanan vena
sentral. Pemberian diuretik dengan dosis lebih tinggi memperbaiki fraksi obat yang mecapai
tubulus ginjal sehingga diuresis optimal dapat terjadi, ditandai dengan balans cairan menjadi
negatif. Hal ini menyebabkan penurunan tekanan vena sentral, perbaikan klinis dan tanda kongesti.

12
Penurunan tekanan vena sentral diikuti penurunan takanan vena renalis memperbaiki
hemodinamik pada glomerulus sehingga fungsi ginjal membaik.

Gambar 7. Algoritma Tata Laksana Perburukan Fungsi Ginjal Pada Gagal Jantung Kronik1

13
Perburukan Fungsi Ginjal Pada Gagal Jantung Akut
Perburukan fungsi ginjal pada gagal jantung akut disebabkan oleh kongesti ginjal dengan atau
tanpa hipoperfusi ginjal. Apabila terjadi kongesti ginjal, tata laksananya adalah dengan
meningkatkan dosis diuretik. Namun apabila telah terjadi hipotensi dan hipoperfusi perifer maka
optimalisasi hemodinamik dengan menggunakan inotropik merupakan tata laksana utama, selain
dilakukan monitor secara intensif, ultrafiltrasi atau terapi pengganti ginjal apabila tidak ada
perbaikan produksi urin.1 Pada kasus kedua, perbaikan hemodinamik melalui pemberian cairan
dan inotropik positif tidak mampu memperbaiki fungsi ginjal, pasien masih tetap dalam keadaan
anuria sehingga diputuskan untuk dilakukan terapi pengganti ginjal dengan CVVH. Setelah
homodinamik membaik dan mulai ada produksi urin, inisiasi terapi gagal jantung dan pemberian
diuretik dapat dimulai.

Gambar 8. Algoritma Tata Laksana Perburukan Fungsi Ginjal Pada Gagal Jantung Akut1

14
Peran Diuretik Pada Sindrom Kardiorenal
Diuretik kuat merupakan obat yang paling sering digunakan pada pasien dengan gagal jantung.
Pada pasien gagal jantung yang mengalami disfungsi ginjal, kurva respon-dosis (dose-response
curve) beregeser ke kanan dan ke bawah sehingga dibutuhkan dosis diuretik yang lebih besar untuk
mendapatkan efek terapi yang sama. Namun demikian, penggunaan diuretik kuat dosis tinggi telah
lama dikaitkan dengan luaran klinis yang lebih buruk, termasuk perburukan fungsi ginjal.4,9,10 Satu
studi dari Felker dkk, menyebutkan bahwa setelah dilakukan adjustment terhadap risiko
kardiovaskuler dan stabilitas klinis, dosis diuretik tidak dikaitkan dengan peningkatan risiko
perburukan fungsi ginjal.10 Pada kasus pertama, dengan pemberian diuretik furosemide 2x40 mg
iv diuresis optimal tidak didapatkan sehingga dosis ditingkatkan dengan drip kontinyu 5 mg/jam
dan 10 mg/jam. Hasilnya balans cairan menjadi negatif, kongesti berkurang dan fungsi ginjal
perbaikan. Hal ini menunjukkan bahwa pada kasus gagal jantung disertai perburukan fungsi ginjal
akibat kongesti renal membutuhkan dosis diuretik lebih tinggi.

Gambar 9. Dose Response Curve Diuretik Kuat pada Gagal Jantung dan Disfungsi Ginjal9

Peran Penghambat EKA/ ARB Pada Sindrom Kardiorenal


Suatu meta-analisis dilakukan oleh Clark dkk untuk menilai hubungan antara perburukan fungsi
ginjal dan luaran klinis selama inisiasi penghambat sistem RAA pada pasien dengan gagal jantung
dengan fraksi ejeksi rendah. Hasilnya menunjukkan bahwa perburukan fungsi ginjal lebih sering
terjadi pada pasien yang mendapatkan penghambat sistem RAA (13%) dibandingkan plasebo
(9.6%). Perburukan fungsi ginjal dikaitkan dengan luaran klinis yang lebih buruk baik pada
kelompok terapi maupun plasebo dibandingkan yang tidak mengalami perburukan fungsi ginjal.
Peningkatan risiko terjadinya luaran klinis yang buruk terkait perburukan fungsi ginjal secara
15
signifikan lebih kecil pada kelompok yang mendapatkan penghambat sistem RAA. Hal ini
mungkin disebabkan oleh efek protektif kuat penghambat sistem RAA dapat menyeimbangkan
efek negatif akibat perburukan fungsi ginjal. Pasien-pasien yang mendapatkan penghambat sistem
RAA memiliki angka mortalitas keseluruhan yang lebih rendah dibandingkan plasebo, dan
manfaat ini didapatkan baik pada kelompok yang mengalami perburukan fungsi ginjal maupun
yang tidak.11 Pada kasus kedua, inisiasi pemberian penyekat EKA menyebabkan peningkatan
kreatinin, namun karena peningkatannya kurang dari 50% dan kurang dari 3 mg/dL maka
pemberiaannya tetap dilanjutkan. Hasilnya kreatinin semakin perbaikan. Hal ini terjadi karena
pada saat awal pemberian penyekat EKA terjadi vasodilatasi arteriol eferen sementara arteriol
aferen belum terbuka sehingga terjadi iskemia.

V. RINGKASAN
Telah dipresentasikan 2 contoh kasus gagal jantung yang mengalami perburukan fungsi ginjal.
Pada kasus pertama terjadi perburukan fungsi ginjal akibat adanya kongesti ginjal (true WRF),
dimana terjadi perbaikan fungsi ginjal dengan pemberian diuretik dosis lebih tinggi dan
optimalisasi terapi gagal jantung. Kasus kedua terjadi perburukan fungsi ginjal akibat adanya
kongesti dan hipoperfusi ginjal (true WRF) yang memerlukan optimalisasi hemodinamik dengan
inotropik, ultrafiltrasi, dan terapi gagal jantung yang optimal saat hemodinamik sudah kembali
stabil

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Damman K, Testani JM. The Kidney in Heart Failure: An Update. Eur Heart J. 2015; 36:
1437-44.
2. Schefold JC, Filippatos G, Hasenfuss G, Anker SD, Haehling SV. Heart Failure and
Kidney Dysfunction: Epidemiology, Mechanisms, and Management. Nature Rev. 2016;
113: 1-14.
3. Ronco C, Haapio M, House AA, Anavekar N, Bellomo R. Cardiorenal Syndrome.
Circulation. 2008; 19: 1927-39.
4. Afsar B, Ortiz A, Covic A, Solak Y, Goldsmith D, Kanbay M. Focus On Renal Congestion
in Heart Failure. CKJ Rev. 2016; 9: 39-47
5. Damman K, Testani JM, Tang WHW, McMurray JJV. Terminology and Definitions of
Changes Renal Function in Heart Failure. Eur Heart J. 2014: 1-4.
6. Tarvasmaki T, Haapio M, Mebazza A, Sionis A, Harjola VP, Cardoso JS, et al. Acute
Kidney Injury in Cardiogenic Shock: Definitions, Incidence, Haemodynamic Alterations,
and Mortality. Eur Heart J. 2017.
7. Ponikowsky P, Voors AA, Anker SD, Bueno H, Cleland JGF, Coats AJS, et al. 2016 ESC
Guidelines for Diagnosis and treatment of Acute and Chronic Heart Failure. Eur Heart J.
2016; 37: 2129-2200.
8. Metra M, Bettari L, Sun H, Edwards C, Lazzarini V, Piovanelli B, et al. Is Worsening
Renal Function an Ominous Prognostic Sign in Patients with Acute Heart Failure? The
Role of Congestion and Its Interaction with Renal Function. Circ Heart Fail. 2012; 5: 54-
62.
9. Mentz RJ, Mann DL, Felker GM. Contemporary Medical Therapy for Heart Failure
Patients with Reduced Ejection Fraction. Dalam: Mann DL, Felker GM, editor. Heart
Failure a Companion to Braunwald’s Heart Disease, 3rd Ed. Philadelphia: Elsevier. 2016.
Hal 535-57.
10. Felker GM. Diuretic Management in Heart Failure. Congest Heart Fail. 2010; 16: S68-S72.
11. Clark H, Krum H, Hooper I. Worsening Renal Function During RAAS Inhibitor Initiation
and Long Term Outcome in Patients with Left Ventricular Systolic Dysfunction. Eur J
Heart Fail. 2013.

17
18

Anda mungkin juga menyukai