Anda di halaman 1dari 14

Mata Kuliah Dosen Pengampu

Metode Penelitian Kualitatif Ahyani Radhiani Fitri,S.Psi, M.A

Makalah

FENOMENOLOGI KUALITATIF

Disusun Oleh

Kelompok 1

Annisaa Silvia 11860120384


Age Prima Atmaja 11860112385
Dea Mailanda 11860121486
Giarti Tri Utari 11860120388
Ines Danada Nesliana 11860122281
Irfan Hidayat 11761102790
Mayang Sriwahyuni 11860125150
Rahmi Natasha Aulyia 11860122511

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam dunia akademik, istilah penelitian bukanlah hal yang baru, hal ini
dikarenakan bahwa dalam mencapai kelulusan mahsiswa harus melakukan penelitian
baik berupa skripsi, tesis maupun disertasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengembangkan atau menemukan ilmu pengetahuan. Pengetahuan yang dihasilkan
sebuah penelitian disni berupa teori, penjelasan tengang fenomena dan dapat pula
berupa pengetahuan tentang konsep-konsep atau pola-pola regulasi yang ada di dunia.
Disisi lain, tujuan penelitian merupakan suatu wadah untuk memecahkan suatu
masalah. Sekitar dua puluhan belakangan ini, penelitian kualitatif menunjukkan
perkembangan yang luar biasa dalam dunia penelitian. Metode ini bersumber pada
filsafat positivisme sehingga sering diminati dari berbagai disiplin ilmu.
Perkembangan pesat pengguaan metode kualitatif tidak dapat dilepaskan dari
animo masyarakat yang menggunakannya. Hal ini didasarkan pada keinginan
dan kebutuhan masyarakat dalam menjawab segala kompleksitas permasalahan yang
ada. Sebagai contoh, fenomena sikap individualis, pluralisasi, kecenderungan
masyarakat, dan sikap yang terpengaruh konteks, dan lain-lainnya secara ilmiah
memang tidak dapat dijelaskan secara tepat. Dengan penelitian kualitatif, diharapkan
berbagai fenomena tersebut dapat dibuktikan secara alamiah dengan menggunakan
metodenya. Singkatnya, berbagai fenomena tersebut tidak dapat dijelaskan dengan
alur logika secara linear, terstandar, dan variabel tunggal yang ada pada metode
kuantitatif
Hanurawan (2012) menjelaskan penelitian fenomenologi berakar pada filsafat
eksistensial yang berkembang di negara-negara Eropa Kontinental, seperti Prancis dan
Jerman, dengan salah satu tokoh utamanya Edmund Husserl. Tujuan penelitian
kualitatif dengan model atau rancangan fenomenologi adalah memahami esensi
(hakekat) tentang pengalaman dunia terdalam individu (inner world) tentang suatu
fenomena berdasarkan perspektif individu itu sendiri.
Heidegger (dalam Smith, dll: 2009) konsep fenomenologi adalah mengenai
orang yang selalu tidak dapat dihapuskan dari dalam konteks dunianya (person-
incontext) dan intersubyektifitas. Keduanya juga merupakan central dalam
fenomenologi. Intersubyektifitas berhubungan dengan peranan berbagi (shared),
tumpah tindih (over-lapping) dan hubungan alamiah dari tindakan di dalam alam
semesta. Intersubyektifitas adalah konsep untuk menjelaskan hubungan dan perkiraan
pada kemampuan lain. Relatedness to the wolrd merupakan bagian yang fundamental
dari konstitusi fenomenologis.
Dari kesimpulannya,bahwa penelitian fenomenologi merupakan varietas dari
penelitian kualitatif yang berfokus pada aspek subyektif dari perilaku orang,
memahami arti peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam
situasi tersebut.
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Penelitian Fenomenologi
Sejarah awal mula munculnya filsafat fenomenologi berkembang pada abad
ke-15 dan ke-16. Pada masa itu, terjadi perubahan besar dalam diri manusia tentang
perspektif dirinya di dunia ini. Pada abad sebelumnya, manusia selalu memandang
segala hal dari sudut pandang Ketuhanan. Selanjutnya, terjadilah gelombang besar
modernitas pada kala itu yang mengubah sudut pandang pemikiran tersebut. Para
filsuf banyak yang menolak dokrin-dokrin gereja dan melakukan gerakan reformasi
yang disebut sebagai masa pencerahan. Paradigma ini muncul karena timbulnya
pemikiran manusia terhadap subjektivitas. Yang dimaksud dengan subjektivitas di sini
bukanlah antonim dari kata objektivitas. Subjek melainkan sebagai subjek yang
berpikir, berefleksi, dan bertindak secara kritis dan bebas.
Pada awalnya studi tentang fenomenologi berkaitan dengan struktur kesadaran
sebagaimana dialami. Karena itu fenomenologi terkait erat dengan pengetahuan
tentang se- suatu sejauh menampakkan diri dalam pengalaman. Fenomenologi
diartikan juga pengalaman kita tentang sesuatu.
Aliran ini sebenarnya merupakan tanggapan terhadap aliran 'Positivisme
Positif' yang menekankan dualisme tubuh dan pikiran (body and mind) atau antara
kesadaran dan objek yang disadari. Bagi fenomenologi, dualisme ini tidak dapat
dipertahankan, karena manusia berada, menyadari dan berpikir dengan tubuhnya.
Begitu pula dengan kesadaran. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu. Tidak
pernah akan ada kesadaran yang lepas dari objek yang disadari. Objek dikenal dan
menampakan diri karena disadari oleh manusia.
Menurut Edmund Husserl bahwa fenomenologi berasal dari filsafat yang
mengelilingi kesadaran manusia. Menurut Husserl ada beberapa definisi
fenomenologi. Pertama fenomenologi merupakan pengalaman subjektif atau
fenomenologikal. Kedua fenomenologi adalah suatu studi tentang kesadaran dari
perspektif pokok dari seseorang. Teori ini merupakan hasil dari perlawanan teori
sebelumnya yang memandang sesuatu dari paradigma ketuhanan. Jadi secara
sederhana, fenomenologi diartikan sebagai sebuah studi yang berupaya untuk
menganalisis secara deskriptif dan introspektif tentang segala kesadaran bentuk
manusia dan pengalamannya baik dalam aspek inderawi, konseptual, moral, estetis,
dan religius.
Pengaruh sikap dan pandangan ini pada penelitian yaitu bahwa cara satu-
satunya bagi kita untuk mengetahui pengalaman orang lain adalah dengan
menanyakan kepada mereka arti yang mereka berikan pada pengalamannya.
Menanyakan pengalaman mereka berarti mewawancarainya. Lewat wawancara orang
akan mengungkapkan makna pengalamannya. Hal penting lagi untuk dapat
memahami arti pengalaman orang lain yaitu dengan terlibat langsung dalam konteks
dan situasi mereka. Hanya dengan mengetahui konteks dan keadaannya, peneliti akan
dapat menangkap arti pengalaman tersebut. Memahami konteks dan keadaan subjek
yang diteliti berarti juga berada bersama mereka. Berada bersama berarti mengalamai
apa yang mereka alami. Orang yang tidak mengalami gejala, peristiwa, fakta atau
realita yang hendak diteliti akan sangat sulit menangkap arti pengalaman orang lain.
Ada banyak nuansa yang tidak akan dirasakan dan dimengerti bila tidak berada dalam
konteksnya.
Gagasan Husserl kemudian dilanjutkan disekaligus dikritisi oleh Martin
Heidegger yang adalah murid Husserl. Heidegger mengatakan bahwa sesuatu itu ada
karena terkait dengan dunia. Keberadaan kita berarti berada dalam dunia (in der Welt
sein). Aktifitas manusia selalu dalam dunia, sehingga hanya dapat dimengerti dalam
hubungannya dengan dunia. Ada dalam dunia berati ada dalam batasan lingkungan
tertentu. Untuk memahami sesuatu kita harus memahami dunia dan lingkungannya.
Dalam konteks pemahaman tentang manusia, maka pemahaman akan budaya
yang ada disekelilingnya merupakan suatu keharusan. lnilah perbedaan Husserl
dengan Heidegger. Bagi Husserl dunia hanyalah sampingan dan tambahan, sedangkan
bagi Heidegger dunia adalah ha1 yang sangat hakiki. Bagi dia kita tidak dapat
mengerti sesuatu di luar konteks dunia.
Dimensi penting dalam Fenomenologi, pertama bahwa dalam setiap
pengalaman manusia terdapat sesuatu yang ha- kiki, penting dan bermakna. Kedua,
pengalaman seseorang harus dimengerti dalam konteksnya. Untuk menangkap
esensinya kita harus mendalami pengalaman itu apa adanya tanpa ada intervensi
pandangan, perspektif dari luar. Pandangan dari luar harus ditaruh dalam tanda
kurung (bracketing) atau istilah Husserl epoche.
Salah satu ilmuwan sosial yang berkompeten dalam memberikan perhatian
pada perkembangan fenomenologi adalah Alfred Schutz. Ia mengkaitkan pendekatan
fenomenologi dengan ilmu sosial. Selain Schutz, sebenarnya ilmuwan sosial yang
memberikan perhatian terhadap perkembangan fenomenologi cukup banyak, tetapi
Schutz adalah salah seorang perintis pendekatan fenomenologi sebagai alat analisa
dalam menangkap segala gejala yang terjadi di dunia ini. Selain itu Schutz menyusun
pendekatan fenomenologi secara lebih sistematis, komprehensif, dan praktis sebagai
sebuah pendekatan yang berguna untuk menangkap berbagai gejala (fenomena) dalam
dunia sosial.
Dengan kata lain, buah pemikiran Schutz merupakan sebuah jembatan
konseptual antara pemikiran fenomenologi pendahulunya yang bernuansakan filsafat
sosial dan psikologi dengan ilmu sosial yang berkaitan langsung dengan manusia pada
tingkat kolektif, yaitu masyarakat. Posisi pemikiran Alfred Schutz yang berada di
tengah-tengah pemikiran fenomenologi murni dengan ilmu sosial menyebabkan buah
pemikirannya mengandung konsep dari kedua belah pihak. Pihak pertama,
fenomenologi murni yang mengandung konsep pemikiran filsafat sosial yang
bernuansakan pemikiran metafisik dan transendental pada satu sisi. Di sisi lain,
pemikiran ilmu sosial yang berkaitan erat dengan berbagai macam bentuk interaksi
dalam masyarakat yang tersebar sebagai gejala-gejala dalam dunia sosial. Gejala-
gejala dalam dunia sosial tersebut tidak lain merupakan obyek kajian formal (focus of
interest) dari fenomenologi sosiologi. Pemikiran-pemikiran fenomenologi Schutz ini
banyak dilandasi oleh pemikiran Husserl. Hal ini dikarenakan bahwa dasar pemikiran
Husserl dari fenomenologi yang menggunakan unsur metafisik fundamental
merupakan kekuatan legitimasi sebagai landasan berpikir dari penerus metodologi ini
(Tevenaz, 1962:38).
Sedangkan menurut Kruger (1981) penelitian fenomenologis ini adalah
metode wawancara non-directive yang berusaha seminimal mungkin mempengaruhi
dan mengarahkan partisipan dalam menjawab. Becker (1992) mendefinisikan
pendekatan fenologi sebagai upaya menggambarkan suatu fenomen dari suatu
peristiwa atau hal dari sudut pandang orang yang mengalaminya secara langsung.
Fenomenologi memandang objek dan peristiwa dari perspektif penerima (Littlejohn,
1999). Fenomenologi tidak saja mengklasifikasikan setiap tindakan sadar yang
dilakukan, namun juga meliputi prediksi terhadap tindakan di masa yang akan datang,
dilihat dari aspek-aspek yang terkait dengannya. Semuanya itu bersumber dari
bagaimana seseorang memaknai objek dalam pengalamannya. Oleh karena itu, tidak
salah apabila fenomenologi juga diartikan sebagai studi tentang makna, dimana
makna itu lebih luas dari sekedar bahasa yang mewakilinya (Afdjani, Soleh Soemirat
2010).

B. Tujuan Penelitian Fenomenologi


Tujuan dari penelitian fenomenologis adalah untuk menggambarkan
kehidupan sehari-hari sebagaimana dialami secara langsung tanpa dipengaruhi oleh
ideide yang sudah ada sebelumnya (Finlay, 2005). Sehingga posisi teori atau
penelitian sebelumnya tidak sebagai landasan dalam penelitian. Pendekatan ini akan
berusaha memahami pengalaman seseorang secara menyeluruh, memaparkan struktur
pengalamannya, berusaha menangkap tema-tema utama daripadanya, dan pemaknaan
orang tersebut terhadap pengalamannya. Secara umum karakteristik partisipan
penelitian fenomenologis, menurut Kruger (1981), adalah sebagai berikut:

1. Partisipan memiliki bahasa yang sama dengan peneliti, atau setidaknya


peneliti mengerti bahasa sang partisipan, sehingga kata-kata dan istilah
yang diucapkan partisipan dapat dimengerti oleh peneliti;
2. Partisipan tidak berkeberatan untuk membahas topik itu secara terbuka
dan;
3. Partisipan sebaiknya tidak memiliki pemahaman tentang teori-teori
psikologi sehingga ketika ia menjabarkan pengalamannya

Menurut Mulyana dan Solatun, pendekatan fenomenologi bertujuan untuk


memperoleh uraian lengkap yang merupakan esensi pengalaman (2008), sedangkan
menurut Kuswarno (2009) pendekatan fenomenologi bertujuan untuk mengetahui
dunia dari sudut pandang orang yang mengalaminya secara langsung atau berkaitan
dengan sifat-sifat alami pengalaman manusia, dan makna yang ditempelkan padanya.
Adapun tujuan lain dari fenomenologi adalah :

1. Menggali makna melalui eksplorasi pengalaman subjek yang diteliti.


Peneliti harus mampu mendekskripsikan pengalaman subjek dengan
cermat, rinci, lengkap, dan mendalam sebab itulah tujuan dan basis
penelitian.
2. Mengetahui bagaimana kita mengintepretasikan tindakan social kita dan
orang lain sebagai sebuah yang bermakna (dimaknai) dan untuk
merekonstruksi kembali turunan makna (makna yang digunakan saat
berikutnya) dari tindakan yang bermakna pada komunikasi intersubjektif
individu dalam dunia kehidupan sosial.
3. Mempelajari bagaimana fenomena manusia yang berpengalaman dalam
kesadaran, dalam tindakan kognitif dan persepsi, serta bagaimana mereka
dapat member nilai atau dan bagaimana member penghargaan.
4. Berusaha untuk memahami bagaimana orang membangun makna dan
konsep kunci inter-subjektivitas. Pengalaman di dunia berdasarkan
pemikiran, adalah intersubjektif karena kita mengalami dunia dan juga
melalui orang.

C. Konsep Dasar Fenomenologi

Konsep dasar yang perlu dipahami dalam metode fenomenologi adalah :


1. Fenomena
Fenomena adalah objek yang dikaji dalam studi fenomenologi. Fenomenologi
adalah tampilan suatu objek, peristtiwa dalam persepsi. Sesuatu yang tampil
dalam kesadaran, bisa rekaan atau kenyataan. Realitas yang tampak tanpa
terselubung atau tirai antara manusia dengan realitas itu. Fenomena dapat
dipandang dari dua sudut. Pertama, fenomena selalu “menunjuk ke luar” atau
berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kedua, fenomena dari sudut
kesadaran kita, karena fenomenologi selalu berada dalam kesadaran kita.
2. Epoche
Epoche  adalah cara pandang lain yang baru dalam melihat sesuatu. Kita
belajar menyaksikan apa yang tampak sebelum mata kita memandang, kita
menyaksikan apa yang kita dapat kita bedakan dan deskripsikan.
3. Konstitusi
Konstitusi ialah proses konstruksi dalam kesadaran manusia. Ketika ia melihat
suatu bentuk benda, yang tampak pada indera kita selalu sebagian. Ia tampak dari
mana kita lihat. Tapi kesadaran kita melakukan konstitusi, sehingga kita
menyadari tentang (kemungkinan) bentuk benda itu bila dilihat dari sisi lain.
Konstitusi adalah hal yang diihat dari sudut pandang subjek, memaknakan dunia
dan alam semesta yang dialami.
4. Kesadaran
Kesadaran adalah pemberian makna yang aktif. Kita selalu mempunyai
pengalaman tentang diri kita sendiri, tentang kesadaran yang identik dengan diri
kita sendiri.
5. Reduksi
Reduksi adalah kelanjutan dari epoche. Reduksi ialah memilah pengalaman
untuk mendapatkan fenomena dalam wujud semurni-murninya. Segala yang
tampak tidak bisa diterima bergitu saja tetapi harus ditilik dalam kesadaran kita.
Seorang fenomenolog hendaknya menanggalkan segenap teori praanggapan, serta
prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya.

D. Metode Fenomenologi
Setiap penelitian memerlukan objektivitas. Objektivitas dalam penelitian
fenomenologi adalah membiarkan fakta berbicara untuk dirinya sendiri. Hal ini dapat
dilakukan dengan epoche dan eiditik. Epoche adalah proses dimana si peneliti
menangguhkan atau menunda penilaian terhadap fakta/fenomena yang diamatinya
walaupun ia telah memiliki prakonsepsi atau penilaian tertentu sebelumnya terhadap
fenomena itu. Fenomena dibiarkan berbicara sendiri tanpa penilaian baik-buruk,
positif-negatif, bermoral-tidak bermoral dari sisi si peneliti. Eiditik adalah memahami
fenomena melalui pemahaman atas ungkapan-ungkapan atau ekspresi-ekspresi yang
digunakan subjek. Peneliti berempati dan mencoba memasuki wilayah pemikiran
subjek melalui proses imajenatif.
Dalam mempelajari dan menerapkan fenomenologi sosial ini, Schutz
mengembangkan juga model tindakan manusia (human of action) dengan tiga dalil
umum yaitu:
1. The postulate of logical consistency (Dalil Konsistensi Logis)
Ini berarti konsistensi logis mengharuskan peneliti untuk tahu validitas tujuan
penelitiannya sehingga dapat dianalisis bagaimana hubungannya dengan
kenyataan kehidupan sehari-hari. Apakah bisa dipertanggungjawabkan ataukah
tidak.
2. The postulate of subjective interpretation (Dalil Interpretasi Subyektif)
Menuntut peneliti untuk memahami segala macam tindakan manusia atau
pemikiran manusia dalam bentuk tindakan nyata. Maksudnya peneliti mesti
memposisikan diri secara subyektif dalam penelitian agar benar-benar memahami
manusia yang diteliti dalam fenomenologi sosial.
3. The postulate of adequacy (Dalil Kecukupan)
Dalil ini mengamanatkan peneliti untuk membentuk konstruksi ilmiah (hasil
penelitian) agar peneliti bisa memahami tindakan sosial individu. Kepatuhan
terhadap dalil ini akan memastikan bahwa konstruksi sosial yang dibentuk
konsisten dengan konstruksi yang ada dalam realitas sosial. Dalam pandangan
Schutz memang ada berbagai ragam realitas termasuk di dalamnya dunia mimpi
dan ketidakwarasan. Tetapi realitas yang tertinggi itu adalah dunia keseharian
yang memiliki sifat intersubyektif yang disebutnya sebagai the life world.

E. Langkah-Langkah Penelitian Fenomenologi


Adapun langkah – langkah penelitian fenomenologis adalah sebagai berikut :
1. Menetapkan lingkup fenomena yang akan diteliti : peneliti berusaha
memahami perspektif filosofis di balik pendekatan yang digunakan,
terutama konsep mengenai kajian bagaimana orang mengalami sebuah
fenomena. Peneliti menetapkan fenomena yang hendak dikaji melalui para
informan.
2. Menyusun daftar pertanyaan : peneliti menuliskan pertanyaan penelitian
yang mengungkapkan makna pengalaman bagi para individu, serta
menanyakan kepada mereka untuk menguraikan pengalaman penting
setiap harinya.
3. Pengumpulan data : peneliti mengumpulkan data dari individu yang
mengalami fenomena yang diteliti. Data diperoleh melalui wawancara
yang cukup lama dan mendalam dengan sekitar 5-25 orang. Jumlah ini
bukan ukuran baku. Bisa saja subjek penelitiannya hanya 1 orang. Teknik
pengumpulan data lain yang dapat digunakan : observasi (langsung dan
partisipan), penelusuran dokumen.
4. Teknik penentuan informan: penunjukan informan pada penelitian ini
adalah dengan prosedur purposif yaitu menentukan kelompok peserta
yang menjadi informan sesuai dengan kriteria terpilih yang relevan
dengan masalah penelitian tertentu, (Bungin 2007: 107).
5. Menganalisis data : peneliti akan menganalisis data. Adapun tahapan
menganalisis data adalah :
a. Tahap Awal : Peneliti mendeskripsikan sepenuhnya fenomena
yang dialami subjek penelitian. Seluruh rekaman hasil
wawancara mendalam dengan subjek penelitian ditranskripsikan
ke dalam bahasa tulisan.
b. Tahap Horizonalization : Dari hasil transkripsi, peneliti
menginventarisasi pernyataan – pernyataan penting yang relevan
dengan topic. Pada tahap ini, peneliti harus bersabar untuk
menunda penilaian (bracketing / epoche); artinya, unsure
subjektivitasnya jangan mencampuri upaya merinci point – point
penting, sebagai data penelitian, yang diperoleh dari hasil
wawancara tadi.
c. Tahap Cluster of Meaning : Selanjutnya peneliti
mengklasifikasikan pernyataan – pernyataan tadi ke dalam tema –
tema atau unit – unit makna, serta menyisihkan pernyataan yang
tumpang tindih atau berulang – ulang. Pada tahap ini, dilakukan :
 Textural description (deskripsi tekstural), peneliti
menuliskan apa yang dialamai, yakni deskripsi tentang
apa yang dialami individu.
   Structural description (deskripsi struktural), penulis
menuliskan bagaimana fenomena itu dialami oleh para
individu. Peneliti juga mencari segala makna yang
mungkin berdasarkan refleksi si peneliti sendiri, berupa
opini, penilaian, perasaan, harapan subjek penelitian
tentang fenomena yang dialaminya.
d.     Tahap deskripsi esensi : Peneliti mengonstruksi (membangun)
deskripsi menyeluruh mengenai makna dan esensi pengalaman
para subjek.
6. Tahap yang terakhir adalah  Peneliti melaporkan hasil penelitiannya :
Laporan ini memberikan pemahaman yang lebih baik kepada pembaca
tentang bagaimana seseorang mengalami sesuatu fenomena. Laporan
penelitian menunjukkan adanya kesatuan makna tunggal dari pengalaman,
di mana seluruh pengalaman itu memiliki “struktur” yang penting.
Creswell (dalam Herdiansyah, 2010) mengemukakan beberapa tantangan yang
umumnya dihadapi oleh peneliti fenomenologi, yaitu sebagai berikut.

1. Peneliti membutuhkan pemahaman yang kuat dan mendalam dalam hal


perspektif filosofis terhadap fenomena (central phenomenon) yang
diangkat. Perspektif filosofis yang dimaksud adalah pemahaman
mendalam bahkan hingga ke dasar (hakikat) dan inti dari suatu fenomena.
Penggalian dan pemahaman perspektif filosofis ini sebaiknya dilakukan
sebelum studi fenomenologi dilakukan.
2. Peneliti harus sangat berhati-hati dalam pemilihan dan penentuan subjek
penelitian. Subjek yang dipilih, harus benar-benar orang yang mengalami
suatu pengalaman tentang fenomena yang diangkat. Apabila subjek
penelitian merupakan suatu kelompok sosial, maka kelompok sosial
tersebut harus benar-benar mengalami suatu pengalaman yang hampir
sama tentang fenomena yang diangkat.
3. Ketika subjek sudah ditentukan, dan pengalaman tentang fenomena sudah
ditemukan, permasalahan selanjutnya yang biasanya terjadi adalah dalam
hal menentukan batasan pangalaman. Pengalaman yang diangkat dalam
fenomenologi haruslah ada batasan yang jelas, Jika tidak berbatas, maka
akan sulit melakukan penarikan kesimpulan nantinya.
4. Tantangan berikutnya adalah menuntut kejelian peneliti dalam hal
memutuskan bagaimana dan dengan cara apa pengalaman pribadinya
dapat terlibat dalam penelitian yang dilakukan.

F. Kelebihan dan Kelemahan Fenomenologi


Kelebihan :
1. Kelebihan perspektif fenomenologi untuk penelitian kaulitatif bahwa
fenomenologi akan mampu menjelaskan sesuatu dari realitas subyektif
2. Sebagai metode penelitian sosial yang pada awalnya telah didasari teori
kefilsafatan yang di kembangkan oleh Hegel, Husserl, Scheller, Schutz
dan Berger. Pada sisi yang lain dengan kesungguhan Weber dalam
mengembangkan teori sosial yang berada di dalam paradigma definisi
sosial ini, akhirnya fenomenologi banyak digunakan sebagai alat analisis
terhadap fenomena sosial (Gordon, 1991).
3. Pendekatan fenomenologi dan realisme metaphisik mengakui adanya
kebenaran empirik etik yang memerlukan akal budi untuk melacak dan
menjelaskan serta berargumentasi. Akal budi di sini mengandung makna
bahwa kita perlu menggunakan kriteria lebih tinggi lagi dari sekedar truth
or false (benar atau salah) (Muhadjir, 1996). Perspektif fenomenologi itu
pada aplikasinya bahwa peneliti dalam berilmu pengetahuan tidak dapat
lepas dari pandangan moralnya, baik taraf mengamati, menghimpun data,
menganalisis data, ataupun dalam membuat kesimpulan. Perspektif
fenomenologi ini juga bukan hendak menampilkan teori dan
konseptualisasi yang sekedar berisi anjuran atau imperatif, melainkan
mengangkat “makna etika” dalam berteori dan berkonsep.

Kelemahan fenomenologi :
1. Di dalam fenomenologi, realitas hanya berupa penampilan dan
pengalaman hanya dapat memahami realitas melalui indra-indra. Jadi
realitas dapat eksis dalam data indera rabaan, oral, visual, audio dan
tekstual (Waters, 1994)
2. Sementara kita dapat mengetahui apa yang sedang dilakukan orang lain
adalah sangat tidak mungkin, kita akan mengetahui mengapa mereka
melakukan hal itu. Makna aksi orang lain dalam pengertian motif tidak
tersedia bagi kita (Waters, 1994).
DAFTAR PUSAKA

Gumilang, G.S, 2016, Metode Penelitian Kualitatif Dalam Bidang Bimbingan Dan
Konseling, Jurnal Fokus Konseling, 144-159

Herdiansyah, Haris. 2015. Metodologi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu Psikologi. Jakarta:
Salemba Humanika.

Nindito, S, 2005. Fenomenologi Alfred Schutz : Studi Tentang Konstruksi Makna Dan
Realitas Dalam Ilmu Sosial, Jurnal Ilmu Komonikasi, 79-94

Molina, Yosi. 2015. Menembus Batas: Studi Fenomenologis Pada Lelaki Dewasa Yang
Pernah Mati Suri. Jurnal RAP UNP, 96-97

Nurdin, Ali. 2012. Komunikasi Magis Dukun (Studi Fenomenologi Tentang Kompetensi
Komunikasi Dukun. Jurnal Komunikasi, 392

Novianti, Dewi. Tripambudi, Sigit. 2014. Studi Fenomenologi: Tumbuhnya Prasangka Etnis
Di Yogyakarta. Jurnal Ilmu Komunikasi, 121

Raco, Dr. J. R. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta : PT. Grasindo

Sugiarto, Eko. 2017. Menyusun Proposal Penelitian Kualitatif Skripsi Dan Tesis.
Yogyakarta: Suaka Media.

Tjipto, Subadi. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta: Muhammadiyah University


Press.

Anda mungkin juga menyukai