Kel.1 Fenomenologi
Kel.1 Fenomenologi
Makalah
FENOMENOLOGI KUALITATIF
Disusun Oleh
Kelompok 1
FAKULTAS PSIKOLOGI
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam dunia akademik, istilah penelitian bukanlah hal yang baru, hal ini
dikarenakan bahwa dalam mencapai kelulusan mahsiswa harus melakukan penelitian
baik berupa skripsi, tesis maupun disertasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengembangkan atau menemukan ilmu pengetahuan. Pengetahuan yang dihasilkan
sebuah penelitian disni berupa teori, penjelasan tengang fenomena dan dapat pula
berupa pengetahuan tentang konsep-konsep atau pola-pola regulasi yang ada di dunia.
Disisi lain, tujuan penelitian merupakan suatu wadah untuk memecahkan suatu
masalah. Sekitar dua puluhan belakangan ini, penelitian kualitatif menunjukkan
perkembangan yang luar biasa dalam dunia penelitian. Metode ini bersumber pada
filsafat positivisme sehingga sering diminati dari berbagai disiplin ilmu.
Perkembangan pesat pengguaan metode kualitatif tidak dapat dilepaskan dari
animo masyarakat yang menggunakannya. Hal ini didasarkan pada keinginan
dan kebutuhan masyarakat dalam menjawab segala kompleksitas permasalahan yang
ada. Sebagai contoh, fenomena sikap individualis, pluralisasi, kecenderungan
masyarakat, dan sikap yang terpengaruh konteks, dan lain-lainnya secara ilmiah
memang tidak dapat dijelaskan secara tepat. Dengan penelitian kualitatif, diharapkan
berbagai fenomena tersebut dapat dibuktikan secara alamiah dengan menggunakan
metodenya. Singkatnya, berbagai fenomena tersebut tidak dapat dijelaskan dengan
alur logika secara linear, terstandar, dan variabel tunggal yang ada pada metode
kuantitatif
Hanurawan (2012) menjelaskan penelitian fenomenologi berakar pada filsafat
eksistensial yang berkembang di negara-negara Eropa Kontinental, seperti Prancis dan
Jerman, dengan salah satu tokoh utamanya Edmund Husserl. Tujuan penelitian
kualitatif dengan model atau rancangan fenomenologi adalah memahami esensi
(hakekat) tentang pengalaman dunia terdalam individu (inner world) tentang suatu
fenomena berdasarkan perspektif individu itu sendiri.
Heidegger (dalam Smith, dll: 2009) konsep fenomenologi adalah mengenai
orang yang selalu tidak dapat dihapuskan dari dalam konteks dunianya (person-
incontext) dan intersubyektifitas. Keduanya juga merupakan central dalam
fenomenologi. Intersubyektifitas berhubungan dengan peranan berbagi (shared),
tumpah tindih (over-lapping) dan hubungan alamiah dari tindakan di dalam alam
semesta. Intersubyektifitas adalah konsep untuk menjelaskan hubungan dan perkiraan
pada kemampuan lain. Relatedness to the wolrd merupakan bagian yang fundamental
dari konstitusi fenomenologis.
Dari kesimpulannya,bahwa penelitian fenomenologi merupakan varietas dari
penelitian kualitatif yang berfokus pada aspek subyektif dari perilaku orang,
memahami arti peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam
situasi tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Penelitian Fenomenologi
Sejarah awal mula munculnya filsafat fenomenologi berkembang pada abad
ke-15 dan ke-16. Pada masa itu, terjadi perubahan besar dalam diri manusia tentang
perspektif dirinya di dunia ini. Pada abad sebelumnya, manusia selalu memandang
segala hal dari sudut pandang Ketuhanan. Selanjutnya, terjadilah gelombang besar
modernitas pada kala itu yang mengubah sudut pandang pemikiran tersebut. Para
filsuf banyak yang menolak dokrin-dokrin gereja dan melakukan gerakan reformasi
yang disebut sebagai masa pencerahan. Paradigma ini muncul karena timbulnya
pemikiran manusia terhadap subjektivitas. Yang dimaksud dengan subjektivitas di sini
bukanlah antonim dari kata objektivitas. Subjek melainkan sebagai subjek yang
berpikir, berefleksi, dan bertindak secara kritis dan bebas.
Pada awalnya studi tentang fenomenologi berkaitan dengan struktur kesadaran
sebagaimana dialami. Karena itu fenomenologi terkait erat dengan pengetahuan
tentang se- suatu sejauh menampakkan diri dalam pengalaman. Fenomenologi
diartikan juga pengalaman kita tentang sesuatu.
Aliran ini sebenarnya merupakan tanggapan terhadap aliran 'Positivisme
Positif' yang menekankan dualisme tubuh dan pikiran (body and mind) atau antara
kesadaran dan objek yang disadari. Bagi fenomenologi, dualisme ini tidak dapat
dipertahankan, karena manusia berada, menyadari dan berpikir dengan tubuhnya.
Begitu pula dengan kesadaran. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu. Tidak
pernah akan ada kesadaran yang lepas dari objek yang disadari. Objek dikenal dan
menampakan diri karena disadari oleh manusia.
Menurut Edmund Husserl bahwa fenomenologi berasal dari filsafat yang
mengelilingi kesadaran manusia. Menurut Husserl ada beberapa definisi
fenomenologi. Pertama fenomenologi merupakan pengalaman subjektif atau
fenomenologikal. Kedua fenomenologi adalah suatu studi tentang kesadaran dari
perspektif pokok dari seseorang. Teori ini merupakan hasil dari perlawanan teori
sebelumnya yang memandang sesuatu dari paradigma ketuhanan. Jadi secara
sederhana, fenomenologi diartikan sebagai sebuah studi yang berupaya untuk
menganalisis secara deskriptif dan introspektif tentang segala kesadaran bentuk
manusia dan pengalamannya baik dalam aspek inderawi, konseptual, moral, estetis,
dan religius.
Pengaruh sikap dan pandangan ini pada penelitian yaitu bahwa cara satu-
satunya bagi kita untuk mengetahui pengalaman orang lain adalah dengan
menanyakan kepada mereka arti yang mereka berikan pada pengalamannya.
Menanyakan pengalaman mereka berarti mewawancarainya. Lewat wawancara orang
akan mengungkapkan makna pengalamannya. Hal penting lagi untuk dapat
memahami arti pengalaman orang lain yaitu dengan terlibat langsung dalam konteks
dan situasi mereka. Hanya dengan mengetahui konteks dan keadaannya, peneliti akan
dapat menangkap arti pengalaman tersebut. Memahami konteks dan keadaan subjek
yang diteliti berarti juga berada bersama mereka. Berada bersama berarti mengalamai
apa yang mereka alami. Orang yang tidak mengalami gejala, peristiwa, fakta atau
realita yang hendak diteliti akan sangat sulit menangkap arti pengalaman orang lain.
Ada banyak nuansa yang tidak akan dirasakan dan dimengerti bila tidak berada dalam
konteksnya.
Gagasan Husserl kemudian dilanjutkan disekaligus dikritisi oleh Martin
Heidegger yang adalah murid Husserl. Heidegger mengatakan bahwa sesuatu itu ada
karena terkait dengan dunia. Keberadaan kita berarti berada dalam dunia (in der Welt
sein). Aktifitas manusia selalu dalam dunia, sehingga hanya dapat dimengerti dalam
hubungannya dengan dunia. Ada dalam dunia berati ada dalam batasan lingkungan
tertentu. Untuk memahami sesuatu kita harus memahami dunia dan lingkungannya.
Dalam konteks pemahaman tentang manusia, maka pemahaman akan budaya
yang ada disekelilingnya merupakan suatu keharusan. lnilah perbedaan Husserl
dengan Heidegger. Bagi Husserl dunia hanyalah sampingan dan tambahan, sedangkan
bagi Heidegger dunia adalah ha1 yang sangat hakiki. Bagi dia kita tidak dapat
mengerti sesuatu di luar konteks dunia.
Dimensi penting dalam Fenomenologi, pertama bahwa dalam setiap
pengalaman manusia terdapat sesuatu yang ha- kiki, penting dan bermakna. Kedua,
pengalaman seseorang harus dimengerti dalam konteksnya. Untuk menangkap
esensinya kita harus mendalami pengalaman itu apa adanya tanpa ada intervensi
pandangan, perspektif dari luar. Pandangan dari luar harus ditaruh dalam tanda
kurung (bracketing) atau istilah Husserl epoche.
Salah satu ilmuwan sosial yang berkompeten dalam memberikan perhatian
pada perkembangan fenomenologi adalah Alfred Schutz. Ia mengkaitkan pendekatan
fenomenologi dengan ilmu sosial. Selain Schutz, sebenarnya ilmuwan sosial yang
memberikan perhatian terhadap perkembangan fenomenologi cukup banyak, tetapi
Schutz adalah salah seorang perintis pendekatan fenomenologi sebagai alat analisa
dalam menangkap segala gejala yang terjadi di dunia ini. Selain itu Schutz menyusun
pendekatan fenomenologi secara lebih sistematis, komprehensif, dan praktis sebagai
sebuah pendekatan yang berguna untuk menangkap berbagai gejala (fenomena) dalam
dunia sosial.
Dengan kata lain, buah pemikiran Schutz merupakan sebuah jembatan
konseptual antara pemikiran fenomenologi pendahulunya yang bernuansakan filsafat
sosial dan psikologi dengan ilmu sosial yang berkaitan langsung dengan manusia pada
tingkat kolektif, yaitu masyarakat. Posisi pemikiran Alfred Schutz yang berada di
tengah-tengah pemikiran fenomenologi murni dengan ilmu sosial menyebabkan buah
pemikirannya mengandung konsep dari kedua belah pihak. Pihak pertama,
fenomenologi murni yang mengandung konsep pemikiran filsafat sosial yang
bernuansakan pemikiran metafisik dan transendental pada satu sisi. Di sisi lain,
pemikiran ilmu sosial yang berkaitan erat dengan berbagai macam bentuk interaksi
dalam masyarakat yang tersebar sebagai gejala-gejala dalam dunia sosial. Gejala-
gejala dalam dunia sosial tersebut tidak lain merupakan obyek kajian formal (focus of
interest) dari fenomenologi sosiologi. Pemikiran-pemikiran fenomenologi Schutz ini
banyak dilandasi oleh pemikiran Husserl. Hal ini dikarenakan bahwa dasar pemikiran
Husserl dari fenomenologi yang menggunakan unsur metafisik fundamental
merupakan kekuatan legitimasi sebagai landasan berpikir dari penerus metodologi ini
(Tevenaz, 1962:38).
Sedangkan menurut Kruger (1981) penelitian fenomenologis ini adalah
metode wawancara non-directive yang berusaha seminimal mungkin mempengaruhi
dan mengarahkan partisipan dalam menjawab. Becker (1992) mendefinisikan
pendekatan fenologi sebagai upaya menggambarkan suatu fenomen dari suatu
peristiwa atau hal dari sudut pandang orang yang mengalaminya secara langsung.
Fenomenologi memandang objek dan peristiwa dari perspektif penerima (Littlejohn,
1999). Fenomenologi tidak saja mengklasifikasikan setiap tindakan sadar yang
dilakukan, namun juga meliputi prediksi terhadap tindakan di masa yang akan datang,
dilihat dari aspek-aspek yang terkait dengannya. Semuanya itu bersumber dari
bagaimana seseorang memaknai objek dalam pengalamannya. Oleh karena itu, tidak
salah apabila fenomenologi juga diartikan sebagai studi tentang makna, dimana
makna itu lebih luas dari sekedar bahasa yang mewakilinya (Afdjani, Soleh Soemirat
2010).
D. Metode Fenomenologi
Setiap penelitian memerlukan objektivitas. Objektivitas dalam penelitian
fenomenologi adalah membiarkan fakta berbicara untuk dirinya sendiri. Hal ini dapat
dilakukan dengan epoche dan eiditik. Epoche adalah proses dimana si peneliti
menangguhkan atau menunda penilaian terhadap fakta/fenomena yang diamatinya
walaupun ia telah memiliki prakonsepsi atau penilaian tertentu sebelumnya terhadap
fenomena itu. Fenomena dibiarkan berbicara sendiri tanpa penilaian baik-buruk,
positif-negatif, bermoral-tidak bermoral dari sisi si peneliti. Eiditik adalah memahami
fenomena melalui pemahaman atas ungkapan-ungkapan atau ekspresi-ekspresi yang
digunakan subjek. Peneliti berempati dan mencoba memasuki wilayah pemikiran
subjek melalui proses imajenatif.
Dalam mempelajari dan menerapkan fenomenologi sosial ini, Schutz
mengembangkan juga model tindakan manusia (human of action) dengan tiga dalil
umum yaitu:
1. The postulate of logical consistency (Dalil Konsistensi Logis)
Ini berarti konsistensi logis mengharuskan peneliti untuk tahu validitas tujuan
penelitiannya sehingga dapat dianalisis bagaimana hubungannya dengan
kenyataan kehidupan sehari-hari. Apakah bisa dipertanggungjawabkan ataukah
tidak.
2. The postulate of subjective interpretation (Dalil Interpretasi Subyektif)
Menuntut peneliti untuk memahami segala macam tindakan manusia atau
pemikiran manusia dalam bentuk tindakan nyata. Maksudnya peneliti mesti
memposisikan diri secara subyektif dalam penelitian agar benar-benar memahami
manusia yang diteliti dalam fenomenologi sosial.
3. The postulate of adequacy (Dalil Kecukupan)
Dalil ini mengamanatkan peneliti untuk membentuk konstruksi ilmiah (hasil
penelitian) agar peneliti bisa memahami tindakan sosial individu. Kepatuhan
terhadap dalil ini akan memastikan bahwa konstruksi sosial yang dibentuk
konsisten dengan konstruksi yang ada dalam realitas sosial. Dalam pandangan
Schutz memang ada berbagai ragam realitas termasuk di dalamnya dunia mimpi
dan ketidakwarasan. Tetapi realitas yang tertinggi itu adalah dunia keseharian
yang memiliki sifat intersubyektif yang disebutnya sebagai the life world.
Kelemahan fenomenologi :
1. Di dalam fenomenologi, realitas hanya berupa penampilan dan
pengalaman hanya dapat memahami realitas melalui indra-indra. Jadi
realitas dapat eksis dalam data indera rabaan, oral, visual, audio dan
tekstual (Waters, 1994)
2. Sementara kita dapat mengetahui apa yang sedang dilakukan orang lain
adalah sangat tidak mungkin, kita akan mengetahui mengapa mereka
melakukan hal itu. Makna aksi orang lain dalam pengertian motif tidak
tersedia bagi kita (Waters, 1994).
DAFTAR PUSAKA
Gumilang, G.S, 2016, Metode Penelitian Kualitatif Dalam Bidang Bimbingan Dan
Konseling, Jurnal Fokus Konseling, 144-159
Herdiansyah, Haris. 2015. Metodologi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu Psikologi. Jakarta:
Salemba Humanika.
Nindito, S, 2005. Fenomenologi Alfred Schutz : Studi Tentang Konstruksi Makna Dan
Realitas Dalam Ilmu Sosial, Jurnal Ilmu Komonikasi, 79-94
Molina, Yosi. 2015. Menembus Batas: Studi Fenomenologis Pada Lelaki Dewasa Yang
Pernah Mati Suri. Jurnal RAP UNP, 96-97
Nurdin, Ali. 2012. Komunikasi Magis Dukun (Studi Fenomenologi Tentang Kompetensi
Komunikasi Dukun. Jurnal Komunikasi, 392
Novianti, Dewi. Tripambudi, Sigit. 2014. Studi Fenomenologi: Tumbuhnya Prasangka Etnis
Di Yogyakarta. Jurnal Ilmu Komunikasi, 121
Sugiarto, Eko. 2017. Menyusun Proposal Penelitian Kualitatif Skripsi Dan Tesis.
Yogyakarta: Suaka Media.