Anda di halaman 1dari 6

1

DEMOKRASI DALAM POLITIK TRANSAKSIONAL


(Catatan kegalauan tentang pengamalan Pancasila dewasa ini)
Dr. H. Hamdan Daulay, M.Si. M.A.

Indonesia adalah sebuah mozaik dalam kategori apapun, baik


keyakinan agama, karakter budaya, identitas etnik, pola-pola adat, rasa dan
ungkapan bahasa, warisan sejarah, pilihan golongan, afiliasi politik, tampilan
karakter dan lain-lain. Lazimnya sebuah mozaik, jika drenungkan sesaat, di
dalam diri Indonesia tercermin apa yang pernah diucapkan seorang antropolog
Perancis, Claude Levi-Strauss (2013), yang mengatakan bahwa keragaman ada
di belakang, di depan, dan bahkan di sekeliling kita. Dengan demikian , bagi
Indonesia keragaman dalam berbagai hal itu memang sebuah realitas, sama
sekali bukanlah hal yang baru. Atas nama keragaman itu, Indonesia
sesungguhnya adalah taman yang luar biasa indah, sehingga berada di
dalamnya penuh dengan dinamika dan tantangan. Namun potret Indonesia saat
ini setelah 73 tahun merdeka, karena dinamika politik yang mengalami pasang
surut, terkadang semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila. Akibatnya amanah
Pancasila untuk memberikan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat
belum bisaa terwujud.
Ada kagalauan yang luar biasa saat ini di tengah masyarakat terkait
dengan semakin jauhnya nilai-nilai Pancasila dalam politik berbangsa dan
bernegara. Nilai Pancasila yang begitu indah tentang Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan sosial, seolah tercerabut
dari akarnya karena maraknya politik transaksional di negeri tercinta ini.
Sebelum bicara lebih lanjut tentang berbagai kegalauan tentang pengamalan
Pancasila dewasa ini, perlu diawali dengan memberi penjelasan sederhana
tentang politik transaksional.
Politik Transaksional (PT) adalah politik dagang (ada yang menjual dan
yang yang membeli). Tentu semuanya membutuhkan alat pembayaran yang
ditentukan bersama. Jika dalam jual beli , maka alat pembayarannya biasa
dengan uang tunai, maka pada PT ada yang memberi uang dan ada yang
menerima uang. Pendekatan pada PT terdapat pada peraturan normatif dan
2

peraturan pragmatif. Peraturan normatif, menggariskan panduan umum dan


peraturan terhadap tingkah laku anggota masyarakat. Sedangkan peraturan
pragmatif, adalah peraturan permainan untuk memuluskan kepentingan
kelompok tertentu (penguasa) agar tidak dikatakan melanggar norma (Dan
Nimmo, Memahami Politik Transasksional, 2015: 66)
Politik transaksional menjelaskan hubungan pertemanan atau
persaudaraan dalam setiap pendekatan untuk memenuhi permintaan. Faktor
persahabatan adalah bagian penting dan menjadi keutamaan. Pada kondisi
tertentu pendekatan politik transaksional meletakkan peran individu lebih
dominan, dan tidak terikat pada peraturan atau sistem yang ada.
Deborah Norden dalam bukunya The Theory of Politics menyebut ada
dua model politik yang lazim dipraktikkan di setiap negara, yaitu model
competitive, dan colutive. Model competitive adalah model yang sehat karena
partai poliitk yang ada di negara tersebut melakukan kontrol yang sehat
terhadap pemerintah. Kalau kebijakan yang dibuat pemerintah baik dan
mensejahetrajan rakyat maka partai politik mendukung secara maksimal.
Sebaliknya kalau ada kebijakan yang kurang baik dan merugikan bagi rakyat,
partai politik tersebut berani melakukan kritik.
Sedangkan model colutive adalah partai politik yang sudah berkolusi
dengan pemerihtah sehingga tidak ada lagi kekritisan untuk melakukan
kontrol (kritik) terhadap pemerintah. Benar atau salah kebijkan yang dibuat
oleh pemerintahn, partai politik tersebut mengekor saja. Partai politik tersebut
tidak berani melakukan kritik karena takut kehilangan “kue” kekuasaan.
Parpol yang menganut model colutive ini tidak lagi mementingkan aspirasi
rakyat, melainkan ia lebih mementingkan kepentingan bersama dengan
pemerintah. Model colutive ini sangat berdekatan dengan politik
transaksional, karena keduanya sama-sama mementingkan transaksi yang
mereka buat untuk kelangsungan kekuasaan, dan pembagian kue kekuasaan
yang telah mereka sepakati. Mereka tidak begitu peduli lagi dengan rasa
keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
3

Kasus Intoleransi
Tindakan intoleransi terhadap kelompok lain, karena perbedaan agama,
politik, keyakinan, etnis, budaya dan lain-lain, kini semakin marak di tengah
masyarakat. Akibat dari tindakan intoleransi tersebut membuat munculnya
suasana disharmoni, dan bahkan konflik antara kelompok satu dengan
kelompok lain. Tindakan saling hujat, pengerahan demo, ujaran kebencian,
saling fitnah, mangaku paling Pancasilais dan kelompok lain anti Pancasila
kini semakin merajalela di tengah masyarakat. Di tahun politik ini begitu
banyaknya fitnah dan berita bohong di media dan semakin menambah
tajamnya permusuhan antar kelompok yang berbeda kepentingan. Padahal
sejatinya masyarakat harus bisa lebih cerdas melihat kualitas berita
(informasi) agar jangan sampai terjebak pada permusuhan dan konflik. Dalam
al Qur’an disebutkan:
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak meninpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan yang sebenarnya
yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu (QS. Al Hujurat:6)

Berbagai bentuk hujatan yang muncul akhir-akhir ini dengan kategori


stereotip negatif sungguh sangat meresahkan. Ucapan seperti “anti Pancasila”,
“radikal”, “ekstrim”, “teroris”, “ penodaan agama”, “kafir” dan berbagai
istilah negatif lainnya, bukanlah bagian dari penguatan Pancasila, justru
membuat kita semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila. Yang menghujat dan
yang membuat stereotif negatif bukanlah lebih Pancasilais dari yang tertuduh.
Justru bisa jadi yang menghujat jauh lebih bertentangan dengan nilai-nilai
Pancasila.
Demikian pula dalam konteks bernegara betapa pentingnya kita menjaga
ucapan dan menyebarkan berita untuk menjaga kerukunan di tengah
menyarakat. Ucapan kebencian dan permusuhan kini begitu mudah muncul
yang membuat kegalauan dan ketakutan luar biasa di tengah masyarakat.
Ucapan makar, anti Pancasila, radikal, melepaskan diri dari NKRI begitu
banyak muncul dalam pemberitaan media. Demikian pula dalam dinamika
4

politik yang semakin tajam, antar kelompok yang berbeda aspirasi politik
saling hujat dan saling lapor. Namun tragisnya lagi-lagi politik transaksional
muncul dalam penegakan hukum. Hukum yang seharusnya adil bagi seluruh
rakyat Indonesia justru dinodai oleh politik transaksional, dengan adan
kelompok yang dicari-cari kesalahannya dan dijakdikan tersangka. Sementara
kelompok lain dibiarkan saja walaupun mereka melakukan kesalahan yang
sama. Lalu dimana aktualisasi nilai Pancasila terutama tentang keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia ?
Apa sesungguhnya yang salah dalam cara pikir dan budaya masyarakat
saat ini sehingga begitu mudah tersulut kebencian dan saling fitnah. Padahal
selama ini masyarakat Indonesia terkenal sangat toleran, rukun, pemaaf, dan
saling menghargai di tengah perbedaan yang ada. Mengapa kini muncul
fanatisme politik yang berlebihan, semangat kedaerahan yang berlebihan, dan
perdebatan yang cukup melelahkan karena perbedaan warna politik.

Perlu Keteladanan
Kalau tokoh-tokoh politik dan tokoh-tokoh agama mampu menerapkan
cara yang santun dalam berdebat dan menyikapi perbedaan pendapat tentu
tidak akan muncul tindakan intolerasi di tengah masyarakat. Kasus-kasus
intoleransi yang terjadi saat ini harus diurai dengan akal sehat dan pikiran
yang jernih demi keutuhan bangsa. Tidak boleh ada satu kelompok yang
merasa lebih Pancasilais dari kelompok lain, dan menuduh kelompok lain itu
anti Pancasila, radikal dan membuat makar. Kalau tindakan intoleransi yang
marak saat ini tidak segera diatasi dengan baik, akan bisa menjadi “bom
waktu” yang akan mengoyak semangat nasionalisme dan persatuan bangsa.
Pemerintah tentu harus mampu bertindak adil dan jujur dalam mengatasi
setiap persoalan yang ada di tengah masyarakat. Jangan ada kelompok yang
dibiarkan membuat keonaran, sementara kelompok lain dicari-cari
kesalahannya dan begitu mudah memberi label makar. Ini tentu tindakan
konyol dan akan membuat prahara bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tokoh-tokoh besar bangsa seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Jenderal
5

Soedirman, Jenderal A H Nasution, Jenderal TB Simatupang, Wahid Hasyim,


Sutan Syahrir, Jenderal Polisi Hoegeng dan tokoh-tokoh lainnya menjadi
teladan dalam pengamalan nilai-nilai Pancasila. Mereka tidak banyak bermain
retorika tentang Pancasila, namun mereka benar-benar mengamalkannya. Bagi
mereka, Pancasila bukanlah sekedar permainan retorika, melainkan harus
benar-benar diaktualisasikan dalam kehidupan nyata. Di tengah ketokohan
yang mereka miliki dan di tengah jabatan tinggi yang mereka raih, mereka
tetap hidup sederhana dan mengabdi tulus untuk bangsa dan negara. Mereka
tidak mau memperkaya diri walaupun ada kesempatan untuk melakukannnya.
Sungguh suatu teladan mulia yang sudah sangat langka ditemukan saat ini di
tengah kehidupan yang serba penuh dengan sandiwara.
Sesungguhnya budaya masyarakat Indonesia yang pluralistik ini
terkenal sangat toleran, santun, dan menghargai perbedaan yang ada.
Kemauan untuk menghargai dan menghormati perbedaan adalah merupakan
bagian dari kebudayaan yang sangat luhur. Masyarakat yang menghargai
nilai-nilai budaya tidak akan terjebak pada konflik, karena bagi masyarakat
yang berbudaya, perbedaan adalah suatu keindahan yang harus dipelihara
dengan baik. Kebudayaan merupakan segala sesuatu yang diciptakan oleh
akal budi manusia. Manusia (masyarakat) dan kebudayaan tidak bisa
dipisahkan, karena keduanya merupakan suatu jalinan yang saling erat berkait.
Kebudayaan tidak akan ada tanpa ada masyarakat dan tidak ada satu
kelompok manusia pun, betapa terasing dan bersahajanya hidup mereka, yang
tidak mempunyai kebudayaan. Semua kelompok masyarakat pasti memiliki
kebudayaan, karena manusia merupakan subyek budaya. Yang berbeda
hanyalah tingkat dan taraf kebudayaan yang dimiliki oleh masing-masing
kelompok masyarakat.
Budaya bisa dipahami sebagai jejaring makna dan pemaknaan. Budaya
juga sebagai sebuah deskripsi dari cara hidup tertentu yang mengekspresikan
sejumlah makna dan nilai yang tertentu pula. Sebagai jejaring makna, budaya
terkait erat dengan ranah-ranah lain dalam hidup manusia, seperti politik,
agama, kekuasaan, pendidikan, pemerintahan, bahasa dan masih banyak lagi
6

ranah yang lain.


Meminjam istilah Mudji Sutrisno (2008: 66), kreativitas kebudayaan
merupakan misteri dari tetap tumbuhnya kemanusiaan ketika peradaban
dihadapkan pada ujian-ujian sejarah. Diri tidak sendiri dalam merajut makna
dan mengikat peristiwa. Kita selalu dihadapkan pada fakta keberagaman,
kebhinnekaan, terlebih dalam konteks masyarakat Indonesia yang multi
kultur, multi etnis, multi agama, multi pilihan politik dan multi dimensi
lainnya. Semoga kita bisa merajut persatuan dan kesatuan bangsa di tengah
perbedaan yang ada. Para tokoh bangsa hendaknya bisa mengakhiri politik
transaksional yang merugikan bagi keadilan dan kesejahteraan rakyat. (*)
(Dr. H. Hamdan Daulay, M.Si. M.A. Dosen UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta)

Anda mungkin juga menyukai