2501 5955 1 SM PDF
2501 5955 1 SM PDF
Jurnal ilmiah Petro merupakan sebuah jurnal yang berisi beberapa paper bidang
perminyakan dan diterbitkan dengan tema -tema yang aktual dari hasil penelitian
paradosen maupun mahasiswa program studi tenik perminyakan yang berlandaskan
perkembangan dunia pendidikan, ilmu pengetahuan, dan tekknologi seputaran
duniaPerminyakan.
Pada Jurnal Ilmiah Petro Volume V bulan April Tahun 2016 terdiri dari 6 judul
bahasan antara lain mengenai Optimasi sumur – sumur GasLift, Analisis Data Log,
Studi Penentuan Tekanan Tercampur Minimum dengan Gas CO2, Studi Laboratorium
Pengaruh Penggunaan Fluida Komplesi CABR2, Studi Laboratorium Pengaruh
Penambahan Cement Dispersant, Optimasi Deliverabilitas Sumur-Sumur Geothermal,
Optimalisasi Pemboran Menggunakan Teknologi Pemboran Berarah, Analisa Pengaruh
Heterogenitas Sifat Fisik Batuan dan Pola Sumur Injeksi, Analisis Pengaruh Thermal
Terhadap Casing, Optimalisasi Pemboran Lepas Pantai Menggunakan Drilling
Template.
Dari keseluruhan judul diatas memiliki beberapa bidang antara lain, BOR,
Produksi, Gas bumi, Reservoir, Simulasi Reservoir,Panas bumi, Lumpur pemboran,
Cementing, Surface Facilities, PenilaianFormasi, dan Kimia.
Pembaca diharapkan dapat membaca beragam penelitian yang diterbitkan dari karya
ilmiah yang dibuat oleh para Dosen dan Mahasiswa Program Studi Teknik Perminyakan
Trisakti yang nantinya dapat bermanfaat bagi para pembacanya.
Redaksi
ABSTRAK
Dalam operasi pemboran, lumpur pemboran memainkan peranan yang sangat penting karena memiliki
fungsi-fungsi yang tak tergantikan. Pada pelaksanan operasi pemboran sumur x lapangan y ini menggunakan
lumpur Synthetic Oil Base Mud dan KCL Polymer selama pemboran berlangsung, sifat dan rheology lumpur
pemboran harus di perhatikan dan dipertimbangkan kondisi serta karateristik dari formasi yang akan di bor.
Adapun penyebab terjadinya masalah masalah tersebut adalah disebabkan karena factor formasi yang
mempunyai permeabilitas yang cukup besar sehingga memungkinkan terjadinya masalah hilangnya lumpur.
Seperti adanya formasi yang mengandung gua-gua (cavernous formation), formasi yang mengandung rekahan-
rekahan secara vertical maupun horizontal. Dalam menganalisa hal ini akan mengakibatkan kerugian baik dari
segi waktu, finansial , maupun kesalamatn kerja.nOleh karena itu,sebelum proses pemboran dilaksanakan perlu
dibuat sebuah perencaan yang matang untuk penenruan program lumpur. Perencaan diantaranya berkaitan
dengan jenis lumpur, densitas, viskositas, daya agar, derajat keasaman, laju tapisan dan lain-lain yang
disesuaikan dengan lithology tiap lapisan formasi yang di tembus. Perencanaan tersebut juga mencakup analisa
potensi permasalahan yang akan dihadapi pada tiap lapisan formasi beserta solusi untuk mengantisipasinya.
Namun demikian, pada saat pelaksanaanya sangat umum terjadi beberapa permasalahan di luar analisa tersebut.
Dari suatu pendesaianan lumpur diharapkan penggunaannya dapat mengoptimalkan kegiatan pemboran dengan
biaya serendah mungkin untuk menekan biaya per barrel nanti
System lumpur Sythetic Oil Base Mud adalah disperse mud dan biasanya berbiaya lebih mahal ,
sedangkan lumpur KCL polymer adalah lumpur non disperse yang biasanya lebih murah. Melihat hambatan
yang terjadi pada saat pemboran yang berlangsung yaitu adnaya gumbo, shloughing shale, differential pressure
sticking, lost, terjepit pipa, swelling clay, partial lost, lumpur Synthetic Oil Base mud dapat mengatasi masalah
di atas. Kejadian hilang lumpur dapat diakibatkan oleh beberapa sebab, seperti : kondisi formasinya, dapat
menimbulkan kick dan blow out apabila tekanan hidrostatik kolom lumpur dalam sumur turun dan tidak segera
di tanggulangi. Meskipun jika dilihat dari segi biaya meskipun Synthetic Oil Base Mud lebih mahal dari KCL
Polymer lumpur tersebut dapat digunakan kembali atau dilakukan treatment pada saat digunakan berbeda
dengan KCL Polymer dan dapat mengatasi masalah di atas. Pada penulisan paper ini akan dievaluasi sejauh
mana pemakaian lumpur Synthetic Oil Base Mud lebih dan KCL Polymer efektif dalam mengatasi
permasalahan-permasalahan di formasi shale yang sangat reaktif.
Kata Kunci : Mud, Synthetic Oil Base Mud, Water Base Mud, KCL Polymer, Rheology
ABSTRACT
During the drilling operation of well X Field Y, Synthetic Oil Base Mud and KCL Polymer was used
during the drilling operation. Paying attention to the characteristics and rheology of drilling mud is important.
Furthermore, the condition and characteristics of the drilled formation itself is also important. As for the
occurrence of those matter is caused by formation factor which has big permeability and can sustain mud loss.
Just like formation which contains cavernous formation, formation which contains vertical or horizontal
fractures. In analyzing this whole matter can caused deprivation in time, financial, or safety. Because of that,
before the drilling process gets underway a well calculated plan is necessary to determine the mud program.
Some of the plan related to mud type, density, viscosity, gel strength, pH, Yield Point, etc are adapted with the
lithology of every penetrated formation. That plan also covers the potential problem analysis of every formation
layer and the solution to anticipate it. However, when the execution of this plans some problems outside the
analysis is usually happened. From the mud designing, the usage of it hopefully can optimize the drilling
activity with lowest budget to press down the cost per barrel afterwards.
Mud system of Synthetic Oil Base Mud is a disperse mud and usually cost higher. As for the KCL
polymer mud is non-disperse mud and it’s usually cheaper. Beneficially, Synthetic Oil Base Mud (SOBM) can
cover up the occurred hindrance such as, the existence of gumbo, sloughing shale, differential pressure sticking,
lost, stuck pipa, swelling clay, partial lost. In this paper, Synthetic Oil Base Mud will be evaluated how far this
mud is more effective in dealing with problems in a very reactive shale formation.
Keywords : Mud, Synthetic Oil Base Mud, Water Base Mud, KCL Polymer, Rheolog
Oil Base Mud dan non disperse adalah KCL- Adanya polimer dalam menstabilkan shale
Polymer. Pemilihan tipe yang palinh baik sari dikarenakan kemudahannya untuk Iarut dalam
keduanya tergantung dari jenis clay atau shale yang lumpur yang mengandung elektrolit dan adanya
akan dibor. muatan negatif pada bagian yang terhidrolisa
sehingga akan meningkatkan daya rekat dan
Perbedaan utama antara system disperse dan non adsorbsi polymer terhadap partikel-partikel clay.
disperse dapat dilihat dari sifat rheology kedua Adsorbsi polymer oleh partikel clay akan
system ini. Suatu disperse system memiliki nilai meningkat dengan kehadiran KCl diatas 3%.
YP (yield point) yang rendah dan nilai PV (plastic Adsorbsi polymer akan mengurangi swelling
viscosity). Nilai PV ini lebih tinggi dari nilai non dengan cara menyelubungi plate-plate shale
disperse sistem. Biasanya peningkatan perfoma bersama-sama dalam kelompok-kelompok yang
pemboran, kondisi lubang yang lebih baik dan mengurangi kemungkinan berhubungan dengan air.
lebih sedikit kerusakan formasi dpat dicapai Seberapa besar pengurangan swelling shale yang
apabila digunakan lumpur non disperse. Pada awal- terjadi tergantung pada konsentrasi KCl dan
awal pemboran dilaksanakan pada banyak contoh polymer dalam fasa cair lumpur.
hanya disperse sistem yang dapat digunakan.
Dengan bertambahnya baiknya efisiensi peralatan METODOLOGI
solid control rig maka kemudian non disperse Metodologi yang dilakukan pada evaluasi lumpur
system dapat digunakan. pemboran Synthetic Oil Base Mud dan KCL
Polymer adalah dibawah ini.
Lumpur ini mengandung minyak sebagai fasa
kontinunya. Komposisinya diatur agar kadar airnya Pengunpuan data : mengumpulkan data data yang
rendah (3-5% volume). Relative lumpur ini tidak dibutuhkabn untuk mengevaluasi permasalahan
sensitive terhadap kontaminan. Tetap airnya adalah pada pemboran tersebut berupa DDR, DMR, Well
kontaminan karena memberi efek negatif bagi Proposal dan Final Report
kestabilan lumpur ini. Untuk mengontrol
viskositas, menaikkan gel strength, mengurangi 1. Perangkuman data : merangkum semua data
efek kontaminasi air dan mengurangi filtrate loss, yang di perlukaan pada saat melakukan
perlu ditambahkan zat-zat kimia. evaluasi lumpur berupa sifat fisik lumpur
pemboran tersebut
Manfaat oil base mud didasarkan pada kenyataan 2. Evaluasi data : mengevalusi Pengaruh
bahwa filtratnya adalah minyak karena itu tidak Lumpur terhadap beberapa masalah yang
akan menghidratkan shale atau clay yang sensitive terjadi pada sumur x dan Penanggulangan
baik terhadap formasi biasa maupun formasi masalah yang terjadi pada sumur x
produktif. Kegunaan terbesar adalah pada 3. Kesimpulan
completion dan workover sumur. Kegunaan lain
adalah untuk melepaskan drill pipe yang terjepit, HASIL DAN PEMBAHASAN
mempermudah pemasangan casing dan liner. Pada sumur X direncanakan pemboran sumur ini
mempunyai target kedalaman akhir 9950 ft atau
KCL dalam air akan terurai menjadi ion K⁺ dan 3033 meter. Dalam pemboran ini, lumpur sangat
Cl⁻ Dalam menstabilkan mineral shale, ion-ion memegang peranan penting dalam sukses tidaknya
K⁺ akan menggantikan kedudukan ion Na⁺ , dan suatu operasi pemboran.
dalam plate-plate ssihale ion-ion K⁺ akan terikat
jauh lebih kuat dibandingkan ikatan antara ion Na⁺ Pelaksanaan bor pengembangan sumur X
dengan plate clay atau antara clay dengan air, menggunakan lumpur Synthetic Oil base mud
sehingga daya tolak menolak antara plate-plate clay untuk pemboran trayek 20’’ – 9 5/8’’ dan trayek
dalam air akan berkurang atau ikatan antar plate 7’’ menggunakan KCL Polymer, sedangkan untuk
nya semakin kuat. interval permukaan digunakan spud Mud. Lumpur
bahan dasar minyak digunakan dengan alasan-
Akibat daya tarik antar plate semakin kuat karena alasan tertentu dimana untuk lumpur bahan bahan
hadirnya ion K⁺ , maka akan semakin banyak air dasar air tidak mampu mengatasi masalah-masalah
yang terbebas dari antar clay keluar sistem, yang terjadi sewaktu pemboran berlangsung.
sehingga akan menyebabkan viskositas sistem
turun dan filtrate naik. Disamping itu, ion-ion K+ Pada lubang sumur 26 ’’ menggunakan TCB dan
dengan jari-jari atomnya yang besar akan menutup BHA berukuran lubang 26 ” menggunakan trayek
microfracture shale dan mencegah masuknya air ke casing 20’’ ini memiliki kedalaman 80 ft sampai
dalam microfacture, sehingga mengurangi hidrasi dengan kedalaman 900 ft dengan berat jenis lumpur
osmosis shale. berkisar 9.3-9.8 ppg dengan system lumpur yang di
gunakan adalah SOBM. Lithology formasi pada
trayek ini terdiri dari claystone dan sandstone ini
terdapat pada formasi Lidah. Masalah yang terjadi filtrate loss pada lumpur tersebut dan berikut ini
pada casing ini kemungkinan saja pada lapangan merupakan data sifat fisik lumpur pada trayek 17 ½
ini masih mengandung sedikit gas , maka dari itu di “.
butuhkan data yang lengkap dari mud log dan di Tabel 2
pertimbangan saat penyemanan pada casing 20 Sifat Fisik Lumpur Trayek 17 ½ ”
inchi karena pada lapisan ini mengandung serpihan
pasir. Dan terjadi overshaker yang disebabkan oleh
OBM yang mempunyai temperatur rendah dan ini
dapat mengakibatkan surface loss. Solusi yang
dapat di lakukan jika terjadi overshaker yang di
karena serpihan pasir dapat menggunakan shale
shaker yang mempunyai ukuran 40 – 60 mesh dan
ini juga di gunakan pada lubang 17 ½ ’’. Pada
pemboran ini selalu ada cutting dryer down yang
merupakan salah satu solid control yang sudah
ditidak digunakan pada saat pemboran berlangsung
dan pergantian di lakukan setiap hari pada section.
Pada solid control selalu dilakukan pemeriksaan
rutin dan maintence semua SCE untuk memastikan
kehalusan drilling fluid operation pada rigsite.
Nilai equivalent circulating density di dapatkan dan
perhitungan Bingham model yaitu 9.6 – 10.1 ppg,
dibawah ini merupakan tabel sifat fisik pada trayek
26 “
Tabel 1
Sifat Fisik Lumpur Trayek 26” Pada pemboran formasi 17 ½ ’’ menggunakan
trayek 13 3/8’’ ini memiliki kedalaman 900 ft
sampai dengan kedalaman 4860 ft selama 13 hari.
Masalah pengangkatam cutting juga terjadi pada
saat bor section ini. Adanya sangkutan dan drag
yang besar diakibatkan hole cleaning yang tidak
optimal. Untuk mendapatkan hole cleaning yang
optimal dengan memperbesar annular velocity
mengalami kendala kerena keterbatasan
kemampuan peralatan permukaan (pompa),
penggunaan lumpur Synthethic Oil Base Mud
terbukti dapat membantu mengatasi masalah
pengangkatan cutting ini dengan mengoptimalkan
nilai yield point dan plastic viskositas. Dan dapat
juga diatasi dengan mengoptimalkan output untuk
memastikan flowrate yang cukup untuk
menghasilkan pembersihan lubang yang baik pada
annulus . Mengoptimalkan out put pompa dengan
cara mengalirkan lumpur di lubang bor setiap 2–3
stand pipa dengan menggunakan lumpur yang
mempunyai viskositas rendah dan densitas yang
Pada interval trayek 17 ½ “ , permasalahan utama tinggi. Menggunakan pipa untuk menciptakan
saat menggunakan lumpur Syntethic Oil Base Mud aliran turbulen disekitar annulus jika terjadi
adalah gumbo. Di beberapa sumur terjadi overpull. Pompa dikeluarkan apabila overpull
sangkutan dan swab effect saat dilakukan trip. terjadi ketika POOH by elevator. Jika overpull
Permasalahan gumbo hampir sebagian besar terjadi tetap terjadi, kurangi flowrate ketika kembali ke
pada trayek pemboran 17 ½’’ saat menembus batu bottom untuk 1 stand dan tambahakan flowrate
lempung (clay) formasi Wonocolo. Synthetic Oil secara bertahap ketika backream pada rate yang
Base Mud dapat mengurangi kereaktifan clay dan terkontrol. Melakukan short trip setiap pemboran
menyelubungi cutting bor yang terdistribusi di 1000 ft. Mempertahankan mud low end (6 rpm >
annulus, sehingga cutting tidak lengket serta tidak 10). Dan mengoptimalakan solid control untuk
menggumpal dan problem gumbo dapat di hindari. mengurangi pembentukan nilai LGS pada saraline
Dan juga dapat di lakukan menjaga inhibition atau SOBM
lumpur dengan nilai WPS yang cukup , konsentrasi
OWR, mengontrol ROP dan meminimaliskan
Pada lubang sumur 12 ¼’’ menggunakan trayek 9 collar dan dinding lubang bor. Untuk hole cleaning
5/8’’ ini memiliki kedalaman 4860 ft sampai dengan YP 18 lbs/100ft2 sampai dengan 21
dengan kedalaman 9336 ft. Pada pemboran ini lbs/100ft2 sudah cukup mampu membersihkan
membor formasi wonocolo, dimana formasi lubang dengan baik. Oleh karena itu di lakukan
wonocolo mempunyai lapisan shale tebal sering penambahan chemical 𝐶𝑎𝐶𝑙2 sebanyak kurang
dijumpai problem ketidakstabilan lubang bor. lebih 360.000 mg/l. Shale yang dominan pada
Adanya shale yang reaktif akan menghidrasi filtrate trayek 12 ¼’’ saat menembus formasi Tuban.
lumpur, sehingga terjadinya gugurnya dinding Permasalahan yang sering dialami adalah sloughing
formasi kedalam lubang (shloughing shale). shale. Problem ketidakstabilan shale di Tuban
Runtuhnya dinding formasi setelah adanya aksi menyebabkan sangkutan saat cabut trip dan ream
mekanis yaitu putaran drillstring yang mengenai yang berulang-ulang untuk mengkondisikan lubang
dinding lubang karena pemboran yang dilakukan saat masuk rangkaian. Selain itu problem pipa
merupakan pemboran miring. Shale yang terjepit yang disebabkan differential pressure
mengalami pada batas tertentu akan mengalami sticking juga dialami saat bor trayek ini.
disperse, keberadaan Oil Base Mud yang
mempunyai sifat disperse akan menyebabkan Pada sumur X trayek lubang 12 ¼’’ terdapat
konsentrasi padatan dalam lumpur meningkat (LGS formasi Ngrayong dan formasi Tuban.
naik), dan kondisi naiknya konsentrasi padatan ini Permasalahan menjadi lebih kompleks dengan
akan menimbulkan penyumbatan lubang bor, hal adanya peningkatan formasi padatan dalam system
ini di tunjukkan dengan adanya terjadinya lumpur akibat disperse cutting maupun dinding
sangkutan saat cabut masuk trip. Trip gas (50 gas) formasi yang mengandung shale ini. Proses hidrasi
menunjukkan sirkulasi sebelum dan sesudah akan terjadi secara kontinyu di dalam lubang,
tekanan. Setiap lubang mengandung 𝐻2 𝑆 dan 𝐶𝑂2 mengakibatkan terbentuknya mud cake yang tebal
sangat serius, excess lime dapat kurang dari 12.0 dan lengket, kondisi mud cake yang demikian
ppb untuk menyeimbangkan gas. terjadi apabila menemui zona yang permeable
Dari hasil evaluasi mendapatkan niilai (karbonat Tuban) akan menimbulkan berbagai
sifat fisik lumpur pemboran pada trayek 12 ¼ ”. masalah, baik selama operasional pemboran
(potensial menyebabkan pipa terjepit) juga dapat
Tabel 3 menimbulkan masalah dalam evaluasi formasi dan
Sifat Fisik Lumpur Trayek 12 ¼ “ pada tahapan produksi akibat filtrate yang masuk
ke formasi yang menyebabkan damage.
DAFTAR PUSTAKA
RINGKASAN
Maksud dan tujuan evaluasi hidrolika sistem lumpur pemboran adalah untuk
mengoptimalkan sistem pemboran serta memperkirakan biaya dari pembuatan dan pemakaian
lumpur bor dapat direncanakan dalam suatu program yang memberikan hasil yang terbaik dan biaya
yang minimal, dimana Metode yang digunakan dalam evaluasi hidrolika lumpur (pengangkatan
cutting) pada sumur KJL-94 adalah Bit Hydraulic Horse Power (BHHP). Banyak permasalahan yang
akan timbul selama operasi pemboran bila lumpur yang digunakan tidak sesuai. Setelah dianalisa dan
dievaluasi, hidrolika yang bekerja pada bit rata-rata masih di bawah kondisi optimum, yaitu 65%.
Sedangkan untuk sistem lumpur yang digunakan pada sumur X adalah trayek lubang 26” (0 ft – 300
ft) menggunakan sistem lumpur Spud Mud, trayek lubang 16” (300 ft – 2200 ft) menggunakan sistem
lumpur Spud Mud, trayek lubang 12 ¼ inch (2200 ft – 5400 ft) menggunakan sistem lumpur KCl-
Polimer/PHPA, dan trayek lubang 8 ½ inch (5400 ft – 6300 ft) menggunakan sistem lumpur KCl-
Polimer/PHPA.
The intent and purpose of the evaluation of the hydraulics system is to optimize drilling mud
system and drilling estimated the cost of the manufacture and the use of drill mud can be planned in a
program that provides the best results and cost at least, where the methods used in the evaluation of
hydraulic mud (Rapture cutting) in the well KJL-94 is a Bit Hydraulic Horse Power (BHHP). Many of
the problems that will arise during the operation when drilling mud that was used is not appropriate.
After analyzed and evaluated, hydraulics who worked on average bits still under optimum conditions
65%. As for the system of the mud used in well X is the number of the hole 26 "(ft. 0 – 300 ft) using a
system of mud, Mud route Spud hole 16" (300 ft – 2200 ft) using a system of mud, Mud route Spud 12
hole ¼ inch (2200 ft – 5400 ft) using the system KCl-mud Polymer/PHPA, and stretch the hole 8 ½ inch
(5400 ft – 6300 ft) using KCl-mud system Polymer/PHPA.
lumpur maupun bit hydraulic, perlu dioptimalkan pemboran, yang diringkaskan dalam pemboran
dan juga perlu didukung dengan sistem lumpur (drilling history) setiap sumurnya.
yang efektif, dimana menghasilkan biaya total
pemboran yang rendah dan diimbangi dengan hasil Rangkaian terjepit (tight spots) juga terjadi pada
yang terbaik dalam mengevaluasi formasi. saat operasi pemboran. Adanya peningkatan
konsentrasi padatan dalam sistem lumpur akibat
Maksud dan tujuan evaluasi hidrolika sistem dispersi cutting maupun dinding formasi yang
lumpur pemboran adalah untuk mengoptimalkan mengandung shale, diikuti oleh proses hidrasi yang
sistem pemboran serta memperkirakan biaya dari terjadi secara kontinu dalam lubang sehingga
pembuatan dan pemakaian lumpur bor dapat terbentuk mud cake yang tebal menjadi potensi
direncanakan dalam suatu program yang untuk terjadinya rangkaian terjepit. Kondisi mud
memberikan hasil yang terbaik dan biaya yang cake yang demikian biasanya terjadi apabila
minimal. Dengan begitu hal ini akan memberikan menemui zona yang permeabel yang biasanya
efek keuntungan yang meningkat bagi perusahaan. dijumpai pada batu gamping lapisan Baturaja.
Sering terjadianya rangkaian terjepit dikarenakan
Metode yang digunakan dalam evaluasi hidrolika cutting yang tidak terangkat dengan sempurna ke
lumpur (pengangkatan cutting) pada sumur X1 permukaan atau dengan kata lain hole cleaning yang
adalah Bit Hydraulic Horse Power (BHHP). Jika tidak baik. Selain itu, dapat disebabkan karena
dari hasil analisa diketahui harganya tidak optimal, padatan yang banyak membuat filter cake yang
dilakukan optimasi dengan mengubah laju alir dan terlalu tebal, sehingga menyebabkan tight spot.
ukuran nozzle yang digunakan dengan Cutting yang banyak dikarenakan penggunaan PDC
menggunakan metode BHHP. bit dan tidak dibantu dengan sirkulasi lumpur yang
tidak baik, serta solids control equipment di
HASIL DAN PEMBAHASAN permukaan tidak bekerja dengan optimal.
Dalam operasi pemboran, setiap perusahaan Pemboran dengan menggunakan PDC bit
menginginkan hasil yang optimal, hal ini akan menghasilkan padatan yang lebih banyak dan dapat
terwujud apabila dilakukan perencanaan kegiatan menaikkan nilai Plastic Viscosity (PV). Faktor lain
pemboran yang baik. Bila tidak, maka akan timbul yang dapat menyebabkan tight spots adalah formasi
masalah-masalah selama pemboran yang akan yang mengandung soft shales atau mengandung
berdampak pada total biaya pemboran yang sticky clay. Penggantian pahat bor dilakukan,
membengkak. Salah satu aspek penting yang terkait yang semula menggunakan jenis pahat PDC
dengan operasi pemboran adalah lumpur pemboran. diganti dengan jenis roller cone. Faktor-faktor diatas
juga merupakan hal yang menyebabkan masalah
Di dalam program perencanaannya, pemboran bit balled-up yang terjadi pada trayek 8-1/2”. Hal
sumur X1 mempunyai target kedalaman akhir yaitu ini perlu dianalisa terkait dengan masalah hole
6300 ft. Salah satu faktor yang menentukan sukses cleaning yang tidak baik, terutama untuk trayek
atau tidaknya pada pemboran ini adalah sistem lubang 12-1/4” dan 8-1/2”. Dari hasil evaluasi
lumpur pemboran yang digunakan. Perencanaan pengangkatan cutting pada trajectory 12-1/4” dan 8-
sistem lumpur pada sumur di X1 Lapangan X, 1/2”, diketahui bahwa pengangkatan cutting pada
dalam pembuatan program lumpurnya, didasarkan trajectory tersebut sudah berjalan dalam kondisi
atas evaluasi dan analisa batuan formasi yang optimum.
ditembus, masalah lubang bor, dan korelasi dari
sistem lumpur yang digunakan pada sumur-sumur Hal ini ditunjukkan dari harga Cutting Transport
pendahulunya. Perencanaan sistem lumpur ini juga Ratio (Ft) sebesar 97.8 – 99.1%, Cutting
harus didukung dengan aspek lainnya, seperti Concentration (Ca) sebesar 0.09 – 1.81%, dan
penentuan tempat kedudukan casing. Hal ini Particel Bed Index (PBI) sebesar 1 yang
dimaksudkan agar masalah lubang bor yang menunjukkan bahwa kondisi cutting hampir
terjadi pada sumur pendahulunya seperti hole mengendap. Dengan ketiga parameter diatas
packing off, tight spots, dan bit balled-up tidak menunjukkan bahwa pada trayek tersebut tidak
terjadi lagi. Serta hal ini dalam upaya meminimalisir terjadi pengendapan cutting di dasar lubang bor
masalah-masalah yang terjadi selama kegiatan dan cutting dapat terangkat dengan baik ke
pemboran berlangsung. Evaluasi masalah lubang permukaan.
bor yang terjadi pada sumur-sumur pendahulunya
sangat perlu dilakukan, karena dengan Dari hasil hidrolika bit pada trajectory 12-1/4”
demikian dapat direncanakan operasi pemboran, diketahui perbandingan BHHP dan HPs pada
terutama sistem lumpur, yang lebih optimal. Dari kedalaman 5175 ft dan 5450 ft bernilai 45% dan
analisa melalui data-data laporan harian dan menghasilkan Horse Power per Square Inch
laporan akhir pemboran di sumur-sumur (HSI) sebesar 2.89 hp/in2. Untuk hidrolika bit
pendahulunya, didapatkan suatu kronologi operasi pada kedalaman 2375 ft dan 3440 ft sudah dalam
kondisi optimum. Hal ini ditunjukkan dengan nilai – 0.38 in2, dan menghasilkan Horse Power per
perbandingan BHHP dan HPs sebesar 76% dan Square Inch (HSI) sebesar 8.1 – 10.7 hp/in2.
65%. Evaluasi hidrolika pada bit dengan trajectory
8-1/2” menghasilkan perbandingan BHHP dan lubang bor yang terjadi, perlu dilakukan korelasi
HPs bernilai antara 16 – 55% dan menghasilkan sistem lumpur yang digunakan pada sumur-sumur
Horse Power per Square Inch (HSI) sebesar 0.35 – pendahulunya. Hal ini ditujukan agar sistem lumpur
5.61 hp/in2. Dari hasil evaluasi ini dapat diketahui yang digunakan untuk sumur selanjutnya, sumur
bahwa pada pemboran trajectory 12-1/4” dan 8-1/2” X1, berjalan secara efektif dan ekonomis.
masih jauh dari nilai optimum yaitu sebesar 65%.
Oleh karena itu perlu dilakukan optimasi hidrolika Berdasarkan korelasi sistem lumpur sumur-
pada bit yang digunakan. sumur pendahulunya, serta evaluasi dan analisa
yang telah dilakukan sebelumnya didapatkan suatu
Metode yang digunakan untuk perhitungan optimasi kesimpulan yang dapat digunakan untuk
hidrolika bit adalah Bit Hydraulic Horse Power perencanaan program lumpur sumur X1. Untuk
(BHHP). Selain metode BHHP juga ada metode Bit membor selang trayek 26” dan 16” digunakan
Hydraulic Impact (BHI), Jet Velocity (JV), pada sistem lumpur spud mud. Formasi ini terdiri dari
kali ini digunakan metode BHHP karena shales dengan sisipan pasir dan coal. Batuan shale
perhitungannya lebih optimal. Metode ini pada yang terdapat pada formasi ini tidak reaktif
prinsipnya menganggap bahwa semakin besar daya didukung dengan well report pada sumur
yang disampaikan fluida terhadap batuan akan Sebelumnya, tidak terdapat masalah pemboran.
semakin besar pula efek pembersihannya, sehingga Sehingga dengan menggunakan sistem lumpur spud
metode ini berusaha untuk mengoptimalkan horse mud, diharapkan kegiatan pemboran pada kedua
power (daya) yang dipakai pompa yang tersedia di trayek lubang ini dapat berlangsung dengan lancar
permukaan. seperti pada sumur pendahulunya. Berat lumpur
yang digunakan untuk trayek lubang 26” berkisar
Optimasi hidrolika bit diawali dengan menentukan 1.03 – 1.05 SG dan untuk trayek lubang 16”
laju alir maksimum dan minimum dari pompa. Laju berkisar 1.05 – 1.15 SG. Kemungkinan masalah
alir minimum yang digunakan harus berada pada yang dapat terjadi adalah masalah shallow gas dan
range laju alir yang seharusnya digunakan pada caving. Masalah shallow gas dapat ditanggulangi
trayek lubang tersebut. Pada trajectory 12-1/4” dengan menambah berat lumpur atau dengan
diperoleh laju alir minimum MAV (Qmin MAV) menambah sistem diverter pada alat Blowout
bernilai antara 434 – 484 gpm, sehingga laju alir Preventer (BOP).
minimum yang digunakan pada trayek lubang
tersebut adalah 600 gpm. Sedangkan pada trajectory Kemungkinan masalah pada trayek 12-1/4” adalah
8-1/2” diperoleh laju alir minimum MAV (Qmin gumbo dan tight spots, sehingga perlu dilakukan
MAV) bernilai antara 75 – 144 gpm, sehingga laju perencanaan sistem lumpur yang sesuai. Sistem
alir minimum yang digunakan pada trayek lumpur yang digunakan adalah KCl-Polimer PHPA
lubang tersebut adalah sebesar 400 gpm. dengan berat 1.15 – 1.20 SG. Kegiatan pemboran
pada trayek ini menembus formasi Air Benakat (720
Optimasi menggunakan metode Bit Hydraulic – 1180 m SS) dan Upper Gumai (1180 – 1694 m
Horse Power (BHHP) dilakukan dengan mengatur SS). Formasi ini terdiri dari claystones dan
harga laju alir dan ukuran nozzle yang optimum. sandstones dengan sisipan limestone dan coal
Laju alir optimum (Qopt) harus bernilai lebih besar beds. Pada lapisan ini perlu ditambahkan zat
dari laju alir minimum (Qmin) dan lebih kecil dari lubrikator seperti Tim-Lube untuk membantu
laju alir maksimum (Qmax). Dari optimasi laju alir lubrikasi pipa bor. Pada selang trayek 8-1/2” ini
(Qopt) dan ukuran nozzle (TFAopt) akan juga menggunakan sistem lumpur KCl-Polimer
menghasilkan tekanan pompa optimum. Tekanan ini PHPA. Berat yang digunakan berkisar 1.15 – 1.25
haru s bernilai lebih kecil dari tekanan pompa SG. Formasi yang ditembus adalah formasi Baturaja
maksimum yang tersedia, sehingga daya yang (massive limestone), Pendopo (claystones), dan
bekerja pada pompa (HPs) bernilai lebih kecil dari Talang Akar (sandstones dan claystones). Formasi
daya maksimum pompa. Pada trajectory 12-1/4” Air Benakat sampai dengan Talang Akar
diperoleh harga laju alir optimum (Qopt) berkisar mempunyai tipe firm shale sampai dengan hard
antara 600 – 650 gpm, TFA nozzle optimum shale. Dimana pada tipe firm shale mempunyai nilai
sebesar 0.47 – 0.66 in2, dan menghasilkan Horse MBT yaitu 10 – 20 meq/100gr dengan tipe clay
Power per Square Inch (HSI) sebesar 2.2 – 5.58 illite. Sedangkan tipe hard shale mempunyai nilai
hp/in2. Sedangkan pada trajectory 8-1/2” diperoleh MBT berkisar 3 – 10 meq/100gr dengan tipe clay
harga laju alir optimum (Qopt) berkisar antara 400 illite dan campuran smectite. Clay jenis illite
– 550 gpm, TFA nozzle optimum sebesar 0.27 memiliki sifat sedikit menyerap air dibandingkan
tipe montmorillonite yang memiliki sifat sebaliknya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa jenis clay ini padatan rendah, viskositas efektif yang cukup, daya
tidak terlalu reaktif terhadap sistem lumpur yang hidrolika pada pahat yang cukup tinggi, laju tapisan
digunakan, yaitu lumpur berbahan dasar air yang terkontrol, diharapkan akan meningkatkan laju
(water base mud). Sehingga dengan menggunakan pemboran, memperpanjang usia pahat, dan membor
sistem lumpur KCl-Polimer PHPA, diharapkan lubang dengan tidak banyak masalah.
cukup untuk digunakan pada kegiatan pemboran
trayek lubang 12-1/4” dan 8-1/2”. Selain itu, zat Sistem lumpur polimer yang digunakan pada sumur
lubrikator juga perlu ditambahkan ke dalam sistem X1 adalah KCl- Polimer yang ditambah dengan
lumpur pada trayek lubang ini. shale inhibitor, sehinga menjadi KCl-Polimer
PHPA. Selain zat shale inhibitor sistem lumpur ini
Jika ditinjau dari sudut ekonomi, lumpur bor yang juga terdiri berbagai komposisi seperti pada tabel
efektif adalah yang menghasilkan biaya total kebutuhan material tiap trayek lubang. Hal ini
pemboran yang paling rendah dan diimbangi dengan dikarenakan setiap trayek memiliki masalah
hasil yang terbaik di dalam mengevaluasi formasi pemboran yang berbeda-beda. Karena masalah pada
dan terjaganya potensi produksi. Lumpur dengan setiap trayek berbeda-beda, maka pemakaian (dosis)
biaya terendah bisa jadi bukan yang paling efektif yang digunakan juga berbeda.
dan ekonomis. Lumpur polimer dengan kadar
Sari
Dalam operasi pemboran masalah hilang sirkulasi adalah suatu masalah yang harus segera
ditanggulangi karena dapat menyebabkan kerugian biaya pemboran. Untuk mengatasi
masalah loss pada operasi pemboran biasanya dilakukan dengan menambahkan Loss
Circulation Material (LCM) kedalam sistem lumpur pemboran untuk menutup rekahan
atau pori yang ada pada formasi batuan. Jenis LCM yang biasa digunakan ada 4 macam
yaitu: bahan fibrous (berserat), flaky (bersepih), granular (berbutir) dan slurries (bubur).
Ampas tebu merupakan bahan LCM jenis fibrous yang dapat menutup rekahan atau pori
batuan sehingga sirkulasi lumpur menjadi normal, dimana LCM tersebut dapat
menghambat masuknya fluida lumpur masuk ke formas batuan. Dengan menambah ampas
tebu kedalam sisitim lumpur selain nenutup zona berpori diharapkan dapat pula menjaga
sifat fisik lumpur tetap stabil, artinya tidak menurunkan viskositas lumpur karena ampas
tebu juga dapat berfungsi sebagai viscosifier sehingga dapat mempertahankan viskositas
lumpur dan bahkan menaikkan viskositas serta menurunkan fitrat loss. Dari hasil
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan ampas tebu sebagai bahan LCM
dipakai untuk menutup zona loss dan dapat mempertahankan sifat rheologi lumpur.
Abstract
In drilling operations the problem of circulatory loss is a problem that must be addressed
as it may cause drilling cost loss. To solve the problem of loss in drilling operations is
usually done by adding Loss Circulation Material (LCM) into the drilling mud system to
cover the fractures or pores present in the rock formations. Types of LCM commonly used
there are 4 kinds: fibrous material (fibrous), flaky (split), granular (granular) and slurries
(porridge). The bagasse is a fibrous LCM material that can close the fracture or rock pore
so that the mud circulation becomes normal, where the LCM can inhibit the entry of mud
fluids into rock formations. Adding the bagasse to the sludge system in addition to
covering the porous zone is expected to keep the mud's physical properties stable, meaning
that it does not decrease the viscosity of the mud because the bagasse can also function as
a viscosifier to maintain the viscosity of the mud and even increase the viscosity and
decrease the fitrat loss. From the results of this study it can be concluded that the use of
bagasse as LCM material is used to cover the loss zone and can maintain the mosaic
rheological properties
Bahan Fibrous mencakup hal-hal seperti Satu masalah dengan LCM konvensional
serat kapas, sekam biji kapas, sekam adalah bahwa mereka tidak benar-benar
padi, ban mobil bekas, serat kayu, serbuk efektif dalam menutup bukaan dan
gergaji, dan bubur kertas. Bahan-bahan mencegah hilangnya fluida pengeboran,
ini memiliki sedikit kekakuan dan atau mungkin kemudian tercabut dan
menghambat sirkulasi yang hilang memungkinkan kehilangan fluida lebih
dengan dipaksa masuk bukaan-bukaan banyak. Masalah lain adalah bahwa
beberapa materi yang lebih efektif dasar air dibagi menjadi dua macem,
cenderung relatif mahal. yaitu: lumpur dengan bahan dasar air
tawar (fresh water-based mud atau yang
Dengan demikian, ada kebutuhan untuk dikenal dengan sebutan water-based
sebuah LCM yang rendah biaya dan mud) dan lumpur dengan bahan dasar air
efektif dalam mencegah kehilangan asin (salt water-based mud). Jenis
fluida pengeboran dan yang memiliki lumpur berbahan dasar air yang
kecenderungan berkurang untuk tertiup digunakan di dalam penelitian adalah
dan akan hilang ketika ditambahkan lumpur dengan bahan dasar air tawar. Di
melelui mud hopper. Penelitian ini dalam penelitian ini, ada dua sistem
membahas masalah tersebut dalam hal lumpur yang dianalisis, yakni water-
memanfaatkan bahan yang menggunakan based mud tanpa LCM (yang selanjutnya
Ampas Tebu. akan disebut sebagai lumpur dasar),
water-based mud dengan Ampas Tebu
1.2 Identifikasi sebagai LCM (yang selanjutnya akan
Masalah disebut sebagai lumpur sistem).
Pada penelitian ini menjelaskan langkah- Pada setiap konsentrasi lumpur air tawar,
langkah yang dilakukan pada percobaan diteliti sifat fisik dan sifat kimianya saat
di laboratorium dalam studi pemanfaatan dilakukan penambahan kedua bahan
Ampas Tebu sebagai bahan Lost LCM, yakni Ampas Tebu sebanyak tiga
Circulation Materials (LCM) macem (2 gram, 4 gram, dan 6 gram).
pengaruhnya terhadap sifat rheologi
lumpur. 1.3 Maksud dan Tujuan
Mengetahui apemanfaatan Ampas Tebu
Penelitian yang dilakukan di sebagai Lost Circulation Materials
laboratorium bertujuan untuk mengetahui (LCM) pada proses sirkulasi fluida
ke efektifan ampas tebu sebagai bahan pemboran.
LCM, berdasarkan harga water loss yang
didapat pada saat penelitian serta sifat- 1.4 Metode yang Digunakan
sifat fisik lumpur bor berbahan dasar air Metode yang digunakan untuk
tawar yang digunakan sebagai variable mengetahui pemanfaatan Ampas Tebu
kontrol serta perbandingan dari tingkat ini adalah dengan melakukan penelitian
ke efektifan Ampas Tebu peranannya di Laboratorium dengan menggunakan
sebagai LCM . salah satu jenis lumpur, lumpur
pemboran dapat dibagi menjadi beberapa
Sifat-sifat lumpur pemboran yang di teliti jenis, salah satunya adalah lumpur
pada percobaan ini adalah berat jenis berbahan dasar air (Water Based Mud).
lumpur (mud weight), funnel viscosity, Lumpur berbahan dasar air di bagi
plastic viscosity, yield point, apparent menjadi lumpur dengan air tawar dan
viscosity, gel strength, water loss, mud lumpur dengan air asin. Dalam
cake, dan pH filtrate. melakukan kegiatan pemboran lumpur
yang sering digunakan adalah lumpur
Pada dasarnya, lumpur pemboran terdiri dengan bahan dasar air, hal ini
dari tiga jenis, yakni lumpur berbahan disebabkan lumpur dengan berbahan
dasar air (water-based mud), lumpur dasar air mudah sekali didapat dan
berbahan dasar minyak (oil-based mud), harganya relatif lebih murah dari pada
dan lumpur berbahan dasar gas (gaseous lumpur berbahan dasar minyak atau gas.
drilling fluid). Lumpur yang digunakan Lumpur yang digunakan di dalam
pada penelitian ini adalah lumpur
berbahan dasar air. Lumpur berbahan
dengan jumlah yang beragam (2 gram, berupa Ampas Tebu (bubuk serabut tebu) dalam
4 gram, dan 6 gram) pada lima kondisi menanggulangi lost circulation serta pengaruh
terhadap sifat Rheologi lumpur air tawar.
yang berbeda. Adapun komposisinya Data-data yang diperoleh merupakan hasil
adalah: dari percobaan yang dilakukan dengan
menggunakan empat sistem lumpur yang
Tabel 3.2 berbeda-beda komposisinya. Keempat sistem
Komposisi Sistim Lumpur Dasar lumpur tersebut adalah lumpur dasar, lumpur
dengan bubuk serabut tebu sebagai LCM
Air Tawar yang berdasarkan jumlah LCM yang
digunakan dibagi menjadi tiga sistem (2
Bahan Jumlah (gr) gram, 4 gram, 6 gram). Semua sistem lumpur
A B C D tersebut diuji pada kondisi temperature
Fresh water 344,5 344,5 344,5 344,5 berkisar antara 83°F sampai dengan 250°F.
NaOH 1,26 1,26 1,26 1,26 Tujuan dari perubahan temperature tersebut
Soda Ash 0,5 0,5 0,5 0,5 adalah untuk mengetahui pengaruh perubahan
Bentonite 18,75 18,75 18,75 18,75 temperature terhadap lumpur pada saat
sebelum dan sesudah ditambahkan LCM.
CMC-LV 1,6 1,6 1,6 1,6
CMC-HV 1 1 1 1
XCD 3,5 3,5 3,5 3,5 4.1 Berat Jenis Lumpur (Density)
Ampas Tebu 0 2 4 6 Berat jenis lumpur adalah berat lumpur per
satuan volume yang antara lain dinyatakan
oleh satuan pounds/cubic foot, pounds/gallon
Penelitian yang dilakukan meliputi : dan gr/cc. Hasil pengukuran berat jenis
pembuatan lumpur sesuai dengan lumpur bahan dasar air tawar dengan
komposisi yang telah di rencanakan, penambahan Ampas Tebu dan kenaikan
penentuan berat jenis dari setiap sistem temperature tertulis pada tabel 4.1 berikut.
lumpur, penentuan viskositas lumpur,
Tabel 4.1 Densitas dengan Penambahan
penentuan yield point lumpur, penentuan Ampas Tebu Terhadap Temperature
plastic viscosity lumpur, penentuan
apparent viscosity lumpur, penentuan
laju tapisan (water loss) lumpur, serta
penentuan pH lumpur.
3.2 Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam
penelitian ini :
1. Gelas Ukur
2. Timbangan Digital
3. Mixer 4.2 Hasil Pengukuran Viskositas
4. Mud Balance
Seperti diketahui, viskositas lumpur memegang
5. Marsh Funnel peranan penting untuk mengangkat dan menahan
6. Viscometer (Fan V.G. Meter) serbuk bor di dalam suatu lumpur bor, viskositas
7. Filter Press lumpur pemboran tergantung pada konsentrasi,
8. pH Meter kualitas dan sifat dispersi partikel-partikel yang
tersuspensi. Kemampuan membersihkan dasar
BAB IV ANALISIS PERUBAHAN SIFAT- lubang bor, pengangkatan serbuk bor dan laju
penembusan akan meningkat jika lumpur
SIFAT FISIK WATER BASED MUD
mempunyai sifat gesekan. Viskositas lumpur ini
DENGAN PENAMBAHAN LCM diukur dengan menggunakan Mars Funnel. Hasil
Pada bab ini, akan dibahas mengenai hasil pengukuran viskositas lumpur dapat dilihat pada
percobaan yang telah dilakukan di laboratorium, tabel di bawah ini.
dimana tujuan dari percobaan-percobaan yang
telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari
penambahan bahan Lost Circulation Materials
Tabel 4.2 Viskositas dengan Penambahan Gel strength adalah suatu daya pembentuk agar
Ampas Tebu Terhadap Temperature dari suatu fluida pada kondisi static, sifat ini
menunjukkan kemampuan lumpur didalam
menahan atau mengapungkan serpih bor pada
saat tidak ada. Di waktu lumpur berhenti
melakukan sirkulasi, lumpur harus mempunyai
gel strength yang dapat menahan serbuk lumpur
bor dan material pemberat lumpur agar tidak
turun. Akan tetapi jika gel strength terlalu tinggi
akan menyebabkan kerja pompa terlalu berat
4.3 Plastic Viscosity (PV) untuk memulai sirkulasi kembali.
Gel strength 10 detik dan gel strength 10 menit
Partikel padatan yang non aktif dapat juga memiliki maksud yang berbeda yaitu kemampuan
menimbulkan kenaikan viskositas. Maka saat menahan serbuk bor pada saat pompa
untuk mengetahui pengaruhnya terhadap berhenti merupakan fungsi dari gel strength 10
sifst-sifat lumpur, diukurlah harga plastic menit sedangkan kemampuan untuk menahan
viscosity-nya. serbuk bor pada saat sirkulasi berhenti
Jadi plastic viscosity ini adalah suatu tahanan merupakan fungsi dari gel strength 10 detik.
terhadap aliran yang disebabkan oleh adanya Dibawah ini ditampilkan hasil data percobaan gel
gerakan-gerakan antara padatan-padatan di strength 10 detik dan 10 menit :
dalam lumpur, padatan-cairan dan gesekan
antara lapisan cairan. Hasil analisa dari Tabel 4.5 Gel Strength 10 sec. dengan
plastic viscosity di laboratorium dapat dilihat Penambahan Ampas Tebu dan Temperature
pada tabel 4.3 berikut
Tabel 4.7 Water Loss dengan Penambahan Tabel 4.9 H Filtrate dengan Penambahan
Ampas Tebu dan Temperature Ampas Tebu Terhadap Temperature
Temperatur pH Filtrate
Temperatur Water Loss 30 Menit 100 psi (cc) (°F)
Dasar
(°F) Dasar B C D
(A)
B C D (A)
83 6.6 5.4 5.0 4.2 83 10.5 10,2 9,7 9,5
250 8.8 6.4 5.8 5.2
250 9,7 9,5 9,2 9,0
BAB V PEMBAHASAN
4.5 Hasil Pengukuran Mud Cake Dalam bab ini dibahas mengenai analisa dari
hasil pengamatan penelitian-penelitian yang telah
Pengukuran mud cake menurut standar API dilakukan dalam studi pemanfaatan bubuk
dilakukan dengan tekanan 100 psi dan waktu Ampas Tebu sebagai LCM pada proses sirkulasi
selama 30 menit pada suhu ruangan. Pada water based mud melalui percobaan di
tabel berikut ini adalah data dari pengamatan Laboratorium Teknik Pemboran & Produksi.
percobaan untuk mud cake yang dihitung di
laboratorium : Terlebih dahulu perlu dijelaskan bahwa
penggunaan lumpur dasar yang tidak
Tabel 4.8 Tebal Mud Cake dengan menggunakan LCM di dalam Penelitian ini
Penambahan Ampas Tebu Terhadap berfungsi sebagai variabel kontrol yang akan
Temperature memperlihatkan sejauh mana perubahan-
perubahan yang terjadi pada parameter-parameter
Temperatur Mud Cake (mm) dari lumpur yang diteliti sehingga dapat
(°F) Dasar mengtabelkan efektivitas dari bahan-bahan yang
B C D digunakan sebagai LCM.
(A)
83 0.1 0.2 0.3 0.5 Pada percobaan juga dilakukan perubahan suhu
dengan cara dipanaskan. Hal ini perlu untuk
250 0.5 0.7 1 1.2 dilakukan karena pada kondisi di lapangan
semakin dalam formasi yang akan ditembus
4.6 Hasil Pengukuran pH maka suhu formasi juga semakin meningkat.
pH adalah pengukuran nilai keasaman atau Dengan meningkatnya suhu formasi tersebut
kebasaan suatu lumpur. Keasaman memiliki pH maka akan mempengaruhi keseimbangan dari
dari 1 sampai dengan 7. pH menyatakan lumpur pemboran.
konsentrasi dari gugus hidroksil (OH⁻) yang
terdapat dalam lumpur yang mempengaruhi Pada saat lumpur dalam keadaan diam, maka
kereaktifan bahan-bahan kimia yang digunakan semakin bertambah tinggi suhunya akan semakin
dalam lumpur. tinggi juga daya untuk menjadi gel dan
penggumpalan gel dalam batas tertentu dapat
Sedangkan nilai pH = 7 adalah netral, lumpur bor diatasi dengan mengaduk lumpur hingga encer
harus bersifat basa karena akan mudah bereaksi kembali.
dibandingkan dengan lumpur saat bersifat asam.
Apabila lumpur bersifat asam akan menimbulkan Lumpur pemboran yang digunakan di dalam
korosif pada rangkaian pipa bor serta alat-alat percobaan memiliki densitas yang bernilai
pemboran lainnya hal ini akan menyebabkan sebesar 8.5 ppg pada suhu 83°F dan mengalami
kerapuhan pada rangkaian tersebut sehingga akan kenaikan seiring dengan kenaikan temperatur
mengurangi dari waktu pemakaian rangkaian dari sampai 8.65 ppg pada suhu 250°F sebelum di
alat-alat pemboran tersebut. Berikut adalah tabel tambahkan dengan bahan LCM (Ampas Tebu).
hasil pengukuran harga pH di laboratorium : Densitas ini perlu diukur untuk mengetahui
tekanan hidrostatik kolom lumpur untuk tiap
kedalaman. Dengan adanya kenaikan ini, maka
dapat dipastikan tekanan hidrostatik kolom
lumpur akan meningkat seiring bertambahnya
kedalaman sumur. Tekanan hidrostatik yang
terlalu besar pun juga tidak bagus karena dapat
beresiko akan mengakibatkan formasi pecah dan
lumpur hilang ke dalam formasi. Sedangkan dalam hal ini semakin kecil water loss yang
ketika lumpur ditambahkan dengan LCM, berat dihasilkan berarti semakin kecil pula masalah
jenis lumpur cenderung mengalami kenaikan yang mungkin terjadi pada operasi pemboran
pada suhu 83°F namun berbanding terbalik yaitu dalam hal kemungkinan terjadinya
dengan kenaikan temperature karena berat jenis pengembangan formasi yang mengandung shale
lumpur menurun setelah dipanaskan hingga suhu yang dapat menyebabkan terjepitnya pipa
250°F karena kekentalan lumpur berkurang. rangkaian pemboran dan atau terjadinya
kerusakan formasi hidrokarbon, dimana batas
Dari tabel 4.1 dapat dilihat bahwa berat jenis toleransi untuk pemboran formasi hidrokarbon
(densitas) lumpur setelah ditambahkan bubuk maksimal mempunyai water loss 6 cc/30 menit.
Ampas Tebu sebagai LCM menurun setelah Ketebalan mud cake pada akan bertambah
dipanaskan hingga suhu 250°F. Pada tabel apabila penambahan ampas tebu semakin besar
terlihat bahwa penambahan bubuk Ampas Tebu dan juga semakin besar dengan adanya kanaikkan
sebanyak 2 gram tidak menghasilkan penurunan temperatur. Pada tabel 4.8 terlihat bahwa
berat jenis secara signifikan pada suhu 83°F, penambahan ampas tebu sebesar 6 gram pada
namun berat jenis terus menurun seiring kenaikan terperatur 250 F mempunyai harga mud cake
temperature. Begitu juga dengan lumpur sebesar 1,2 mm, dalam hal ini cukur besar
komposisi C dan D yang ditambahkan bubuk apabila dilihat dari strandar lumpur water base
Ampas Tebu sebagai LCM dengan jumlah yang mud yaitu < 1 mm.
lebih besar mengalami trend penurunan densitas
hingga suhu 250°F namun pada kedua komposisi Hasil pengujian pH fitrate lumpur terhadap
ini berat jenis lumpur tidak menurun pada suhu penambahan ampas tebu mengalami penurunan
83°F dan justru bertambah meskipun tidak dan kenaikkan temperatur juga menurunkan
signifikan. harga pH lumpur tetapi masih dalam kondisi
Viskositas lumpur dasar yang digunakan di bersifat basa yaiut masih diatas 9 (lihat tabel 4.9).
dalam percobaan dengan Marsh Funnel
mengalami penurunan seiring dengan kenaikan BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
temperature hingga 250°F. Hal ini dapat Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
dimengerti karena pada hakikatnya, suatu zat cair di Laboratorium serta bab-bab yang telah dibahas
apabila dipanaskan akan menjadi semakin encer. di dalam penelitian ini hanya sampai viskositas
Namun, berkurangnya viskositas ini juga perlu maka di dapat kesimpulan bahwa :
diperhatikan karena apabila viskositas lumpur 1. Penambahan ampas tebu pada lumpur water
menjadi terlalu kecil maka pengangkatan serbuk base mud dapat menaikkan densitas lumpur
bor akan menjadi kurang sempurna dan dapat krn densitas ampas tebu besar dari pada berat
mengakibatkan serbuk bor tertinggal di dalam lumpur tesebut. Kenaikkan densitas akan
lubang bor sehingga menyebabkan rangkaian menurun pada temperatur 250 F tetapi masih
pipa pemboran akan terjepit. batas toleran untuk digunakan krn masi diatas
8,33 ppg.
Penambahan ampas tebu secara signifikan tidak 2. Sifat viskositas lumpur akan bertambah
begitu berpengaruh terhadap harga Yield point, dengan adanya penambahan ampas tebu
untuk pengujian pada temperatur 250 F terjadi untuk temperatur ruangan tetapi pada
penurunan harga Yield Point tetapi masih barada temperatut tinggi semakin banyak
pada kondisi aman untuk mengangkat serpihan penambahan ampas tebu akan semakin
serbuk bor. menurun harga viskositasnya, hal ini
dikarenakan pada temperatur tinngi sifat
Fungsi Gel Strength pada lumpur pemboran polymernya akan rusak pada temperatur 250
adalah untuk menahan serpihan bor pada saat F.
pemboran berhenti, dilihat dari pengujian 3. Pada sifat Yield Point penabahan ampas tebu
penambahan ampas tebu pada lumpur B, yaitu akan menaikkan harga YP hanya pada
penambahan sebesar 4 gram sudah merupakan penambahan 2 gr, sedangkan penamnaha 4
batas maksimal, karena pada lumpur C pada dan 6 gram akan menurunkan harga YP.
pengujian 250 F sudah tidak mampu lagi untuk Tetapi masih dalam batas toleransi untuk
berfungsi sebagai penahan serpihan bor karena dapat digunakan, yaitu masih diatas 11 lb/100
pada temparatur tersebut hasilnya pada Gel ft.
Strength 10 detik sebesar 2 lb/100 ft. Lihat tabel 4. Untuk sifat Gel Strength hanya pada
4.5.Pengukuran sifat water loss pada pengujian penambahan 2 gr ampas tebu yang masih
83 F dan 250 F pada lumpur B, C dan D hasil mempunyai nilai yang layak digunakan untuk
pengujian sangat baik, dimana harga water dipakai sebagai lumpur pemboran karena
lossnya menurun, dapat dilhat pada tabel 4.7 nilainya GS 10 sec < 3 lb/100 ft pada
temperatur 250 F. Untuk dapat digunakan 7. pH lumpur masih berada diatas 7 baik pada
sebagai lumpur pemboran maka per temperatur rendan maupun pada temperatur
ditambahkan additive penstabil tahan panas. tinggi, sehingga tidak ada pengaruh dengan
5. Laju tapsian atau water loss mempunyai harga penambahan ampas tebu karena masih besifat
yang semakin kecil dengan ditambahkan basa.
ampas tebu, hal in berarti semakin baik untuk Reference
digunakan sebagai lumpur pemboran dengan 1. AADE,” Review of Lost Circulation
harga water loss < 6 cc/30 menit. Materials and Treatment With or Update
6. Nilai Mud Cake cukup besar untuk lumpur D Classification “, Houston, Texas,2014.
pada temperatur 250 F, yaitu 1,2 mm, hal ini 2. Bourgoyne, Adam T. And Keith K.
kurang baik digunakan karena dapat Millhen,”Aplied Drilling Engineering” SPE,
memperkecil clereance antara dinding lubang Texas, 1986.
dengan pipa pemboran. 3. Hanbook of Drilling Fluid, Seomi Oil Tool,
Kuala Lumpur, 2011.
Abstrak
Batuan karbonat merupakan salah satu batuan yang sangat bagus sebagai batuan reservoar, namun batuan ini
memiliki tingkat heterogenitas yang sangat tinggi dibandingkan dengan batupasir sehingga memerlukan
pendekatan dengan melakukan rock typing. Pada umumnya, indentifikasi rock type membutuhkan hasil
pengukuran dari core dengan menggunakan beberapa metode yang telah ada. Namun, pada sumur-sumur
yang tidak memiliki data core sangat sulit untuk menerapkan metode tersebut. Penelitian ini dilakukan dalam
upaya untuk menentukan Hydraulic Flow Unit (HFU) reservoar pada sumur yang memiliki data core dengan
menggunakan parameter Flow Zone Indicator (FZI) dan metode regresi non-parametrik yang disebut
Alternating Conditional Expectation (ACE) pada sumur yang tidak memiliki data core. Dari hasil penelitian,
reservoar pada lapangan RN dapat dikelompokkan menjadi delapan flow unit. Delapan flow unit tersebut
masing-masing memiliki permeabilitas sebagai fungsi dari porositas yang telah divalidasi dengan
mengaplikasikannya pada sumur. Dengan menggunakan metode ACE, kita dapat menentukan Hydraulic
Flow Unit pada sumur yang tidak memiliki data core dengan menggunakan data log. Setelah FZI dihitung
dari data log dan divalidasi dengan data core terlihat bahwa hasil dari metode tersebut menghasilkan korelasi
yang cukup baik (R2 = 0.84), sehingga metode tersebut cukup dapat diaplikasikan pada sumur-sumur yang
tidak memiliki data core.
Kata kunci: Alternating Conditional Expectation (ACE), Flow Zone Indicator (FZI), Hydraulic Flow Unit
(HFU), rock type
Abstract
Carbonate rocks is one of the rocks were very good as reservoir rocks, but these rocks have a very high
degree of heterogeneity compared with sandstones that require new approaches to doing rock typing. In
general, identification of rock type requires the measurement of the core by using some of the methods that
have been there. However, the wells that does not have a core data is very difficult to apply these methods.
This research was conducted in an effort to determine reservoir Hydraulic Flow Unit (HFU) on wells that
have core data by using the Flow Zone Indicator (FZI) parameter and non-parametric regression method
called Alternating Conditional Expectation (ACE) in the wells that does not have the core data. From the
research, the reservoir on the RN field can be grouped into eight flow units. The flow unit each have a
permeability as a function of porosity has been validated by applying it to the well. By using ACE, we can
determine Hydraulic Flow Unit on wells that does not have core data by using log data. After FZI calculated
from the log data and core data is validated to be seen that the results of these methods produce a fairly good
correlation (R2 = 0.84), so the method is quite applicable to wells that does not have the core data.
Kata kunci: Alternating Conditional Expectation (ACE), Flow Zone Indicator (FZI), Hydraulic Flow Unit
(HFU), rock type
PENDAHULUAN PERMASALAHAN
Pada umumnya, indentifikasi rock type Dalam penelitian ini, permasalahan yang dibahas
membutuhkan hasil pengukuran dari core dengan adalah mengenai karakteristik batuan karbonat
menggunakan beberapa metode yang telah ada. dan penentuan Hydraulic Flow Unit pada sumur
Namun, pada sumur-sumur yang tidak memiliki yang tidak memiliki data core.
data core sangat sulit untuk menerapkan metode
tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini akan METODOLOGI
menentukan Hydraulic Fow Unit pada sumur- Hydraulic Flow Unit adalah suatu bagian dari
sumur yang tidak memiliki data core. reservoir yang dapat dipetakan dan memiliki
sifat-sifat geologi dan petrofisika yang konsisten
dan berbeda dari bagian reservoir yang lain dalam
mengontrol aliran fluida (Ebanks, 1987). Konsep
Hydraulic Flow Unit dengan menggunakan dependen Y (FZI) dan variabel independen X1, ...,
parameter Flow Zone Indicator (Amaefule et al., Xp (log sumur). Hal ini didapat melalui
1993) dipilih untuk mengelompokkan rock type. transformasi non-parametrik dari variabel
dependen dan independen. Non-parametrik
Teknik ini adalah modifikasi dari persamaan menyiratkan bahwa tidak ada bentuk fungsional
Kozeny-Carman (1937) (1) dengan membagi yang diasumsikan antara variabel dependen dan
persamaan tersebut dengan porositas efektif (2) : independen dan transformasi yang dihasilkan
semata-mata berdasarkan dari data tersebut.
1 ∅𝑒 2
𝐾= 2 .…………….……..(1)
2𝜏2𝑆𝑔𝑣 (1−∅𝑒 )2 HASIL DAN ANALISIS
Pendekatan plot probabilitas digunakan dalam
𝐾 1 ∅
�∅ = �𝐹𝜏2 𝑆 2 � �(1−∅𝑒 )�………….....(2) penelitian ini sebagai mekanisme untuk
𝑒 𝑔𝑣 𝑒 mengelompokkan data core ke dalam kelompok
flow unit yang sesuai. Dengan metode ini
dimana K adalah permeabilitas (mD), ∅𝑒 adalah didapatkan delapan HFU (Gambar 1).
porosiras efektif (fraksi), 𝜏 adalah tortuosity, dan
Sgv adalah luas permukaan butir yang terkena
fluida per satuan volume bahan padat.
𝐾
𝑅𝑄𝐼 = 0.0314� …………………...(3)
∅𝑒
dimana RQI adalah Rock Quality Index (µm)
∅
∅𝑧 = 1−∅𝑒 ………………...……………(4)
𝑒
dimana ∅𝑧 adalah index porositas yang telanh Gambar 1. Plot probabilitas FZI
Kemudian plot ∅𝑧 vs RQI untuk melihat
dinormalisasikan.
sebaran data yang membentuk suatu garis lurus
1 𝑅𝑄𝐼 sesuai dengan nilai FZI pada masing-masing HFU
𝐹𝑍𝐼 = = …………………(5) (Gambar 2).
�𝐹𝑠 𝜏𝑆𝑔𝑟 ∅𝑧
………………………………………….…..…(9)
Gambar 6. Validasi hasil perhitungan pada sumur
NR-43
Well Log Data, 7th International Conference & Z Gas Deposit at The Carpathian Foredeep,
Exposition on Petroleum Geophysics, 2008. Dissertation, Department of Geophysics,
• [5] Deghirmandjian, O., 2001, Identification Faculty of Geology, Geophysics and
and Characterization of Hydraulic Flow Units Environment Protection, AGH University of
in The San Juan Formation, Orocua Field, Science and Technology, Poland, 2011.
Venezuela, Thesis, Petroleum Engineering • [9] Xue, G., Datta-Gupta, A., Valko, P. and
Major, Texas A&M University, 2001. Blasingame, T.: Optimal Transformations for
• [6] Dewan, T.J., 1983, Essential of Modern Multiple Regression: Aplication to
Open-Hole Log Interpretation, Pennwell Permeability Estimation from Well Logs, SPE
Publishing Company, Tulsa-Oklahoma, USA, formationevaluation (June 1997) 12(2), 85-93
1983.
• [7] Izadi, M., 2013, A New Approach in
Permeability and Hydraulic Flow Unit
Determination, SPE Journal, SPE-151576-PA,
August 2013.
• [8] Quang, M.H., 2011, Integrated Reservoir
Characteristic for Fluid Flow Modeling of The
ABSTRAK
Metode analisis yang digunakan untuk mengevaluasi kinerja sumur minyak dengan tujuan
melakukan analisis dan evaluasi kinerja pada sumur minyak meliputi antara lain metoda empirik, metoda
analitik dan metoda numerik atau kombinasi ketiga metoda tersebut yang dapat menghasilkan type curves.
Penelitian ini mengangkat permasalahan kondisi reservoir komposit dengan batas sumur yaitu laju alir
produksi konstan dan batas luar adalah infinite acting dimana type curves yang terbentuk dihasilkan dari
penurunan analitis yang dihasilkan dari persamaan difusivitas. Uji sensivitas dilakukan dengan merubah
parameter jari-jari discontinuity, rasio mobility, storativity dan skin pada lubang sumur. Type curves yang
dihasilkan dapat digunakan untuk menginterpretasikan log-log type curve matching dari reservoir komposit.
Kata Kunci: reservoir komposit, type curved, analitik, infinite acting, laju produksi konstan, mobility,
storativity, skin.
ABSTRACT
The analytical methods used to evaluate the performance of oil reservoir for the purpose of
analyzing and evaluating the performance of oil wells are empirical methods, analytical methods and
numerical methods or combinations of the three methods which can produce type curves. This study
discusses the problem of composite reservoir conditions with constant production flow rate well boundary
and infinite acting outer boundary where type curves formed are resulted from analytical dissemination from
diffusivity equation. Sensitivity test is done by changing the parameters of discontinuity radius, mobility
ratio, storativity and skin in wellbore. The type curves generated can be used to interpret the log-log type
curve matching of the composite reservoir.
Key Word: composite reservoir, type curved, analytic, infinite acting, mobility, storativity, skin.
𝐶11
𝜆𝐾1 �𝑅𝐷√𝑠� �𝜂 𝐾0�𝑅𝐷√𝑠� 𝐾1� 𝑅𝐷�𝜂𝑠�
� − �
𝑠√𝑠𝐾1 �√𝑠� 𝑠√𝑠𝐾0�𝑅𝐷�𝜂𝑠�𝐾1�√𝑠�
=
�𝜆𝐾1 �𝑅𝐷√𝑠�𝐼1�√𝑠�� �𝜂 𝐾1� 𝑅𝐷�𝜂𝑠� 𝐾0 � 𝑅𝐷√𝑠�𝐼1�√𝑠�
�𝜆𝐼1 �𝑅𝐷√𝑠�� − � �+� �𝐼0�𝑅𝐷√𝑠� + � ���
𝐾1 �√𝑠� 𝐾0�𝑅𝐷�𝜂𝑠� 𝐾1 �√𝑠�
menggunakan Kondisi Batas Luar Tekanan 7. Permadi, A.K et al, (1998): Modeling
Tertentu, Tugas Akhir, Jurusan Teknik Simultaneous Oil and water Flow in
Perminyakan, ITB, Bandung. Reservoirs with Water Influx or Water
3. De Jong, M., (2007): Pengembangan Decline Injection Using Single-Phase Semi-Analytical
Type Curves Untuk Reservoir Dengan Strong Solutions, SPE 39755, Kuala Lumpur,
Water Influx menggunakan Prescribed Malaysia.
Limiting Pressure Sebagai Kondisi Batas 8. Permadi, A.K et al, (1997): Modeling
Reservoir-Aquifer, Tugas Akhir, Jurusan Simultaneous Oil and water Flow with Single-
Teknik Perminyakan, ITB, Bandung. Phase Analytical Solution, Ph.D, Dissertation,
4. Demski, Jay A., (1987): Decline Curve Texas A&M University at College Station,
Derivative Analysis for Homogenous and College Station, Texas.
Composite Reservoirs, Stanford University, 9. Rawati, H., (2006): Aplikasi Solusi Analitik
California. Satu Fasa Radial Pada Injeksi Air Pola 5 Titik,
5. Jumiati, Wiwiek, (2011): Pengembangan Tugas Akhir, Jurusan Teknik Perminyakan,
Solusi Analitik dan Type Curves Model ITB, Bandung.
Reservoir Komposit untuk Kasus Laju 10. Turki, L. et al, (1986): Decline Curve
Produksi Konstan., Tesis, Jurusan Teknik Analysis in Composite Reservoirs, Stanford
Perminyakan, ITB, Bandung. University, SPE 19316, Californ
6. Permadi, A. K., (2004): Diktat Teknik
Reservoir, Vol 2, Fakultas Teknik
Perminyakan, Institut Teknologi Bandung.
Abstrak
Penurunan laju produksi merupakan salah satu dampak yang dapat terjadi akibat adanya kerusakan formasi
disekitar lubang sumur. Kerusakan formasi pada sumur yang menjadi objek penelitian pada sumur SIB 1, SIB 2
dan SIB 3 disebabkan oleh clay yang mengembang. Stimulasi KOH dilakukan untuk meningkatkan kembali
produksi sumur SIB 1, SIB 2 dan SIB 3. KOH dipilih karena KOH dapat menstabilkan clay sehingga pori-pori
yang terhalang oleh clay swelling dapat mengalirkan kembali fluida sehingga meningkatkan kembali laju alir
produksi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keberhasilan dan peningkatan laju alir produksi setelah
pelaksanaan stimulasi KOH. Analisis keberhasilan stimulasi KOH dapat diketahui dengan membandingkan laju
alir produksi minyak (Qo), productivity index (PI), dan kurva inflow performance relationship (IPR) sebelum
dan sesudah stimulasi KOH. Pelaksanaan stimulasi KOH berhasil pada sumur SIB 1, SIB 2 dan SIB 3. Hal ini
ditandai dengan adanya peningkatan laju alir produksi minyak dan productivity index (PI). Peningkatan laju alir
produksi minyak pada sumur SIB 1 adalah 227.8 %, SIB 2 adalah 111.86 % dan SIB 3 102.9 %. Sedangkan
peningkatan nilai productivity index (PI) pada sumur SIB 1 adalah 96.3%, SIB 2 40.86% dan SIB 3 24.05%. Q
max sumur SIB 1 meningkat 99.1 %, SIB 2 40.68% dan SIB 3 meningkat sebesar 24.18%.
Kata kunci: Stimulasi KOH, swelling clay, Productivity index, inflow performance relationship
Abstract
Declining of poroduction rate is one of the impact that caused by skin around wellbore. Formation damage in
well that being object in this research in Well SIB 1, SIB 2, and SIB 3 caused by clay swelling. KOH
stimulation is done to increase well production rate in SIB 1, SIB 2, and SIB 3. KOH is selected because it can
be used to stabilize the clay, so the pores that are blocked by clay swelling can flow the fluid and increase oil
production rate. Aim of this research is to analyze the success and enhancement of the flow rate of production
after the implementation of KOH stimulation. The analysis of KOH stimulation can be known by comparing oil
production rate (Qo), productivity index (PI), and inflow performance relationship (IPR) before and after KOH
stimulation. Implementation of KOH stimualtion succeed in well SIB 1, SIB 2, and SIB 3. This is can be known
by increasing of oil production rate and productivity index (PI). Increasing of oil production rate in SIB 1 is
227.8 %, SIB 2 is 111.86%, and SIB 3 is 102.9%. While the increasing of productivity index in SIb 1 is 96.3%,
SIB 2 is 40.86%, and SIb 3 is 24.05%. Qmax in SIB 1 is 99.1%, SIB 2 is 40.68%, and SIB 3 increase 24.18%.
Keywords: KOH Stimulation, Swelling Clay, Productivity Index, Inflow Performance Relationship
sangat penting dalam pemilihan metode yang tepat pipih. Ukuran bervariasi, mulai dari yang
untuk stimulasi yang bertujuan untuk lebih kecil dari 1 micron sampai beberapa
meningkatkan nilai permeabilitas formasi dan micron.
meningkatkan produktifitas sumur (Schechter R.S., 3. Kaolinite
1992). Kaolinite tidak swelling pada kondisi dalam
formasi. Pengelompokkan partikel-partikel
Sumur SIB 1, SIB 2 dan SIB 3 adalah sumur yang kaolinite biasanya berbuku-buku. Bentuk
mengalami penurunan produksi akibat kerusakan partikelnya lebih teratur (persegi).
formasi. Kerusakan formasi yang terjadi pada 4. Chlorite
sumur tersebut diakibatkan oleh swelling clay. Chlorite tidak menyerap air. Bentuk partikel
Mineral clay/lempung merupakan koloid dengan adalah pipih.
ukuran sangat kecil (kurang dari 1 mikron). 5. Attapulgite
Masing-masing koloid terlihat seperti lempengan-
Attapulgite mempunyai struktur sheet yang
lempengan kecil yang terdiri dari lembaran-
tidak teratur. Unit sheet-nya berkemampuan
lembaran kristal yang memiliki struktur atom yang
melakukan pertukaran kation dan menyerap
berulang. Mineral clay (lempung) adalah mineral
molekul H2O tetapi dalam jumlah yang
sekunder yang terbentuk karena proses
terbatas sehingga derajat swelling-nya rendah.
pengerusakan atau pemecahan dikarenakan iklim
Bentuk partikel-partikelnya panjang mirip
dan alterasi air (hidrous alteration) pada suatu
jarum.
batuan induk dan mineral yang terkandung dalam
6. Mixed-layer Clay
batuan itu (Das. Braja M, 1988).
Mineral ini sesungguhnya kumpulan ikatan
Dalam terminologi ilmiah, lempung adalah mineral sejumlah unit layer dari beberapa jenis clay.
asli yang mempunyai sifat plastis saat basah, Ikatan antar layer sangat kuat. Mineral ini
dengan ukuran butir yang sangat halus dan bukan campuran partikel-partikel clay yang
mempunyai komposisi berupa hydrous aluminium tidak sejenis. Kalau campuran/kumpulan
dan magnesium silikat dalam jumlah yang besar. beberapa jenis clay mudah dipisah tetapi
Batas atas ukuran butir untuk lempung umumnya mixed-layer merupakan jenis mineral clay
adalah kurang dari 2 μm (1μm = 0.000001m), tersendiri.
meskipun ada klasifikasi yang menyatakan bahwa
batas atas lempung adalah 0.005 m (ASTM) (Das Air tawar menyebabkan mineral clay mengembang,
Braja M, 1988). clay yang berada pada permukaan batuan akan
menyumbat aliran fluida pada formasi sehingga
Air sangat mempengaruhi sifat tanah lempung, menyebabkan penurunan permeabilitas.
karena butiran dari tanah lempung sangat halus. Pengembangan clay seperti montmorillonite,
Dalam suatu partikel lempung yang ideal, muatan mengembang akibat adanya air tawar dan
positif dan negatif berada dalam posisi seimbang, menghambat aliran fluida. Partikel clay seperti
selanjutnya terjadi substitusi isomorf dan kaolinit dan illit, dapat terlepas selama air
kontinuitas perpecahan susunannya, sehingga mengalir, terutama ketika aliran salt water menjadi
terjadi muatan negatif pada permukaan partikel fresh water. Hasil dari pergerakan partikel clay
kristal lempung. Salah satu cara untuk yang akhirnya menghalangi dan membatasi pori
mengimbangi muatan negatif, partikel tanah yang terbuka, dimana mereka dapat mengurangi
lempung menarik muatan positif (kation) dari permeabilitas dan aliran fluida (Muecke, 1979).
garam yang ada di dalam air. Hal ini disebut Pengurangan permeabilitas ini disebut clay-particle
dengan pertukaran ion-ion. migration permeability damage. Clay yang
mengembang juga dapat bermigrasi saat kontak
Dadang Rukmana (2011) menjelaskan bahwa jenis dengan air tawar (Khilar, 1983).
mineral clay berdasarkan analisis kimiawinya,
yaitu : Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
1. Montmorillonite atau Smectite menaikkan kembali produksi sumur akibat swelling
clay adalah stimulasi KOH. KOH dapat
Setiap unit-unit struktur/kristal
menstabilkan clay (menyusutkan ukuran clay yang
montmorillonite yang ukurannya sekitar
mengembang ) sehingga pori-pori yang terhalang
Angstrom bisa mencapai dua kalinya pada
oleh clay swelling dapat mengalirkan kembali
kondisi terhidrasi. Derajat hidrogen (swelling
fluida sehingga dapat meningkatkan laju alir
affinity) tergantung pada jenis kationnya dan
produksi. Penerapan stimulasi KOH dapat
komposisi airnya.
dilakukan pada sandstone. Dalam menstabilkan
2. Illite
clay, KOH juga dapat diterapkan pada suhu dan
Partikel-partikel illite berbentuk panjang salinitas yang tinggi. Harga senyawa KOH juga
(rambut) dan montmorillonite berbentuk terbilang murah dan sangat ekonomis jika
Gambar 3. Grafik Laju Alir Minyak Sebelum dan Gambar 4. Grafik IPR Sebelum dan Sesudah
Sesudah Stimulasi KOH pada Sumur SIB 2 Stimulasi KOH pada Sumur SIB 2
Sebelum dilakukan stimulasi KOH diperoleh laju Pada gambar 4 terlihat nilai laju alir fluida
produksi minyak (Qo) sebesar 2.36 BOPD. Setelah maksimum (Qmaks) sebelum stimulasi 464.5
dilakukan stimulasi KOH diperoleh laju produksi BFPD dan setelah stimulasi 653.5 BFPD.
minyak (Qo) sebesar 4.98 BOPD. Laju alir c. Analisis Stimulasi KOH pada sumur SIB 3
produksi fluida (Qf) sebesar 118 BFPD dengan Stimulasi KOH pada sumur SIB 3 dilakukan pada
water cut 98 %. Setelah stimulasi laju produksi 1650’ SD di kedalaman 1510-1525 ft dengan
fluida (Qf) sebesar 166 BFPD dengan water cut 97 memompakan 200 BFW ditambah KOH dengan
%. Productivity Index sumur SIB 2 sebelum konsentrasi 2% sebanyak 26 sack.
dilakukan stimulasi adalah 0.93 BFPD/Psi. Setelah
stimulasi menjadi 1.31 BFPD/psi. Artinya sebelum Berdasarkan laju produksi sebelum dan setelah
dilakukan stimulasi, setiap 1 Psi sumur kehilangan stimulasi terhadap sumur SIB 3 didapatkan hasil
tekanan maka produksi yang dihasilkan adalah 0.93 sebelum dan sesudah stimulasi seperti yang tertera
BFPD dan setelah stimulasi menjadi 1.32 BFPD. pada gambar 5. Dari hasil pembacaan grafik jelas
Berdasarkan harga Productivity Index tersebut terlihat perbedaan yang terjadi sebelum dan
mengindikasikan adanya peningkatan kemampuan sesudah stimulasi KOH dilakukan. Sebelum
formasi untuk mengalirkan fluida. Data sumur SIB dilakukan stimulasi KOH diperoleh laju produksi
2 yang dipergunakan untuk perhitungan adalah minyak (Qo) sebesar 4.88 BOPD. Setelah
sebagai berikut: dilakukan stimulasi KOH diperoleh laju produksi
minyak (Qo) sebesar 9.09 BOPD. Laju produksi
Tabel 2. Data Sumur SIB 2 fluida (Qf) sebelum dilakukan stimulasi sebesar
Data Sumur SIB 2 Nilai 244 BFPD dengan water cut 98 %. Setelah
Rate (BFPD) 118 bbl stimulasi laju produksi fluida (Qf) sebesar 303
Static Fluid Level (SFL) 334 ft BFPD dengan water cut 97 %.
Working Fluid Level (WFL) 617 ft Productivity Index sumur SIB 3 sebelum dilakukan
stimulasi adalah 1.58 BFPD/Psi. Setelah stimulasi
Top Perforasi 1812 ft
menjadi 1.98 BFPD/psi. Perbandingan kurva IPR
Bottom Perforasi 1817 ft dapat dilihat pada gambar 6. Nilai laju alir fluida
maksimum (Qmaks) sebelum stimulasi 615.42
SGwater 1,04 BFPD dan setelah stimulasi 764.24 BFPD.
Water cut 98%
Sebagaimana sumur SIB 2, persamaan – persamaan
API 36 dan metode yang dipergunakan untuk perhitungan
laju alir fluida, productivity index dan kurva IPR
Persamaan – persamaan dan metode yang pada sumur SIB 3 sama dengan yang digunakan
dipergunakan untuk perhitungan laju alir fluida, sumur SIB 1. Data sumur SIB 3 yang
productivity index dan kurva IPR pada sumur dipergunakan terdapat pada tabel 3
SIB 2 sama dengan yang digunakan sumur SIB 1.
Adapun perbandingan kurva IPR sebelum dan
sesudah dilakukan stimulasi KOH dapat dilihat
pada gambar di bawah ini: