Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH ANALISIS MIMETIK

CERPEN BELIS KARYA FELIX K. NESI

Di Susun Sebagai Tugas Mata Kuliah Teori Sastra

Dosen Pengampu :

Dr. Tengsoe Tjahjono, M.Pd.

Hespi Septiana, S.Pd., M. Pd.

Disusun oleh:

1. Devina Febririzky (16020074119)


2. Vinda Ady Pratiwi (16020074125)
3. Erfin Nikmatus Sofiyah (16020074131)

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

2017
A. Latar Belakang

Karya sastra merupakan bentuk dari buah pemikiran pengarang yang


dimanifestasikan dalam sebuah karya baik lisan maupun tulisan. Sebuah karya
sastra merupakan sebagai bentuk seni yang terbentuk dari pemikiran atau ide
pengarang dengan dipadukan kreativitas dalam pengunaan bahasa. Mimetik
merupakan paparan cerita yang diemban oleh tokoh pelaku tertentu, terjadi di
suatu tempat dan waktu tertentu seperti halnya kenyataan terjadinya peristiwa
dalam kehidupan sehari-hari maka terdapatlah pengisahan-pengisahan yang
berkembang dari ilusi pengarang tanpa diikat oleh pelaku, tempat, dan waktu.
Menurut Aristoteles berpendapat bahwa mimetik bukan hanya sekadar tiruan,
bukan sekadar potret dan realitas melainkan telah melalui kesadaran personal
batin pengarangnya.

Dalam hal ini karya sastra dapat berupa puisi, novel, dan cerpen. Menurut
(Nurgiyantoro, 2015:11) mengemukakan bahwa cerita pendek merupakan bentuk
karya sastra yang disebut fiksi. Kelebihan cerpen yang khas adalah
kemampuannya mengemukakan secara lebih banyak, jadi secara implisit dari
sekadar apa yang diceritakan. Karena bentuknya yang pendek, cerpen memiliki
karakteristik pemadatan dan pemusatan terhadap sesuatu yang dikisahkan. Cerita
tidak dikisahkan secara panjang lebar sampai mendetil, tetapi dipadatkan dan
difokuskan pada satu permasalahan. Berdasarkan hal tersebut, analisis dilakukan
untuk mengetahui realitas kehidupan yang terjadi didalam karya sastra yang
berupa cerpen. Berikut ini pemaparan analisis mimetik cerpen “Belis” karya Felix
K. Nesi.

B. Pembahasan

Realitas yang terjadi dalam karya sastra bukanlah hal yang diluar dugaan.
Karena pada dasarnya karya sastra juga dipengaruhi oleh realitas kehidupan.
Dimana hal ini dalam pengkajiannya disebut dengan pendekatan mimetik. Hal ini
dapat dibuktikan pada cerpen “Belis” karya Felix K. Nesi berikut ini :

Pada cerpen halaman 55 telah dijelaskan bahwa tokoh Yosef sudah


beberapa kali ke rumah Anna. Ia adalah kekasih dari tokoh Yosef. Yosef
seringkali tidur di rumah Anna yang yatim. Tante Betty yang lebih tepatnya
adalah ibu dari Anna tidak mempermasalahkan itu. Hal ini sesuai dengan tradisi
yang harus dilakukan masyarakat di Nusa Tenggara Timur sebelum pernikahan.
Yaitu tahapan Palinga atau bisa disebut juga tahapan memepererat hubungan antar
dua keluarga calon pengantin. Dengan cara calon pengantin pria yang sering
datang ke rumah calon pengantin wanita untuk melakukan pendekatan kepada
calon mertua dan calon pengantin wanita tersebut. Hal ini dapat dibuktikan
dengan adanya gambaran tentang pernikahan masyarakat Nusa Tenggara Timur
yang dilansir oleh rumahpetik.com yang menjelaskan hal tersebut. Kutipan dari
rumahpetik.com dapat dipaparkan sebagai berikut :

1. Tahapan pertama adalah Palinga

Tahapan ini adalah tahapan dimana pria mencari pasangan hidupnya atau
pada jaman sekarang disebut pacaran. Pada dahulu kala, masyarakat NTT
biasanya dijodohkan dengan salah satu kerabat atau teman kecil dari sang pria.
Tujuannya adalah untuk mempererat hubungan antar dua keluarga tersebut. Pada
tahapan ini masyarakat NTT mengenal ada tiga cara mempererat untuk
mendapatkan calon pengantin wanita. Cara yang pertama adalah si pria bekerja
kepada calon mertua dan sering datang bahkan atau tinggal dirumah tersebut
untuk melakukan pendekatan kepada keluarga dan calon pengantin wanita.
(https://rumahpetik.com/2014/09/04/adat-pernikahan-ntt/ )

Dari kutipan tersebut dijelaskan bahwa adanya cerminan tradisi


masyarakat Nusa Tenggara Timur sebelum menikah pada cerpen Belis dari buku
Usaha Membunuh Sepi karya Felix K. Nesi.

2. Tahapan kedua adalah Belis

Pada halaman 58 dijelaskan tentang Belis dimana guru SMA Yosef pernah
berkata Belis itu cara laki-laki menghormati perempuan bukan jual-beli. Padahal
Yosef telah meyakini jika Belis sebagai hal yang berpotensi memiskinkan
keluarga-keluarga muda. Pada kehidupan masyarakat Nusa Tenggara Timur, Belis
merupakan mahar atau mas kawin yang diberikan oleh keluarga calon mempelai
pria kepada keluarga calon mempelai wanita. Namun untuk pernikahan, besaran
nilai Belis tergantung pada status sosial keluarga. Hal ini dapat dibuktikan dengan
adanya gambaran tentang tradisi Belis pada kutipan berikut :

Seperti halnya dalam budaya masyarakat lain di Indonesia, dalam tradisi


masyarakat NTT pun mengenal mahar atau mas kawin yang biasa disebut Belis.
Belis biasanya diberikan oleh keluarga calon mempelai pria kepada calon
mempelai wanita dan keluarganya. Secara sederhana, belis dapat diartikan sebagai
pemberian yang bersifat material kepada kerabat atau saudara pada peristiwa-
peristiwa tertentu.

Sebagai salah satu bentuk pemindahan asset antarkeluarga, belis memiliki


nilai atau besaran yang bermacam-macam dan tidak ada yang berlaku umum.
Belis dapat berbentuk uang dan ternak, juga barang, seperti sofren (uang atau
lempengan emas), atau bergantung pada kebiasaan suku setempat. Meskipun
demikian, pada umumnya nilai belis tergantung pada beberapa faktor. Untuk
perkawinan, besaran belis dipengaruhi oleh yang pertama yaitu status sosial
keluarga, dalam hal ini semakin tinggi status sosial keuarga maka semakin tinggi
pula status sosialnya dan semakin tinggi nilai belisnya. Kedua yaitu dipengaruhi
oleh kesepakatan atau hasil negoisasi antara keluarga laki-laki dan keluarga
perempuan (https://herlyndj.wordpress.com/2012/10/17/belis-penghargaan-atau-
penjualan/ ).

Dalam kutipan tersebut dijelaskan bahwa adanya cerminan tradisi yang


ada di masyarakat Nusa Tenggara Timur mengenai mahar atau yang disebut Belis
pada cerpen Belis dari buku Usaha Membunuh Sepi karya Felix K. Nesi.

C. Simpulan

Dalam teori mimetik menganggap bahwa karya sastra merupakan cerminan


kehidupan dalam masyarakat. Begitu pula pada cerpen Belis dalam buku Usaha
Membunuh Sepi karya Felix K. Nesi terdapat cerminan kehidupan masyarakat di
Nusa Tenggara Timur. Yang pertama adalah cerminan dari tradisi sebelum
perkawinan masyarakat Nusa Tenggara Timur yaitu tahapan Palinga. Tahapan
Palinga yang bertujuan untuk mempererat hubungan antara keluarga mempelai
lelaki dengan keluarga mempelai wanita. Yang kedua adalah tradisi Belis. Dimana
Belis merupakan mahar atau mas kawin yang diberikan oleh keluarga mempelai
lelaki kepada keluarga mempelai wanita. Belis tersebut bergantung pada tingkatan
status sosial keluarganya. Semakin tinggi status sosial keluarga maka semakin
mahal Belis tersebut. Jadi menurut penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa
terdapat cerminan kehidupan masyarakat secara nyata yang tergambarkan pada
cerpen Belis dalam buku Usaha Membunuh Sepi karya Felix K. Nesi.
D. Lampiran

BELIS

Tidak. Yosef tidak pernah takut mencintaimu. Bukan karena ia adalah nabi yang
akan menghantarmu ke Bethlehem.

“Namanya Anna, Mama. Anaknya Tante Betty di Kampung Baru.”

Yulius memiliki mulut yang lebih besar daripada ember. Ibunya yang
sedang memisahkan daun lontar dari lidinya hanya tersenyum mendengar Yulius
bercerita tentang perempuan yang dicintai Yosef, kakaknya. Namun Yosef tak
pernah menanggapi. Ia akan daiam-diam memilih ke kebun.

“Tidak apa-apa, Yulius,” ibunya berkata sesudah Yosef menghilang dari


pandangan. “Kakakmu itu sudah besar. Sudah dewasa. Sudah saatnya menikah.”

Yosef memang sudah dewasa. Sudah saatnya menikah. Dua tahun yang
lalu, ia memperoleh gelar sarjana ekonomi dari Universitas Nusa Cendana, di kota
Kupang. Namun hingga seminggu yang lalu, sudah hampir seratus kepala kantor
yang menolak lamaran kerjanya. Bahkan sekolah SMA yang hanya satu di
kecamatannya itu, menolak permintaannyamenjadi tenaga bantu.

“Di sini sudah penuh,” begitu kata kepala sekolah. “Sudah banyak sarjana
ekonomi di sini.”

Yosef pulang dengan lapang dada namun empat hari kemudian sekolah itu
memperkerjakan seorang sarjana ekonomi yang lain sebagai guru olahraga. Entah
karena sarjana itu bisa berenang atau karena ia adalah ponakan dari istri wakil
kepala sekolah. Bagaimanapun, itu sangat melukai hati Yosef dan kebun adalah
tempat paling efektif untuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain. Selain
itu, Yosef juga malas di rumah jika hanya mendengar Yulius berbicara tentang
Anna.

“Kakak, kapan kami mau diantar?” ibu bertanya pada suatu malam, saat
Yosef dan ayahnya sedang menonton berita malam.

“Diantar ke mana?”

“Ke rumah Anna.”

Ibu sedang menganyam tikar dari daun lontar. Bunyi lintar lentur yang
beradu mengimbangi suara presenter di televisi. Mata ayah tak lepas dari layar
televisi seolah mau menegaskan bahwa ia tak mendengar apapun tentang ocehan
istrinya.

Yosef membalas dengan tawa kecil.

“Kakak belum mulai pikir soal itu?” ibunya kembali bertanya.

Tawa kecil kadang tak mampu menghentikan sebuah percakapan.

“Nanti dulu, Mama. Hidup masih panjang.”

Matanya sengaja tak lepas dari presenter berita, agar ibunya paham bahwa
ia sedang tak ingin bicara. Ia bersyukur bahwa Yulius sedang pergi entah ke
mana. Anak puber itu baru akan pulang lebih malam lagi, dalam keadaan mabuk.
Dua adiknya yang perempuan keluar-masuk menyiapkan makan malam yang-
entah bagaimana- selalu asin.

“Kakak sudah besar. Kalau sering ke rumah perempuan tapi orantuanya


belum saling kenal, nanti kita jadi bahan omongan.”

Monyet Yulius! Perihal sering ke rumah Anna diceritakan juga?

Tentu saja orang tua mereka saling kenal. Di kapung macam begini, semua
orang adalah kerabat. Yang dimaksudkan ibunya adalah saling mengenal secara
adat. Orangtua lelaki bertamu ke rumah perempuan dengan sirih-pinang dan
pantun lain yang tak dipahami anak muda, agar orang sekampung tahu, siapa
pemilik hati perempuan itu.

Entah sudah berapa kali Yosef tidur di rumah Anna yang yatim. Tante
Betty yang telah tua itu tak pernah membahas masalah itu baik dengan Anna
maupun dengan Yosef. Ia seperti tak mengizinkan, tapi juga tak melarang.

Suatu malam, saat Yosef dan Tante Betty sedang berbicara mengenai air
yang susah karena musim kemarau lebih panjang daripada musim hujan, sambil
menunggu Anna menyiapkan makan malam, seorang kerabat jauh Tante Betty
yang sedang dalam perjalanan ke Atapupu bertandang. Ia bersama teman-
temannya ingin berwisata ke Kolam Susu tapi di hutan Jati dekat Lalian bannya
pecah. Ia terpaksa mendorong sepeda motornya sampai Atambua dan baru selesai
menambahnya. Ia akan menyusul teman-temannya di pagi buta.

Ia senang melihat Yosef, memanggil anak muda itu dengan sapaan ‘anak-
mantu’ dan mengajak Yosef bermain catur peninggalan suami Tante Betty yang
hampir hanis dimakan rayap. Kepada Yosef ia lalu mengisahkan banyak hal.
Kelihatannya ia memang suka mengoceh, apalagi soal politik. Sambil bermain,
selalu saja ada pejabat yang layak untuk dikomentarinya.

Permainan mereka yang baru sebentar mesti dihentikan oleh ajakan Anna
untuk makan malam. Di meja makan, ocehan orantua itu beralih dari hal-hal
politik ke beberapa masalah keluarga. Ia bercerita tentang anaknya yang baru saja
pulang dari Jawa, bukan karena lulus kuliah tapi karena berkelahi dan
dipulangkan sementara oleh pihak universitas.

“Kurang ajar anak itu. Saya suruh ke sana untuk sekolah. Malah jadi
goblok dia itu!”

Tante Betty menenangkannyadan bertanya tentang kabar istrinya. Ia


bercerita bahwa istrinya baru saja bertemu dengan suami Elsa, kakaknya Anna di
acara ulang tahun Bapak Uskup yang penuh berkat.

Mereka lalu tiba-tiba bercerita tentang Elsa. Kakaknya Anna itu dua tahun
lalu dinikahi seorang polisi muda yang bertugas di luar pulau. Di hari pernikahan,
sang polisi membuat semua anak muda di kampung itu mabukdengan berjenis-
jenis minuman mahal. Tentang dari mana pengantin itu mendapatkan minuman
mahal yang tak terbatas, tak usahlah kuceritakan rahasia umum itu. Namun
sampai pagi hari, pesta berlangsung aman dan damai. Semua pemuda-yang
langsung ke belakang-tertidur tak sadarkan diri.

Yosef yang mulai jenuh tetap mengimbangi cerita-cerita itu demi tata-
krama-calon menantu. Bukankah di hadapan calon mertuanya, tiap lelaki adalah
pendengar yang baik? Namun jumlah belisElsa yang fantastis mau tak mau
disimpannya dalam hati. Sudah sangat lama Yosef meyakini belis sebagai hal
yang berpotensi memiskinkan keluarga-keluarga muda.

“Belis itu cara laki-laki menghormati perempuan. Bukan jual-beli,”


gurunya di SMA pernah berkata. “Bentuk syukur laki-laki bahwa salah satu
rusuknya telah dirawat dengan baik sampai mereka dipertemukan kembali.”

Namun Yosef telah terlanjur akrab dengan pemandangan keluarga muda


yang menikah dengan belis yang mahal, tapi tak sanggup menyekolahkan
anaknya, atau tinggal di rumah yang tak layak huni.

Malam itu Yosef mohon diri untuk pulang. Kecuali mengatakan bahwa di
luar sudah sangat gelap, Tante Betty tak menyediakan basa-basi lain untuk
memintanya menginap.

“Kakak dengan Bapak makan saja dahulu,” ibu menyilahkan mereka


makan. “mama masih selesaikan ini.”
Tak ada yang lebih menjengkelkan daripada mengunyah makanan yang
asin sekaligus memikirkan kata-kata ibu yang menikam.

Tapi ibu telah berkata terserah.

“Mama hanya beritahu, sebelum kita jadi bahan omongan orang.


Selebihnya terserah Kakak.”

Presenter menjelaskan kasus korupsi yang basi namun berulang. Hampir


tak ada masalah baru di negeri ini. Hanya selalu, muncul orang serakah baru yang
mengulangi kejahatan lama.

Selepas malam itu-malam pembicaraan politik dan hal lain-Yosef menjadi


jarang menghubungi Anna. Anna yang tidak pernah menyadari apa yang diam-
diam disimpulkan Yosef masih beberapa kali mengirimkan pesan singkat dengan
nada manja.

Suatu hari Anna menelepon Yosef.

“Tadi mama tanya: Yosef, kenapa kok tidak pernah main ke sini lagi?”

Yosef menjawab bahwa sebenarnya sedang berpikir untuk ke Timor Leste.

“Kapan mau jalan?”

Sebelum Yosef menjawab, Anna mengingatkn tanggal mereka yang


“sebentar lagi”

“Tinggal sebentar lagi. Lima bulan lagi.”

Argh.Sebentar lagi, dalam versi orang yang merindu, mengapa selalu tidak
obyektif?

“Kata adik ibu yang kerja di sana, masih banyak lowongan kerja di sana.
Saya bisa masuk lewat jalan tikus. Nanti bisa dibuatkan ka-te-pe Timor Leste.

Anna menahan napasnya.

“Berapa lama disana?”

Yosef terdiam.

“Kau pasti pulang, ‘kan? Kita pasti akan menikah, ‘kan?”

Tak ada jawaban.

“Yos....”
Hening.

“Yosef....” suara Anna bergetar.

Jutaan semut berseliweran di dala dada Yosef. Tumpang tindih.


Bertumpuk-tumpuk.

6 Januari pukul 2 dinihari.


2016.

Daftar Pustaka

Nurgiyantoro, Burhan. 2015. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Perss.

K. Nesi, Felix. 2016. Usaha Membunuh Sepi. Malang: Pelangi Sastra.


https://rumahpetik.com/2014/09/04/adat-pernikahan-ntt/

https://herlyndj.wordpress.com/2012/10/17/belis-penghargaan-atau-penjualan/

Anda mungkin juga menyukai