Laporan Chilling, Freezing, Thawing Pada Pengawetan Bahan Pangan-Elva Fazhul Khaira
Laporan Chilling, Freezing, Thawing Pada Pengawetan Bahan Pangan-Elva Fazhul Khaira
Oleh :
Pangan secara umum bersifat mudah rusak, karena kadar air yang
terkandung didalamnya sebagai factor utama penyebab kerusakan pangan. Semua
bahan pangan yang sangat rentan terhadap kerusakan baik dari dalam maupun dari
luar bahan, baik dalam penanganan pengolahan atau proses penyimpanannya.
Upaya untuk memperlambat fisiologis ini akan memperlambat proses pembuatan,
dilakukan pengawetan dengan suhu rendah. Penggunaan suhu rendah dapat
dilakukan untuk menghambat atau mencegah reaksi-reaksi kimia, reaksi
enzimatis, dan pertumbuhan mikroba (Ayu, 2017).
Pendinginan dengan suhu rendah telah lama digunakan sebagai salah satu
cara pengawetan bahan makanan karena tidak saja dapat mempertahankan cita
rasa yang baik juga dimiliki bahan makanan tersebut, tetapi juga menghambat
kerusakan-kerusakan yang lain. Semakin rendah suhu, semakin lambat proses dan
semakin baik, karena untuk setiap 10℃ suhu itu berkurang, kecepatan reaksinya
diperlambat kurang lebih setengahnya. Pada suhu sekitar 0℃ (titik beku air),
hanya bakteri psuchrophilik saja yang dapat tumbuh. Suhu yang digunakan tidak
terlalu jauh dengan titik beku, dapat dilakukan dengan es atau pada lemari es
(Sutrisno, 2014).
Penyimpanan beku adalah cara pengawetan bahan pangan dengan cara
membekukan bahan pada suhu dibawah titik beku pangan tersebut. Mutu atau
kualitas bahan pangan dapat dipertahankan karena dengan bekunya bahan pangan,
sebagian langsungan air terbentuk es sehingga ketersedian air menurun, maka
kegiatan enzim dan jasad renik dapat dihambat atau dihentikan. Proses
pembekuan terjadi secara bertahap dari permukaan sampai pusat bahan. Pada
permukaan bahan, proses pembekuan berlangsung dengan lambat (Retno, 2018).
Pangan yang dibekukan dimasukkan ke dalam freezer dimana akan terjadi
proses pemindahan panas yang berlangsung secara konduksi (untuk pengeluaran
panas dari produk). Proses tersebut berlangsung selama beberapa jam, bergantung
pada kondisi bahan pangan yang akan dibekukan. Dalam industri pangan, telah
dikembangkan metode pembekuan lainnya untuk mempercepat proses pembekuan
yang memungkinkan produk membeku dalam waktu yang pendek. Pembekuan
cepat akan menghasilkan kristal es berukuran kecil sehingga akan meminimalkan
kerusakan tekstur bahan yang dibekukan. Selain itu, proses pembekuan cepat juga
menyebabkan terjadinya kejutan dingin (freezer shock) pada mikroorganisme dan
tidak terjadi tahap adaptasi mikroorganisme dengan perubahan suhu sehingga
mengurangi resiko pertumbuhan mikroorganisme selama proses pembekuan
berlangsung (Munazir, 2017).
BAB III. METODOLOGI PRAKTIKUM
Pending 24 4 5 4 25 4 3 4 24 4 3 4
inan
Pembek 34 4 5 4 34 4 5 4 34 4 4 4
uan
Kontrol 31 4 5 4 31 4 5 4 30 4 5 3
Kentang
Pending 36 4 5 4 34 4 5 5 34 4 5 5
inan
Pembek 32 4 5 4 32 4 5 4 30 4 5 5
uan
Kontrol 11 4 5 4 9 2 2 2 8 1 1 1
Buncis
Pending 14 4 5 4 14 4 4 4 14 4 3 3
inan
Pembek 10 4 4 4 10 4 5 5 12 4 4 5
uan
Kontrol 35 4 4 4 37 1 2 1 - - - -
Pending 27 4 4 4 29 1 3 2 29 1 1 1
Ikan
inan
Pembek 41 4 4 4 41 4 4 4 41 4 4 4
uan
4.2 Pembahasan
Chilling adalah suatu keadaan dimana suhu terlalu rendah untuk
pertumbuhan normal tetapi suhu tersebut tidak cukup untuk dapat membentuk es
(masih diatas titik beku bahan). Pendinginan atau chilling umumnya merupakan
suatu metode pengawetan yang ringan, pengaruhnya kecil sekali terhadap mutu
bahan pangan secara keseluruhan. Oleh sebab itu, pendinginan di lemari es sangat
cocok untuk memperpanjang kesegaran atau masa simpan sayuran dan buah-
buahan. Penyimpanan dingin atau chilling merupakan cara penyimpanan pada
suhu sedikit diatas titik beku bahan, yang merupakan cara umum bagi pengawetan
makanan dan bersifat sementara. Suhu yang digunakan antara -20℃ sampai
-16℃. Tujuan pendinginan adalah untuk mempertahankan kesegaran,
memperpanjang masa simpan, memberikan bentuk atau tekstur daging atau
sayuran yang lebih baik, dan mengurangi kehilangan bobot daging atau sayuran.
Dengan pendinginan, maka pertumbuhan mikroorganisme yang terdapat pada
daging akan dihambat, serta aktivitas enzim-enzim dalam daging dan reaksi-reaksi
kimia juga akan dihambat (Sitakar, 2016).
Pembekuan atau freezing ialah penyimpanan di bawah titik beku bahan,
jadi bahan disimpan dalam keadaan beku. Pembekuan yang baik dapat dilakukan
pada suhu kira-kira -16℃ atau lebih rendah lagi. Pada suhu ini pertumbuhan
bakteri sama sekali berhenti. Dengan pembekuan, bahan akan tahan sampai
beberapa bulan, bahkan kadang beberapa tahun. Tujuan pembekuan dapat
mempertahankan rasa dan nilai gizi bahan pangan yang lebih baik daripada
metode lain karena pengawetan dengan suhu rendah yaitu pembekuan dapat
menghambat aktivitas mikroba, mencegah terjadinya reaksi kimia dan aktivitas
enzim yang dapat merusak kandungan gizi bahan pangan. Walaupun pembekuan
dapat mereduksi jumlah mikroba yang sangat nyata tetapi tidak dapat
mensterilkan makanan dari mikroba. Kematian bakteri atau mikroba dalam
keadaan beku disebabkan sebagian besar air dalam bahan pangan berubah menjadi
es dan persediaan cairan sangat terbatas, sehingga bakteri akan mengalami
kesulitan untuk menyerap makanan, sehingga bakteri menjadi nonaktif (Amiarsi,
2014).
Thawing merupakan proses pencairan bahan pangan beku yang berguna
untuk membantu proses pemasakan bahan agar berjalan sempurna. Thawing
adalah perlakuan suatu bahan dari bahan frozen atau beku menjadi bahan fresh
atau lunak kembali agar bisa diolah dengan cara menaikkan suhu sesuai dengan
waktu yang ditentukan. Proses thawing pada bahan pangan sangat dianjurkan oleh
praktisi pangan sebelum dilakukan pengolahan. Tujuan thawing dapat
menurunkan viabilitas dari mikroba patogen dalam bahan pangan. Proses thawing
ini juga bermanfaat meningkatkan kekenyalan tekstur bahan pangan. Pengolahan
tanpa thawing, bahan akan bertekstur lembek dan cenderung berair. Prinsip
thawing adalah proses mencairkan makanan atau bahan pangan yang telah
mengalami pembekuan yaitu dengan menaikkan suhu secara perlahan untuk
menciptakan titik didihnya, sehingga bahan pangan dapat diolah lebih lanjut (Sri,
2014).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan bahan pangan seperti,
pertumbuhan dan aktivitas mikroba, aktivitas enzim-enzim di dalam bahan
pangan, serangga parasit dan tikus, suhu (pemanasan dan pendinginan), kadar air,
udara (oksigen), sinar dan waktu. Pertumbuhan dan aktivitas mikroba merupakan
penyebab kebusukan bahan pangan dapat ditemukan di tanah, air dan udara.
Pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan dapat mengubah komposisi bahan
pangan, dengan cara menghidrolisis pati dan selusosa menjadi fraksi yang lebih
kecil menyebabkan fermentasi gula, menghidrolisis lemak dan menyebabkan
ketengikan, serta mencerna protein dan menghasilkan bau busuk dan amonia.
Aktivitas enzim di dalam bahan pangan, enzim yang ada dalam bahan pangan
dapat berasal dari mikroba atau sudah terdapat dalam bahan pangan tersebut
secara normal. Enzim memungkinkan terjadinya reaksi kimia dengan lebih cepat,
dan dapat mengakibatkan bermacam-macam perubahan pada komposisi bahan
pangan (Islamiyah, 2013).
Serangga parasit dan tikus, serangga dapat merusak buah-buahan, sayuran,
biji-bijian dan umbi-umbian. Gigitan serangga akan melukai permukaan bahan
pangan sehingga menyebabkan kontaminasi oleh mikroba. Tikus sangat
merugikan karena jumlah bahan yang dimakan, juga kotoran, rambut dan urine
tikus merupakan media untuk bakteri serta menimbulkan bau yang tidak enak.
Suhu (pemanasan dan pendinginan), pemanasan dan pendinginan yang tidak
diawasi secara teliti dapat menyebabkan kebusukan bahan pangan. Suhu
pendingin sekitar 4,50℃ dapat mencegah atau memperlambat proses
pembusukan. Pemanasan berlebih dapat menyebabkan denaturasi protein,
pemecahan emulsi, merusak vitamin, dan degradasi lemak/minyak. Udara dan
oksigen selain dapat merusak vitamin terutama vitamin A dan C, warna bahan
pangan, rasa dan kandungan lain, juge penting untuk pertumbuhan kapang.
Oksigen dapat menyebabkan tengik pada bahan pangan yang mengandung lemak.
Sinar dapat merusak beberapa vitamin terutama riboflavin, vitamin A, vitamin C,
warna bahan pangan dan juga mengubah rasa susu karena terjadinya oksidasi
lemak dan perubahan protein yang dikatalis sinar (Islamiyah, 2013).
Berdasarkan data hasil pengamatan pada bahan tomat, minggu ke-0 setiap
perlakuan (kontrol, pendinginan, pembekuan) memiliki aroma normal, tekstur
keras, dan warna segar. Massa pada perlakuan kontrol, pendinginan dan
pembekuan berturut-turut yaitu 28 gr, 24 gr, dan 34 gr. Pada minggu ke-1, aroma
dan warna setiap perlakuan tidak berubah. Tekstur pada perlakuan kontrol
menjadi agak keras, tekstur pada pendinginan menjadi agak lunak, dan tekstur
tomat pada pembekuan masih tetap keras. Massa pada perlakuan kontrol,
pendinginan dan pembekuan berturut-turut yaitu 25 gr, 25 gr, dan 34 gr. Pada
minggu ke-2, aroma dan warna tomat pada perlakuan pendinginan dan pembekuan
tidak mengalami perubahan. Aroma, tekstur, dan warna pada perlakuan kontrol
berturut-turut yaitu, sedikit bau busuk, tekstur keras, dan memiliki warna yang
gelap. Tekstur pada perlakuan pendinginan tidak mengalami perubahan. Tekstur
pada perlakuan pembekuan menjadi agak keras dari yang semula keras. Massa
pada perlakuan kontrol, pendinginan dan pembekuan berturut-turut yaitu 25 gr, 24
gr, dan 34 gr.
Berdasarkan data hasil pengamatan pada bahan kentang diperoleh hasil
pada minggu ke-0, setiap perlakuan (kontrol, pendinginan, pembekuan) memiliki
aroma normal, tekstur keras, dan warna segar. Massa pada perlakuan kontrol,
pendinginan dan pembekuan berturut-turut yaitu 31 gr, 36 gr, dan 32 gr. Pada
minggu ke-1, aroma dan tekstur kentang pada setiap perlakuan tidak mengalami
perubahan. Massa pada perlakuan kontrol, pendinginan dan pembekuan berturut-
turut yaitu 31 gr, 34 gr, dan 32 gr. Warna kentang pada perlakuan pendinginan
yaitu menjadi lebih cerah. Pada minggu ke-2, warna kentang pada perlakuan
kontrol menjadi gelap dari yang sebelumnya segar dan warna kentang pada
pembekuan menjadi lebih cerah. Massa pada perlakuan kontrol, pendinginan dan
pembekuan berturut-turut yaitu 30 gr, 34 gr, dan 30 gr.
Berdasarkan data hasil pengamatan pada bahan buncis diperoleh hasil,
pada minggu ke-0, aroma dan warna pada setiap perlakuan sama yaitu normal dan
segar. Tekstur pada perlakuan kontrol dan pendinginan yaitu keras sedangkan
pada perlakuan pembekuan yaitu agak keras. Massa pada perlakuan kontrol,
pendinginan dan pembekuan berturut-turut yaitu 11 gr, 14 gr, dan 10 gr. Pada
minggu ke-1, pada perlakuan kontrol, aroma buncis sedikit bau busuk, tekstur
lunak, dan berwarna agak pucat. Pada perlakuan pendinginan, aroma buncis
normal, tekstur agak keras dan warna segar. Pada perlakuan pembekuan, aroma
buncis normal, bertekstur keras, dan berwarna lebih cerah. Massa pada perlakuan
kontrol, pendinginan dan pembekuan berturut-turut yaitu 9 gr, 14 gr, dan 10 gr.
Pada minggu ke-2, pada perlakuan kontrol, aroma buncis busuk, tekstur sangat
lunak, dan berwarna pucat. Pada perlakuan pendinginan, aroma buncis normal,
tekstur agak lunak dan warna gelap. Pada perlakuan pembekuan, aroma buncis
normal, bertekstur keras, dan berwarna lebih cerah. Massa pada perlakuan kontrol,
pendinginan dan pembekuan berturut-turut yaitu 8 gr, 14 gr, dan 12 gr.
Berdasarkan data hasil pengamatan pada bahan ikan diperoleh hasil, pada
minggu ke-0, setiap perlakuan (kontrol, pendinginan, pembekuan) memiliki
aroma normal, tekstur agak keras, dan warna segar. Massa pada perlakuan kontrol,
pendinginan dan pembekuan berturut-turut yaitu 35 gr, 27 gr, dan 41 gr. Pada
minggu ke-1, pada perlakuan kontrol, aroma ikan busuk, tekstur lunak, dan
berwarna pucat. Pada perlakuan pendinginan, aroma ikan busuk, tekstur agak
lunak dan warna agak pucat. Pada perlakuan pembekuan, ikan tidak mengalami
perubahan. Massa pada perlakuan kontrol, pendinginan dan pembekuan berturut-
turut yaitu 37 gr, 29 gr, dan 41 gr. Pada minggu ke-2, Pada perlakuan
pendinginan, aroma ikan busuk, tekstur sangat lunak dan warna pucat. Pada
perlakuan pembekuan, ikan tidak mengalami perubahan. Massa pada perlakuan
pendinginan dan pembekuan berturut-turut yaitu 29 gr, dan 41 gr.
Berdasarkan jurnal Marada (2015), salah satu hasil aktivitas bakteri
pembusuk terlihat pada daging ikan. Perubahan warna daging mulai dari sekitar
tulang belakang karena suhu ruang untuk waktu yang lama. Ketika ikan mati,
molekul deoksimiglobin terdegradasi membentuk metmioglobin coklat yang
mengubah warna daging menjadi pucat dan busuk. Hal ini sebanding dengan hasil
praktikum pada minggu ke-1 yaitu daging ikan pada suhu ruang (kontrol) menjadi
pucat dan beraroma busuk.
Pembekuan merupakan perlakuan terbaik untuk pengawetan bahan pangan
karena bahan pangan yang dibekukan dapat mencegah pertumbuhan mikroba dan
menginaktifkan enzim-enzim yang bereaksi. Pembekuan juga dapat
memperpanjang umur simpan bahan pangan dalam jangkauan waktu yang ukup
lama yaitu berbulan-bulan hingga beberapa tahun dibandingkan bahan pangan
yang disimpan dengan metode pendinginan. Pendinginan hanya dapat
memperpanjang umur simpan bahan pangan selama beberapa hari atau minggu.
Pada pembekuan, juga dapat menjaga perubahan aroma, rasa, dan tekstur dari
bahan pangan (Sari, 2019).
BAB V. KESIMPULAN
A. Diagram Alir
Bahan
Dicuci
Ditimbang
Diamati
Ditimbang
A
A
A
A
Dilakukan thawing
Diamati
Hasi
l