Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN KASUS

TATALAKSANA PNEUMONIA

Oleh:

Bebie Ayura 120100165

Roni Syahputera 140100064

Pembimbing:

Dr. Bastian Lubis, M.ked(AN), Sp.AN, KIC

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI & TERAPI INTENSIF
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus ini dengan judul “Tatalaksana Pneumonia”.

Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk


menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi
Dokter di Departemen Anestesiolgi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen


pembimbing yang telah meluangkan waktunya dan memberikan banyak
masukan dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga dapat selesai tepat
pada waktunya.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam
penulisan laporan kasus selanjutnya. Semga makalah laporan kasus ini
bermanfaat, akhir kata penulis mengucapkan terima kasih

Medan, 28 September 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ................................................................................ i

DAFTAR ISI ............................................................................................... ii

DAFTAR TABEL....................................................................................... iii

DAFTAR GAMBAR .................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1


1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan .................................................................................... 2
1.3 Manfaat Penulisan .................................................................................. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 3


2.1 Pneumonia .............................................................................................. 3
2.1.1 Definisi .................................................................................... 3
2.1.2 Etiologi .................................................................................... 4
2.1.3 Klasifikasi ............................................................................... 6
2.1.4 Patofisiologi ............................................................................ 7
2.1.5 Diagnosis ................................................................................ 10
2.1.6 Tatalaksana Pneumonia .......................................................... 12
2.1.6.1 Tatalaksana di IGD ................................................. 22
2.1.6.2 Tatalaksana di Rawat Inap ...................................... 26
2.1.6.3 Tatalaksana di ICU.................................................. 28
2.1.7 Komplikasi ............................................................................. 35
2.1.8 Prognosis ................................................................................ 36
2.1.9 Pencegahan............................................................................. 36
BAB III KESIMPULAN ........................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 40

ii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Sistem Skor PORT .................................................................... 13
Tabel 2.2 Derajat Risiko dan Rekomendasi Perawatan ............................ 14
Tabel 2.3 Rekomendasi Antibiotik Empiris pada CAP ............................ 15
Tabel 2.4 Kriteria Mayor dan Minor pada Pneumonia ............................. 20
Tabel 2.5 Terapi Oksigen .......................................................................... 27
Tabel 2.6 Terapi Cairan............................................................................. 28
Tabel 2.7 Regimen Antibiotik Empirik..................................................... 33
Tabel 2.8 Kriteria Berlin ........................................................................... 35
Tabel 2.9 SOFA Score .............................................................................. 36

iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Evaluasi dan Treatmen pada Pneumonia .......................... 22
Gambar 2.2 Diagnosis dan Tatalaksana Awal Pemberian Antibiotik ... 24
Gambar 2.3 Alat-alat Intubasi Endotrakeal ........................................... 26
Gambar 2.4 Systemic Inflamatori Response Syndrom (SIRS) .............. 29
Gambar 2.5 Alur Penanganan Dini Pasien Kritis.................................. 34

iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi saluran pernapasan merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang serius di berbagai negara di dunia. Salah satu infeksi umum yang
menyerang saluran pernapasan bagian bawah adalah pneumonia. Pneumonia
adalah suatu proses inflamasi yang melibatkan alveoli dan bronkiolus,
disebabkan oleh bakteri, virus atau parasit (Istita, 2020).
Pneumonia adalah suatu peradangan akut parenkim paru yang disebabkan
oleh mikroorganisme (bakteri, virus, dan parasit). Pnemonia yang disebabkan
oleh mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Peradangan paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik,
obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis.
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme,
yaitu bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan disebutkan bahwa
pneumonia komuniti yang di derita oleh masyarkat luar negeri banyak
disebabkan bakteri gram positif, pneumonia dirumah sakit banyak disebabkan
bakteri gram negatif sedangkan pneumonia aspirasi disebabkan oleh bakteri
anaerob (Luhur, 2017).
Penelitian di Eropa, USA, dan Asia menyatakan bahwa Streptococcus
pneumonia sebagai organisme yang paling sering menyebabkan pnemonia
komuniti (Kishimbo,2020). Ada beberapa klasifikasi Pneumonia yaitu
berdasarkan etiologi, pengaturan klinis yang menyebabkan infeksi, dan pola
keterlibatan parenkim paru. Klasifikasi Pneumonia berdasarkan American
Thoracis Society yaitu Comunity Acquired Pneumonia (CAP), Hospital
Acquired Pneumonia (HAP), Ventilator Acquired Pneumonia(VAP).
Comunity Acquired Pneumonia (CAP) dapat disebabkan karena bakteri, virus
dan jamur (Jain, 2020).
Proses radang selalu dimulai dari hilus paru yang menjalar secara
progresif ke perifer sampai seluruh lobus terkena. Proses radang dapat dibagi
menjadi 4 tingkatan yaitu tingkatan kongestif, tingkat hepatisasi merah,

1
2

tingkat hepatisasi kelabu, dan tingkat resolusi atau penyembuhan total


(Luhur, 2017).
Gambaran radiologis berupa infiltrat dibutuhkan untuk membedakan
pneumonia yang berasal dari bronkhitis akut terlepas dari apakah pasien
terlihat di rawat jalan atau di ruang gawat darurat. Untuk memprediksi faktor
risiko, direkomendasikan CRB-65, komorbiditas tidak stabil, dan oksigenasi
harus diperhitungkan. Amoksisilin adalah obat pilihan untuk pneumonia
ringan, harus diberikan kombinasi dengan asam klavulanat jika ditemukan
penyakit komorbid. Perhatikan klinis utama di ruang gawat darurat
identifikasi disfungsi organ akut dan penatalaksanaan sepsis. Antibiotik beta
laktam harus diberikan pada tatalaksana awal, kombinasikan dengan
makrolida jika terdapat disfungsi organ akut. Perawatan harus dilanjutkan
selama 5-7 hari (Kolditz, 2017).
Konsultasi ke spesialis paru diperlukan untuk bronkoskopi untuk
mendapatkan sampel pernapasan dalam, terutama jika pasien secara klinis
memburuk dan petogen penyebab tidak teridentifikasi (Mody, 2020).

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan dari paper ini adalah untuk menguraikan teori-teori mengenai


Tatalaksana Pneumonia. Penyusunan paper ini sekaligus untuk memenuhi
persyaratan kegiatan Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.

1.3 Manfaat Penulisan


Paper ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan penulis
maupun pembaca khususnya peserta P3D untuk lebih memahami tentang
Tatalaksana Pneumonia.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pneumonia
2.1.1 Defenisi
Pneumonia (nu-mo'ne-a) adalah radang kantung udara paru-paru
sebagai respons terhadap cedera, seperti infeksi. Ketika saluran udara juga
terlibat, mungkin disebut bronko pneumonia. Pneumonia bisa di satu area
paru-paru atau di beberapa area (Pneumonia “ganda” atau “multilobar”).
(American Thoracic Society, 2016)
Menurut Sri dan Fatwa (2015) pneumonia adalah penyakit yang
disebabkan kuman pneumococcus, staphylococcus, streptococcus, dan virus.
Gejala penyakit pneumonia yaitu menggigil, demam, sakit kepala, batuk,
mengeluarkan dahak, dan sesak napas.
Selain itu menurut Tulus (2008) pneumonia adalah proses infeksi akut
yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Terjadinya pneumonia pada anak
seringkali bersamaan dengan proses infeksi akut pada bronkus (biasa disebut
bronchopneumonia). Gejala penyakit ini berupa napas cepat dan napas sesak,
karena paru meradang secara mendadak. Batas napas cepat adalah frekuensi
pernapasan sebanyak 60 kali per menit pada anak usia <2 bulan, 50 kali per
menit atau lebih pada anak usia 2 bulan sampai kurang dari 1 tahun, dan 40
kali per menit atau lebih pada anak usia 1 tahun sampai kurang dari 5 tahun.
Susan danWayan (2020) mendefenisikan pneumonia adalah infeksi
akut yang menyerang jaringan paru-paru (alveoli) yang disebabkan oleh
bakteri, virus, maupun jamur. Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai
parenkim paru. Sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme
(virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi
dll). Pada pneumonia yang disebabkan oleh kuman, menjadi pertanyaan
penting adalah penyebab dari Pneumonia (virus atau bakteri) (Oktadhea,
2019)

3
4

Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan


parenkim paru distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus
respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan
gangguan pertukaran gas setempat. Pnemunonia dibedakan menjadi dua yaitu
pneumonia kominiti dan pneumonia nosokomial. Pneumonia komunitas
adalah pneumonia yang terjadi akibat infeksi di luar rumah sakit, sedangkan
pneumonia nosokomial adalah pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam atau
lebih setelah dirawat di rumah sakit.
Pneumonia dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, klasifikasi
paling sering ialah menggunakan klasifikasi berdasarkan tempat
didapatkannya pneumonia (pneumonia komunitas dan pneumonia
nosokomial), tetapi pneumonia juga dapat diklasifikasikan berdasarkan area
paru yang terinfeksi (lobar pneumonia, multilobar pneumonia, bronchial
pneumonia, dan intertisial pneumonia) atau agen kausatif. Pneumonia juga
sering diklasifikasikan berdasarkan kondisi yang mendasari pasien, seperti
pneumonia rekurens (pneumonia yang terjadi berulang kali, berdasarkan
penyakit paru kronik), pneumonia aspirasi (alkoholik, usia tua), dan
pneumonia pada gangguan imun (pneumonia pada pasien tranplantasi organ,
onkologi, dan AIDS) (Karina & Oyagi, 2017)
Menurut Luhur, dkk (2017) pneumonia adalah suatu peradangan akut
parenkim paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur
dan parasit). Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis
tidak termasuk. Peradangan paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme
(bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut
pneumonitis.

2.1.2 Etiologi
Pneumonia biasanya disebabkan oleh virus atau bakteria. Biasanya
sulit untuk menentukan penyebab spesifik melalui gambaran klinis atau
gambaran foto dada. Beberapa orang berisiko lebih tinggi terkena pneumonia
adalah mereka yang memiliki penyakit paru-paru yang sudah ada
sebelumnya, gizi buruk, kesulitan menelan, masalah kesehatan kronis lainnya
5

atau masalah dengan sistem kekebalan tubuh mereka. Orang yang merokok
dan orang yang ada di sekitar tembakau asap memiliki risiko lebih tinggi
terkena pneumonia. Orang-orang yang belum memiliki vaksin influenza
tahunan atau yang belum diimunisasi untuk bakteri Streptococcus
pneumoniae juga berisiko lebih tinggi untuk infeksi paru-paru (American
Thoracic Society, 2016)
Demikian pula menurut (WHO, 2016) pneumonia biasanya
disebabkan oleh virus atau bakteria. Sebagian besar episode yang serius
disebabkan oleh bakteria. Biasanya sulit untuk menentukan penyebab spesifik
melalui gambaran klinis atau gambaran foto dada. Dalam program
penanggulangan penyakit ISPA, pneumonia diklasifikasikan sebagai
pneumonia sangat berat, pneumonia berat, pneumonia dan bukan pneumonia,
berdasarkan ada tidaknya tanda bahaya, tarikan dinding dada bagian bawah
ke dalam dan frekuensi napas, dan dengan pengobatan yang spesifik untuk
masing-masing derajat penyakit.
Menurut Luhur, dkk (2017) pneumonia dapat disebabkan oleh
berbagai macam mikroorganisme, yaitu bakteri, virus, jamur dan protozoa.
Dari kepustakaan disebutkan bahwa pneumonia komuniti yang diderita oleh
masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri Gram positif, pneumonia
di rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram negatif, sedangkan
pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-akhir ini
laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang
ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah
bakteri Gram negatif.
Penyebab pneumonia yang paling sering didapat dari masyarakat
maupun rumah sakit adalah: (Karina dan Oyagi, 2017)
a. Yang didapat di masyarakat:
Streeptococcus pneumonia, Mycoplasma pneumonia, Hemophilus
influenza, Legionella pneumophila, chlamydia pneumonia, anaerob oral,
adenovirus, influenza tipe A dan B.
6

b. Yang didapat di rumah sakit:


Basil usus gram negative (E. coli, Klebsiella pneumonia), Pseudomonas
aeruginosa, Staphylococcus aureus, anaerob oral.
Menurut Hariadi (2010) dan Bradley dkk (2011) pneumonia dibagi
berdasarkan kuman penyebab yaitu : (Karina dan Oyagi, 2017)
a. Pneumonia bacterial/tipikal adalah pneumonia yang dapat terjadi pada
semua usia. Bakteri yang biasanya menyerang pada balita dan anak-anak
yaitu streptococcus pneumonia, haemofilus influenza, mycobacterium
tuberculosa dan pneumococcus.
b. Pneumonia atipikal adalah pneumonia yang disebabkan oleh
mycoplasma. Organisme atipikal yang biasanya menyerang pada balita
dan anak-anak yaitu chlamidia trachomatis, mycoplasma pneumonia,
C.pneumonia dan pneumocytis.
c. Pneumonia virus. Virus yang biasanya menyerang pada balita dan anak-
anak yaitu Virus parainfluenza, Virus influenza, Adenovirus, Respiratory
Syncytial Virus (RSV) dan Cytomegalovirus.
d. Pneumonia jamur adalah pneumonia yang sering, merupakan infeksi
sekunder, terutama pada penderita dengan daya tahan tubuh lemah
(Immunocompromised).

2.1.3 Klasifikasi
Klasifikasi pneumonia menurut Hariadi (2010) dalam Oktadhea
(2019) berdasarkan klinis dan epidemilogi serta letak anatomi.
a. Klasifikasi pneumonia berdasarkan klinis dan epidemiologi
1) Pneumonia Komunitas (PK) adalah pneumonia infeksius pada
seseorang yang tidak menjalani rawat inap di rumah sakit.
2) Pneumonia Nosokomial (PN) adalah pneumonia yang diperoleh
selama perawatan di rumah sakit atau sesudahnya karena penyakit
lain atau prosedur.
3) Pneumonia aspirasi disebabkan oleh aspirasi oral atau bahan dari
lambung, baik ketika makan atau setelah muntah. Hasil inflamasi
pada paru bukan merupakan infeksi tetapi dapat menjadi infeksi
7

karena bahan teraspirasi mungkin mengandung bakteri aerobic atau


penyebab lain dari pneumonia.
4) Pneumonia pada penderita immunocompromised adalah pneumonia
yang terjadi pada penderita yang mempunyai daya tahan tubuh
lemah.
b. Klasifikasi pneumonia berdasarkan letak anatomi
1) Pneumonia lobaris
Pneumonia lobaris melibatkan seluruh atau satu bagian besar
dari satu atau lebih lobus paru. Bila kedua paru terkena, maka
dikenal sebagai pneumonia bilateral atau “ganda”.
2) Pneumonia lobularis (bronkopneumonia)
Bronkopneumonia terjadi pada ujung akhir bronkiolus, yang
tersumbat oleh eksudat mukopurulen untuk membentuk bercak
konsolidasi dalam lobus yang berada didekatnya.
3) Pneumonia interstisial
Proses implamasi yang terjadi di dalam dinding alveolar
(interstisium) dan jaringan peribronkial serta interlobular.
c. Berdasarkan bakteri penyebab
1) Pneumonia bakterial/tipikal. Dapat terjadi pada semua
usia. Beberapa bakteri mempunyai tendensi menyerang sesorang
yang peka, misalnya Klebsiella pada penderita alkoholik,
Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.
2) Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan
Chlamydia
3) Pneumonia virus
4) Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi
terutama pada penderita dengan daya tahan lemah
(immunocompromised)

2.1.4 Patofisiologi
Proses patogenesis pneumonia terkait dengan tiga faktor yaitu
keaadan (imunitas) pasien, mikroorganisme yang menyerang pasien dan
8

lingkungan yang berinteraksi satu sama lain. Dalam keadaan sehat, pada paru
tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh
adanya mekanisme pertahanan paru. Adanya bakteri di paru merupakan
akibat ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan
lingkungan, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat
timbulnya sakit. (Karina dan Oyagi, 2017)
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di
paru. Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila
terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat
berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru sangat
tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak
permukaan epitel saluran napas (Luhur, dkk, 2017)
Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan: (Luhur,
dkk, 2017 dan Karina dan Oyagi, 2017)
a. Inokulasi langsung;
b. Penyebaran melalui darah;
c. Inhalasi bahan aerosol, dan
d. Kolonosiasi di permukaan mukosa.
Dari keempat cara tersebut, cara yang terbanyak adalah dengan
kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada virus, mikroorganisme atipikal,
mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteria dengan ikuran 0,5-2,0
mikron melalui udara dapat mencapai bronkiolus terminal atau alveol dan
selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas
atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan
terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari
sebagian besar infeksi paru.
Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang
normal waktu tidur (50%) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum
alkohol dan pemakai obat (drug abuse). Sekresi orofaring mengandung
konsentrasi bakteri yang sangat tinggi 108-10/ml, sehingga aspirasi dari
sebagian kecil sekret (0,001-1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri
yang tinggi dan terjadi pneumonia (Luhur, dkk, 2017)
9

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli


menyebabkan reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan
infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan
fagositosis sebelum terbentuk antibodi. Sel-sel PNM mendesak bakteri ke
permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui
psedopodosis sistoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian terjadi
proses fagositosis. Pada waktu terjadi perlawanan antara host dan bakteri
maka akan nampak empat zona pada daerah pasitik parasitik terset yaitu :
(Karina dan Oyagi, 2017)
a. Zona luar (edama): alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema;
b. Zona permulaan konsolidasi (red hepatization): terdiri dari PMN dan
beberapa eksudasi sel darah merah;
c. Zona konsolidasi yang luas (grey hepatization): daerah tempat terjadi
fagositosis yang aktif dengan jumlah PMN yang banyak;
d. Zona resolusi E: daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri
yang mati, leukosit dan alveolar makrofag
Menurut Luhur, dkk (2017) proses radang selalu dimulai dari hilus
paru yang menjalar secara progresif ke perifer sampai seluruh lobus terkena.
Proses radang ini dapat kita bagi atas 4 tingkatan:
a. Tingkatan kongestif Lobus paru yang meradang tampak berwarna
kemerah-merahan, membengkak pada perabaan mengandung banyak
cairan dan pada iritan keluar cairan kemerah-merahan. Pada tingkat ini
kapiler melebihi dan kongestif, alveolus terisi oleh netrofil dan makrofag.
b. Tingkat hepatisasi merah Pada tingkat jumlah, netrofil bertambah, tampak
pula sel-sel darah merah dalam alveolus, eksudat berubah menjadi
fibrinosa pada makroskopis paru-paru sehingga perabaannya menyerupai
hati.
c. Tingkatan hepatisasi kelabu Pada perabaan paru masih tetap kenyal
seperti hepar, hanya warna kemerah-merahan merubah menjadi kelabu.
Eksudat masih tetap terlihat bahkan dapat berubah menjadi nanah dan
masuk ke pleura, pada mikroskopis sel-sel tampak amorf, dan makrofag
lebih berperan dalam proses penyembuhan.
10

d. Tingkat resolusi atau penyembuhan total Disini paru-paru menjadi lunak


dimana eksudat yang melunak sebagian dibatukkan keluar dan sebagian
lagi mengalami resorbsi. Pada saat ini seluruh bagian paru kembali
kepada keadaan normal.

2.1.5 Diagnosis
Gejala khas dari pneumonia adalah demam, menggigil, berkeringat,
batuk (baik non produktif atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir,
purulen, atau bercak darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak. Gejala
umum lainnya adalah pasien lebih suka berbaring pada yang sakit dengan
lutut tertekuk karena nyeri dada. Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi atau
penarikan dinding dada bagian bawah saat pernafasan, takipneu, kenaikan
atau penurunan taktil fremitus, perkusi redup sampai pekak menggambarkan
konsolidasi atau terdapat cairan pleura, ronki, suara pernafasan bronkial,
pleural friction rub. (Karina dan Oyagi, 2017).
a. Gambaran klinis dari pneumonia adalah: (Luhur, dkk, 2017)
1) Anamnesis
a) Batuk
b) Perubahan karakteristik sputum/purulen
c) Suhu tubuh ≥38°C (aksila)/riwayat demam
d) Nyeri dada
e) Sesak napas
2) Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisik dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada
inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas,
pasa palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada
auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial
yang mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi
ronki basah kasar pada stadium resolusi.
11

b. Pemeriksaan penunjang (Luhur, dkk, 2017)


1) Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama
untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa
infiltrat sampai konsolidasi dengan air bronchogram, penyebaran
bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja
tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya gambaran
pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus
pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan
infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia, sedangkan
Klebsiella pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi
pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.

2) Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,
biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan
pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi
peningkatan LED. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan
hiperkarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.
Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak,
kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25%
penderita yang tidak diobati. Pemeriksaan apusan gram dan biakan
sputum hanya dapat dilakukan jika hasil sputum yang dikeluarkan
kualitasnya baik termasuk cara pengumpulan, transportasi, dan proses
pemeriksaan di laboratorium. Hasil kultur darah positif pada
pneumonia yang dirawat hanya 5-14% sehingga pemeriksaan kultur
darah harus dilakukan secara selektif.
Keuntungan dari apusan Gram adalah:
a) Pemberian pengobatan antibiotika akan lebih terarah, hal ini dapat
mengurangi penggunaan antibiotika awal yang kurang tepat.
b) Dapat memvalidasi hasil biakan sputum berikutnya.
12

Menurut Majalah Resmi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia


(Official Journal of The Indonesian Society of Respirology (2019) pneumonia
adalah peradangan paru oleh bakteri dengan gejala berupa panas tinggi
disertai batuk berdahak, napas cepat (frekuensi nafas >50 kali/menit), sesak,
serta gejala lainnya (sakit kepala, gelisah dan nafsu makan berkurang).

2.1.6 Tatalaksana Pneumonia


Pada prinsipnya penatalaksanaan utama pneumonia adalah
memberikan antibiotik tertentu terhadap kuman tertentu infeksi pneumonia.
Pemberian antibitotik bertujuan untuk memberikan terapi kausal terhadap
kuman penyebab infeksi, akan tetapi sebelum antibiotika definitif diberikan
antibiotik empiris dan terapi suportif perlu diberikan untuk menjaga kondisi
pasien (Karina dan Oyagi, 2017 dan Dahlan, 2009).
Demikian pula pendapat Luhur, dkk (2017) pengobatan pneumonia
terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil
uji kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu:
a. Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa.
b. Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab
pneumonia.
c. Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris.
Terapi antibiotika empiris menggambarkan tebakan terbaik
berdasarkan pada klasifikasi pneumonia dan kemungkinan organisme, karena
hasil mikrobiologis umumnya tidak tersedia selama 12-72 jam. Maka dari itu
membedakan jenis pneumonia (CAP atau HAP) dan tingkat keparahan
berdasarkan kondisi klinis pasien dan faktor predisposisi sangatlah penting,
karena akan menentukan pilihan antibiotika empirik yang akan diberikan
kepada pasien. (Karina dan Oyagi, 2017)
Tindakan suportif meliputi oksigen untuk mempertahankan PaO2 > 8
kPa (SaO2 > 92%) dan resusitasi cairan intravena untuk memastikan stabilitas
hemodinamik. Bantuan ventilasi: ventilasi non invasif (misalnya tekanan
jalan napas positif kontinu (continous positive airway pressure), atau
13

ventilasi mekanis mungkin diperlukan pada gagal napas. Bila demam atau
nyeri pleuritik dapat diberikan antipiretik analgesik serta dapat diberika
mukolitik atau ekspektoran untuk mengurangi dahak. (Karina dan Oyagi,
2017).
Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia komunitas dapat
dilakukan dengan menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian
pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT).

Tabel 2.1 Sistem skor pada pneumonia komunitas berdasarkan PORT


(PDPI, 2003).
Karakteristik Penderita Jumlah Poin
Faktor Demografi
• Usia : Laki- laki Umur (tahun)
Perempuan Umur (tahun) – 10
• Perawatan di rumah +10
• Penyakit penyerta
Keganasan +30
Penyakit hati +20
Gagal jantung kongestif +10
Penyakit serebrovaskular +10
Penyakit ginjal +10
Pemeriksaan Fisik
• Perubahan status mental +20
• Pernapasan >30 kali/menit +20
• Tekanan darah sistolik +20
• Suhu tubuh <350C +15
• Nadi >125 kali/menit +10
Hasil Laboratorium/radiologi
• Analisis gas darah arteri :pH 7,35 +30
• BUN >30 mg/dL +20
• Natrium <130 mEq/Liter +20
14

Karakteristik Penderita Jumlah Poin


• Glukosa >250 mg/dL +10
• Hematokrit <30% +10
• PO/<60 mmHg +10
• Efusi pleura +10

PSI membagi kelompok CAP menjadi lima kelas berdasarkan risiko


mortalitas yang dimiliki pasien, dimana kelas I-III merupakan pasien dengan
mortalitas rendah, kelas IV merupakan pasien dengan mortalitas tinggi. PSI
juga digunakan untuk menentukan pasien akan diterapi dengan rawat jalan
atau di rawat inap, seperti pada tabel :

Tabel 2.2 Derajat risiko dan rekomendasi perawatan menurut


PORT/PSI ( Karina, 2017).
Kelas risiko Total Skor Mortality Perawatan
I Tidak diprediksi 0,1 Rawat Jalan
II < 70 0,6 Rawat Jalan
III 70-90 2,8 Rawat Inap Singkat
IV -130 8,2 Rawat Inap
V >130 29,2 Rawat Inap

a. Pilihan Antibiotika
Dalam memilih antibiotika yang tepat harus dipertimbangkan faktor
sensitivitas bakteri terhadap antibiotika, keadaan tubuh pasien, dan faktor
biaya pengobatan. Pada infeksi pneumonia (CAP dan HAP) seringkali
harus segera diberikan antibiotika sementara sebelum diperoleh hasil
pemeriksaan mikrobiologik. Pemilihan ini harus didasarkan pada
pengalaman empiris yang rasional berdasarkan perkiraan etiologi yang
paling mungkin serta antibiotika terbaik untuk infeksi tersebut. Memilih
antibiotika yang didasarkan pada luas spektrum kerjanya tidak dibenarkan
karena hasil terapi tidaklebih unggul daripada hasil terapi dengan
15

antibiotika berspektrum sempit, sedangkan superinfeksi lebih sering


terjadi dengan antibiotika berspektrum luas (Mandell, 2007).

Tabel 2.3 Rekomendasi Antibiotika Empiris pada CAP


Terapi pasien rawat jalan
1) Sebelumnya sehat dan tidak menggunakan antibiotik dalam 3 bulan
sebelumnya
a) Makrolid
b) Doxicilin
2) Ada komorbid (penyakit jantung, paru, hati, ginjal, DM, alkhol,
keganasan, asplenia, obat immunospresi, antibiotik 3 bulan sebelumnya)
a) Fluoroquinolon respirasi (moxifloxacin, gemifloxacin/ levofloxacin
750 mg)
b) β lactam + makrolid
3) Pada daerah dengan angka infeksi tinggi dan dengan resisitensi tinggi
makrolid terhadap S.pneumoniae, dipertimbangkan antibiotik sesuai
poin 2.
Rawat inap tidak di ICU Fluoroquinolon respirasi atau β lactam + makrolid
Rawat inap di ICU β lactam (cefotaxim, ceftriaxon, atau ampicilin
sulbaktam) + azitromisin atau floroquinolon respirasi
Bila diperkirakan pseudomonas
1) β lactam antipseudomonas (piperasilin-tazobactam, cefepime, imipenem
atau merpenem) + ciprofloxasin atau levofloxacin (750 mg) atau
2) β lactam antipseudomonas + aminoglikosid dan azitromisin atau
3) β lactam antipseudomonas + aminoglikosid dan floroquinolon
antipneumococal (untuk pasien alergi penisilin ganti β lactam dengan
asteronam
Bila dipertimbangkan CA-MRSA tambahkan vancomysin/linezolid

Berdasarkan atas panduan penatalaksanaan pasien dengan CAP oleh


American Thoracic Society (ATS), untuk pasien yang memerlukan
perawatan di rumah sakit dengan penyakit kardiopulmoner dengan atau
16

tanpa faktor modifikasi, terapi yang dianjurkan adalah terapi dengan


golongan β-lactam (cefotaxim, ceftriaxon, ampicillin/sulbactam, dosis
tinggi ampicillin intravena) yang dikombinasi dengan makrolide atau
doksisiklin oral atau intravena, atau pemberian fluroquinolon
antipneumococcal intravena saja. Begitu juga panduan penatalaksanaan
yang dikeluarkan oleh Infectious Diseases Society of America (IDSA)
menganjurkan pemberian cephalosporin ditambah makrolide atau
βlactam/β-lactamase inhibitor ditambah makrolide atau fluroquinolon
saja.

Penatalaksanaan yang baik terhadap bakteriemik streptococcal


pneumonia akan secara signifikan menurunkan angka kematian pasien
CAP. Terdapat isu penting tentang penggunaan dual terapi meningkatkan
outcome yang lebih baik dibandingkan denganmonoterapi pada pasien
CAP. Dual terapi yang dimaksud adalah kombinasi antara regimen yang
terdiri dari antibiotika β-lactam, makrolide, atau fluroquinolon.
Sedangkan monoterapi yang dimaksud adalah penggunaan golongan β-
lactam atau fluoroquinolon sebagai agen tunggal.

b. Kegagalan Terapi
Kepekaan kuman terhadap antibiotika tertentu tidak dapat menjamin
efektivitas klinis. Faktor berikut dapat menjadi penyebab kegagalan
terapi:
1) Dosis kurang
Dosis suatu antibiotika seringkali bergantung dari tempat infeksi,
walaupun kuman penyebanya sama. Sebagai contoh dosis penisilin G
yang diperlukan untuk mengobati meningitis oleh Pneumococcus jauh
lebih tinggi daripada dosis yang diperlukan untuk pengobatan infeksi
saluran napas bawah yang disebabkan oleh kuman yang sama
(Nuryasni, 2009).
2) Masa terapi yang kurang
Konsep lama yang menyatakan bahwa untuk setiap jenis infeksi perlu
diberikan antimikroba tertentu selama jangka waktu tertentu kini telah
ditinggalkan. Pada umunya para ahli cenderung melakukan
17

individualisasi masa terapi, yang sesuai dengan tercapai respon klinik


yang memuaskan. Namun untuk penyakit tertentu seperti tuberkulosis
paru tetap dipertahankan masa terapi yang cukup walaupun perbaikan
klinis cepat terlihat (Nuryasni, 2009).
3) Kesalahan dalam menetapkan etiologi
Demam tidak selalu disebabkan oleh kuman, virus, jamur, parasit,
reaksi obat, dan lain-lain dapat meningkatkan suhu badan. Pemberian
antibiotika yang lazim diberikan dalam keadaan ini tidak bermanfaat
(Nuryasni, 2009).
4) Pilihan antibotika yang kurang tepat
Suatu daftar antibiotika yang dinyatakan efektif dalam uji sensitivitas
tidak dengan sendirinya menyatakan bahwa setiap antibiotika akan
memberikan aktivitas klinik yang sama. Disini dokter harus dapat
mengenali dan memilih antibiotika yang secara klinis merupakan obat
terpilih untuk suatu kuman tertentu. Sebagai contoh obat terpilih
untuk infeksi S. faecalis adalah ampisilin, walaupun secara in vitro
kuman tersebut juga dinyatakan sensitif terhadap sefamandol atau
gentamisin (Nuryasni, 2009).
5) Faktor pasien
Keadaan umum yang buruk dan gangguan mekanisme pertahanan
tubuh (selular dan humoral) merupakan faktor penting yang
menyebabkan gagalnya terapi antibotika. Sebagai contoh obat
imunosupresan, AIDS (Nuryasni, 2009).
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian
antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data
mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi karena beberapa
alasan yaitu: (Luhur, dkk, 2017)
a. Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa.
b. Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab
pneumonia.
c. Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu. Maka pada penderita
pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris.
18

Dalam hal mengobati penderita pneumonia sesuai dengan ATS/IDSA 2007


perlu diperhatikan: (Luhur, dkk, 2017)
a. Pasien tanpa riwayat pemakaian antibiotik 3 bulan sebelumnya
b. Pasien dengan komorbid atau mempunyai riwayat pemakaian antibiotik 3
bulan sebelumnya.
Pemilihan antibiotik secara empiris berdasarkan beberapa faktor, termasuk:
(Luhur, dkk, 2017)
a. Jenis kuman yang kemungkinan besar sebagai penyebab berdasarkan pola
kuman setempat.
b. Telah terbukti dalam penelitian sebelumnya bahwa obat tersebut efektif.
c. Faktor risiko resisten antibiotik. Pemilihan antibiotik harus
mempertimbangkan kemungkinan resisten terhadap Streptococcus
pneumoniae yang merupakan penyebab utama pada pneumonia komuniti
yang memerlukan perawatan.
d. Faktor komorbid dapat mempengaruhi kecenderungan terhadap jenis
kuman tertentu dan menjadi faktor penyebab kegagalan pengobatan
Yang termasuk dalam faktor komorbid adalah: (Luhur, dkk, 2017)
a. Pneumokokus resisten terhadap penisilin.
1) Umur lebih dari 65 tahun.
2) Memakai obat-obat golongan β laktam selama tiga bulan terakhir
3) Pecandu alkohol
4) Penyakit gangguan kekebalan.
5) Penyakit penyerta yang multiple.
b. Bakteri enterik Gram negative.
1) Penghuni rumah jompo.
2) Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung dan paru.
3) Mempunyai kelainan penyakit yang multiple.
4) Riwayat pengobatan antibiotik.
c. Pseudomonas aeruginosa.
1) Bronkiektasis.
2) Pengobatan kortikosteroid >10 mg/hari.
3) Pengobatan antibiotik spektrum luas >7 hari pada bulan terakhir.
19

4) Gizi kurang
Penatalaksanaan pneumonia komuniti dibagi menjadi: (Luhur, dkk, 2017)
a. Penderita rawat jalan
1) Pengobatan suportif/simptomatik.
a) Istirahat di tempat tidur.
b) Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi.
c) Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun
panas.
d) Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran.
2) Pemberian antiblotik harus diberikan sesegera mungkin.
b. Penderita rawat inap di ruang rawat biasa.
1) Pengobatan suportif/simptomatik.
a) Pemberian terapi oksigen.
b) Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan
elektrolit.
c) Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik.-
2) Pengobatan antibiotik harus diberikan sesegera mungkin.
c. Pasien rawat inap di ruang rawat intensif.
1) Pengobatan suportif/simptomatik.
a) Pemberian terapi oksigen.
b) Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan
elektrolit.
c) Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik.
2) Pengobatan antibiotik harus diberikan sesegera mungkin.
3) Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik.
Pemberian antibiotik dievaluasi secara klinis dalam 72 jam pertama:
a. Jika didapatkan perbaikan klinis terapi dapat dilanjutkan.
b. Jika perburukan maka antibiotik harus diganti sesuai hasil biakan atau
pedoman empiris.
Pasien pneumonia berat yang datang ke IGD diobservasi tingkat
kegawatannya, bila dapat distabilkan maka pasien dirawat inap di ruang rawat
biasa, bila terjadi respiratory distress maka pasien dirawat di ruang rawat
20

intensif. Pada tabel dapat dilihat petunjuk terapi empiris untuk pneumonia
komuniti menurut PDPI (Luhur, dkk, 2017)
Beberapa pasien akan membutuhkan perawatan di ruang Intensive
Care Unit (ICU). Pasien yang membutuhkan perawatan ICU adalah sebagai
berikut :
1. Pasien dengan syok sepsis yang membutuhkan vaspresor atau
dengan gagal nafas yang membutuhkan intubasi dan ventilasi
mekanik (Grief, 2018).
2. Pasien yang memiliki setidaknya 3 kriteria minor pada tabel.

Tabel 2.4 Kriteria Mayor dan Minor pada Pneumonia

Minor Laju nafas lebih dari 30x/menit

PaO2/FiO2 rasio kurang dari 250

Infiltrat multilobar

Penurunan kesadaran

BUN lebih dari sama dengan 20 mg/dL

Leukopenia (< 4000)

Trombositopenia (<100.000)

Hipotermia (<36 C)

Hipotensi yang membutuhkan resusitasi


cepat

Mayor Membutuhkan ventilasi mekanik

Syok septik

Pengobatan untuk pasien pneumonia atipik, antibiotik masih tetap


merupakan pengobatan utama pada pneumonia termasuk atipik. Antibiotik
21

terpilih pada pneumonia atipik yang disebabkan oleh M. pneumoniae, C.


pneumoniae dan Legionella adalah golongan: (Luhur, dkk, 2017)

a. Makrolid baru: azitromisin, klaritromisin, roksitromisin.


b. Fluorokuinolon respirasi: levofloksasin, moksifloksasin.
Untuk pasien pneumonia terinfeksi virus influenza (H5N1, H1N1,
H7N9, H3N2) pengobatan antiviral diberikan secepat mungkin (48 jam
pertama): (Luhur, dkk, 2017)
a. Dewasa atau anak ≥1 tahun dosis oseltamivir 2 mg/kgBB, 2 kali sehari
selama 5 hari.
b. Anak ≥1 tahun dosis oseltamivir dapat diberikan sesuai dengan berat
badan.
Sebagaian besar kasus pneumonia dapat ditangani dengan rawat jalan.
Beberapa alat assesmen untuk menilai keparahan juga tersedia untuk
digunakan. Seperti Pneumonia Severity Index (PSI) yang menilai setidaknya
20 variabel yang akan mengelompokkan pasien setidaknya ke dalam 5
kategori (1-5) berdasarkan risiko kematian dalam 30 hari. Alat lainnya yaitu
CURB65, juga menilai risiko kematian dalam 30 hari, namun hanya
menggunakan 5 variabel pemeriksaan (Confusion, Urea, Respiratory rate,
Blood pressure, umur >65). Skor 0-1 berarti risiko rendah dan dapat
ditatalaksana dengan rawat jalan. Skor 2 membutuhkan perawatan rumah
sakit. Skor 3 -5 membutuhkan perawatan ruang intensif (Grief, 2018).
22

Gambar 2.1 Evaluasi dan Treatmen Pneumonia (Grief, 2018).

2.1.6.1 Tatalaksana Pneumonia di IGD


Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala klinis
pemeriksaan fisis, foto toraks dan labolatorium. Diagnosis pasti pneumonia
komuniti ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat
progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini :
1. Batuk-batuk bertambah
2. Perubahan karakteristik dahak / purulen
3. Suhu tubuh > 380C (aksila) / riwayat demam
4. Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas
bronkial dan ronki
23

5. Leukosit > 10.000 atau < 4500

Penilaian derajat Keparahan penyakit


Penilaian derajat kerahan penyakit pneumonia komuniti dapat dilakukan
dengan menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian Pneumonia
Patient Outcome Research Team (PORT). Berdasarkan kesepakatan PDPI,
kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap pneumonia komuniti adalah :
1. Skor PORT lebih dari 70
2. Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila
dijumpai salah satu dari kriteria dibawah ini.
1. Frekuensi napas > 30/menit
2. Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg
3. Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
4. Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
Tekanan sistolik < 90 mmHg
Tekanan diastolik < 60 mmHg

Penderita pneumonia berat yang datang ke UGD diobservasi tingkat


kegawatannya, bila dapat distabilkan maka penderita dirawat inap di ruang
rawat biasa; bila terjadi respiratory distress maka penderita dirawat di Ruang
Rawat Intensif.
24

Gambar 2.2 Diagnosis dan Tatalaksana Awal Pemberian Antibiotik (W S


Lim, 2009).

Penatalaksanaan supportif di IGD pada pasien pneumonia:


1. Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96%
berdasarkan pemeriksaan analisis gas darah.
2. Ventilasi mekanis, indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada
pneumonia adalah:
25

a. Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100% dengan


menggunakaan masker. Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan
penurunan pulmonary compliance hingga tekanan inflasi meninggi.
Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk memperbaiki
oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50% atau lebih rendah.
b. Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress,
dengan atau didapat asidosis respiratorik.
c. Respiratory arrest.
d. Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif.
3. Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental,
dapat disertai nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat
bronkospasme.
4. Pengaturan cairan. Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada
pneumonia, dan paru lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila
terdapat pneumonia bilateral. Pemberian cairan pada pasien harus diatur
dengan baik, termasuk pada keadaan gangguan sirkulasi dan gagal ginjal.
Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak diperkenankan.
5. Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan
bila terdapat komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal.
(Soedarsono, 2004).

Indikasi pemasangan airway definitif didasarkan pada (Yeliz, 2017):


1) Adanya apneu.
2) Ketidakmampuan mempertahankan airway dengan cara-cara yang
lain.
3) Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah
atau vomitus.
4) Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway, seperti pada
cedera inhalasi, patah tulang wajah, hematoma retrofaringeal atau
kejang-kejang yang berkepanjangan.
5) Adanya cedera kepala tertutup yang memerlukan bantuan nafas
(GCS< sama dengan 8).
26

6) Ketidakmampuan mempertahankan oksigenisasi yang adekuat


dengan pemberian oksigen tambahan lewat masker wajah.

Gambar 2.3 Alat-alat intubasi endotrakheal (Yeliz,2017).

2.1.6.2 Tatalaksana Pnemonia di Rawat Inap


1. Terapi antibiotik (Mandell 2007 dan PDPI 2003)
Sesuai dengan hasil kultur. Pilihan antibiotik yang diberikan sebelum
hasil kultur keluar adalah sebagai berikut:
a. Fluoroquinolone respirasi (moxifloxacin, gemifloxacin,
levofloxacin)
b. β lactam (seftriakson IV 1-2 g/hari, sefotaksim IV 1-2 g/8 jam,
ampisilin IV 1-2 g/4-6 jam + Makrolid (azithromisin 1 g/hari)
2. Terapi oksigen (Gede Putu, Terapi Oksigen, Universitas Udayana,
2017).
27

Tabel. 2.5 Terapi Oksigen (Gede Putu, 2017)

3. Terapi cairan
Terapi cairan untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit jika perlu. Dalam
hal rehidrasi dapat menggunakan kebutuhan cairan menurut holiday
segar.
28

Tabel. 2.6. Terapi Cairan (PDPI, 2003).

4. Terapi simptomatik (Burhan, 2003)


Terapi simptomatis dapat berupa pemberian obat antipiretik seperti
paracetamol dan juga mukolitik.

2.1.6.3 Tatalaksana Pnemonia di ICU

Pada umumnya pasien masuk ke ICU diakibatkan oleh ARDS dan/atau


sepsis yang diakibatkan oleh pneumonia.

1) Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)


a. Onset : gejala pernapasan baru atau memburuk dalam waktu satu
atau dua minggu dari peristiwa klinis diketahui.
b. Chest imaging (Rontgen dada, CT scan, atau Utrasonografi (USG)
paru: opasisitas bilateral, yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan
sebagai efusi, lobar atau kolaps paru, atau nodul.
c. Asal edema : gagal napas yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan
oleh gagal jantung atau kelebihan cairan. Diperlukan penilaian
objektif (misal ekokardiografi) untuk menyingkirkan penyebab
edema hidrostatik jika tidak ada faktor risiko.
d. Oksigenasi (Dewasa)
1. ARDS ringan : Tekanan parsial oksigen (PaO2)/ Fraksi
inspirasi oksigen (FiO2) ARDS ringan: Tekanan parsial
oksigen (PaO2)/Fraksi inspirasi oksigen (FiO2) ≤ 300
29

mmHg (dengan PEEP atau CPAP ≥5 cmH2O, atau non-


ventilated).
2. ARDS sedang: PaO2/FiO2 >100 mmHg hingga ≤200
mmHg dengan PEEP ≥5 cmH2O, atau non-ventilated).
3. ARDS berat: PaO2/FiO2 ≤ 100 mmHg dengan PEEP ≥5
cmH2O, atau non-ventilated).
4. Jika PaO2 tidak tersedia, SpO2/FiO2 ≤315 cenderung
ARDS (termasuk pasien yang non-ventilated).
2) Sepsis
Sepsis sendiri dapat tampil dalam 2 wujud, sepsis dan syok sepsis.
a. Sepsis
Dewasa: disfungsi organ yang mengancam nyawa yang
disebabkan oleh respon host yang tidak terkendali terhadap infeksi
baik yang dicurigai maupun yang terbukti, dan disertai disfungsi
organ yang dibuktikan dengan peningkatan skor Sepsis-related
Organ Failure Assessment (SOFA) ≥2. Skor SOFA awal
diasumsikan sebagai 0, jika tidak diketahui.
Anak: Adanya infeksi/kecurigaan infeksi dan kriteria systemic
inflammatory response syndrome (SIRS) >2, dimana salah
satunya harus disregulasi suhu atau jumlah sel darah putih.

Gambar 2.2 Systemic Inflamatory Response Syndrom (SIRS)


(Perdatin, 2020).
30

b. Syok Sepsis
Dewasa : hipotensi yang menetap meskipun dengan resusitasi
volume, yang memerlukan vasopresor untuk mempertahankan
MAP ≥ 65 mmHg dan tingkat laktat serum >2 mmol/L.
Aanak : hipotensi yang disebakan apapun (SBP <5th centile atau
>2 SD dibawah normal sesuai usia) atau 2-3 dari berikut:
gangguan status mental, takikardia atau bradikardi (HR <90 bpm
pada anak), CRT memanjang (>2 detik) atau vasodilatasi hangat
dengan nadi yang kuat, takipnea, bercak-bercak di kulit seperti
petechiae atau purpura, peningkatan laktat, hipertermia atau
hipotermia (Perdatin, 2020).

Terapi dan Monitoring di ICU


1) Pemberian terapi oksigen
Segera berikan oksigen dengan nasal kanul atau facemask. Jika tidak
respon, gunakan High Flow Nasal Canul (HNFC). Non-invasive
mechanical ventilation (NIV) boleh dipertimbangkan jika tidak terdapat
HFNC dan tidak ada tanda-tanda kebutuhan intubasi segera, tetapi harus
disertai dengan NIV disertai dengan monitoring ketat. Tidak ada
rekomendasi mengenai jenis perangkat NIV yang lebih baik. Target SpO2
tidak lebih dari 96%. Segera intubasi dan beri ventilasi mekanik jika
terjadi perburukan selama penggunaan HFNC ataupun NIV atau tidak
membaik dalam waktu 1 jam (Perdatin, 2020).
Rapid sequence intubation perlu dilakukan segera. Sangat
direkomendasikan ventilasi mekanik menggunakan volume tidal yang
lebih rendah (4-8 ml / kg prediksi berat badan, predicted body weight) dan
tekanan inspirasi yang lebih rendah (tekanan plateau <30 cmH2O).
Penggunaan sedasi yang dalam mungkin diperlukan untuk
mengendalikan dorongan pernapasan dan mencapai target volume tidal.
RCT strategi ventilasi yang menargetkan driving pressure saat ini belum
tersedia. Pada pasien ARDS sangat berat direkomendasikan prone
ventilation selama >12 jam per hari (perlu sumber daya yang terlatih)
(Burhan, 2020).
31

Mode ventilasi dapat menggunakan volume maupun pressure based.


Volume tidal (VT) awal 8 ml/kgBB. Laju nafas diatur dengan
memperhitungan ventilasi semenit yang adekuat, maksimal 35 kali per
menit. Target oksigenasi PaO2 55-80 mmHg atau SpO2 88-95%
(Perdatin, 2020).
2) Nutrisi dan Cairan
- Strategi cairan konservatif
Studi oleh silverside dkk memberi gambaran tentang strategi
pemberian cairan konservatif pada pasien ARDS. Terdapat beberapa
kriteria klinis dimana cairan diberikan selama pasien diperkirakan
masih akan mendapatkan manfaat positif. Kita dapat menggunakan
salah satu atau beberapa kriteria, tergantung pada ketersediaan
fasilitas yang ada. Kriteria yang dimaksud adalah:
1. Extravascular Lung Water Index (EVLW) > 7 ml/kgBB.
2. Stroke Volume Variation (SVV) > 10% pada pemeriksaan
passive leg rising (PLR).
3. Pulse Pressure Variation (PPV) > 13% pada pemeriksaan
PLR.
4. Intrathoracic Blood Volume Index (ITBVI) < 850 ml).
Pada keadaan dimana terdapat keterbatasan sumber daya kesehatan
dapat dilakukan strategi berikut :
1. Pemberian kristaloid 200-500 ml jika terdapat tanda
hipoperfusi (Laktat serum > 4 mmol/L, MAP < 50 mmHg,
atau produksi urin <0.5 ml/kgBB selama 2 jam).
2. Pembatasan regimen cairan maintenance sebesar 80% dari
perhitungan kebutuhan harian (Perdatin, 2020).
Pada pasien dewasa berikan paling sedikit cairan isotonik
kristaloid sebanyak 30 ml/kgBB dalam kurun waktu 3 jam pertama.
Tentukan kebutuhan caira tambahan pada dewasa yaitu 250-1000 ml
berdasarkan respons klinis dan perbaikan perfusi. Target perfusi
adalah MAP >65 mmHg (disesesuiakan dengan usia), urin output >0,5
ml/kgBB/jam, CRT <2 detik, tingkat kesadaran, dan laktat.
32

Pada pasien anak berikan 20 ml/kgBB bolus cepat dan lanjutkan


40-60 ml/kgBB dalam 1 jam pertama. Tentukan kebutuhan cairan
tambahan yaitu 10-2- ml/kgBB berdasarkan respon klinis dan
perbaikan perfusi. Target perfusi adalah MAP >65 mmHg
(disesesuiakan dengan usia), urin output >1 ml/kgBB/jam, CRT <2
detik, skin mottling tingkat kesadaran, dan laktat (Burhan, 2020).
Cairan yang digunakan yaitu normal salin dan ringer laktat. Jangan
menggunakan cairan kristaloid hipotonik, starches, atau gelatin untuk
resusitasi. Surviving sepsis juga merekomendasikan albumin jika pasien
membutuhkan kristaloid dalam jumlah besar. Resusitasi cairan dapat
menyebabkan overload volume, termasuk kegagalan respirasi. Jika tidak ada
respons terhadap loading cairan dan terdapat tanda overload volume
(misalnya distensi vena jugular, ronkhi pada auskultasi paru, edema pulmonar
pada rontgen, atau hepatomegali pada anak), maka kurangi atau hentikan
pemberian cairan (Burhan, 2020).
Vasopressor jika syok menetap setelah resusitasi cairan Obat-obatan
vasopresor diantaranya norepinefrin, epinefrin, vasopresin, dan dopamin.
Target awal MAP ≥65mmHg, disesuaikan dengan usia. Vasopressor paling
aman diberikan melalui CVC pada tingkat yang dikontrol ketat. Jika CVC
tidak tersedia, vasopressor dapat diberikan melalui IV perifer, dengan melalui
vena besar dan pantau tanda ekstravasasi (stop jika terjadi) dan nekrosis
jaringan lokal. Jika tanda-tanda perfusi yang buruk dan disfungsi jantung
tetap ada meskipun mencapai target MAP dengan cairan dan vasopresor,
pertimbangkan inotrop seperti dobutamin.
Pantau tekanan darah sesering mungkin dan titrasi vasopressor ke dosis
minimum yang diperlukan untuk mempertahankan perfusi dan mencegah
efek samping. Norepinefrin dianggap sebagai lini pertama pada pasien
dewasa; epinefrin atau vasopresin dapat ditambahkan untuk mencapai target
MAP. Pada anak-anak dengan syok dingin (lebih umum), epinefrin dianggap
sebagai lini pertama, sedangkan norepinefrin digunakan pada pasien dengan
syok hangat (kurang umum) (Burhan, 2020).
33

- Pemberian Nutrisi
Pasien dengan risiko tinggi harus segera mendapatkan nutrisi, jika
tidak dapat diberikan nutrisi enteral (EN), maka pasien perlu
mendapatkan nutrisi parenteral (PN). Jika pasien dengan risiko
rendah, pemberian nutrisi dapat ditunda untuk mengurangi risiko
penggunaan PN. Pasien yang tidak memiliki kontraindikasi
pemberian EN. Maka pasien diberikan makan biasa. Kemudian untuk
penentuan kebutuhan kalori harian dapat digunakan rule of thumb: 25-
30 kkal/kgBB, disertai dengan pemberian protein yang cukup 1.5-2
gram/kgBB/hari. Sumber kalori lainnya dititikberatkan pada
pengurangan karbohidrat dan peningkatan kalori yang berdasar dari
lemak.
3) Pemberian obat simtomatik
Parasetamol adalah pilihan farmakologik dalam penatalaksanaan
demam (Perdatin, 2020). Terapi simptomatik diberikan seperti antipiretik,
obat batuk dan lainnya jika memang diperlukan (Burhan, 2020).
4) Pemberian antibiotik
Tabel 2.7 Regimen Antibiotik Empirik

5) Elevasi Kepala
Jaga pasien dalam posisi semi-terlentang (elevasi kepala tempat tidur 30-
450). Hal ini penting untuk memaksimalkan fungsi paru, mengurangi
34

kejadian pneumonia terkait ventilator (VAP) dan melancarkan drainase


darah dari otak (Perdatin, 2020).
6) Profilaksis Usus
Agen blokade reseptor histamin-2 atau proton-pump inhibitors terutama
pada pasien dengan faktor risiko perdarahan gastrointestinal (GI). Faktor
risiko perdarahan GI meliputi penggunaan ventilasi mekanik ≥48 jam,
koagulopati, terapi penggantian ginjal, penyakit hepar, komorbiditas
multipel, dan skor kegagalan organ yang tinggi. Gunakan kasur
antidekubitus dan putar tubuh pasien setiap 2 jam untuk mencegah ulkus
dekubitus (Perdatin, 2020).
7) Kontrol Glikemik
Pertahankan target gula darah dalam rentang 120-180 mg/dl. Kontrol gula
darah yang terlalu ketat dapat menyebabkan risiko hipoglikemia dan
perburukan luaran pasien. Sebaliknya, gula darah yang terlalu tinggi
diasosiasikan dengan penurunan fungsi kognitif jangka panjang (Perdatin,
2020).

Gambar 2.5 Alur Penanganan Dini Pasien Kritis (Perdatin, 2020).


35

2.1.7 Komplikasi
Pneumonia umumnya bisa diterapi dengan baik tanpa menimbulkan
komplikasi. Akan tetapi, beberapa pasien, khususnya kelompok pasien risiko
tinggi, mungkin mengalami beberapa komplikasi seperti bakterimia (sepsis),
abses paru, efusi pleura dan kesulitan bernapas (Djojodibroto, 2013).
ARDS dapat ditegakkan menggunakan kriteria Berlin (Bakthiar,
2018).
Tabel 2.8 Kriteria Berlin (Bakhtiar, 2018).

Syok sepsis dapat ditegakkan melalui Quick SOFA atau SOFA Score.
Bakteremia dapat terjadi pada pasien jika bakteri yang menginfeksi paru
masuk ke dalam aliran darah dan menyebarkan infeksi ke organ lain, yang
berpotensi menyebabkan kegagalan organ. Pada 10% pneumonia
pneumokokkus dengan bakteremia dijumpai terdapat komplikasi
ektrapulmoner berupa meningitis, arthritis, endokarditis, perikarditis,
peritonitis, dan empiema. Pneumonia juga dapat menyebabkan akumulasi
cairan pada rongga pleura atau biasa disebut dengan efusi pleura (Taeb,
2018).
36

Tabel 2.9 SOFA Score (Taeb, 2017).

Efusi pleura pada pneumonia umumnya bersifat eksudatif. Pada klinis


sekitar 5% kasus efusi pleura yang disebabkan oleh P. pneumoniae dengan
jumlah cairan yang sedikit dan sifatnya sesaat (efusi parapneumonik). Efusi
pleura eksudatif yang mengandung mikroorganisme dalam jumlah banyak
beserta dengan nanah disebut empiema. Jika sudah terjadi empiema maka
cairan perlu di drainage menggunakan chest tube atau dengan pembedahan
(Taeb, 2018).

2.1.8 Prognosis
Pada umumnya prognosisnya adalah baik, tergantung dari faktor
pasien, bakteri penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat.
Perawatan yang baik dan intensif sangat mempengaruhi prognosis pada
pasien yang dirawat. Angka kematian pasien pnemonia komunitas kurang
dari 5 % pada pasien rawat jalan dan 20% pada pasien rawat inap (Luhur,
2017).

2.1.9 Pencegahan
Beberapa langkah pencegahan yang dapat dilakukan pada pneumnia
komuniti adalah sebagai berikut :
37

1. Vaksinasi (vaksin pneumokok dan vaksin influenza) walaupun masih


perlu penelitian lebih lanjut. Pemberian vaksin tersebut diutamakan
untuk golongan risiko tinggi misalnya usia lanjut, penyakit kronik,
diabetes, penyakit jantung koroner, PPOK, HIV, dll. Vaksinasi ulang
direkomendasikan setelah > 2 tahun.
2. Berhenti merokok.
3. Menjaga kebersihan tangan, penggunaan masker, menerapkan etika
batuk.
4. Menerapkan kewaspadaan standar dan isolasi pada kasus-kasus
(Luhur, 2017).
BAB III
KESIMPULAN

Pneumonia (nu-mo'ne-a) adalah radang kantung udara paru-paru


sebagai respons terhadap cedera, seperti infeksi. Ketika saluran udara juga
terlibat, mungkin disebut bronko pneumonia. Pneumonia bisa di satu area
paru-paru atau di beberapa area (Pneumonia “ganda” atau “multilobar”).
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian besar
disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil
disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi dll).
Klasifikasi Pneumonia berdasarkan American Thoracis Society yaitu
Comunity Acquired Pneumonia (CAP), Hospital Acquired Pneumonia
(HAP), Ventilator Acquired Pneumonia(VAP). Comunity Acquired
Pneumonia (CAP) dapat disebabkan karena bakteri, virus dan jamur. Proses
radang selalu dimulai dari hilus paru yang menjalar secara progresif ke perifer
sampai seluruh lobus terkena. Proses radang dapat dibagi menjadi 4 tingkatan
yaitu tingkatan kongestif, tingkat hepatisasi merah, tingkat hepatisasi kelabu,
dan tingkat resolusi atau penyembuhan total.
Pada prinsipnya penatalaksanaan utama pneumonia adalah
memberikan antibiotik tertentu terhadap kuman tertentu infeksi pneumonia.
Pemberian antibitotik bertujuan untuk memberikan terapi kausal terhadap
kuman penyebab infeksi, akan tetapi sebelum antibiotika definitif diberikan
antibiotik empiris dan terapi suportif perlu diberikan untuk menjaga kondisi
pasien. Terapi antibiotika empiris menggambarkan tebakan terbaik
berdasarkan pada klasifikasi pneumonia dan kemungkinan organisme, karena
hasil mikrobiologis umumnya tidak tersedia selama 12-72 jam. Maka dari itu
membedakan jenis pneumonia (CAP atau HAP) dan tingkat keparahan
berdasarkan kondisi klinis pasien dan faktor predisposisi sangatlah penting,
karena akan menentukan pilihan antibiotika empirik yang akan diberikan
kepada pasien.
Tindakan suportif meliputi oksigen untuk mempertahankan PaO2 > 8
kPa (SaO2 > 92%) dan resusitasi cairan intravena untuk memastikan stabilitas

38
39

hemodinamik. Bantuan ventilasi: ventilasi non invasif (misalnya tekanan


jalan napas positif kontinu (continous positive airway pressure), atau
ventilasi mekanis mungkin diperlukan pada gagal napas. Bila demam atau
nyeri pleuritik dapat diberikan antipiretik analgesik serta dapat diberika
mukolitik atau ekspektoran untuk mengurangi dahak.
DAFTAR PUSTAKA

American Thoracic Society/ 2016. Am J Respir Crit Care Med Vol. 193, P1-
P2, 2016 ATS Patient Education Series © 2016 American Thoracic
Society).

Burhan, E., Isbaniah, F., Susanto, A.D., Aditama, T.Y., Sartono, T.R., Sugiri,
Y.J., Tantular, R., Sinaga, Y.M., Handayani, R.R.D., Agustin, H.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2020. Penatalaksanaan
Covid-19. Jakarta.

Dahlan Z. 2009. Pneumonia, dalam Sudoyo AW, dkk (editor). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia.

Grief Samuel & Loza Julie, 2018, Guidelines for the evaluation and treatment
of pneumonia, Clinical Family Medicine, Department of Family
Medicine. https://doi.org/10.1016/j.pop.2018.04.001

Istita, D.G., Laksmitawati, D.R., Niken, M. 2020. Evaluasi Penggunaan Obat


dan Drug Related Problem (DRP) pada Pasien Pneumonia.
Holistik Jurnal Kesehatan. vol.14. no.1.

Jain, V., Vashist, R., Yilmaz, G., Bhardwaj, A. 2020. Pneumonia Pathology.
NCBI Bookshelf. A servise of the National Library of Medicine.
National Institute of Health.

Kishimbo, P., Sogone, N.M., Kalokola, F., Mshana, S.E. Prevalence of Gram
Negative Bacteria Causing Comunity Acquired Pneumonia
Among Adults.2020. Well Bugando School of Medicine. Mwanza.
Tanzania. Vol.20. no.7

Kolditz, M., Ewig, S. 2017. Communoty Acquired Pneumonia in Adults. p.p


114-48. https://10.3238/artzebl.2017.0838.

Karina Damayanti & Oyagi Ryusuke. 2017. Pneumonia. Kepaniteraan Klinik


Madya Bagian/SMF Ilmu Penyakit dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana RSUP Sanglah Denpasar 2017.

40
Luhur Soeroso H, Tamsil Syafiuddin, Zainuddin Amir, Pandiaman Pandia,
Widirahardjo, Parluhutan Siagian, Fajrinur Syarani, Amira Tarigan,
Bintang Y M Sinaga, Noni Novisari Soeroso, Setia Putra Tarigan,
Syamsul Bihar dan Nuryunita Nainggolan. 2017. Buku Ajar Respirasi.
Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi. Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2017. USU Press.

Mody, A.R., Kovacs, C.S. Communoty Acquired Pneumonia Strategies for


Triage and Treatment. Cleveland Clinic Journal of Medicinel.
vol.87. no. 3. https://doi:10.3949/ccjm.87a.19067.

Majalah Resmi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (Official Journal of The


Indonesian Society of Respirology). 2019. Jurnal Respirologi
Indonesia. VOLUME 39, Nomor 1, Januari 2019. p-ISSN 0853-7704
e-ISSN 2620-3162

Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, et al. Infectious Diseases Society


of America/American Thoracic Society consensus guidelines
on the management of community-acquired pneumonia in
adults. Clin Infect Dis 2007; 44: Suppl. 2, S27–S72.
Tersedia di:www.thoracic.org/sections/publications/statements/
pages/mtpi/idsaats-cap.html.

Nuryasni. Pola Kepekaan Bakteri Gram Negatif pada Penderita Infeksi


Saluran Pernapasan Bawah terhadap Amoksisilin di Laboraturium
Mikrobiologi Klinik Departemen Mikrobiologi FK UI tahun 2001-
2005. 2009. Program Sarjana Pendidikan Dokter Umum.
Universitas Indonesia : Jakarta.

Oktadhea FP. 2019. Pneumonia. Buku Pegangan Pembimbing.


http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wpcontent/uploads/2017/03/RS08_
Pneumonia-Q.pdf. diakses 3 Agustus 2020.

Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesi dan Terapi Intensif Indonesia


(PERDATIN). 2020. Buku Pedoman Pasien Kritis Covid-19.

41
42

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2003. Pneumonia Komuniti.


Jakarta.

Putu Gede, U.H. 2017. Tesis : Terapi Oksigen. Fakultas Kedokteran Udayana.
Denpasar.

Sri Sundari dan Fatwa Tiarani. 2015. Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang
Pneumonia Pada Balita Usia 1-5 Tahun. Jurnal.

Soedarsono. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu Penyakit Paru
FK UNAIR. Surabaya.

Susan Natalia Budihardjo dan I Wayan Bikin Suryawan. 2020. Faktor-faktor


Resiko Kejadian Pneumonia pada Pasien Pneumonia usia 12-59 bulan
di RSUD Wangaya. Original Article. Intisari Sains Medis 2020,
Volume 11, Number 1:398-404, P-ISSN: 2503-3638, E-ISSN: 2089-
9084.

Taeb M.A, Marik P.A, 2017. SIRS, qSOFA and new sepsis definition.
Division of Pulmonary and Critical Care Medicine, Eastern Virginia
Medical School.

Tulus Aji Yuwono. 2008. Faktor-Faktor Lingkungan Fisik Rumah Yang


Berhubungan Dengan Kejadian Pneumonia Pada Anak Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Kawunganten Kabupaten Cilacap. Tesis.
Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.

WHO. 2016. Hospital Care for Children: Global Resource for Addressing the
Quality of Care. https://www.ichrc.org/42-pneumonia. Diakses
Selasa, 4 Agustus 2020, pukul 13.46 Wib

W S Lim, S V Baudouin. 2009. British Thoracic Society guidelines for the


management of community acquired pneumonia in adults: update
2009.
Yeliz S. 2017. Indications for Endotracheal Intubation
https://www.intechopen.com/books/trachealintubation/indicationfor-
43

endotracheal- intubation Diakses Sabtu, 15 Agustus 2020, pukul


18.53

Anda mungkin juga menyukai