Biografi W. R. Soepratman
Biografi W. R. Soepratman
Soepratman
Keluarga Besar
Jakarta yang ketika W.R Soepratman dilahirkan masih bernama Batavia menjadi
kampung halaman pencipta lagu kebangsaan ini. Ia merupakan anak lelaki satu-satunya yang
dimiliki oleh Siti Senen dan suaminya, Djumeno Senen Sastrosoehardjo. Kelima saudara
kandungnya yang lain berjenis kelamin perempuan.W.R Soepratman dilahirkan dengan nama
asli Wage Soepratman tepat pada jam 11 siang tanggal 09 Maret 1903 di kawasan Jatinegara,
Batavia. Orangtuanya memberi nama Wage disebabkan waktu kelahirannya yang bertepatan
dengan pasaran Wage -salah satu waktu pasaran dalam kepercayaan Jawa.
Ketepatan pada tahun yang menjadi ujian terberat dalam perjalanan seorang Wage
kecil itu, kakak tertuanya yang bernama Roekiyem Soepratiyah telah dipinang oleh Willem
Van Eldik. Nasib yang beruntung tersebut memboyong Soepratiyah ke luar Jawa mengikuti
tempat tugas suaminya. Akhirnya pasangan suami istri tersebut membawa serta Wage
Soepratman ke luar Jawa.
Kehidupan di Makassar
Wage di mata keluarga besarnya menjadi anak emas. Dialah keturunan keluarga
Senen satu-satunya yang berjenis kelamin laki-laki. Kenyataan ini menjadikannya memikul
banyak harapan keluarga. Suatu saat dia harus bisa mengangkat martabat keluarganya dengan
cara melanjutkan sekolah hingga ke jenjang tinggi. Untuk bisa mewujudkan harapan
keluarganya itu, Wage pun menurut saja dibawa kakak iparnya dan ikut hidup bersama
mereka.
Sebenarnya kakak iparnya yang bernama Belanda itu tidak memiliki darah Belanda
sama sekali. Namun ia mendapatkan peruntungan nasib dengan menjabat sebagai petugas
administrasi di kantor kepolisian Belanda. Karena pekerjaan inilah ia harus menurut saja
perintah atasan yang mengharuskan ia pindah ke Makassar di Sulawesi Selatan.
Willem Van Eldik bergabung dalam korps musik di kantornya. Ia sangat menyukai musik,
begitu juga dengan istrinya yang selain bermain dan menikmati musik, ia juga menyukai
sandiwara. Sandiwara dan beberapa karya seninya banyak yang dipentaskan di daerahnya
sana.
Setelah menjalani sekolah selama beberapa waktu di ELS Makassar, pihak sekolah
berhasil membuktikan bahwa Soepratman bukan anak Van Eldik. Karena kebohongan yang
ditutupi itulah Soepratman harus mengalami drop out. Daripada menjadi pengangguran,
akhirnya dengan sisa semangat sebagai pelajarnya, Soepratman muda masuk ke sekolah anak
Melayu di Makassar dan mendapatkan ijazah resmi pada tahun 1917.
Perjalanan Karir
Dalam perjalanannya menjadi seorang guru, Wage sempat dipindah tugaskan ke kota
Singkang yang keadaannya sangat berbeda dengan Makassar. Keamanan di Singkang tidak
terjamin, kehidupannya pun amat berbeda. Karena itulah Wage kemudian ngotot kembali ke
Makassar. Sesampainya di Makassar ia harus mencopot pekerjaannya sebagai guru.
Kemudian ia beralih profesi di Firma Nedem dan menduduki posisi klerk.
Di pekerjaannya yang kedua, ternyata Wage juga tidak dapat bertahan lama. Iapun
kemudian berpindah menjadi pegawai advokat di kantor advokat milik rekan kakak iparnya.
Namun rasa kangen pada keluarga besar yang ada di Jawa membuat Wage meninggalkan
pekerjaannya yang ketiga. Ia pun memilih kembali ke rumah kakaknya yang kedua di
Surabaya, Jawa Timur.
Wage mencoba peruntungan lain dengan cara melamar lowongan sebagai wartawan di
sebuah surat kabar yang berkantor di Bandung, Jawa Barat. Di surat kabar ‘Kaum Muda’
inilah bakat musiknya kembali muncul. Ia kemudian memutuskan masuk keanggotaan sebuah
grup musik. Di perjalanannya sebagai wartawan, ia bertemu dengan banyak orang. Setelah
setahun menjadi wartawan, seorang rekan baru bernama Harun Harahap memiliki rencana
membuat kantor berita baru yang akan bermarkas di Jakarta.
Kembali ke Jakarta
Kantor berita yang didirikan oleh Harahap dinamai ‘Alpena.’ Wage ikut bekerja di
kantor berita tersebut. Karena tinggal di Jakarta yang saat itu sedang dilanda semangat
kepemudaan dan kebangkitan, akhirnya tumbuh suburlah jiwa nasionalisme Wage
Soepratman. Ia berkenalan dengan banyak tokoh pergerakan nasional dan mulai menyiapkan
diri ikut berkontribusi untuk kemerdekaan Indonesia.
Menjadi Buronan
Meskipun harus menderita, entah mengapa hati kecil Soepratman sangat terikat
dengan kondisi perjuangan di Jawa. Tulisan-tulisannya yang diterbitkan di Sin Po semakin
hari semakin terang-terangan menyudutkan pemerintahan Hindia Belanda. Iapun mulai
masuk ke daftar perhatian polisi Belanda. Namun Wage masih tenang saja, ia malah
menyamankan diri dengan berjualan buku-buku bekas untuk memenuhi kebutuhannya di kota
besar itu. Sama sekali tidak ada rasa takut di hatinya karena menjadi perhatian Belanda.
Wage Rudolf Soepratman yang memang berjiwa seni kembali bangkit dari dunianya
yang lain. Ia memberi kontribusi pada kemerdekaan melalui karya musik. Beliau
menciptakan banyak lagu bernuansa persatuan. Lagu pertama yang berhasil diselesaikannya
sekarang dikenal dengan judul ‘Dari Sabang Sampai Merauke.’ Dahulu ketika Soepratman
menciptakannya, lagu tersebut berjudul ‘Dari Barat Sampai ke Timur.’
Lagu terakhir yang sempat dibuatnya berjudul ‘Matahari Terbit.’ Namun lagu paling
fenomenal yang membuat nyawanya terancam adalah ‘Indonesia Raya.’ Efek dari lagu
Indonesia Raya tersebut benar-benar berhasil menyatukan rakyat Indonesia. Pembuktiannya
bisa dilihat saat Kongres Pemuda II.Sebenarnya Indonesia Raya sudah selesai di tahun 1926
dan Wage hampir membawakannya pada Kongres Pemuda I tanggal 30 April hingga 2 Mei
1926. Sayangnya Wage muda masih kurang percaya diri. Akhirnya ia baru membawakan
instrument Indonesia Raya di Kongres Pemuda II yang melahirkan sumpah pemuda di
tanggal 28 Oktober tahun 1928.
Keberaniannya menguat karena Soegondo Djojopoespito menyuruhnya membawakan
instrumen lagu Indonesia Raya dengan diiringi tim paduan suara ‘Indonesia Merdeka.’Lagu
tersebut berhasil membangkitkan jiwa persatuan para pemuda dari seluruh nusantara.
Akhirnya lagu Indonesi Raya dinyanyikan di setiap pertemuan pergerakan nasional.
Seharusnya Wage mendapatkan penghargaan dari semua pihak dan rakyat Indonesia. Namun
saat itu, nyawanya semakin terancam karena Indonesia Raya semakin sering dinyanyikan.
Meskipun Belanda sudah melarang menyanyikannya di luar ruangan dan menyuruh
menghapus kata ‘merdeka,’ namun rakyat tidak pernah menghiraukan.
Akhir Hayat
Terakhir kali Wage melarikan diri ke Surabaya. Di sana ia sakit dan tidak kunjung
sembuh. Namun ia masih tetap ngotot memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Saat itu
polisi berhasil meringkusnya di jalan Embong Malang ketika Wage memimpin paduan suara
yang disiarkan oleh NIROM (RRI). Polisi militer Belanda dengan puas menjebloskannya ke
penjara Kalisosok.