Anda di halaman 1dari 27

ISU-ISU TENTANG ZAKAT

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Ziswak


yang diampu Oleh: Bapak Shalehoddin, LC.,MM.

Disusun Oleh

Kelompok 6 / PBS E

IFAN ARIEF PRATAMA (18383021078)


ADELIA SYAFITRI (18383022009)
DIAH PUTRI PERMATA SARI (18383022046)
MERYATUL MAQFIROH (18383022108)
SULASTRIFA SEPTIANA (18383022181)

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARI’AH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA

2020
KATA PENGANTAR

Assalaamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga  kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik. Tak lupa
kami haturkan shalawat dan salam kepada baginda Nabi Muhammad SAW,
karena beliaulah yang telah menghantarkan kita dari zaman jahiliyah menuju
zaman yang penuh dengan cahaya ilmu pengetahuan.
Adapun judul makalah yang akan dibahas adalah “Isu-isu Tentang ZIS”,
kami sangat berharap semoga dengan adanya makalah ini kami dapat memberikan
sedikit gambaran dan memperluas wawasan ilmu yang kami miliki.
Dalam kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu hingga terselesainya makalah ini, baik secara
langsung maupun tidak langsung, terutama kepada yang terhormat;

1. Bapak Shalehoddin, LC.,MM. selaku dosen pegampu mata Manajemen


ZISWAK
2. Semua teman-teman yang telah membantu menyelesaikan makalah ini yang
tidak bisa kami sebutkan satu persatu.

Akhirnya kritik dan saran yang bersifat membangun kami harapkan dari
semua pihak demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat
bagi semua pihak yang berkepentingan.

Wassalaamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Pamekasan, 20 November 2020

Kelompok 6

DAFTAR ISI

ii
HALAMAN JUDUL............................................................................................i

KATA PENGANTAR.........................................................................................ii

DAFTAR ISI........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................1

A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.......................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................3

A. Masalah-masalah penghimpunan zakat.....................................................3


B. Desentralisasi Vs Sentralisasi....................................................................5
C. Perbedaan Zakat dan pajak........................................................................12
D. Permasalahan zakat di Indonesia...............................................................15
E. Upaya penyelesaian masalah Zakat...........................................................18
BAB III PENUTUP.............................................................................................22

A. Kesimpulan................................................................................................22
B. Saran..........................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................24

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring dengan pesatnya teknologi saat ini, serta pesatnya kemajuan
zakat di dunia muslim khususnya di Indonesia menjadikan banyak persoalan
baik segi pengelolaan, pengumpulan, dan yang lainnya. Dengan adanya
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan zakat di
Indonesia ini telah mendorong lahirnya organisasi-organisasi pengelola zakat.
Namun, UU ini juga hanya sebatas mengatur pengelolaan zakat semata, perlu
adanya lembaga amil zakat yang banyak dan tentu dapat mendorong
penghimpunan dana zakat masyarakat. Namun dalam kenyataannya,
banyaknya lembaga amil zakat tersebut belum cukup baik dalam mendorong
pengentasan kemiskinan. Hal tersebut dikarenakan belum efektifnya lembaga
zakat dalam aspek pengumpulan, administrasi, pendistribusian, monitoring,
serta evaluasi.
Selain itu, dengan potensi penghimpunan dana zakat yang sangat besar
dan banyaknya lembaga tentu membutuhkan pengawasan maksimal.
Sementara, Pengelolaan Zakat belum sepenuhnya terkelola dengan sempurna.
Meskipin undang-undang baru telah berlaku namun kebijakan tersebut masih
banyak kekurangannya dan banyak nya persoalan-persoalan dalam ranah zakat.
Dengan adanya masalah tersebut, maka penulis akan menjelaskan secara
rinci mengenai masalah-masalah zakat serta upaya yang akan dilakukan terkait
pengelolaan zakat.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana masalah-masalah penghimpunan zakat?
2. Bagaimana Desentralisasi Vs Sentralisasi?
3. Bagaimana Perbedaan Zakat dan pajak?
4. Bagaimana permasalahan zakat di Indonesia?
5. Bagaimana upaya penyelesaian masalahnya?

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui masalah-masalah penghimpunan zakat.
2. Untuk mengetahui Desentralisasi Vs Sentralisasi.
3. Untuk mengetahui perbedaan zakat dan pajak.
4. Untuk mengetahui permaasalahan zakat di Indonesia.
5. Untuk mengetahui penyelesaian masalahnya.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Masalah-masalah penghimpunan zakat


Realisasi penghimpunan zakat masih relatif rendah apabila
dibandingkan dengan potensi yang ada saat ini. Ada beberapa faktor
permasalahan penghimpunan zakat diantaranya yaitu:
1. Masalah internal OPZ
Masalah internal merupakan masalah yang dihadapi di internal
Organisasi Pengelola Zakat (OPZ), dan/atau Unit Pengumpul Zakat
(UPZ) dan/atau Mitra Pengelola Zakat (MPZ) itu sendiri. 1 Adapun
masalah internal terdiri dari jumlah Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang
terlalu banyak, mahalnya biaya promosi, rendahnya efektivitas program
pendayagunaan zakat, rendahnya sinergi antar-stakeholder zakat, dan
terbatasnya sumber daya manusia amil zakat, kualitas sumber daya
manusia yang masih rendah, tingkat keberhasilan pengelolaan dana zakat
dan pegawai OPZ belum full time, lemahnya kepatuhan pengendalian IT
internal, pembayaran zakat melalui internet banking dan sejenisnya
belum tersedia secara luas, efektivitas, transparansi, profesional,
akuntabilitas lembaga zakat, kemudahan membayar zakat, pelayanan
memuaskan, kepercayaan publik terhadap manajemen dan tata kelola
zakat rendah, belum adanya sertifikasi amil, rendahnya insentif bagi
wajib zakat untuk membayar zakat, rendahnya ghiroh, distribusi zakat
hanya untuk keperluan konsumtif masyarakat, profesi amil kurang
bonafide, kualitas dan kuantitas SDM masih rendah, database muzaki dan
mustahik yang tidak akurat, belum ada model promosi atau sosialisasi
yang murah, keterbatasan SDM amil yang profesional.Masalah internal
meliputi masalah strategis, SDM, manajemen dan tata kelola
(pengumpulan), pemanfatan TI, komunikasi dan sosialisasi, dan
pertanggungjawaban.

1
Ascarya, Analisis rendahnya pengumpulan zakat di indonesia dan alternatif solusinya,2018,
hlm.23.

3
2. Masalah eksternal OPZ
Masalah eksternal merupakan masalah yang ada di luar Organisasi
Pengelola Zakat (OPZ), dan/atau Unit Pengumpul Zakat (UPZ) dan/atau
Mitra Pengelola Zakat (MPZ) yang berada di luar kendali mereka.
Adapun masalah eksternal OPZ terdiri dari perbedaan pendapat
(khilafiah) mengenai fikih zakat, rendahnya koordinasi antara regulator
dengan OPZ, rendahnya peran Kementerian Agama dalam pengelolaan
zakat, mustahik yang cenderung karitatif, rendahnya kepercayaan muzaki
kepada OPZ dan regulator, rendahnya kesadaran muzaki dalam
menunaikan zakat secara benar sesuai dengan syariat, dan rendahnya
pengetahuan muzaki/masyarakat tentang fikih zakat (literasi zakat),
masyarakat belum mengerti cara menghitung zakat, faktor keagamaan
seperti iman, pemahaman agama, dan balasan, tingkat kepercayaan
masyarakat yang rendah terhadap lembaga zakat, peran stakeholder yang
belum optimal, masalah kesadaran muzaki (perusahaan muslim)
membayar zakat masih rendah jika dibandingkan dengan kepatuhan
membayar pajak, literasi dan pendidikan zakat terhadap masyarakat,
rendahnya kesadaran wajib zakat (muzaki), program pemberdayaan
antar-OPZ belum teratur, terbatasnya kemitraan OPZ, kebijakan
pemerintah yang tidak sesuai dengan program pendayagunaan zakat.
Masalah eksternal meliputi masalah strategis, masyarakat, muzaki,
pemerintah, koordinasi, dan kompetisi. 2
3. Masalah sistem
Masalah Sistem Masalah sistem merupakan masalah yang dihadapi oleh
Organisasi Pengelola Zakat yang ada di eksternal OPZ dan/atau UPZ
dan/atau MPZ yang sudah tersistem yang berada di luar kendali mereka.
Adapun masalah sistem terdiri dari zakat yang belum menjadi obligatory
system, kurangnya dukungan regulasi dari negara untuk proaktif dalam
menjalankan UU No. 23 Tahun 2011 tentang zakat; jenis objek zakat
yang tergali masih terkonsentrasi pada zakat fitrah dan profesi zakat
bersifat sukarela bukan kewajiban; amil tradisional melalui masjid

2
Ibid, hlm.24.

4
kurang profesional, lemahnya kerangka aturan dan institusional zakat,
adanya dualisme otoritas Baznas dan Kemenag, adanya dualisme fungsi
Baznas sebagai regulator dan operator, ketidaksetaraan kedudukan
Baznas sebagai operator dengan LAZ, lemahnya kedudukan Baznas
Daerah, timpangnya kedudukan UPZ dengan OPZ, belum berjalannya
penegakan aturan dan perangkat pengawasan. Masalah sistem meliputi
masalah strategis, regulasi, dualisme, desentralisasi otoritas, amil
tradisional, dan pengawasan.
B. Sentralisasi dan Desentralisasi
1. Sentralisasi
Sentralisasi yang secara terminologi berasal dari kata sentral yang
berarti pusat. Sentralisasi sendiri berarti pemusatan. Dalam hal ini
maksudnya Sentralisasi adalah memusatkan seluruh wewenang kepada
sejumlah kecil manajer atau yang berada di posisi puncak pada suatu
struktur organisasi. Kelebihan sistem ini adalah pemerintah pusat tidak
terganggu permasalahan yang timbul akibat perbedaan pengambilan
keputusan, karena seluluh keputusan dan kebijakan dikoordinir
seluruhnya oleh pemerintah pusat. Kelemahan dari sistem sentralisasi
adalah di mana seluruh keputusan dan kebijakan di daerah dihasilkan oleh
orang-orang yang berada di pemerintah pusat, sehingga waktu yang
diperlukan untuk memutuskan sesuatu menjadi lama.3
Dalam hal pengelolaan zakat nasional maksudnya adalah pemusatan
pengelolaan zakat atau manajemen zakat berada di tangan lembaga
pemerintah BAZNAS. Lembaga pemerintah ini memiliki wewenang
melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional, yang meliputi semua
aspek manajerial, yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengendalian,
pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat, serta
pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat.
Dalam sejarah Negara Republik Indonesia, pemusatan ini merupakan
kewenangan baru dalam managerial BAZNAS. Lembaga pemerintah ini
memiliki kewenangan yang super power, menggambarkan semangat
3
Undang Undang No 23 tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat, lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 2015.

5
untuk melakukan sentralisasi pengelolaan zakat nasional sepenuhnya di
tangan pemerintah, yaitu melalui keberadaan BAZNAS (Badan Amil
Zakat Nasional) mulai tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota di
mana BAZNAS adalah lembaga pemerintah non-struktural yang bersifat
mandiri dan bertanggung-jawab kepada Presiden melalui Menteri Agama.
Perubahan pengaturan menjadikan pola manajemen berubah
pula,termasuk semangat yang dimunculkan dalam pengaturannya. Dalam
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
terlihat adanya semangat kebersamaan, tapi di peraturan yang baru
BAZNAS memiliki kewenangan ekslusif. Hal ini berarti adanya
pengaturan dalam Undang-Undang justru bertujuan untuk meningkatkan
peranan pranata keagamaan, untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat
dan keadilan sosial.4
Namun dalam usulan sentralisasi sistem pengelolaan zakat dalam
amandemen Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat ini akan menimbulkan dua konsekuensi yaitu pertama, sentralisasi
membutuhkan kesiapan infrastruktur penunjang. Ketersediaan amil
professional, pengelolaan berbasis manajemen modern, dan strategi
pendayagunaan yang tertata rapi merupakan elemen kesiapan yang
menjadi faktor penting. Kedua, secara filosofis sentralisasi pengelolaan
zakat oleh negara hanya akan semakin menjauhkan dari inti persoalan
sesungguhnya yang sedang dihadapi oleh dunia zakat kita. Persoalan
utama sistem pengelolaan zakat adalah memaksimalkan pengumpulan dan
penyaluran dana zakat yang selama ini belum bisa terlaksana karena
berbagai hal.
Salah satu isu terpenting yang mengemukakan dalam usulan revisi
Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat adalah
soal aturan kelembagaan dalam pengelolaan zakat, yakni apakah
pengelolaan zakat dilakukan secara sentralistik oleh negara ataukah juga
memberi ruang bagi publik untuk turut serta dalam pengelolaan zakat.
Banyaknya lembaga zakat saat ini membuat pemerintah sulit untuk
4
Faisal, Sejarah Pengelolaan Zakat di Dunia Muslim Indonesia (Lampung: IAIN Raden
Intan,2011)., hlm. 10.

6
melakukan pengawasan. Apabila zakat dikelola secara baik dan terpadu,
maka pemerintah juga mudah membuat kebijakan dan peraturan terkait
zakat yang bertujuan untuk pengembangan zakat ke depan, misalnya
zakat sebagai pengurang pajak.
Namun usulan sentralisasi ini juga menghadapi kendala-kendala.
Dari konteks kelembagaan zakat, wacana yang akan menjadikan lembaga
zakat prakarsa masyarakat sipil sebatas Unit Pengumpul Zakat (UPZ)
adalah salah satu bentuk pemasungan partisipasi masyarakat, baik secara
politik kebijakan maupun sosial-kemasyarakatan. Fungsi dan peran
otonom lembaga zakat yang selama ini dimiliki dalam merancang dan
mengimplementasikan program pemberdayaan ekonomi masyarakat
melalui dana zakat yang dikelola akan dipangkas.5
Sistem pengelolaan zakat di Indonesia pada awalnya bukanlah
negara yang memiliki peran. Justru pengelolaan yang berbasis masyarakat
telah jauh dilakukan bahkan sebelum Republik ini terbentuk. Zakat yang
dikelola oleh masjid, pesantren, kyai, hingga komunitas perkumpulan
telah melakukan dan mengembangkan hal tersebut. Akan menjadi
persoalan tersendiri mengubah perilaku masyarakat yang terbiasa
menyalurkan melalui lembaga zakat berbasis masyarakat lalu diarahkan
secara paksa pada satu lembaga saja.
Dalam konsep pengelolaan zakat yang disodorkan oleh pemerintah
atas amandemen Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat, hanya akan dikenal satu lembaga yang melakukan
tugas pengelolaan dan pemberdayaan dana zakat. Sementara lembaga
zakat lain yang selama ini ada, diposisikan sebatas pengumpul dana
semata. Dengan posisi ini lembaga zakat bentukan masyarakat sipil akan
diposisikan sebagai sub-ordinasi dari lembaga zakat pemerintah tersebut.
Lembaga ini juga akan melaksanakan fungsi sebagai penyalur dana
yang telah terkumpul. Namun mereka tidak mempunyai kewenangan
untuk menentukan berapa dan siapa yang berhak untuk mendapatkan dana

5
Yuni Sudarwati dan Nidya Waras Sayekti, Konsep Sentralisasi Sistem Pengelolaan Zakat Dalam
Pemberdayaan Ekonomi Umat. Vol. 2 No. 1(Jakarta: Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik,
2011)., hlm. 573-574.

7
zakat tadi. Sehingga secara otomatis fungsi dari lembaga zakat yang ada
hanya benar-benar sebagai operator teknis. Sementara untuk regulator
akan dipusatkan di BAZ. Sistem ini dapat dijelaskan dalam tabel berikut:6

Tabel 1. Sentralisasi Pengelolaan Zakat

Aspek Lembaga Keterangan


Pengumpulan LAZ Lembaga amil zakat yang ada akan
berubah hanya sebatas penghimpun dan
penyalur dalam artian teknis. Lembaga-
lembaga ini tidak berhak untuk
menentukan berapa, siapa, dan
bagaimana dana dikumpulkan ataupun
disalurkan. Karena kewenangan sebagai
regulator dan koordinator ada di
BAZNAS.
Administrasi BAZNAS Data mengenai jumlah muzzaki,
jumlah dana, dan jumlah mustahik
dipusatkan di BAZ. Kewenangan untuk
menentukan siapa dan berapa yang harus
dibayar ataupun menerima zakat ada di
BAZNAS.
BAZNAS seharusnya menggunakan
pedoman standar akuntansi dan
manajemen keuangan zakat dalam
penyusunan laporan dan manajemen
keuangan organisasi pengelola
zakat.
Distribusi LAZ Lembaga amil zakat yang ada akan
mendistribusikan dana zakat yang telah
terkumpul kepada yang berhak sesuai
dengan ketentuan dan aturan yang telah
ditetapkan oleh

6
Djamal Doa, Manfaat Zakat Dikelola Negara (Jakarta: Nuansa Madani, 2002)., hlm. 29-30.

8
BAZ.
Pengawasan Dewan Dewan Pengawas berkewajiban

dan Evaluasi Pengawas melakukan pengawasan terhadap sistem


(Pemerintah) pelaksanaan zakat yang dilaksanakan oleh
BAZ dan lembaga amil zakat.
Sumber: diolah dari Djamal Doa, 2001 dan 2002.
Dengan adanya rencana strategis pengelolaan zakat secara
sentralisasi, diharapkan dapat melakukan tata kelola dan pengaturan
kelembagaan secara jelas seperti pemisahan peran regulator, pengawas,
dan operator serta adanya standarisasi manajemen mutu pengelolaan
zakat sehingga pengelolaan zakat dapat dilaksanakan secara sistematis,
optimal, dan akuntabel. Peran pemerintah diperlukan sebagai pengawas
karena zakat merupakan sebuah sistem pengalihan harta yang terdiri dari
bagian mobilisasi pengumpulan dan mobilisasi pendistribusian
2. Desentralisasi
Desentralisasi yaitu pendelegasian wewenang dalam membuat
keputusan dan kebijakan kepada manajer atau orang-orang yang berada
pada level bawah dalam suatu struktur organisasi. Dalam hal pengelolaan
zakat nasional maksudnya adalah bentuk akomodasi masyarakat sipil
dalam pengelolaan zakat nasional dengan adanya pengakuan terhadap
LAZ yang memiliki kedudukan dan wewenang yang sama dengan
BAZNAS dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan, pengumpulan,
pendistribusian dan pendayagunaan zakat, serta pertanggung jawaban
pelaksanaan pengelolaan zakat.
UU No. 38 tahun 1999 menjadi tonggak kebangkitan zakat di ranah
publik. Kelompok masyarakat sipil memulai gerakan sadar zakat kepada
publik secara luas, melakukan inisiatif pengelolaan zakat secara kolektif
dan pendayagunaan secara produktif. Era ini menjadi era pengelolaan
filantropi Islam secara profesional-modern berbasis prinsip-prinsip
manajemen dan tata kelola organisasi.
Substansi UU No. 38 tahun 1999 dengan sistem pengelolaan
desentralisasi dianggap sangat demokratis, karena menyerap aspirasi
publik dan berorientasi pada masyarakat sipil. Pemberlakuan UU No. 38

9
tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat merupakan realisasi penataan
sistem peraturan perundangan yang berbasiskan kesejahteraan rakyat, dan
menjadi trade mark rezim demokratis. Manajemen pengelolaan zakat
nasional secara resmi bertransformasi dari rezim desentralisasi di bawah
UU No. 38 tahun 1999 ke rezimsentralisasi zakat di bawah UU No. 23
tahun 2011. Melalui sistem sentralisasi, pemerintah merekonstruksi OPZ
sebagai suatu upaya pembenahan untuk membentuk bangunan
pengelolaan zakat yang lebih baik. Rekonstruksi OPZ dilakukan dalam
rangka:
a. Menciptakan koordinasi yang baik antara operator pengelola ZIS.
b. Menciptakan regulasi operasional dan pengawasan yang efektif dalam
proses pengumpulan dan penyaluran ZIS.
c. Meningkatkan peran OPZ untuk ikut serta mengetaskan kemiskinan.
Meski UU No. 23 tahun 2011 condong menganut sistem sentralisasi
dalam pengelolaan zakat, namun masyarakat diberikan ruang yang cukup
luas, di mana negara memberikan kedudukan yang sejajar bagi
masyarakat bersama pemerintah untuk bersama-sama mengelola dana
publik keagamaan. Hal ini berbeda dengan negara lain yang hanya
mengenal single-authority layak nya Saudi Arabia, Pakistan, atau Sudan.
Kesetaraan posisi di mata hukum antara lembaga zakat bentukan
pemerintah (BAZNAS) maupun masyarakat sipil (LAZ), jelas
melanjutkan semangat UU No. 38 tahun 1999 yang menyamakan tugas
pokok kedua lembaga ini, yaitu untuk mengumpulkan, mendistribusikan,
dan mendayagunakan zakat.
Sistem penerapan dua organisasi pengelola zakat tersebut dalam tata
kelola zakat nasional, tidak lain untuk mewujudkan pengelolaan yang
ideal dalam konteks keindonesiaan. Jika pengelolaan zakat sepenuhnya
diserahkan pada negara, dinilai kuat akan melemahkan peran serta
masyarakat. Sebaliknya, jika pengelolaan zakat diserahkan sepenuhnya
pada masyarakat, pendayagunaan zakat untuk pemberdayaan umat tidak
akan optimal.

10
Pengelolaan zakat yang diamanahkan UU No. 23 tahun 2011
merupakan suatu cermin dari hubungan yang konstruktif. Negara
merupakan regulator dan fasilitator, tetapi pelaksanaannya dilakukan oleh
lembaga yang diberi kewenangan secara mandiri. Hal ini menunjukkan
bahwa antara negara dan masyarakat tidak dapat berdiri sendiri dalam
proses pengelolaan zakat karena keduanya menyadari adanya tujuan
penting dari pengelolaan zakat, yaitu pemberdayaan umat.
Melalui UU No. 23 tahun 2011, revitalisasi dan optimalisasi zakat
ditempuh melalui penguatan tata kelola zakat, penguatan kelembagaan
organisasi zakat, penguatan regulasi dan penegakkan hukumnya, termasuk
dukungan politik dan penguatan pengawasan zakat. Dengan masuknya
pemerintah sebagai agen utama penggerak zakat, maka zakat nantinya
bisa diharapkan membawa manfaat sebagai pilar redistribusi
kesejahteraan nasional.
Semangat desentralisasi dana zakat di Indonesia telah dilakukan.
Ketentuan desentralisasi zakat didapat melalui UU No 23 Tahun 2011
Tentang Pengelolaan Zakat yang ditindak lanjuti dengan PP No 14 Tahun
2014 Tentang Pelaksanaan UU No 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan
Zakat. Berdasarkan UU No 23 Tahun 2013, zakat di Indonesia dikelola
oleh BAZNAS, yaitu lembaga pemerintah pengelola zakat non-struktural
yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada presiden melalui
menteri. UU No 23 Tahun 2011 Pasal 15 mengatakan, dalam rangka
pelaksanaan pengelolaan zakat pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota
dibentuk BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota; Pasal 17
mengatakan, untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat
dapat membentuk LAZ; Pasal 25 mengatakan, zakat wajib didistribusikan
kepada mustahik sesuai dengan syari’at Islam; Pasal 26 mengatakan,
pendistribusian zakat dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan
memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan.
Sejak UU No 23 Tahun 1999 lahir, badan amil zakat tumbuh subur,
baik badan amil yang didirikan oleh negara ataupun swasta. Selain

11
BAZNAS di tingkat nasional, ada 32 BAZ di tingkat provinsi dan 300
BAZ di tingkat kabupaten/kota. Kemudian 18 LAZ di tingkat nasional
dan 70 LAZ yang berada di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota.
Masalah yang dihadapi di Indonesia khususnya, adalah tingkat
kepercayaan masyarakat kepada lembaga amil zakat, baik lembaga yang
didirikan oleh negara ataupun lembaga swasta. Dari data yang didapat
oleh Ichsan Iqbal potensi yang mungkin didapat dari zakat sebesar Rp.
19,3 triliun (Rp. 6,2 triliun dari zakat fithrah dan Rp. 13,1 triliun dari
zakat harta) diberikan tidak melalui lembaga. 92,8% dari zakat harta
diberikan langsung kepada penerima. Penerima terbesar adalah masjid-
masjid sebesar 59%, Badan Amil Zakat (BAZ) hanya 6%, dan Lembaga
Amil Zakat (LAZ) Swasta hanya 1,2%.7
C. Perbedaan Zakat Dengan Pajak
Kata zakat berasal dari bahasa Arab “az-Zakaah”, kata tersebut adalah
bentuk Masdar dari Fi’il Madhi “Zakaa”, yang artinya bertambah, tumbuh
dan berkembang (Munawwir, 1997: 577). Kata “Zakaa” juga bisa bermakna
suci seperti yang disebutkan dalam surat as-Syams ayat 9 yang artinya:
“Sungguh beruntung orang yang mensucikan hati.” (QS. As-Syams: 9).
Dalam istilah fiqh, zakat adalah sebuah ungkapan untuk seukuran yang telah
ditentukan dari sebagian harta yang wajib dikeluarkan dan diberikan kepada
golongan-golongan tertentu, ketika telah memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan. Harta ini disebut zakat karena sisa harta yang telah dikeluarkan
dapat berkembang lantaran barakah doa orang-orang yang menerimanya. Juga
karena harta yang dikeluarkan adalah kotoran yang akan membersihkan harta
seluruhnya dari syubhat dan mensucikannya dari hak-hak orang lain di
dalamnya (Khalis, 2009).
Jadi, zakat adalah kewajiban atas harta yang bersifat mengikat dan
bukan anjuran. Kewajiban tersebut terkena kepada setiap Muslim (baligh atau
belum, berakal atau gila) ketika mereka memiliki sejumlah harta yang sudah
memenuhi batas nisabnya. Sedangkan pajak dalam istilah bahasa Arab

7
Mohammad Anton Athoillah, Distribusi Zakat di Indonesia: antara sentralisasi dan
desentralisasi. Vol. 15. No. 2 (Bandung: Jurnal wacana hukum islam dan kemanusiaan, 2015).,
hlm. 251-252.

12
dikenal dengan “Adh-Dhariibah” yang berarti: “Pungutan yang ditarik dari
rakyat oleh para penarik pajak.” Manakala menurut ahli bahasa, pajak adalah:
Suatu pembayaran yang dilakukan kepada pemerintah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan dalam hal menyelenggaraan jasa-
jasa untuk kepentingan umum.
Para ahli berbeda pendapat dalam mendefinisikan pajak, Adriani
mendefinisikan pajak dengan; iuran masyarakat kepada negara (yang dapat
dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-
peraturan umum (Undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali
yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan. Rochmat Soemitro berpendapat bahwa
pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang
(yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontra prestasi)
yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar
pengeluaran umum. 8
Lalu definisi tersebut dikoreksi sehingga ia mendefinisikan pajak
dengan; peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk
membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving
yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
Sedangkan Sommerfeld Ray M, Anderson Herschel M, dan Brock Horace R.
berpendapat bahwa pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta
ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib
dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa
mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat
melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
Dari pengertian zakat dan pajak yang telah diungkapkan di atas, maka
dapat disimpulkan perbedaan antara keduanya, yaitu;
1. Zakat merupakan manifestasi ketaatan ummat terhadap perintah Allah
SWT dan Rasulullah SAW sedangkan pajak merupakan ketaatan seorang
warga Negara kepada pemimpinnya (penguasa).
8
Murtadho Ridwan, ZAKAT VS PAJAK: STUDI PERBANDINGAN DI BEBERAPA NEGARA
MUSLIM, Vol. 1, No. 1, Juni 2014, hlm. 126.

13
2. Zakat telah ditentukan kadarnya di dalam al-Quran dan Hadis, sedangkan
pajak dibentuk oleh hukum negara.
3. Zakat hanya dikeluarkan oleh kaum muslimin sedangkan pajak
dikeluarkan oleh setiap warga Negara tanpa memandang apa agama dan
keyakinannya.
4. Zakat berlaku bagi setiap Muslim yang telah mencapai nishab tanpa
memandang di negara mana ia tinggal, sedangkan pajak hanya berlaku
dalam batas garis teritorial suatu negara saja.
5. Zakat adalah suatu ibadah yang wajib di dahului oleh niat sedangkan
pajak tidak memakai niat.
Pendapat ulama tentang kewajiban zakat dan pajak Kezaliman
merupakan perbuatan yang tidak pernah diakui dalam ajaran Islam.
Pembebanan pajak tidak dapat dilakukan sembarangan dan sekehendak hati
penguasa. Pajak yang diakui dalam sejarah fiqh Islam dan sistem yang
dibenarkan harus memenuhi beberapa syarat (Qardhawi, 1999: 1/56), di
antaranya adalah:
1. Harta itu benar-benar dibutuhkan dan tidak ada sumber lain. Maksudnya,
pajak boleh dipungut apabila negara memang benar-benar membutuhkan
dana, sedangkan sumber lain tidak diperoleh. Pendapat ini dikemukakan
oleh Yusuf Qardhawi dan didukung oleh beberapa ulama dan mereka
mensyaratkan bahwa pajak boleh dipungut jika benar-benar kas Negara
kosong.
2. Pajak dipungut secara adil. Maksudnya, jika pajak itu benar-benar
dibutuhkan dan tidak ada sumber lain, maka pengutipan harus adil dan
tidak memberatkan. Jangan sampai menimbulkan keluhan masyrakat.
Keadilan dalam pemungutan pajak didasarkan pada pertimbangan
ekonomi, sosial dan kebutuhan yang diperlukan rakyat dan
pembangunan.
3. Pajak hendaknya dipergunakan untuk membiayai kepentingan umat,
bukan untuk maksiat dan hawa nafsu.
4. Persetujuan para ahli yang berakhlak.

14
Maksudnya pemerintah tidak boleh bertindak sendiri untuk mewajibkan
dan menentukan besaran pajak, kecuali setelah bermusyawarah dan
mendapat persetujuan dari para ahli. Manakala tentang pembayaran zakat,
para ulama telah bersepakat akan kewajiban zakat dan bagi yang
mengingkari kewajiban zakat, berarti mereka telah keluar dari Islam.
Meskipun zakat dan pajak sama-sama merupakan kewajiban dalam bidang
harta, tetapi keduanya mempunyai falsafah yang khusus, dan keduanya
berbeda sifat dan asasnya,berbeda sumbernya, sasaran, bagian serta
kadarnya, disamping berbeda pula mengenai prinsip, tujuan dan jaminannya.
Sesungguhnya ummat Islam dapat melihat bahwa zakat tetap menduduki
peringkat tertinggi dibandingkan dengan hasil pemikiran keuangan dan
perpajakan zaman modern, baik dari sisi prinsip maupun hukum-hukumnya.9
D. Permasalahan Zakat Di Indonesia
Dibalik pesatnya kemajuan dunia perzakatan di Indonesia, masih
terdapat banyak persoalan yang perlu diselesaikan diantaranya; kesenjangan
potensi, potensi yang sangat besar ini seharusnya sudah bisa diatasi apabila
semua pihak sadar akan pentingnya zakat sebagai penopang program
pemerintah yang belom bisa mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Adapun
potensi yang ada adalah Rp.368 Terliun pertahun, dan penghimpunan zakat,
yang belom maksimal ini terkait dengan adanya problem dalam ruang lingkup
OPZ yang paling mendasar adalah bagaimana manajemen yang
diimplimentasikan belum dapat terarah secara sistematis, dan masyarakat
sebagai Muzakki dan Mustahik. Masih lemahnya perhatian masyarakat
terhadap zakat tentu akan menjadi masalah karna terkait dengan zakat sudah
barang tentu wajib ditunaikan masyarakat yang sudah mencapai Nisab,
masyarakat sebagai mustahik juga masih banyak permasalahan yang harus di
edukasi secara meluas karena perilaku masyarakat terkait dengan sifat yang
sangat konsumtif masih mengiringi aktifitas kehidupan sehari-hari.
Masalah-masalah tertentu yang menjadi hambatan pelaksanaanya. Di
antaranya adalah :
1. Pemahaman Zakat

9
Ibid, hlm 129.

15
Yang dimaksud dengan pemahaman di sini adalah pengertian umat
Islam tentang lembaga zakat itu. Pengertian mereka sangat terbatas kalau
dibandingkan dengan pengertian mereka tentang shalat dan puasa. Hal ini
disebabkan karena pendidikan keagamaan Islam di masa yang lampau
kurang menjelaskan pengertian dan masalah zakat. Akibatnya karena
kurang paham, umat Islam kurang pula melaksanakannya.
2. Konsepsi Fiqih Zakat
Yang dimaksud dengan konsepsi fikih zakat adalah konsep
pengertian dan pemahaman mengenai zakat hasil ijtihad manusia. Di
dalam al-Quran hanya disebutkan pokok-pokoknya saja yang kemudian
dijelaskan oleh sunnah Nabi Muhammad. Penjabarannya, yang tercantum
dalam kitab-kitab fikih lama, namun tidak sesuai lagi  dengan keadaan
sekarang. Fikih zakat yang ada yang diajarkan pada lembaga-lembaga
pendidikan Islam di Indonesia hampir seluruhnya hasil perumusan para
ahli beberapa abad yang lalu, yang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi
masa itu. Perumusan tersebut banyak yang tidak tepat lagi untuk
dipergunakan mengatur zakat dalam masyarakat modern sekarang.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sekarang mempunyai sektor-
sektor industri, pelayanan jasa. Dalam fikih zakat yang ada sekarang
yang wajib dizakati hanya emas, perak, barang-barang niaga, makanan
yang mengenyangkan, binatang peliharaan seperti unta, sapi, domba, dan
sebagainya. Disebut juga barang-barang tambang dan temuan, tetapi
hanya terbatas pada emas dan perak saja. (Pedoman Zakat (1), 1982:15).
Selain dari itu tidak disebutkan lagi. Yang demikian, memang sesuai
dengan perkembangan masyarakat Islam di masa yang lalu, tetapi tidak
cocok lagi dengan keadaaan sekarang.
3. Pembenturan Kepentingan
Yang dimaksud dengan pembenturan kepentingan adalah
pembenturan kepentingan organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga
sosial Islam yang memungut zakat selama ini, misalnya BAZIS atau
BAZ sebagai lembaga atau organisasi amil zakat baru. Kalau
pengumpulan zakat dilakukan secara terkoordinasi dalam badan-badan

16
baru itu, lembaga yang lama merasa khawatir kepentingannya akan
terganggu (Pedoman Zakat (1), 1982:16). Sesungguhnya kekhawatiran
ini tidak perlu ada asal saja semua dilaksanakan dengan tertib dan
berencana, baik mengenai pengumpulan maupun tentang
pendayagunaanya.
4. Hambatan Politis
Terdapat pula hambatan politis dalam penyelenggaraan
pengumpulan zakat ini, sebab di dalam masyarakat masih terdapat
kelompok-kelompok yang menghubungkan ibadah zakat tentang Piagam
Jakarta (Pedoman Zakat (1), 1982:16). Pandangan ini tentu saja tidak
dapat dibenarkan, karena pasal 29 ayat 2 UUD 1945 menjamin
kebebasan penduduk untuk beribadah menurut agamanya. Zakat adalah
ibadah yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim yang memenuhi syarat,
sama halnya dengan kewajiban melakukan ibadah shalat, puasa dan haji 
yang merupakan bagian dari syari’at Islam. Dengan atau tanpa Piagam
Jakarta umat islam berkewajiban menjalankan syari’at agama. Zakat
yang secara mikro merupakan ibadah umat Islam, secara makro dapat
dimanfaatkan untuk memajukan kesejahteraan umum bangsa Indonesia.10
5. Sikap Kurang Percaya
Di samping kesadaran yang makin tumbuh dalam masyarakat
Islam Indonesia tentang pelaksanaan zakat, dalam masyarakat ada juga
sikap kurang percaya terhadap penyelenggaraan zakat itu (Pedoman
Zakat (1), 1982:16). Sikap ini sesungguhnya ditujukan kepada orang atau
sekelompok orang yang mengurus zakat. Sikap ini adalah peninggalan
sejarah, seperti sikap kurang  percayanya orang terhadap
penyelenggaraan koperasi, karena kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh
pengurusnya. Namun sikap ini akan dapat dikurangi, jika tidak dapat
dihapuskan sama sekali, kalau diciptakan organisasi yang baik terutama
system administrasinya, pengawasan yang ketat dan sempurna.
6. Sikap Tradisional

10
Mohamad Daud Ali, sistem ekonomi islam zakat dan Waqaf, ( Jakarta , Universitas Indonesia
(UI-Press) 1988, hlm 128.

17
Penghambat yang lain adalah para wajib zakat terutama di
pedesaan, menyerahkan zakatnya tidak kepada kedelapan kelompok atau
beberapa dari delapan golongan yang berhak menerima zakat, tetapi
kepada pemimpin agama setempat. Pemimpin agama ini tidak bertindak
sebagai amil yang berkewajiban membagikan atau menyalurkan  zakat
kepada mereka yang berhak menerimanya, tetapi bertindak sebagai
mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) sendiri dalam kategori
fisabilillah yakni orang yang berjuang di jalan Allah (Pedoman Zakat (1),
1982:16). Cara dan sikap ini tidak sepenuhnya salah, namun sikap
tersebut sebaiknya ditinggalkan, diantaranya untuk menghindari
penumpukan harta (zakat) pada orang tertentu, padahal salah satu dari
tujuan zakat adalah pemerataan rezeki untuk mencapai keadilan sosial.
E. Berbagai Upaya Pemecahan
Untuk memecahkan berbagai masalah yang telah dikemukakan diatas,
beberapa upaya perlu dilakukan diantaranya sebagai berikut :
1. Penyebarluasan Pengertian Zakat
Usaha penyebarluasan pengertian zakat secara baik dan benar,
sebaiknya dilakukan melalui pendidikan, baik formal maupun nonformal.
Secara masal penyebarluasan pengertian zakat itu dapat dilakukan
melalui penyuluhan, terutama tentang hukumnya, barang yang wajib
dizakati, pendayagunaan dan pengorganisasiannya, sesuai dengan
perkembangan zaman.
2. Membuat atau Merumuskan Fikih Zakat Baru
Untuk keperluan ini perlu kerjasama multidisipliner antara para
ahli berbagai bidang yang erat hubungannya dengan zakat, misalnya para
ahli pengetahuan Islam, ahli (hukum) fikih, dan lain-lain. Fikih zakat
yang baru itu diharapkan dapat menampung perkembangan yang ada dan
bakal ada di Indonesia. Mengenai barang yang wajib dizakati, sebagai
sumber zakat, hendaknya disebutkan jenis barang yang bernilai ekonomis
yang ada dalam masyarakat Indonesia sekarang. Di samping itu
disebutkan juga penghasilan tetap dan tidak tetap seseorang yang perlu
dikeluarkan zakatnya agar penghasilan yang diperoleh seseorang itu

18
menjadi bersih dari hak orang lain dan berkah. di sector perniagaan harus
disebutkan dengan jelas zakat berbagai usaha dan bentuk perusahaan. Di
sektor peternakan diterangkan macam-macam bentuk peternakan,
sekurang-kurangnya, yang terdapat di Indonesia sekarang ini, baik yang
berada di darat maupun yang diusahakan di air atau lautan. Di dalam
sektor pertanian hendaknya disebutkan dengan jelas berbagai jenis dan
bentuk tanaman yang terdapat di Indonesia, bukan hanya tanaman yang
mengenyangkan, tetapi juga tanaman yang dapat dikembangkan. Semua
tanaman yang mempunyai nilai ekonomis wajib dikeluarkan zakatnya.
Ke dalam pengertian uang selain emas dan perak dimasukkan juga semua
alat pembayaran dan kertas berharga, baik yang disimpan dirumah
maupun yan disimpan oleh pihak lain, seperti bank atau lembga-lembaga
lainnya. Selain dari barang dan jasa yang perlu dikeluarkan zakatnya,
dalam fikih zakat yang baru itu disebutkan juga dengan jelas kadar dan
waktu pembayaran zakat tersebut.
3. Pendayagunaan Dana yang Tersedia
Di samping penyusunan fiqih zakat yang baru diatas, perlu juga
disusun suatu pola umum pendayagunaan zakat di indonesia yang sesuai
dengan kehidupan masyarakat ditanah air kita. Tentang pendayagunaan
zakat perlu, perlu diingat bahwa zakat itu mempunyai dua fungsi utama.
Pertama adalah membersihkan harta benda dan jiwa manusia supaya
senantiasa berada dalam keadaan fitrah. Seseorang yang telah
memberikan hartanya untuk disampaikan kepada yang berhak
menerimanya berarti pula bahwa ia telah menyucikan harta dan jiwanya
dengan pemberian itu. Dengan tindakan tersebut, ia sekaligus telah
menunaikan kewajiban agama, melaksanakan ibadah kepada Allah.
Dalam hubungan ini yang dipentingkan adalah keikhlasan yang
bersangkutan. Artinya, ia telah ikhlas mengeluarkan bagian tertentu dari
hartanya. Untuk apa zakatnya itu dipergunakan, tidak jadi masalah
baginya. Kedua, zakat itu juga berfungsi sebagai dana masyarakat yang
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan sosial guna mengurangi

19
kemiskinan. Dalam hal yang kedua ini pemanfaatannya mempunyai arti
yang penting, sebagai salah satu upaya untuk mencapai keadilan sosial.
4. Pengorganisasian
Di samping apa yang telah dikemukakan di atas, pengorganisasian
zakat perlu pula diatur sebaik-baiknya agar pelaksanaan zakat dapat
dikoordinasikan dan diarahkan. Ini diperlukan untuk memantapkan
kepercayaan masyarakat dan wajib zakat. Peranan pemerintah diperlukan
dalam hal ini, di samping keikutsertaan pemimpin-pemimpin agama.
Sistem administrasi, penyusunan personalia harus didasarkan pada
prinsip-prinsip manajemen yang sehat agar pelaksanaan zakat dapat
berjalan dengan sebaik-baiknya. Supaya organisasi yang mengurus zakat
dapat berkembang dengan baik, prinsip-prinsip pengorganisasian berikut
perlu dilaksanakan:
a. Penanggung jawab tertinggi seyogyanya pemerintah atau pejabat
tertinggi dalam strata pemerintah setempat atau lingkungan tertentu.
Unsur-unsur masyarakat Islam perlu diikutsertakan, juga
bertanggung jawab.
b. Pelaksanaanya adalah suatu lembaga tetap dengan pegawai yang
bekerja penuh profesional, dibiayai pada permulaan dengan subsidi
pemerintah, yang kemudian, secara berangsur-angsur oleh dana amal
zakat sendiri.
c. Kebijaksanaan harus dirumuskan secara perencanaan, sumber,
pengumpulan pendayagunaaan zakat dan sasaran pemanfaatanya
untuk suatu waktu tertentu.
d. Program pendayagunaan zakat harus terinci supaya lebih efektif dan
produktif bagi pengembangan masyarakat;
e. Usulan proyek pengunaan dana untuk pelaksanaan progam yang
dilakukan oleh organisasi masyarakat, harus didasarkan pada studi
kelayakan.
f. Mekanisme pengawasan dilakukan melalui peraturan-peraturan,
admistrasi, baik ketatausahaan maupun pembukuan. Tiga bulan

20
sekali atau setiap penutupan tahun buku dibuat laporan kegiatan
yang diumumkan kepada masyarakat.
g. Pengembangan dasar-dasar hukum tentang zakat, pemahaman baru
tentang zakat, sumber zakat, masalah pengumpulan dana
pendayagunaannya dilakukan melalui penelitian lapangan.
h. Penyuluhan untuk menciptakan kondisi yang kondusif (mendorong)
dalam menarik partisipasi masyarakat untuk menunaikan ibadah
zakat dilakukan secara teratur dan terus-menerus.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
Masalah tentang zakat sebagai berikut:

21
1. Masalah internal OPZ
Masalah internal merupakan masalah yang dihadapi di internal
Organisasi Pengelola Zakat (OPZ), dan/atau Unit Pengumpul Zakat
(UPZ) dan/atau Mitra Pengelola Zakat (MPZ) itu sendiri. Adapun
masalah internal terdiri dari jumlah Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang
terlalu banyak, mahalnya biaya promosi, rendahnya efektivitas program
pendayagunaan zakat, rendahnya sinergi antar-stakeholder zakat, dan
terbatasnya sumber daya manusia amil zakat.
2. Masalah eksternal OPZ
Masalah eksternal merupakan masalah yang ada di luar Organisasi
Pengelola Zakat (OPZ), dan/atau Unit Pengumpul Zakat (UPZ) dan/atau
Mitra Pengelola Zakat (MPZ) yang berada di luar kendali mereka.
Adapun masalah eksternal OPZ terdiri dari perbedaan pendapat
(khilafiah) mengenai fikih zakat, rendahnya koordinasi antara regulator
dengan OPZ, rendahnya peran Kementerian Agama dalam pengelolaan
zakat, mustahik yang cenderung karitatif, rendahnya kepercayaan muzaki
kepada OPZ dan regulator.
3. Masalah sistem
Masalah Sistem Masalah sistem merupakan masalah yang dihadapi
oleh Organisasi Pengelola Zakat yang ada di eksternal OPZ dan/atau
UPZ dan/atau MPZ yang sudah tersistem yang berada di luar kendali
mereka. Adapun masalah sistem terdiri dari zakat yang belum menjadi
obligatory system, kurangnya dukungan regulasi dari negara untuk
proaktif dalam menjalankan UU No. 23 Tahun 2011 tentang zakat; jenis
objek zakat yang tergali masih terkonsentrasi pada zakat fitrah dan
profesi zakat bersifat sukarela bukan kewajiban.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas kami menyarankan kepada pembaca untuk
bisa memahami secara mendalam tentang “isu-isu tentang zakat”. Kami juga
mengharap kritik dan saran dari teman-teman maupun dosen pengajar

22
manakala dalam makalah ini banyak sekali kekurangan sehingga membantu
kami dalam penyusunan makalah yang lebih baik kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohamad Daud. sistem ekonomi islam zakat dan Waqaf . Jakarta, Universitas
Indonesia (UI-Press), 1988.

23
Ascarya, Analisis rendahnya pengumpulan zakat di indonesia dan alternatif
solusinya,2018.
Athoillah, Mohammad Anton. Distribusi Zakat di Indonesia: antara sentralisasi
dan desentralisasi. Vol. 15. No. 2 Bandung: Jurnal wacana hukum islam dan
kemanusiaan, 2015.
Doa, Djamal. Manfaat Zakat Dikelola Negara. Jakarta: Nuansa Madani, 2002.
Faisal, Sejarah Pengelolaan Zakat di Dunia Muslim Indonesia. Lampung: IAIN
Raden Intan,2011.
Ridwan, Murtadho. Zakat Vs Pajak: Studi Perbandingan Di Beberapa Negara
Muslim, Vol. 1, No. 1, Juni 2014.
Sudarwati, Yuni dan Nidya Waras Sayekti, Konsep Sentralisasi Sistem
Pengelolaan Zakat Dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat. Vol. 2 No. 1.
Jakarta: Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik, 2011.
Undang Undang No 23 tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat, lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 2015.

24

Anda mungkin juga menyukai