Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Do Not Resuscitate (DNR)  menjadi trend dan issue yang akhir-akhir ini mulai
sering diperbincangkan dalam dunia kesehatan. Do Not Resuscitate
(DNR) merupakan sebuah perintah jangan dilakukannya resusitasi CPR
(cardiopulmonary resusitation) atau Resusitasi Jantung Paru (RJP) bagi tenaga
kesehatan ataupun masyarakat umum jika terjadi permasalahan darurat pada
jantung pasien atau berhentinya pernapasan. Salah satu yang melatarbelakangi
munculnya konsep DNR ialah sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa dalam
situasi klinis tertentu CPR hampir selalu sia-sia. Jarang sekali pasien bertahan
hidup setelah dilakukan RJP ketika henti jantung yang timbul disebabkan oleh
penyakit selain jantung atau disfungsi organ. Harapan hidup pasien setelah
dilakukan tindakan RJP sangat buruk (<5%) bila henti jantung terjadi pada pasien
dengan gagal ginjal, kanker (kecuali dengan penyakit yang minimal), atau AIDS;
dan dengan tidak adanya penyakit penyebab yang irreversible, diikuti dengan
trauma, perdarahan, hipotensi yang berkepanjangan atau pneumonia.

Asosiasi Kedokteran Amerika menjadi organisasi pertama yang mengusulkan


pemberlakuan kebijakan DNR tersebut secara formal yang dikomunikasikan
kepada seluruh staff terkait tentang kebijakan baru tersebut (American Medical
Association, 1974 dalam Brewer, 2008). Asosiasi Perawat Amerika juga
membicarakan tentang kebijakan DNR, bahwa keputusan DNR diambil dengan
sebelumnya telah diinformasikan kepada pasien dan keluarganya mengenai
keuntungan dan kerugian, serta disepakati oleh semua pihak yang terlibat dalam
dokumen baku untuk menghindari tuntutan (American Nurses Association, 2003
dalam Brewer, 2008).

Sering kali DNR ini disalahartikan oleh para tim medis bahwa pasien DNR
tidak akan dilakukan tindakan medis apapun padahal sebenarnya tidak demikian.
DNR tidak berarti semua tatalaksana / penanganan aktif terhadap kondisi pasien
diberhentikan. Pemeriksaan dan penanganan pasien (misalnya terapi intravena,
pemberian obat-obatan) tetap dilakukan pada pasien DNR. Semua perawatan
mendasar harus terus dilakukan, tanpa kecuali. Oleh karena itu pemahaman
konsep mengenai DNR sangat penting bagi perawat, selain itu sebagai seorang
perawat juga diharapkan mampu berkomunikasi kepada pasien atau keluarga

1
pasien terkait pengambilan keputusan untuk melakukan DNR dengan tetap
memperhatikan prinsip-prinsip etik di dalam keperawatan.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Meningkatkan pemahaman perawat mengenai konsep DNR (Do Not
Resusitation)
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui pengertian DNR
2. Mengetahui kriteria DNR
3. Mengetahui prinsip DNR
4. Mengetahui prosedur mendiskusikan DNR
5. Mengetahui SOP DNR
6. Mengetahui Etik DNR
7. Mengetahui perannya dalam pasien DNR
8. Mengetahui tentang konsep RJP

1.3 Manfaat
Dilakukan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua
pihak yang terkait diantaranya yakni bagi perawat di IGD dr.Soepraoen agar dapat
lebih memahami konsep DNR secara jelas. Serta sebagai masukan kepada rumah
sakit agar dapat menerapkan sistem DNR dengan benar sesuai prosedur.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian DNR


DNR atau do-not-resuscitate adalah suatu perintah yang memberitahukan 
tenaga medis untuk tidak melakukan CPR. Hal ini berarti bahwa dokter,  perawat,
dan tenaga emergensi medis tidak akan melakukan usaha CPR emergensi bila
pernapasan maupun jantung pasien berhenti.
Do Not Resuscitation (DNR), sebuah perintah jangan dilakukan Resusitasi,
adalah pesan untuk tenaga kesehatan ataupun masyarakat umum untuk tidak
mencoba melakukan atau memberikan tindakan pertolongan berupa CPR
(cardiopulmonary resuscitation) atau Resusitasi Jantung Paru (RJP) jika terjadi
permasalahan darurat pada jantung pasien atau terjadinya henti napas pada
pasien (Wahyu, 2013).
Tindakan Do Not Resuscitate (DNR): adalah suatu tindakan di mana jika
pasien mengalami henti jantung dan atau napas, paramedis tidak akan dipanggil
dan tidak akan dilakukan usaha resusitasi jantung-paru dasar maupun lanjut.Jika
pasien mengalami henti jantung dan atau napas, lakukan asesmen segera untuk
mengidentifikasi penyebab dan memeriksa posisi pasien, patensi jalan napas, dan
sebagainya. Tidak perlu melakukan usaha bantuan hidup dasar maupun lanjut.
DNR tidak berarti semua tatalaksana / penanganan aktif terhadap kondisi
pasien diberhentikan. Pemeriksaan dan penanganan pasien (misalnya terapi
intravena, pemberian obat-obatan) tetap dilakukan pada pasien DNR. Semua
perawatan mendasar harus terus dilakukan, tanpa kecuali.
0
2.2 Kriteria DNR
1. Usia pasien harus > 18 tahun
2. Pasien harus kompeten dan memiliki kapasitas yang baik secara mental
untuk mengambil keputusan
3. Keputusan ini harus tertulis, yang berarti harus ditulis oleh pasien sendiri atau
keluarga / kerabat yang dipercaya oleh pasien, dan harus dicatat di rekam
medis.
4. Harus ditandatangani oleh 2 orang, yaitu:
a. Penulis / pembuat keputusan atau oleh orang lain atas nama pasien
sambil diarahkan oleh pasien (jika pasien tidak mampu
menandatanganinya sendiri)
b. Orang lain sebagai saksi

3
5. Harus diverifikasi oleh pernyataan spesifik yang dilakukan oleh pembuat
keputusan, dapat dituliskan di dokumen lain / terpisah, yang menyatakan
bahwa keputusan dini ini diaplikasikan untuk tindakan / penanganan spesifik,
bahkan jika terdapat risiko kematian.
6. Pernyataan keputusan dini di dokumen terpisah ini juga harus ditandatangani
dan disaksikan oleh 2 orang (salah satunya pasien).
7. Diskusi antara dokter dengan keluarga pasien mengenai keputusan ini harus
atas izin pasien.
8. Jika pasien tidak kompeten secara mental, diskusi dapat dilakukan dengan
keluarga / wali sah pasien dengan mempertimbangkan kondisi dan keinginan
pasien. Jika tidak terdapat keluarga / wali yang sah, keputusan dapat diambil
oleh dokter penanggungjawab pasien.
9. Jika terdapat situasi di mana pasien kehilangan kompetensinya untuk
mengambil keputusan tetapi telah membuat ‘keputusan dini DNR’
sebelumnya yang valid, keputusan ini haruslah tetap dihargai.
10. Dokter dapat tidak mengindahkan keputusan dini yang dibuat oleh pasien,
jika terdapat hal-hal berikut ini:
a. Pasien telah melakukan hal-hal yang tidak konsisten terhadap keputusan
dini /awal yang dibuat, yang mempengaruhi validitas keputusan tersebut
(misalnya, pasien pindah agama)
b. Terdapat situasi yang tidak diantisipasi oleh pasien dan situasi tersebut
dapat mempengaruhi keputusan pasien (misalnya, perkembangan terkini
dalam tatalaksana pasien yang secara drastis mengubah prospek kondisi
tertentu pasien).
c. Situasi / kondisi yang ada tidak jelas dan tidak dapat diprediksi
d. Terdapat perdebatan / perselisihan mengenai validitas keputusan dini /
awal dan kasus tersebut telah dibawa ke pengadilan.
e. Jika terdapat keraguan terhadap apa yang pasien inginkan / maksudkan,
paramedis harus bertindak sesuai dengan kepentingan / hal yang terbaik
untuk pasien. Dapat meminta saran dari dokter senior juga.
11. Tatalaksana emergensi tidak boleh tertunda hanya kerena mencari ada
tidaknya instruksi DNR pasien jika tidak terdapat indikasi jelas bahwa
instrusksi tersebut ada.
12. Pasien tidak diperbolehkan menolak perawatan dasar yang diberikan.
13. Perawatan dasar ini didefinisikan sebagai pemberian tempat tidur yang
nyaman dan hangat, pengurang rasa sakit / analgesik, manajemen gejala-

4
gejala yang memicu stress fisik (seperti sesak napas, muntah,
inkontinensia), dan manajemen higene / kebersihan diri pasien.
14. Jika pasien tetap menolak perawatan dasar, dokter yang bertugas
sebaiknya meminta saran dari dokter senior, dan masalah ini dapat juga
dibawa ke komisi etik.
15. Rumah sakit sebaiknya membuat kerangka konsep dalam hal mengambil
keputusan DNR.

2.3 Prinsip Pelaksanaan DNR


1. Harus tetap ada anggapan untuk selalu melakukan resusitasi kecuali telah
dibuat keputusan secara lisan dan tertulis untuk tidak melakukan resusitasi
(DNR).
2. Keputusan tindakan DNR ini harus dicatat di rekam medis pasien.
3. Komunikasi yang baik sangatlah penting.
4. Dokter harus berdiskusi dengan pasien yang memiliki kemungkinan henti
napas / jantung mengenai tindakan apa yang pasien ingin tim medis lakukan
jika hal ini terjadi.
5. Pasien harus diberikan informasi selengkap-lengkapnya mengenai kondisi
dan penyakit pasien, prosedur RJP dan hasil yang mungkin terjadi.
6. Tanggung jawab dalam mengambil keputusan DNR terletak pada konsultan /
dokter umum yang bertanggungjawab atas pasien. Jika terdapat keraguan
dalam mengambil keputusan, dapat meminta saran dari dokter senior.
7. RJP sebaiknya tidak dilakukan pada kondisi-kondisi berikut ini:
a. RJP dinilai tidak dapat mengembalikan fungsi jantung dan pernapasan
pasien
b. Pasien dewasa, yang kompeten secara mental dan memiliki kapasitas
untuk mengambil keputusan, menolak untuk dilakukan usaha RJP
c. Terdapat alasan yang valid, kuat, dan dapat diterima mengenai
pengambilan keputusan untuk tidak melakukan tindakan RJP.
d. Terdapat perintah DNR sebelumnya yang valid, lengkap, dan dengan
alasan kuat.
e. Pada pasien-pasien yang berada dalam fase terminal penyakitnya, di
mana tindakan RJP tidak dapat menunda fase terminal / kodisi
sekarat pasien dan tidak memberikan keuntungan terapetik (risiko /
bahayanya melebihi keuntungannya). Contoh: henti jantung / napas
yang dialami pasien merupakan kejadian alamiah akibat penyakit
terminal yang diderita. Pada kasus ini, RJP mungkin dapat

5
mengembalikan fungsi jantung-paru pasien secara sementara tetapi
kondisi keseluruhan pasien dapat memburuk dan henti jantung /
napas akan terjadi kembali, yang merupakan bagian dari proses
alamiah dan tidak dapat terhindarkan dari proses kematian pasien.
Melakukan RJP pada kasus di atas akan membahayakan / merugikan
pasien dan bertolak belakang dengan etika kedokteran (prinsip ‘do no
harm’).
8. Semua pasien harus menjalani asesmen secara personal.
9. Pengambilan keputusan DNR harus merupakan langkah terbaik untuk pasien
dan harus didiskusikan dengan pasien meskipun tidak ada kewajiban secara
etika untuk mendiskusikan DNR dengan pasien-pasien yang menjalani
perawatan paliatif (di mana usaha RJP adalah sia-sia).
10. Diskusi dengan pasien dan keluarga merupakan hal yang penting dan
tergantung dengan kapasitas mental dan harapan hidup pasien. Diskusi dapat
dilakukan oleh konsultan rumah sakit, dokter umum, atau perawat yang
bertugas. Staf harus memberitahukan hasil diskusi mereka dengan pasien
kepada dokter penanggungjawab pasien.
11. Jika, pada situasi tertentu, terdapat perbedaan pendapat antara dokter dan
pasien mengenai tindakan DNR, dokter harus menghargai keinginan pasien
(yang kompeten secara mental).
12. Hasil diskusi dengan pasien dan atau keluarganya harus dicatat di rekam
medis pasien.
13. Di rekam medis, harus tercantum:
a. Tulisan ‘Pasien ini tidak dilakukan resusitasi’
b. Tulis tanggal dan waktu pengambilan keputusan
c. Indikasi / alasan tindakan DNR
d. Batas waktu berlakunya instruksi DNR
e. Nama dokter penanggungjawab pasien
f. Ditandatangani oleh dokter penanggungjawab pasien (yang mengambil
keputusan)
g. Contoh:
 Tanggal 18 Maret 2010
 Pukul 10.30 WIB
 Tidak dilakukan RJP
 Indikasi: syok kardiogenik
 Batas waktu: 24 jam

6
14. Pada beberapa kasus, tidak terdapat batasan waktu pemberlakuan instruksi
DNR, misalnya: keganasan fase terminal.
15. Pada pasien asing (luar negeri) dan populasi etnis minoritas di mana terdapat
kesulitan pemahaman bahasa, harus terdapat layanan penerjemah yang
kompeten.
16. DNR hanya berarti tidak dilakukan tindakan RJP. Penanganan dan
tatalaksana pasien lainnya tetap dilakukan dengan optimal.
17. Tindakan DNR dapat dipertimbangkan dalam kondisi-kondisi sebagai berikut:
a. Pasien berada dalam fase terminal penyakitnya atau kerugian /
penderitaan yang dirasakan pasien saat menjalani terapi melebihi
keuntungan dilakukannya terapi.
b. Pasien, yang kompeten secara mental dan memiliki kapasitas untuk
mengambil keputusan, menolak untuk dilakukan usaha RJP.
c. RJP bertentangan dengan keputusan dini /awal yang dibuat oleh pasien,
yang bersifat valid dan matang, mengenai penolakan semua tindakan
untuk mempertahankan hidup pasien.

2.4 Prosedur Mendiskusikan DNR Bersama Pasien


1. Pastikan tercipta suasana yang kondusif, tenang, privasi pasien terjaga.
2. Kehadiran yang lengkap dari orang-orang yang ingin dilibatkan oleh pasien
dalam mendiskusikan hal ini.
3. Komunikasi dan tatap mata sebaiknya sejajar dengan tinggi / posisi pasien.
4. Jika pasien tidak keberatan, ajaklah satu orang perawat untuk mendampingi
diskusi.
5. Perawat dapat membantu dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan pasien,
memberi dukungan dan penguatan kepada pasien setelah dokter
meninggalkan ruangan.
6. Mulailah dengan memberikan pertanyaan – pertanyaan umum seperti
bagaimanakah pandangan pasien terhadap penyakit dan tatalaksana yang
dijalaninya.
7. Mengangkat topik utama:
a. Mulai dengan menyatakan: “Saya ingin berdiskusi dengan Anda.”
b. “Apa yang Anda ingin kami (paramedis) lakukan jika suatu waktu Anda
menjadi terlalu sakit untuk dapat berbicara dengan kami?”
c. Salah satu hal penting adalah mengenai pertanyaan tindakan resusitasi.

7
d. “Meskipun hal ini jarang terjadi, saya perlu untuk mempertimbangkan
mengenai tindakan apa yang harus kami lakukan jika jantung Anda
berhenti.”
e. “Beberapa orang memiliki pandangan yang kuat terhadap seberapa
banyak penanganan yang ingin mereka terima jika mereka menjadi
sangat sakit. Saya ingin tahu apakah Anda pernah memikirkan hal ini.”
8. Pemilihan waktu untuk berdiskusi:
a. Bukan waktu yang bagus untuk melakukan diskusi segera setelah
diagnosis ditegakkan.
b. Waktu diskusi yang terbaik adalah saat diagnosis dan prognosis sudah
jelas dan saat pasien telah mengetahui dan menerima penyakitnya.
9. Berusahalah untuk membangun pemahaman pasien mengenai situasinya
saat ini, sifat dasar resusitasi, kemungkinan tingkat keberhasilan resusitasi
jika dilakukan, serta harapan dan keinginan pasien. Pasien dan keluarganya
sering memiliki harapan / ekspektasi yang tidak realistis dari nilai resusitasi.
10. Berikan informasi mengenai RJP menggunakan kata-kata sederhana
yang dapat dimengerti oleh pasien.
11. Tingkat pemberian informasi harus dinilai dari respons dan
pemahaman setiap pasien.
12. Jika tidak tercapai kesepakatan, berikan pendapat dari sudut pandang
dokter (paramedis) mengenai kondisi pasien dan tindakan RJP. Dapat
dengan menyatakan: “Pendapat saya mungkin berbeda dengan apa yang
Anda inginkan. Karena alasan itulah saya ingin berdiskusi dengan Anda.”
13. Cobalah untuk mengerti:
a. Sudut pandang pasien
b. Nilai-nilai yang dianut oleh pasien
c. Ruang lingkup pengaplikasian (misalnya, penanganan apa saja yang
dijalani pasien)
14. Catat sudut pandang pasien, nilai-nilai yang dianut oleh pasien, dan ruang
lingkup pengaplikasian di rekam medis.
15. Diskusikan keputusan mengenai RJP dalam konteks positif sebagai bagian
dari perawatan suportif. Banyak pasien yang merasa takut diabaikan /
ditelantarkan dan merasa nyeri, melebihi rasa takutnya akan kematian.
16. Petugas harus menekankan mengenai terapi-terapi mana saja yang akan
tetap diberikan, pasien masih akan tetap dikunjungi oleh dokter secara
teratur, pengendalian nyeri, dan memberikan kenyamanan kepada pasien.

8
17. Penting untuk memisahkan / membedakan keputusan DNR dengan
keputusan mengenai manajemen pasien lainnya.
18. Dengan memberikan kesempatan kepada pasien untuk berdiskusi dengan
dokter, akan membuat pasien merasa dihargai dan menurunkan tingkat
kecemasan / stress pasien juga.

2.5 SOP DNR

Penolakan Resusitasi/Bantuan Hidup Dasar


Nomor Dokumen Nomor Revisi Halaman

Tanggal Terbit Disetujui Oleh


Petunjuk
Pelaksanaan

Pengertian Suatu perintah yang memberitahukan tenaga medis untuk tidak


melakukan cpr ( cardio pulmonary resuscitation)

Tujuan Untuk menyediakan suatu proses dimana pasien bisa memilih prosedur
yang nyaman dalam hal bantuan hidup oleh tenaga medis emergency
dalam [kasus henti jantung / henti nafas.
Kebijakan Surat penugasan oleh direktur rumah sakit tentang penunjukkan prosedur
penolakan resusitas.

Prosedur  Ucapkan salam “ assalamualaikum...”


 Jelaskan mengenai tindakan dan tujuan cpr kepada pasien /
keluarga pasien.
 Mintakan informed consent dari pasien atau keluarganya.
 instruksikan kepada keluarga pasien untuk mengisi formulir dnr.
 Tempatkan salinan pada rekam medis pasien dan serahkan juga
salinan pada pasien atau keluarga
 Instruksikan kepada pasien atau keluarga untuk memasang
formulir dnr di tempat-tempat yang mudah dilihat seperti
bedstand.
 Tinjau kembali status dnr secara berkala dengan pasien atau
walinya, revisi bila ada perubahan keputusan yang terjadi dan
catat dalam rekam medis. Bila keputusan dnr dibatalkan, catat
tanggal terjadinya. Dan gelang dnr dimusnahkan

 Perintah dnr harus mencakup hal-hal di bawah ini:


A. Diagnosis
B. Alasan dnr
C. Kemampuan pasien untuk membuat keputusan
D. Dokumentasi bahwa status dnr telah ditetapkan dan oleh
siapa
 Perintah dnr dapat dibatalkan dengan keputusan pasien sendiri atau
dokter yang merawat, atau oleh wali yang sah. Dalam hal ini, catatan
dnr di rekam medis harus pula dibatalkan dan gelang dnr (jika ada)
harus dimusnahkan

Unit Terkait  Dokter


 IGD
 Ruang Rawat Inap
(Sumber : Wahyu, 2013)

9
2.6 Prinsip Etik DNR
Keputusan penolakan resusitasi (DNR) menurut Brewer (2008) melibatkan
tiga prinsip moral yang dapat dikaji oleh perawat, yaitu autonomy,
beneficience, dan nonmalefecience, ketiga prinsip tersebut merupakan
dilema etik yang menuntut perawat berpikir kritis, karena terdapat dua
perbedaan nilai terhadap profesionalisme dalam memberikan asuhan
keperawatan, secara profesional perawat ingin memberikan pelayanan
secara optimal, tetapi disatu sisi terdapat pendapat yang mengharuskan
penghentian tindakan.
a. Prinsip Beneficence

Prinsip beneficence pada RJP adalah pemulihan kesehatan dan fungsi-


fungsinya serta meringankan rasa sakit dan penderitaan. Keuntungan
terbesar dari tindakan RJP, dengan kemungkinan hidup lebih dari 20%,
telah dilaporkan pada henti jantung selama tindakan anestesi, overdosis
obat, dan penyakit jantung koroner atau aritmia ventriculer primer.
Jarang sekali pasien bertahan hidup setelah dilakukan RJP ketika henti
jantung yang timbul disebabkan oleh penyakit selain jantung atau
disfungsi organ. Harapan hidup pasien setelah dilakukan tindakan RJP
sangat buruk (<5%) bila henti jantung terjadi pada pasien dengan gagal
ginjal, kanker (kecuali dengan penyakit yang minimal), atau AIDS; dan
dengan tidak adanya penyakit penyebab yang irrevers- ible, diikuti
dengan trauma, perdarahan, hipotensi yang berkepanjangan atau
pneumonia. Dibatasinya pelaksanaan RJP telah meningkatkan derajat
harapan hidup pasien sebesar 10,5% setelah tindakan RJP, meskipun 7-
10% lainnya ditunda untuk dilakukan RJP. RJP yang dimulai dengan cepat
di Seattle menghasilkan tingkat harapan hidup sebesar 36%, Usia bukan
merupakan salah satu kontraindikasi dilakukannya tindakan RJP.
Walaupun dikatakan proses penuaan berkaitan dengan akumulasi
berbagai kelemahan dan penyakit, dengan terdapatnya perawatan jangka
panjang dan penurunan fungsi tubuh, masih menjadi salah satu
perkiraan hasil RJP yang buruk.
b. Prinsip Non Maleficence

Banyak pasien dengan disabilitas berat yang diikuti dengan


kerusakan otak berada dalam kondisi yang sama dengan kematian. RJP
menjadi berbahaya dan bersifat merusak ketika risiko kerusakan otak

10
relatif tinggi. Oleh karena gangguan aliran darah ke otak atau ke jantung
dapat menyebabkan kerusakan berat, RJP dapat dikatakan berhasil
hanya jika dilakukan tepat waktu. Pada beberapa kasus, walaupun
petugas gawat darurat sudah membatasi dilakukannya tindakan RJP
di lapangan, masih dapat ditemukan bukti RJP yang tidak dikehendaki.

c. Prinsip Otonomi

Otonomi pasien harus dihormati secara etik dan di sebagian besar


negara dihormati secara legal. Akan tetapi hal itu membutuhkan
kemampuan komunikasi seorang pasien untuk dapat menyetujui atau
menolak tindakan medis termasuk RJP. Informed consent
mensyaratkan bahwa pasien dapat menerima dan memahami informasi
yang akurat tentang kondisi mereka dan prognosis, jenis tindakan
medik yang diusulkan, tindakan alternatif lainnya, risiko dan manfaat dari
tindakan medis tersebut. Pasien juga harus dinilai kapasitasnya dalam
mengambil keputusan. Bila pasien ragu-ragu maka dia harus dianggap
mempunyai kapasitas, dan bila kapasitas dalam mengambil keputusan
tersebut terganggu. Baik dokter dan penderita mungkin mempunyai
persepsi yang berbeda tentang kualitas hidup. Dokter mempunyai
kewajiban untuk menerangkan kepada pasien tentang RJP dan
hasilnya. Pengambilan keputusan yang tepat dapat terjadi bila
penderita mempunyai pemahaman yang baik tentang persepsi dan
hasil resusitasi. Masalah kemudian dapat timbul karena banyak dokter
tidak dapat memprediksi secara akurat tentang kemungkinan hidup dari
serangan jantung, sehingga penderita tidak dapat dipaksa untuk
mengambil persetujuan tentang tindakan RJP

2.7 Peran Perawat Pada Pasien DNR


Secara umum menurut Adam et al (2011), peran perawat ketika menghadapi
pasien DNR diantaranya adalah):
1) Membina hubungan saling percaya antara perawat, pasien dan keluarga.
2) Memfasilitasi pasien dan keluarga terkait kebutuhan (kehadiran
rohaniawan).
3) Menghormati setiap keputusan yang diambil oleh pasien dan keluarga.
4) Mengidentifikasi persepsi keluarga tentang kematian.
5) Mengidentifikasi pengambil keputusan dalam keluarga.
6) Menjawab pertanyaan keluarga secara terbuka dan jujur.

11
7) Mendampingi pasien menghadapi proses kematian.
8) Memberikan dukungan kepada pasien dan keluarga.
9) Berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain terkait dengan keputusan
DNR.
10) Memberikan tanda berupa gelang berwarna ungu kepada pasien yang telah
dinyatakan DNR

2.8 Konsep RJP


2.8.1  Pengertian
Suatu tindakan untuk mengembalikan fungsi pernafasan dan sirkulasi guna
mempertahankan kelangsung hidup. Resusitasi jantung paru (RJP)
merupakan usaha memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan
ventilasi dari pasien yang mengalami henti jantung dan henti nafas melalui
resusitasi jantung paru (Paula, 2010)
2.8.2 Indikasi
a.Henti jantung dan henti nafas
Henti jantung terjadi bila jantung tiba-tiba berhenti berdenyut akibatnya terjadi
penghentian sirkulasi efektif, semua kerja jantung berhenti atau terjadi
aktivitas listrik yang tidak seirama.
Henti nafas adalah berhentinya pernafasan pada pasien/ korban yang
ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara penafasan dari
pasien/korban. Merupakan kasus yang haruus segera dilakukan bantuan
hidup dasar.
b.Ventrikel fibrilasi
Merupakan suatu keadaan dimana konstraksi yang tak korrdinasi sekaligus
dari semua otot ventrikel walaupun aliran sinyal-sinyal perangsangan yang
sangat banyak di seluruh ventrikel, ruangan di dalam ventrikel tidak
membesar, tidak berkonstraksi, dan tidak memompakan darah yang efektif.
Hal-hal yang pada dasarnya cenderung menimbulkan fibrilasi adalah (1) kejut
listrik jantung jang tiba-tiba (2) iskemia dari otot jantung.
c. Asistole
Merupakan suatu keadaan dimana tidak ada gambaran systole lagi dalam
EKG (gari lurus).

2.8.3 Konsep Fisiologis


Apa yang terjadi saat jantung berhenti berdenyut? Empat menit pertama jantung gagal
memompakan darah terutama ke otak, maka akan mengalami kekurangan suplai gula darah

12
(utamanya) dan oksigen, sehingga otak mengalami iskemia. Lewat dari itu selama 10 menit
akan menyebabkan kematian sel otak yang irreversible (waktu kritis).
CPR/RJP merupakan tehnik dasar untuk safe and rescue jika terdapat korban yang
mengalami henti jantung mendadak (cardiac arrest) atau henti napas Pompa jantung
menggunakan tangan (resusuitasi kardiopulmonal) sebagai alat untuk defibrilasi. Bila tidak
terjadi defibrilasi dalam waktu satu menit setelah fibrilasi dimulai, jantung biasanya terlalu
lemah untuk dibangkitkan kembali dengan defibrilator sendiri karena kontraksi myocard yang
tidak efektif (pemacuan). Akan tetapi jantung masih mungkin dibangkitkan bila sebelumnya
dipompa dengan tangan dan kemudian mendefibrilasinya. Pompa jantung menggunakan
tangan (resusitasi kardiopulmonal) maka akan :
a. Memberikan kesempatan jantung berdenyut lebih cepat, kalau terlalu banyak
ventilasi ada fase silance.
b. Mengurangi ITP (Intra Thoracik Pressure) – Tekanan Dalam Rongga Dada
karena ventilasi untuk mencegah regurgitasi/ aspirasi.
c. Sebenarnya dengan mengkompresi jantung, secara tidak langsung
memberikan ekspirasi napas.

2.8.4 Pengkajian Sebelum RJP


Pengkajian pasien dengan RJP adalah menggunakan teori CAB:
a. Pastikan aman
Lihat sekitar korban ada bahaya, singkirkan dan bawa korban ke tempat yang aman.
b. Periksa apakah korban atau pasien sadar
Panggil pasien, sentuh pundak/bahu pasien kalau dia tidak sadar.
c. Panggil bantuan
Minta bantuan teman atau telepon no darurat No 118/112 (di Indonesia banyak banget)
a) Airway
1. Periksa jalan napas korban dengan cara : pembersihan sumbatan jalan
nafas.
2. Bebaskan jalan nafas: head titlt chin lift & model jaw trust
b) Breathing
1. Cek nafas korban (lock-feel-listen)
2. Memastikan korban/pasien bernafas/tidak
c) Circulation
1. Memastikan ada tidaknya denyut jantung korban
2. Memberikan bantuan sirkulasi
d) Defibrilasi

13
1. Analisa irama jantung pasien/korban, ada indikasi untuk pemberian shock listrik.
Prosedur defibrilasi sebagai berikut :
2. Paddle I ditempatkan dibawah klavikula kanan dekat tulang dada atas
3. Paddle II di iga ke-lima antara garis midklavikular kiri dan garis aksilar depan kiri
4. Bila hantaran (paddles) ditempatkan pada tempat sedemikian rupa sehingga
sejumlah aru maximal beraksi sebanyak mungkin pada miokardium. Aktivitas elektrik
dengan kontraksi kardiak yang efektif dapat dihasilkan bila miokard dapat oksigen dalam
jumlah yang cukup dan bila pusat pacu mengambil alih kembali.
5. Sementara jangan sentuh korban.

2.8.5 Prosedur RJP


2.8.5.1 Persiapan alat
RJP dilapangan gunakan tissue untuk membatasi antara mulut pasien dengan mulut
penolong
2.8.5.2 Persiapan pasien :
1. Posisi tubuh penderita diletakkan berdasarkan letak luka secara umum posisi
penderita terlentang dengan tujuan meningkatkan aliran darah ke organ-
organ vital.
2. Apabila terdapat trauma pada leher dan tulang belakang, penderita jangan
digerakkan sampai persiapan transportasi selesai, kecuali untuk menghindari
terjadinya luka yang lebih parah atau untuk memberikan pertolongan pertama
seperti pertolongan untuk membebaskan jalan nafas.
3. Penderita yang mengalami luka parah pada bagian muka atau penderita
tidak sadar, harus dibaringkan pada salah satu sisi tubuh (berbaring miring)
untuk memudahkan cairan keluar dari rongga mulut dan untuk menghindari
sumbatan jalan nafas oleh muntah atau darah penanganan yang sangat
penting adalah meyakinkan bahwa salurna nafas tetap terbuka untuk
menghindari terjadinya asfiksia.
4. Penderita dengan luka pada kepala dapat dibaringkan telentang datar atau
kepala a gak ditinggikan. Tidak dibenarkan posisi kepala lebih rendah
dari bagian tubuh lainnya.
5. Kalau masih ragu tentang posisi luka penderita, sebaiknya penderita
dibaringkan dengan posisi terlentang datar.
6. Pada penderita shock hypovolemik, baringkan penderita terlentang dengan
kaki ditinggikan 30 cm sehingga aliran darah balik ke jantung lebih besar dan
tekanand arah menjadi meningkat. Tetapi bila penderita menjadi lebih sukar
bernafas atau penderita menjadi kesakitan segera turunkan kakinya kembali.

14
2.8.5.2 Persiapan lingkungan :
1. Cari tempat yang aman dan nyaman untuk melakukan resusitasi
2. Persiapkan alas untuk tidur pasien (jika memungkinkan)
3. Siapkan lingkungan yang jauh dari keramaian untuk memudahkan melakukan
resusitasi.

Hal-hal yang perlu diperhatikan :

a. Ventilasi buatan (mulut ke mulut) dilakukan segera, kepala ditengadahkan


kebelakang dan dagu diangkat untuk meregangkan jalan nafas dan memajuklan,
lidah dalam menyiapkan ventilasi mulut ke mulut, teknik baru menganjurkan

15
penghentian ventilasi 1,5 detik dan sedikit kekuatan dan tekanan pada ekshaiasi
sehingga esopagus tidak teruka (yang memungkinkan udara di bawah tekanan
mengaliri ke lambung). Sepanjang tindakan tersebut, kompresi dada harus dilakukan
dengan kecepatan minimal 100 kali permenit.

b. Kompresi jantung eksternal


1. Lakukan kombinasi nafas buatan dan kompresi jantung luar dengan
perbandingan 30:2 (baik 1 atau 2 penolong), dengan teknik sebagai berikut.
2. Dengan jari telunjuk dan jari tengah penolong menelusuri tulang iga kanan
atau kiri sehingga bertemu dengan tulang dada
3. Dari pertemuan tulang sternum diukur kurang lebih 2 atau 3 jari keatas
daerah tersebut merupakan tempat untuk tangan penolong dalam
memberikan bantuan sirkulasi.
4. Letakkan jari-jari kedua tangan atau saling mengait untuk memastikan bahwa
penekanan yang dilakukan tepat pada sternum dan tidak pada tulang iga atau
bagian atas perut.
5. Dekatkan badan penolong vertikal diatas pasien dengan berumpu pada
kedua tangan diluruskan diatas sternum pasien dan tekan sternum tegak
lurus sedalam 3,8 5cm.
6. Lepaskan tekanan tanpa melepas kontak antara tangan dan sternum pasien,
kemudian ulangi penekanan/kompresi jantung luar dengan kecepatan
100x/menit (dilakukan 4 siklus/menit, berarti hampir 2x kompresi dalam 1
detik).
7. Kombinasikan kompresi dan nafas buatan : setelah 30x kompresi, berikan
nafas buatan yang efektif sebanyak 2x.
8. Tidak ada penundaan antara kompresi nafas buatan kompresi lagim
sehingga jeda waktu tidak lama, lanjutkan resusitasi sampai.
9. Pertolongan diambil oleh yang lebih ahli
10. Pasien mulai bergerak/ada nafas spontan
11. Penolong kelelahan (harusnya penolong diganti tiap 2 menit, bila jumlah
penolong memadai)
12. Bila pasien/korban tak ada luka tetapi tak berespon dengan bantuan nafas,
atur posisinya agar miring ke samping (lateral position) agar lidah tak jatuh
kebelakang dan menyumbat saluran nafas.

16
2.8.6 Indikasi RJP Boleh Tidak Dilakukan
Menurut American Heart Association 2010 ada beberapa kondisi RJP boleh
tidak dilakukan, diantaranya:
 Adanya instruksi untuk tidak melakukan RJP (Do Not
Resuscitation/DNR)
 Sudah tampak tanda-tanda kematian (kaku mayat, lebam mayat) atau
pada trauma yang tidak mungkin diselamatkan (seperti: leher yang
terpenggal)
Di tahun 2003, The National Asscociaation of EMS Physicians (NAEMSP)
mempublikasikan pedoman untuk tidak melakukan resusitasi pada pasien trauma
yang :
1. Pasien dengan trauma tumpul yang ditemukan dalam kondisi apneu, tidak ada
nadi dan tidak ada irama ECG (asistole)
2. Pasien dengan luka tembus/tusuk yang ditemukan dalam kondisi apneu dan
tidak ada nadi
3. Korban dengan leher yang terpenggal atau hemicorporectomy
4. Korban yang mengalami henti jantung ditolong petugas medis dan setelah 15
menit melakukan resusitasi tidak berespon. Semua keputusan yang dibuat
harus berdasar pada aturan yang berlaku di tempat tersebut

2.8.7 Tanda RJP yang Berkualitas


1. Posisi tangan tetap di sternum selama melakukan kompresi dada
2. Kompresi dada dilakukan dengan kecepatan minimal 100 x/ menit
3. Kompresi dada dilakuka dengan kedalaman minimal 5 cm atau 2 inchi
4. Memberikan kesempatan pada dinding dada untuk mengembang kembali
sebelum kompresi berikutnya
5. Meminimalkan interupsi kompresi dada selama RJP
6. Menghindari pemberian bantuan nafas yang berlebihan

17
BAB 3
TINJAUAN JURNAL

3.1 Latar Belakang Jurnal


Pengakuan terhadap rendahnya angka kelangsungan hidup pasca
resusitasi dan tingginya biaya perawatan akibat penggunaan alat bantu pasca
resusitasi menyebabkan mulai diperhitungkannya kebijakan DNR sekitar tahun
1970-an. Selain itu jarang sekali pasien bertahan hidup setelah dilakukan RJP
ketika henti jantung yang timbul disebabkan oleh penyakit selain jantung atau
disfungsi organ. Harapan hidup pasien setelah dilakukan tindakan RJP sangat
buruk (<5%) bila henti jantung terjadi pada pasien dengan gagal ginjal,kanker
(kecuali dengan penyakit yang minimal), atau AIDS; dan dengan tidak adanya
penyakit penyebab yang irreversible, diikuti dengan trauma, perdarahan, hipotensi
yang berkepanjangan atau pneumonia. Asosiasi Kedokteran Amerika menjadi
organisasi pertama yang mengusulkan pemberlakuan kebijakan DNR tersebut
secara formal yang dikomunikasikan kepada seluruh staff terkait tentang kebijakan
baru tersebut (American Medical Association, 1974 dalam Brewer, 2008).
DNR atau do-not-resuscitate adalah suatu perintah yang memberitahukan
tenaga medis untuk tidak melakukan CPR. Hal ini berarti bahwa dokter, perawat,
dan tenaga emergensi medis tidak akan melakukan usaha CPR emergensi bila
pernapasan maupun jantung pasien berhenti. CPR atau cardiopulmonary
resuscitation adalah suatu prosedur medis yang digunakan untuk mengembalikan
fungsi jantung (sirkulasi) dan pernapasan spontan pasien bila seorang pasien
mengalami kegagalan jantung maupun pernapasan.
Asosiasi Perawat Amerika juga membicarakan tentang kebijakan DNR,
bahwa keputusan DNR diambil dengan sebelumnya telah diinformasikan kepada
pasien dan keluarganya mengenai keuntungan dan kerugian, serta disepakati oleh
semua pihak yang terlibat dalam dokumen baku untuk menghindari tuntutan
(American Nurses Association, 2003 dalam Brewer, 2008).
Menurut Morrison et al (2010), perintah untuk tidak melakukan resusitasi
(DNR) diberikan oleh dokter berlisensi atau pernyataan penolakan resusitasi
merupakan permintaan tertulis pasien atau keluarganya dan harus ditandatangani
pada format baku yang dituangkan dalam informed consent, serta diputuskan
setelah melalui proses konsultasi dengan dokter yang berwenang, artinya bahwa
pasien/keluarganya dapat menerima dan memahami informasi yang akurat tentang
kondisi, prognosis, jenis tindakan medik yang diusulkan, tindakan alternatif lain,
risiko, dan manfaat dari tindakan medis tersebut.

3.2 Metode
Penelitian ini menggunakan design cross sectional, dimana dilakukan pada
bulan September 2013 sampai bulan Maret 2014. Sebanyak 200 perawat yang
bekerja di Rumah Sakit Imam Khomeini dipilih dengan acak menggunakan simple
random. Para perawat mengisi kuesioner yang terbagi menjadi 2 bagian yang
pertama berisi data demografi dan yang kedua berisi pertanyaan mengenai DNR
Orders. Semua partisipan diminta mengisi kuesioner dalam waktu 1 minggu.
Apabila kuesioner tidak dikirim lebih dari 1 minggu peneliti akan mengirimkan
pesan pengingat. Analisa statistik menggunakan SPSS for windows versi 18. Data
disebut signifikan apabila P value < 0,05

3.3 Hasil
Berdasarkan kuisioner tentang pandangan perawat mengenai DNR,
sebagian besar perawat (38,7%) menganggap bahwa DNR diperlukan dan
memerlukan peran perawat di dalamnya. Keterlibatan pasien dalam pengambilan
keputusan terkait DNR dianggap sangat perlu (23,2%) akan tetapi, jika pasien
atau keluarga tidak mampu memutuskan, maka keluarga dan dokter keluarga
berhak mengambil keputusan. Menurut 59,5% responden, keputusan DNR
memang didapat dari pasien, keluarga, dan dokter dan hanya sebagian kecil
responden (29,7%) yang menganggap DNR merupakan kewenangan rumah sakit
dengan alasan bahwa kewajiban dari rumah sakit adalah untuk meningkatkan
harapan hidup pasien (35,8%). Pasien yang meminta untuk dilakukan DNR bukan
berarti pasien tersebut diabaikan begitu saja sebab konteks DNR yang sebenarnya
hanya mengacu pada penghentian tindakan Cardio Pulmonary Rescucitation
(DNR), bukan penghentian pada terapi atau perawatan rutin pasien. Hal ini sejalan
dengan sebagian besar jawaban sebgaian besar responden (67,2%) yang memilih
langkah yang sama setelah keputusan DNR dibuat dan sebanyak 66% responden
mengatakan terlibat pada proses DNR terutama pasien pernyakit terminal seperti

19
kanker, diikuti okeh luka bakar, ensefalopati, serangan jantung, pasien HIV, dan
bayi dengan kelainan kongenital.

3.4 Analisis
Sebagian besar responden di dalam penelitian ini menganggap bahwa DNR
diperlukan dan merasa perlu untuk terlibat di dalamnya. Hal tersebut berkaitan
dengan prinsip etik keperawatan autonomy, beneficience, dan non maleficience.

20
Prinsip moral yang diyakini pasien/keluarganya harus dihargai, meskipun sudut
pandang secara etik berbeda, prinsip autonomy di sebagian besar negara
dihormati secara legal, yang memerlukan keterampilan dalam berkomunikasi
secara baik. Perawat secara kognitif memiliki komunikasi terapeutik yang dapat
dijadikan acuan untuk membicarakan hak otonomi pasien/keluarganya, melalui
informed consent, pasien dan keluarga telah menentukan pilihan
menerima/menolak tindakan medis, termasuk resusitasi, meskipun umumnya
pasien/keluarga tidak memiliki rencana terhadap akhir kehidupannya. Perawat
dapat memberikan edukasi tentang proses tersebut dengan cara-cara yang baik
dan tidak menghakimi pasien/keluarga untuk menerima saran/masukan, tetapi
mendukung keputusan yang mereka tetapkan (AHA, 2005 dalam Basbeth dan
Sampurna, 2009).

Prinsip moral beneficence pada penerimaan/penolakan tindakan resusitasi


mengandung arti bahwa pasien memilih apa yang menurut mereka terbaik
berdasarkan keterangan-keterangan yang diberikan perawat, perawat dapat
memberikan informasi akurat mengenai keberhasilan resusitasi, manfaat dan
kerugiannya, serta angka harapan hidup pasca resusitasi, termasuk efek
samping/komplikasi yang terjadi, lama masa perawatan, serta penggunaan alat
bantu pendukung kehidupan yang memerlukan biaya cukup besar. Data-data dan
informasi yang diberikan dapat menjadi acuan pasien/keluarganya dalam
menentukan keputusan (Basbeth dan Sampurna, 2009).

Prinsip moral nonmalefecience berkaitan dengan pelaksanaan tindakan RJP


tidak membahayakan/merugikan pasien/keluarganya. Menurut Hilberman, Kutner
J, Parsons dan Murphy (1997) dalam Basbeth dan Sampurna (2009) dikatakan
bahwa banyak pasien mengalami gangguan neurologi berupa disabilitas berat
yang diikuti dengan kerusakan otak pasca RJP, menyebabkan kerusakan otak
permanen (brain death), tingkat kerusakan otak berkaitan dengan tindakan RJP
bervariasi antara 10-83%. Tindakan RJP dikatakan tidak merusak jika keuntungan
yang didapatkan lebih besar. Data tersebut dapat menjadi pertimbangan dokter
dalam menentukan DNAR pada pasien dengan angka harapan hidup relatif kecil
dan prognosa yang buruk.

21
Hal ini disebabkan oleh Pengakuan terhadap rendahnya angka
kelangsungan hidup pasca resusitasi dan tingginya biaya perawatan akibat
penggunaan alat bantu pasca resusitasi. Pasien Do Not Resuscitate (DNR) pada
kondisi penyakit kronis/terminal dari sisi tindakan keperawatan tidak akan berbeda
dengan pasien pada umumnya, hanya memiliki makna bahwa jika pasien berhenti
bernapas atau henti jantung, tim medis tidak akan melakukan resusitasi/Resusitasi
Jantung Paru (RJP), hal ini sesuai dengan definisi yang dikemukakan AHA, bahwa
jika RJP yang dilakukan tidak memberikan hasil signifikan pada situasi tertentu,
dan lebih membawa kerugian bagi pasien/keluarganya dari segi materil maupun
imateril, maka pelaksanaan RJP tidak perlu dilakukan (Ardagh, 2000 dalam
Basbeth dan Sampurna, 2009).

3.5 Jurnal
(terlampir)

22
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
4.1.1 DNR atau do-not-resuscitate adalah suatu perintah yang
memberitahukan  tenaga medis untuk tidak melakukan CPR. Hal ini
berarti bahwa dokter,  perawat, dan tenaga emergensi medis tidak akan
melakukan usaha CPR emergensi bila pernapasan maupun jantung
pasien berhenti.
4.1.2 Kriteria dilakukannya DNR ialah perintah DNR untuk pasien harus tertulis
baik di catatan medis pasien maupun di catatan yang dibawa pasien
sehari-hari, di rumah sakit atau keperawatan, atau untuk pasien di rumah.
4.1.3 Prinsip DNR ialah hanya berarti tidak melakukan RJP pada pasien yang
mengalami henti jantung atau henti nafas. Penanganan dan tatalaksana
pasien lainnya tetap dilakukan
4.1.4 Prosedur mendiskusikan keputusan DNR dilakukan dengan keluarga
pasien dengan menjelaskan kelebihan dan kekurangan/resiko dari
dilakukannya DNR
4.1.5 SOP
4.1.6 ETIK
4.1.7 PERAN PERAWAT
4.1.8 KONSEP RJP
4.2 Saran
Hendaknya tenaga kesehatan lebih mengetahui tentang konsep DNR secara
jelas, sehingga jika ada pasien dengan permeintaan DNR maka para tenaga medis
tidak bingung akan tindakan apa yang akan dilakukan. Selain itu sebaiknya setiap
rumah sakit memiliki standar SOP mengenai tindakan DNR serta publikasi mengenai
DNR kepada seluruh tenaga kesehatan di rumah sakit.

23
DAFTAR PUSTAKA

Adams, Judith A., Bailey Jr, Donald E., Anderson, Ruth A., & Docherty, Sharon L.
(2011).”Nursing Roles and Strategies in End-of-Life Decision Making in Acute Care: A
Systematic Review of the Literature.” Nursing Research and Practice. Volume 2011.
http://dx.doi.org/10.1155/2011/527834

AHA . 2010. Cardiac Arrest in Special Situations: 2010 American Heart Association Guideline
for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation, 122,
844-845

Basbeth, F 2009. ”Analisis etik terkait resusitasi jantung paru”,Majalah Kedokteran Indonesia,
Volume: 59, Nomor: 11, Nop 2009

Brizzi, M, K. Abdul- Kasim et al. 2012. “Early do not resuscitate orders in intracerebral
haemorage, frequency and predictive value for death and functional outcome. A
retrospective cohort study” Scandinavian Journal Of Trauma Resuscitation And Emergency
Medicine 20 (36)
Brewer, B C. 2008.”Do not abandon, do not resuscitate; a patient advocay position”. Journal of
Nursing Law.volume 12, number 2, 2008.

Fields, L. 2007. “DNR Does Not Mean No Care” Journal of Neuroscience 39 (5)
Lachman, Vicky D. (2006). “Applied ethics in nursing”. New York. Springer Publishing Company
Inc. ISBN 0-8261-7984-3
Morrison, Laurie J., Kierzek, Gerald, Diekema, Douglas S., Sayre, Michael R., Silvers, Scott M.,
Idris, Ahamed H., &Mancini, Mary E. 2010,”Part 3: Ethics: 2010 American Heart
Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular
Care”,Circulation, 122 18 suppl 3, S665-S675. DOI: 10.1161/circulationaha.110.970905.

Krisanty, dkk. 2010. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. CV Trans Info Media: Jakarta.

Tony, dkk. 2012. Penatalaksanaan Henti Jantung di Luar Rumah Sakit Sesuai dengan
Algoritma AHA 2010. UMM PRESS : Malang

Wahyu, Pria. 2013. Kebijakan DNR pada trauma Dada. Jakarta : Gaya Baru.

24

Anda mungkin juga menyukai