Do Not Resuscitate (DNR) Menjadi Trend Dan Issue Yang Akhir-Akhir Ini Mulai
Do Not Resuscitate (DNR) Menjadi Trend Dan Issue Yang Akhir-Akhir Ini Mulai
PENDAHULUAN
Do Not Resuscitate (DNR) menjadi trend dan issue yang akhir-akhir ini mulai
sering diperbincangkan dalam dunia kesehatan. Do Not Resuscitate
(DNR) merupakan sebuah perintah jangan dilakukannya resusitasi CPR
(cardiopulmonary resusitation) atau Resusitasi Jantung Paru (RJP) bagi tenaga
kesehatan ataupun masyarakat umum jika terjadi permasalahan darurat pada
jantung pasien atau berhentinya pernapasan. Salah satu yang melatarbelakangi
munculnya konsep DNR ialah sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa dalam
situasi klinis tertentu CPR hampir selalu sia-sia. Jarang sekali pasien bertahan
hidup setelah dilakukan RJP ketika henti jantung yang timbul disebabkan oleh
penyakit selain jantung atau disfungsi organ. Harapan hidup pasien setelah
dilakukan tindakan RJP sangat buruk (<5%) bila henti jantung terjadi pada pasien
dengan gagal ginjal, kanker (kecuali dengan penyakit yang minimal), atau AIDS;
dan dengan tidak adanya penyakit penyebab yang irreversible, diikuti dengan
trauma, perdarahan, hipotensi yang berkepanjangan atau pneumonia.
Sering kali DNR ini disalahartikan oleh para tim medis bahwa pasien DNR
tidak akan dilakukan tindakan medis apapun padahal sebenarnya tidak demikian.
DNR tidak berarti semua tatalaksana / penanganan aktif terhadap kondisi pasien
diberhentikan. Pemeriksaan dan penanganan pasien (misalnya terapi intravena,
pemberian obat-obatan) tetap dilakukan pada pasien DNR. Semua perawatan
mendasar harus terus dilakukan, tanpa kecuali. Oleh karena itu pemahaman
konsep mengenai DNR sangat penting bagi perawat, selain itu sebagai seorang
perawat juga diharapkan mampu berkomunikasi kepada pasien atau keluarga
1
pasien terkait pengambilan keputusan untuk melakukan DNR dengan tetap
memperhatikan prinsip-prinsip etik di dalam keperawatan.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Meningkatkan pemahaman perawat mengenai konsep DNR (Do Not
Resusitation)
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui pengertian DNR
2. Mengetahui kriteria DNR
3. Mengetahui prinsip DNR
4. Mengetahui prosedur mendiskusikan DNR
5. Mengetahui SOP DNR
6. Mengetahui Etik DNR
7. Mengetahui perannya dalam pasien DNR
8. Mengetahui tentang konsep RJP
1.3 Manfaat
Dilakukan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua
pihak yang terkait diantaranya yakni bagi perawat di IGD dr.Soepraoen agar dapat
lebih memahami konsep DNR secara jelas. Serta sebagai masukan kepada rumah
sakit agar dapat menerapkan sistem DNR dengan benar sesuai prosedur.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
3
5. Harus diverifikasi oleh pernyataan spesifik yang dilakukan oleh pembuat
keputusan, dapat dituliskan di dokumen lain / terpisah, yang menyatakan
bahwa keputusan dini ini diaplikasikan untuk tindakan / penanganan spesifik,
bahkan jika terdapat risiko kematian.
6. Pernyataan keputusan dini di dokumen terpisah ini juga harus ditandatangani
dan disaksikan oleh 2 orang (salah satunya pasien).
7. Diskusi antara dokter dengan keluarga pasien mengenai keputusan ini harus
atas izin pasien.
8. Jika pasien tidak kompeten secara mental, diskusi dapat dilakukan dengan
keluarga / wali sah pasien dengan mempertimbangkan kondisi dan keinginan
pasien. Jika tidak terdapat keluarga / wali yang sah, keputusan dapat diambil
oleh dokter penanggungjawab pasien.
9. Jika terdapat situasi di mana pasien kehilangan kompetensinya untuk
mengambil keputusan tetapi telah membuat ‘keputusan dini DNR’
sebelumnya yang valid, keputusan ini haruslah tetap dihargai.
10. Dokter dapat tidak mengindahkan keputusan dini yang dibuat oleh pasien,
jika terdapat hal-hal berikut ini:
a. Pasien telah melakukan hal-hal yang tidak konsisten terhadap keputusan
dini /awal yang dibuat, yang mempengaruhi validitas keputusan tersebut
(misalnya, pasien pindah agama)
b. Terdapat situasi yang tidak diantisipasi oleh pasien dan situasi tersebut
dapat mempengaruhi keputusan pasien (misalnya, perkembangan terkini
dalam tatalaksana pasien yang secara drastis mengubah prospek kondisi
tertentu pasien).
c. Situasi / kondisi yang ada tidak jelas dan tidak dapat diprediksi
d. Terdapat perdebatan / perselisihan mengenai validitas keputusan dini /
awal dan kasus tersebut telah dibawa ke pengadilan.
e. Jika terdapat keraguan terhadap apa yang pasien inginkan / maksudkan,
paramedis harus bertindak sesuai dengan kepentingan / hal yang terbaik
untuk pasien. Dapat meminta saran dari dokter senior juga.
11. Tatalaksana emergensi tidak boleh tertunda hanya kerena mencari ada
tidaknya instruksi DNR pasien jika tidak terdapat indikasi jelas bahwa
instrusksi tersebut ada.
12. Pasien tidak diperbolehkan menolak perawatan dasar yang diberikan.
13. Perawatan dasar ini didefinisikan sebagai pemberian tempat tidur yang
nyaman dan hangat, pengurang rasa sakit / analgesik, manajemen gejala-
4
gejala yang memicu stress fisik (seperti sesak napas, muntah,
inkontinensia), dan manajemen higene / kebersihan diri pasien.
14. Jika pasien tetap menolak perawatan dasar, dokter yang bertugas
sebaiknya meminta saran dari dokter senior, dan masalah ini dapat juga
dibawa ke komisi etik.
15. Rumah sakit sebaiknya membuat kerangka konsep dalam hal mengambil
keputusan DNR.
5
mengembalikan fungsi jantung-paru pasien secara sementara tetapi
kondisi keseluruhan pasien dapat memburuk dan henti jantung /
napas akan terjadi kembali, yang merupakan bagian dari proses
alamiah dan tidak dapat terhindarkan dari proses kematian pasien.
Melakukan RJP pada kasus di atas akan membahayakan / merugikan
pasien dan bertolak belakang dengan etika kedokteran (prinsip ‘do no
harm’).
8. Semua pasien harus menjalani asesmen secara personal.
9. Pengambilan keputusan DNR harus merupakan langkah terbaik untuk pasien
dan harus didiskusikan dengan pasien meskipun tidak ada kewajiban secara
etika untuk mendiskusikan DNR dengan pasien-pasien yang menjalani
perawatan paliatif (di mana usaha RJP adalah sia-sia).
10. Diskusi dengan pasien dan keluarga merupakan hal yang penting dan
tergantung dengan kapasitas mental dan harapan hidup pasien. Diskusi dapat
dilakukan oleh konsultan rumah sakit, dokter umum, atau perawat yang
bertugas. Staf harus memberitahukan hasil diskusi mereka dengan pasien
kepada dokter penanggungjawab pasien.
11. Jika, pada situasi tertentu, terdapat perbedaan pendapat antara dokter dan
pasien mengenai tindakan DNR, dokter harus menghargai keinginan pasien
(yang kompeten secara mental).
12. Hasil diskusi dengan pasien dan atau keluarganya harus dicatat di rekam
medis pasien.
13. Di rekam medis, harus tercantum:
a. Tulisan ‘Pasien ini tidak dilakukan resusitasi’
b. Tulis tanggal dan waktu pengambilan keputusan
c. Indikasi / alasan tindakan DNR
d. Batas waktu berlakunya instruksi DNR
e. Nama dokter penanggungjawab pasien
f. Ditandatangani oleh dokter penanggungjawab pasien (yang mengambil
keputusan)
g. Contoh:
Tanggal 18 Maret 2010
Pukul 10.30 WIB
Tidak dilakukan RJP
Indikasi: syok kardiogenik
Batas waktu: 24 jam
6
14. Pada beberapa kasus, tidak terdapat batasan waktu pemberlakuan instruksi
DNR, misalnya: keganasan fase terminal.
15. Pada pasien asing (luar negeri) dan populasi etnis minoritas di mana terdapat
kesulitan pemahaman bahasa, harus terdapat layanan penerjemah yang
kompeten.
16. DNR hanya berarti tidak dilakukan tindakan RJP. Penanganan dan
tatalaksana pasien lainnya tetap dilakukan dengan optimal.
17. Tindakan DNR dapat dipertimbangkan dalam kondisi-kondisi sebagai berikut:
a. Pasien berada dalam fase terminal penyakitnya atau kerugian /
penderitaan yang dirasakan pasien saat menjalani terapi melebihi
keuntungan dilakukannya terapi.
b. Pasien, yang kompeten secara mental dan memiliki kapasitas untuk
mengambil keputusan, menolak untuk dilakukan usaha RJP.
c. RJP bertentangan dengan keputusan dini /awal yang dibuat oleh pasien,
yang bersifat valid dan matang, mengenai penolakan semua tindakan
untuk mempertahankan hidup pasien.
7
d. “Meskipun hal ini jarang terjadi, saya perlu untuk mempertimbangkan
mengenai tindakan apa yang harus kami lakukan jika jantung Anda
berhenti.”
e. “Beberapa orang memiliki pandangan yang kuat terhadap seberapa
banyak penanganan yang ingin mereka terima jika mereka menjadi
sangat sakit. Saya ingin tahu apakah Anda pernah memikirkan hal ini.”
8. Pemilihan waktu untuk berdiskusi:
a. Bukan waktu yang bagus untuk melakukan diskusi segera setelah
diagnosis ditegakkan.
b. Waktu diskusi yang terbaik adalah saat diagnosis dan prognosis sudah
jelas dan saat pasien telah mengetahui dan menerima penyakitnya.
9. Berusahalah untuk membangun pemahaman pasien mengenai situasinya
saat ini, sifat dasar resusitasi, kemungkinan tingkat keberhasilan resusitasi
jika dilakukan, serta harapan dan keinginan pasien. Pasien dan keluarganya
sering memiliki harapan / ekspektasi yang tidak realistis dari nilai resusitasi.
10. Berikan informasi mengenai RJP menggunakan kata-kata sederhana
yang dapat dimengerti oleh pasien.
11. Tingkat pemberian informasi harus dinilai dari respons dan
pemahaman setiap pasien.
12. Jika tidak tercapai kesepakatan, berikan pendapat dari sudut pandang
dokter (paramedis) mengenai kondisi pasien dan tindakan RJP. Dapat
dengan menyatakan: “Pendapat saya mungkin berbeda dengan apa yang
Anda inginkan. Karena alasan itulah saya ingin berdiskusi dengan Anda.”
13. Cobalah untuk mengerti:
a. Sudut pandang pasien
b. Nilai-nilai yang dianut oleh pasien
c. Ruang lingkup pengaplikasian (misalnya, penanganan apa saja yang
dijalani pasien)
14. Catat sudut pandang pasien, nilai-nilai yang dianut oleh pasien, dan ruang
lingkup pengaplikasian di rekam medis.
15. Diskusikan keputusan mengenai RJP dalam konteks positif sebagai bagian
dari perawatan suportif. Banyak pasien yang merasa takut diabaikan /
ditelantarkan dan merasa nyeri, melebihi rasa takutnya akan kematian.
16. Petugas harus menekankan mengenai terapi-terapi mana saja yang akan
tetap diberikan, pasien masih akan tetap dikunjungi oleh dokter secara
teratur, pengendalian nyeri, dan memberikan kenyamanan kepada pasien.
8
17. Penting untuk memisahkan / membedakan keputusan DNR dengan
keputusan mengenai manajemen pasien lainnya.
18. Dengan memberikan kesempatan kepada pasien untuk berdiskusi dengan
dokter, akan membuat pasien merasa dihargai dan menurunkan tingkat
kecemasan / stress pasien juga.
Tujuan Untuk menyediakan suatu proses dimana pasien bisa memilih prosedur
yang nyaman dalam hal bantuan hidup oleh tenaga medis emergency
dalam [kasus henti jantung / henti nafas.
Kebijakan Surat penugasan oleh direktur rumah sakit tentang penunjukkan prosedur
penolakan resusitas.
9
2.6 Prinsip Etik DNR
Keputusan penolakan resusitasi (DNR) menurut Brewer (2008) melibatkan
tiga prinsip moral yang dapat dikaji oleh perawat, yaitu autonomy,
beneficience, dan nonmalefecience, ketiga prinsip tersebut merupakan
dilema etik yang menuntut perawat berpikir kritis, karena terdapat dua
perbedaan nilai terhadap profesionalisme dalam memberikan asuhan
keperawatan, secara profesional perawat ingin memberikan pelayanan
secara optimal, tetapi disatu sisi terdapat pendapat yang mengharuskan
penghentian tindakan.
a. Prinsip Beneficence
10
relatif tinggi. Oleh karena gangguan aliran darah ke otak atau ke jantung
dapat menyebabkan kerusakan berat, RJP dapat dikatakan berhasil
hanya jika dilakukan tepat waktu. Pada beberapa kasus, walaupun
petugas gawat darurat sudah membatasi dilakukannya tindakan RJP
di lapangan, masih dapat ditemukan bukti RJP yang tidak dikehendaki.
c. Prinsip Otonomi
11
7) Mendampingi pasien menghadapi proses kematian.
8) Memberikan dukungan kepada pasien dan keluarga.
9) Berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain terkait dengan keputusan
DNR.
10) Memberikan tanda berupa gelang berwarna ungu kepada pasien yang telah
dinyatakan DNR
12
(utamanya) dan oksigen, sehingga otak mengalami iskemia. Lewat dari itu selama 10 menit
akan menyebabkan kematian sel otak yang irreversible (waktu kritis).
CPR/RJP merupakan tehnik dasar untuk safe and rescue jika terdapat korban yang
mengalami henti jantung mendadak (cardiac arrest) atau henti napas Pompa jantung
menggunakan tangan (resusuitasi kardiopulmonal) sebagai alat untuk defibrilasi. Bila tidak
terjadi defibrilasi dalam waktu satu menit setelah fibrilasi dimulai, jantung biasanya terlalu
lemah untuk dibangkitkan kembali dengan defibrilator sendiri karena kontraksi myocard yang
tidak efektif (pemacuan). Akan tetapi jantung masih mungkin dibangkitkan bila sebelumnya
dipompa dengan tangan dan kemudian mendefibrilasinya. Pompa jantung menggunakan
tangan (resusitasi kardiopulmonal) maka akan :
a. Memberikan kesempatan jantung berdenyut lebih cepat, kalau terlalu banyak
ventilasi ada fase silance.
b. Mengurangi ITP (Intra Thoracik Pressure) – Tekanan Dalam Rongga Dada
karena ventilasi untuk mencegah regurgitasi/ aspirasi.
c. Sebenarnya dengan mengkompresi jantung, secara tidak langsung
memberikan ekspirasi napas.
13
1. Analisa irama jantung pasien/korban, ada indikasi untuk pemberian shock listrik.
Prosedur defibrilasi sebagai berikut :
2. Paddle I ditempatkan dibawah klavikula kanan dekat tulang dada atas
3. Paddle II di iga ke-lima antara garis midklavikular kiri dan garis aksilar depan kiri
4. Bila hantaran (paddles) ditempatkan pada tempat sedemikian rupa sehingga
sejumlah aru maximal beraksi sebanyak mungkin pada miokardium. Aktivitas elektrik
dengan kontraksi kardiak yang efektif dapat dihasilkan bila miokard dapat oksigen dalam
jumlah yang cukup dan bila pusat pacu mengambil alih kembali.
5. Sementara jangan sentuh korban.
14
2.8.5.2 Persiapan lingkungan :
1. Cari tempat yang aman dan nyaman untuk melakukan resusitasi
2. Persiapkan alas untuk tidur pasien (jika memungkinkan)
3. Siapkan lingkungan yang jauh dari keramaian untuk memudahkan melakukan
resusitasi.
15
penghentian ventilasi 1,5 detik dan sedikit kekuatan dan tekanan pada ekshaiasi
sehingga esopagus tidak teruka (yang memungkinkan udara di bawah tekanan
mengaliri ke lambung). Sepanjang tindakan tersebut, kompresi dada harus dilakukan
dengan kecepatan minimal 100 kali permenit.
16
2.8.6 Indikasi RJP Boleh Tidak Dilakukan
Menurut American Heart Association 2010 ada beberapa kondisi RJP boleh
tidak dilakukan, diantaranya:
Adanya instruksi untuk tidak melakukan RJP (Do Not
Resuscitation/DNR)
Sudah tampak tanda-tanda kematian (kaku mayat, lebam mayat) atau
pada trauma yang tidak mungkin diselamatkan (seperti: leher yang
terpenggal)
Di tahun 2003, The National Asscociaation of EMS Physicians (NAEMSP)
mempublikasikan pedoman untuk tidak melakukan resusitasi pada pasien trauma
yang :
1. Pasien dengan trauma tumpul yang ditemukan dalam kondisi apneu, tidak ada
nadi dan tidak ada irama ECG (asistole)
2. Pasien dengan luka tembus/tusuk yang ditemukan dalam kondisi apneu dan
tidak ada nadi
3. Korban dengan leher yang terpenggal atau hemicorporectomy
4. Korban yang mengalami henti jantung ditolong petugas medis dan setelah 15
menit melakukan resusitasi tidak berespon. Semua keputusan yang dibuat
harus berdasar pada aturan yang berlaku di tempat tersebut
17
BAB 3
TINJAUAN JURNAL
3.2 Metode
Penelitian ini menggunakan design cross sectional, dimana dilakukan pada
bulan September 2013 sampai bulan Maret 2014. Sebanyak 200 perawat yang
bekerja di Rumah Sakit Imam Khomeini dipilih dengan acak menggunakan simple
random. Para perawat mengisi kuesioner yang terbagi menjadi 2 bagian yang
pertama berisi data demografi dan yang kedua berisi pertanyaan mengenai DNR
Orders. Semua partisipan diminta mengisi kuesioner dalam waktu 1 minggu.
Apabila kuesioner tidak dikirim lebih dari 1 minggu peneliti akan mengirimkan
pesan pengingat. Analisa statistik menggunakan SPSS for windows versi 18. Data
disebut signifikan apabila P value < 0,05
3.3 Hasil
Berdasarkan kuisioner tentang pandangan perawat mengenai DNR,
sebagian besar perawat (38,7%) menganggap bahwa DNR diperlukan dan
memerlukan peran perawat di dalamnya. Keterlibatan pasien dalam pengambilan
keputusan terkait DNR dianggap sangat perlu (23,2%) akan tetapi, jika pasien
atau keluarga tidak mampu memutuskan, maka keluarga dan dokter keluarga
berhak mengambil keputusan. Menurut 59,5% responden, keputusan DNR
memang didapat dari pasien, keluarga, dan dokter dan hanya sebagian kecil
responden (29,7%) yang menganggap DNR merupakan kewenangan rumah sakit
dengan alasan bahwa kewajiban dari rumah sakit adalah untuk meningkatkan
harapan hidup pasien (35,8%). Pasien yang meminta untuk dilakukan DNR bukan
berarti pasien tersebut diabaikan begitu saja sebab konteks DNR yang sebenarnya
hanya mengacu pada penghentian tindakan Cardio Pulmonary Rescucitation
(DNR), bukan penghentian pada terapi atau perawatan rutin pasien. Hal ini sejalan
dengan sebagian besar jawaban sebgaian besar responden (67,2%) yang memilih
langkah yang sama setelah keputusan DNR dibuat dan sebanyak 66% responden
mengatakan terlibat pada proses DNR terutama pasien pernyakit terminal seperti
19
kanker, diikuti okeh luka bakar, ensefalopati, serangan jantung, pasien HIV, dan
bayi dengan kelainan kongenital.
3.4 Analisis
Sebagian besar responden di dalam penelitian ini menganggap bahwa DNR
diperlukan dan merasa perlu untuk terlibat di dalamnya. Hal tersebut berkaitan
dengan prinsip etik keperawatan autonomy, beneficience, dan non maleficience.
20
Prinsip moral yang diyakini pasien/keluarganya harus dihargai, meskipun sudut
pandang secara etik berbeda, prinsip autonomy di sebagian besar negara
dihormati secara legal, yang memerlukan keterampilan dalam berkomunikasi
secara baik. Perawat secara kognitif memiliki komunikasi terapeutik yang dapat
dijadikan acuan untuk membicarakan hak otonomi pasien/keluarganya, melalui
informed consent, pasien dan keluarga telah menentukan pilihan
menerima/menolak tindakan medis, termasuk resusitasi, meskipun umumnya
pasien/keluarga tidak memiliki rencana terhadap akhir kehidupannya. Perawat
dapat memberikan edukasi tentang proses tersebut dengan cara-cara yang baik
dan tidak menghakimi pasien/keluarga untuk menerima saran/masukan, tetapi
mendukung keputusan yang mereka tetapkan (AHA, 2005 dalam Basbeth dan
Sampurna, 2009).
21
Hal ini disebabkan oleh Pengakuan terhadap rendahnya angka
kelangsungan hidup pasca resusitasi dan tingginya biaya perawatan akibat
penggunaan alat bantu pasca resusitasi. Pasien Do Not Resuscitate (DNR) pada
kondisi penyakit kronis/terminal dari sisi tindakan keperawatan tidak akan berbeda
dengan pasien pada umumnya, hanya memiliki makna bahwa jika pasien berhenti
bernapas atau henti jantung, tim medis tidak akan melakukan resusitasi/Resusitasi
Jantung Paru (RJP), hal ini sesuai dengan definisi yang dikemukakan AHA, bahwa
jika RJP yang dilakukan tidak memberikan hasil signifikan pada situasi tertentu,
dan lebih membawa kerugian bagi pasien/keluarganya dari segi materil maupun
imateril, maka pelaksanaan RJP tidak perlu dilakukan (Ardagh, 2000 dalam
Basbeth dan Sampurna, 2009).
3.5 Jurnal
(terlampir)
22
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.1.1 DNR atau do-not-resuscitate adalah suatu perintah yang
memberitahukan tenaga medis untuk tidak melakukan CPR. Hal ini
berarti bahwa dokter, perawat, dan tenaga emergensi medis tidak akan
melakukan usaha CPR emergensi bila pernapasan maupun jantung
pasien berhenti.
4.1.2 Kriteria dilakukannya DNR ialah perintah DNR untuk pasien harus tertulis
baik di catatan medis pasien maupun di catatan yang dibawa pasien
sehari-hari, di rumah sakit atau keperawatan, atau untuk pasien di rumah.
4.1.3 Prinsip DNR ialah hanya berarti tidak melakukan RJP pada pasien yang
mengalami henti jantung atau henti nafas. Penanganan dan tatalaksana
pasien lainnya tetap dilakukan
4.1.4 Prosedur mendiskusikan keputusan DNR dilakukan dengan keluarga
pasien dengan menjelaskan kelebihan dan kekurangan/resiko dari
dilakukannya DNR
4.1.5 SOP
4.1.6 ETIK
4.1.7 PERAN PERAWAT
4.1.8 KONSEP RJP
4.2 Saran
Hendaknya tenaga kesehatan lebih mengetahui tentang konsep DNR secara
jelas, sehingga jika ada pasien dengan permeintaan DNR maka para tenaga medis
tidak bingung akan tindakan apa yang akan dilakukan. Selain itu sebaiknya setiap
rumah sakit memiliki standar SOP mengenai tindakan DNR serta publikasi mengenai
DNR kepada seluruh tenaga kesehatan di rumah sakit.
23
DAFTAR PUSTAKA
Adams, Judith A., Bailey Jr, Donald E., Anderson, Ruth A., & Docherty, Sharon L.
(2011).”Nursing Roles and Strategies in End-of-Life Decision Making in Acute Care: A
Systematic Review of the Literature.” Nursing Research and Practice. Volume 2011.
http://dx.doi.org/10.1155/2011/527834
AHA . 2010. Cardiac Arrest in Special Situations: 2010 American Heart Association Guideline
for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation, 122,
844-845
Basbeth, F 2009. ”Analisis etik terkait resusitasi jantung paru”,Majalah Kedokteran Indonesia,
Volume: 59, Nomor: 11, Nop 2009
Brizzi, M, K. Abdul- Kasim et al. 2012. “Early do not resuscitate orders in intracerebral
haemorage, frequency and predictive value for death and functional outcome. A
retrospective cohort study” Scandinavian Journal Of Trauma Resuscitation And Emergency
Medicine 20 (36)
Brewer, B C. 2008.”Do not abandon, do not resuscitate; a patient advocay position”. Journal of
Nursing Law.volume 12, number 2, 2008.
Fields, L. 2007. “DNR Does Not Mean No Care” Journal of Neuroscience 39 (5)
Lachman, Vicky D. (2006). “Applied ethics in nursing”. New York. Springer Publishing Company
Inc. ISBN 0-8261-7984-3
Morrison, Laurie J., Kierzek, Gerald, Diekema, Douglas S., Sayre, Michael R., Silvers, Scott M.,
Idris, Ahamed H., &Mancini, Mary E. 2010,”Part 3: Ethics: 2010 American Heart
Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular
Care”,Circulation, 122 18 suppl 3, S665-S675. DOI: 10.1161/circulationaha.110.970905.
Krisanty, dkk. 2010. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. CV Trans Info Media: Jakarta.
Tony, dkk. 2012. Penatalaksanaan Henti Jantung di Luar Rumah Sakit Sesuai dengan
Algoritma AHA 2010. UMM PRESS : Malang
Wahyu, Pria. 2013. Kebijakan DNR pada trauma Dada. Jakarta : Gaya Baru.
24