Anda di halaman 1dari 5

DESIGN THINKING

Saya pertama kali belajar Design Thinking pada tahun 2018 (sebenarnya saya


mendaftar tahun 2016, hanya saja karena kesibukan saya baru memulainya di
2018). Saya belajar melalui kursus singkat selama 5 pekan yang diadakan
oleh Darden School of Business, Universitas Virginia. Dosennya saat itu adalah
Jeanne M. Liedtka. Salah satu pakar Design Thinking yang cukup disegani di dunia.
Setelah belajar dari sana, saya semakin terbuka dengan Design Thinking. Menggali
lebih dalam dan jatuh cinta dengannya. Dalam perjalanan mempelajari ilmu ini,
saya menemukan bahwa salah satu pioner Design Thinking adalah Universitas
Stanford. Begitu mengetahuinya, saya pun segera meluncur ke laman d.school-
nya Stanford. Belajar apapun yang saya dapatkan di sana. Mulai dari video, artikel
sampai makalah-makalahnya.
Salah satu yang saya temukan dari d.School-nya Stanford adalah 5 Tahap dalam
melakukan Design Thinking. Oya, bagi yang belum tahu apa itu Design Thinking,
silakan meluncur ke artikel lama saya di sini. Secara singkat, Design Thinking
adalah proses untuk menghasilkan produk yang inovatif.
Menurut d.School ada 5 Tahap melakukan Design Thinking.
1. Empathy – kita melihat dari sudut pandang calon user dari produk kita.
2. Define – kita mendefinisikan masalah mana dari user kita yang layak kita
pecahkan dengan produk kita.
3. Ideate – kita munculkan ide-ide (produk; fitur; layanan) yang mungkin bisa
kita jadikan solusi bagi user kita.
4. Prototype – kita buat prototipe dari produk kita. Prototipe adalah “rencana
produk” kita. Bentuknya bisa berupa sketsa, story board, atau mockup
produk.
5. Test – tunjukkan prototipe tersebut pada user dan dapatkan umpan balik
darinya.
Dari umpan balik, kita kembali ke tahap ideate dan membuat prototipe kedua.
Demikian seterusnya sampai kita menemukan fitur mana saja dari “rencana
produk” kita yang dapat menjawab masalah dari user kita. Fitur apa saja yang
benar-benar dibutuhkan dan fitur apa yang dicari oleh mereka.
Setelah kita mendapatkan umpan balik yang cukup dan prototipe yang
“sempurna” barulah kita buat produknya. Namun, produk awal yang kita buat
bukanlah produk yang sempurna. Produk yang kita buat adalah produk yang
“good enough.” Produk dengan fitur minimum, namun sudah dapat digunakan
oleh user. Istilahnya adalah Minimum Viable Product.
MVP berbeda dengan prototipe. MVP adalah produk yang benar-benar berfungsi,
sementara prototipe belum berfungsi. Prototipe barulah sebuah visualisasi ide.
Prototipe tidak bisa dijual, MVP dapat dijual.
Pada saat membuat MVP, kita perlu memilih fitur yang memenuhi dua kriteria:
Paling bernilai oleh user (dibutuhkan dan dicari)
Paling mudah dibangun/dibuat oleh kita (kita punya sumberdaya yang dibutuhkan
untuk membuatnya).
Fitur-fitur yang sulit atau membutuhkan sumberdaya besar di-hold untuk dirilis
pada versi berikutnya (baca: setelah sumberdaya kita bertambah).
Ingat, MVP ini bukan produk final. Setelah diluncurkan, kita tetap melakukan
proses “learn” untuk mendapatkan validasi dan feedback dari user riil kita. Lihat
siklus Lean Startup dari Eric Ries berikut:

Kita meluncurkan produk bukan karena produknya sudah sempurna. Kita


meluncurkan produk untuk menguji dan mengukurnya. Mendapatkan informasi
dan umpan balik yang bermanfaat. Lalu mempelajari dan menggunakan umpan
balik tersebut untuk mendesain produk versi berikutnya.
Maka, tidak ada versi sempurna sebuah produk. Semua produk adalah produk
yang disempurnakan dari satu ke waktu. Bahkan, kadangkala kita perlu
melakukan pivot 180 derajat, mengubah arah dari tujuan awal kita. Kita bisa
belajar dari produk-produk yang sekarang menjadi legenda. Perhatikan
bagaimana versi awal produk mereka dan pivot yang mereka lakukan.
Untuk membuat desain sebuah solusi terutama yang dalam  bentuk sebuah
produk atau aplikasi tentunya dibutuhkan metode yang akan menjadi arahan
dalam proses pembuatan dan perancangan. Namun, dengan seiringnya
pekembangan jaman, esensi dari proses desain semakin berubah dan berevolusi.
Desain bukan hanya sekedar membuat sebuah produk atau aplikasi yang akan
laku di pasaran, memiliki bentuk yang indah dan menarik, atau mudah untuk
dibuat. Desain sekarang ini adalah mengenai, menciptakan sesuatu yang
diinginkan dan dibutuhkan oleh pengguna atau orang-orang.
            Design Thinking adalah salah satu metode baru dalam melakukan proses
desain. Design Thinking merupakan metode penyelesaian masalah yang berfokus
pada pengguna atau user. Design Thinking sendiri dipopulerkan oleh David Kelley
dan Tim Brown pendiri IDEO – sebuah konsultan desain  yang berlatar belakang
desain produk berbasis inovasi.
            Design thinking memiliki beberapa elemen penting yaitu :
 People centered : dalam metode ini, perlu ditekankan bahwa setiap
tindakan yang dilakukan berpusat pad apa yang diinginkan dan dibutuhkan
oleh user
 Highly creative : dalam menggunakan metode ini, dapat digunakan
kreativitas sebebasnya, tidak perlu aturan yang terlalu kaku dan baku
 Hands on : proses desain memerlukan percobaan langsung oleh tim desain,
bukan hanya pembuatan teori atau sebuah gambaran di kertas
 Iterative : proses desain merupakan sebuah proses dengan tahapan-
tahapan yang dilakukan berulang-ulang untuk melakukan improvisasi dan
menghasilkan sebuah produk atau aplikasi yang baik

Proses dengan metode design thinking akan menghasilkan produk yang tidak
hanya dapat dijual atau menggunakan teknologi yang paling canggih. Metode ini
menggabungkan kebutuhan user atau pengguna, dengan kemampuan teknologi
yang sesuai, dan tetap membuat sesuatu yang dapat berhasil sebagai sebuah
bisnis.
Dalam membuat sebuah produk atau aplikasi dengan metode design thinking,
maka akan dilakukan beberapa tahapan berikut secara berulang sebanyak yg
dibutuhkan untuk menghasilkan produk yang sesuai:
1. Empathize, ketika sudah mengetahui user atau pengguna yang akan dituju,
maka seorang desainer perlu mengetahui pengalaman, emosi, dan situasi
dari si pengguna. Mencoba menempatkan diri sebagai pengguna sehingga
dapat benar-benar memahami kebutuhan pengguna. Hal ini dapat
dilakukan dengan melakukan wawancara, observasi kehidupan pengguna,
dan cara lainnya.
2. Define, setelah desainer mengerti kebutuhan pengguna, maka desainer
perlu menggambarkan sebuah ide atau pandangan user yang akan menjadi
dasar dari produk atau aplikasi yang akan dibuat. Hal ini dapat dilakukan
dengan membuat list kebutuhan user dan menggunakan pengetahuan
mengenai kondisi yang sedang terjadi.
3. Ideate, dengan kebutuhan yang ada, maka desainer perlu menggambarkan
solusi yang dibuthkan. Hal ini dapat dilakukan melakukan evaluasi bersama
tim desain dengan menggabungkan kreativitas dari masing-masing
desainer.
4. Prototype, ide yang sudah ada sebelumnya maka perlu langsung
diimplementasikan dalam sebuah aplikasi atau produk uji coba. Perlu
dihasilkan sebuah produk nyata dan kemungkinan skenario penggunaan.
5. Test, dari produk atau aplikasi uji coba yang sudah dibuat, maka akan
dilakukan sebuah percobaan dengan pengguna. Dari pengalaman pengguna
dalam menggunakan produk uji coba, maka akan didapatkan masukkan
untuk membuat produk yang lebih baik dan melakukan perbaikan pada
produk yang ada.

Anda mungkin juga menyukai