Anda di halaman 1dari 58

MAKALAH FARMAKOLOGI

OBAT-OBAT KARDIOVASKULER

Dosen : apt. Errol Rakhmad Noordam, M Farm

Disusun Oleh Kelompok 2 Keperawatan 5 A :

Gresia Genisa 09180000047


Cupi Krisnawati 09180000051
Yuliana Agustin 09180000065
Nita Fitria 09180000066
Robi Fadilah H 09180000068
Eka Puji Purnamasari 09180000114
Nur Octavia 09180000115

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA MAJU
JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami pajatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas semua limpahan
rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan dan mempersiapkan makalah yang berjudul
“Obat-obatan Kardiovaskuler”.

Harapan kami semoga makalah yang telah disusun ini dapat membantu salah satu rujukan.
Dan juga bagi para pembaca, menambah wawasan serta pengalaman, sehingga dapat dibutuhkan.
Dan saya dapat memperbaiki bentuk atau isi makalah ini menjadi lebih baik lagi.

Kami mengakui bahwasanya masih banyak kekurangan yang terkandung di atas. Oleh sebab
itu, dengan penuh kerendahan hati kami berharap kepada para pembaca untuk memberikan kritik
dan saran demi memperbaiki makalah ini. Terima kasih.

Jakarta, 26 September 2020

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................ii
BAB I..........................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................................................1
B. Tujuan..............................................................................................................................................2
BAB II........................................................................................................................................................3
TINJAUAN TEORI...................................................................................................................................3
A. Obat Kardiovaskuler........................................................................................................................3
B. Macam-macam Obat Kardiovaskuler..............................................................................................3
1. Obat Gagal Jantung......................................................................................................................3
2. Obat Antiaritmia........................................................................................................................10
3. Obat Antihipertensi....................................................................................................................10
4. Obat Antiangina.........................................................................................................................16
C. Asuhan Keperawatan Menangani Pasien Kardiovaskuler Terkait Dengan Pemberian Obat..........20
1. Peran Perawat Dalam Pemberian Obat......................................................................................20
2. Cara Mencegah Kesalahan Pemberian Obat..............................................................................23
3. Keamanan Dalam Pemberian Obat Melalui Injeksi...................................................................24
BAB III.....................................................................................................................................................27
PENUTUP................................................................................................................................................27
A. Kesimpulan....................................................................................................................................27
B. Saran..............................................................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................28

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mengingat peranan obat yang sangat penting, maka sejak permulaan abad ke-20
timbul disiplin baru dalam ilmu kedokteran yang di namakan farmakologi (farmakon =
obat, logos = ilmu). Semula farmakologi mencakup semua ilmu yang berhubungan
dengan obat dengan definisi sebagai berikut : ilmu yang mempelajari sejarah, asal-usul
obat, sifat fisik dan kimiawi, cara mencampur dan membuat obat, efek terhadap fungsi
bokimiawi dan faal, cara kerja, absorpsi, distribusi, biotransformasi dan ekresi,
penggunaan dalam klinik dan efek toksiknya. Obat dalam arti luas adalah zat kimia yang
mempengaruhi proses hidup, sehingga farmakologi mencakup ilmu pengetahuan
(explosion of knowledge) dan keterbatasan kemampuan otak manusia maka farmakologi
di pecah menjadi berbagai disiplin yang mempunyai ruang lingkup yang lebih terbatas.
Sistem kardiovaskuler merupakan organ sirkulasi darah yang terdiri dari jantung,
komponen darah dan pembuluh darah yang berfungsi memberikan dan mengalirkan
suplai oksigen dan nutrisi ke seluruh jaringan tubuh yang diperlukan dalam proses
metabolisme tubuh.
Sistem kardiovaskuler memerlukan banyak mekanisme yang bervariasi agar fungsi
regulasinya dapat merespon aktivitas tubuh, salah satunya adalah meningkatkan aktivitas
suplai darah agar aktivitas jaringan dapat terpenuhi. Pada keadaan berat, arilan darah
tersebut lebih banyak diarahkan pada organ-organ vital seperti jantung dan otak yang
berfungsi memelihara dan mempertahankan sistem sirkulasi itu sendiri.
Sistem kardiovaskuler mulai berfungsi pada usia 3 minggu kehamilan. Dalah sistem
kardiovaskuler terdapat pembuluh darah terbesar yang disebut Angioblast. Angioblast ini
timbul dari :
a. Mesoderm : Splanknikus & chorionic
b. Merengkim : Yolk sac dan tali pusat
c. Dan dapat juga menimbulkan pembuluh darah dan darah

1
B. Tujuan
a. Tujuan Umum
Agar dapat mengetahui obat obat kardiovaskuler
b. Tujuan Khusus
Dapat mengetahui obat gagal jantung
Dapat mengetahui obat antiaritmia
Dapat mengetahui obat antihipertensi
Dapat mengetahui obat antiangina

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Obat Kardiovaskuler
Obat kardiovaskuler adalah obat yang digunakan untuk kelainan jantung dan pembuluh
darah. Jantung dan pembuluh darah merupakan organ tubuh yang mengatur peredaran darah
sehingga kebutuhan makanan dan sisa metabolisme jaringan dapat terangkut dengan
baik.Jantung sebagai organ pemompa darah sedangkan pembuluh darah sebagai penyalur
darah ke jaringan.Pembuluh darah di pengaruhi system saraf otonom melalui saraf simpatis
dan parasimpatis. Setiap gangguan dalam system tersebut akan mengakibatkan kelainan pada
sistem kardiovaskuler.

B. Macam-macam Obat Kardiovaskuler


1. Obat Gagal Jantung

Gagal jantung ialah keadaan dimana terjadi pengurangan kontraktilitas otot jantung
yang menimbulkan bendungan sirkulasi sehingga jantung gagal mengalirkan darah ke
jaringan & kebutuhan oksigen jaringan tidak terpenuhi.
Penyebab gagal jantung :
a) Penyakit paru kronis
b) Gagal ginjal
c) Anemia berat
d) Hipertensi
e) Kelainan katup jantung
f) Sirosis hepatis

Prinsip pengobatan yaitu untuk menghilangkan bendungan sirkulasi :


a) Mengurangi beban jantung, missal menurunkan BB, istirahat cukup, pembatasan
asupan garam & menghilangkan penyebab
b) Meningkatkan kontraktifitas otot jantung dengan obat inotropic positif, misal obat
glikosida
c) Menekankan preload dan afterload, misal pemberian diuretik dan vasodilator
d) Obat-obat antiaritma untuk memperbaiki frekuensi dan kelainan irama jantung
3
Obat gagal jantung :

1. Glikosida : Digoksin, Digitoksin, Ouabain


Digitalis, salah satu dari obat – obat tertua, dipakai sejak tahun 1200-an, dan sampai
kini masih terus dipakai dalam bentuk yang telah dimurnikan. Digitalis dihasilkan dari
tumbuhan foxglove ungu dan putih, dapat bersifat racun. Pada tahun 1785, William
Withering dari Inggris menggunakan digitalis untuk menyembuhkan ”sakit bengkak”,
yaitu edema pada ekstremitas akibat insufisiensi ginjal dan jantung.
Preparat digitalis mempunyai tiga khasiat pada otot jantung yaitu :
a. Kerja Inotropik positif (meningkatkan kontraksi miokardium)
b. Kerja Kronotropik negatif (memperlambat denyut jantung)
c. Kerja Dromotropik negatif (mengurangi hantaran sel – sel jantung)

Klasifikasi glikosida :

a. Digitalis masa kerja cepat


Digoksin (Lanoxin)
Dewasa : Oral dosis awal 0,5 – 1 mg dalam 2 dosis
Dosis maintenance : 0,125 – 0,5 mg/hari
Lansia : 0,125 mg/hari
Anak (2-10th) : Oral: 0,02 – 0,04 mg/kg dalam dosis terbagi
Dosis maintenance : 0,012 mg/kg/hari dalam dosis terbagi 2
Dewasa IV : sama seperti oral
Pemakaian : Untuk PJK, aritmia atrial dan denyut nadi yang lambat
menunjukkan toksisitasdigitalis

Deslanosid (Cedilanid-D)
Dewasa IV : 1,2 – 1,6 mg/hari dalam dosisterbagi 1- 2
Pemakaian : Untuk digitalisasi cepat; diikuti dengan digoksin atau digitoksin
oral

4
b. Digitalis masa kerja panjang
Digitoksin (Crystodigin)
Dosis : Oral : IV : dosis awal 0,8 – 1,2 mg/hari
R : D : PO : 0,05 – 0,3 mg/hari
Pemakaian : untuk PJK

c. Inotropik positif : Bipiridin


Amrinon (Inocor)
Dewasa : IV : DP : 0,75 mg/kg dalam 2 – 3 menit
Dewasa : IV : M : 5 – 10 µg/kg/menit (tidak melampaui 10 mg/kg/hari)
Pemakaian : Untuk PJK jika digoksin dan diuretik tidak efektif

Interaksi :
a. Obat : diuretik yang mengeluarkan kalium
b. Elektrolit : hipokalemia, hipomagnesemia, dan hiperkalsemia
c. Makanan : makanan berserat tinggi

Efek terapeutik dan efek samping dan reaksi merugikan


Efek terapeutik obat adalah meningkatkan kontraksi jantung, meningkatkan
sirkulasi dan meningkatkan perfusi jaringan, sedangkan efek sampingnya adalah
anoreksia dan mual. Sedangkan reaksi yang merugikan :muntah, aritmia, ilusi
penglihatan dan penglihatan kabur.
Overdosis atau akumulasi digoksin dapat menyebabkan toksisitas digitalis. Tanda
– tanda dan gejala – gejalanya adalah anoreksia, diare, mual dan muntah, bradikardia
(denyut nadi < 60 kali per menit(dpm)) dan takikardia (>120dpm), kontraksi ventrikel
prematur, aritmia jantung, sakit kepala, amalise, penglihatan kabur, ilusi penghilatan
(halo putih, hijau, kuning di sekitar objek), bingung, dan delirium. Orang lanjut usia
lebih rentan terhadap toksisitas.

5
2. Diuretik
Diuretika adalah zat-zat yang dapat memperbanyak pengeluaran kemih (diuresis) melalui
kerja langsung terhadap ginjal. Pembagian obat diuretik meliputi Diuretika golongan
tiazid , Diuretika kuat, diuretik hemat kalium dan diuretik osmosis.Diuretika golongan
tiazid digunakan untuk mengurangi edema akibat gagal jantung dan dengan dosis yang
lebih rendah, untuk menurunkan tekanan darah. Diuretika kuat digunakan untuk edema
paru akibat gagal jantung kiri dan pada pasien dengan gagal jantung yang sudah lama dan
kombinasi diuretika mungkin selektif untuk edema yang resisten terhadap pengobatan
dengan satu diuretika, misalnya diuretika kuat dapat dikombinasi dengan diuretika hemat
kalium.
a. Diuretika golongan tiazid
Tiazid dan senyawa-senyawa terkaitnya merupakan diuretika dengan potensi sedang,
yang bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi natrium pada bagian awal tubulus
distal. Mula kerja diuretika golongan ini setelah pemberian peroral lebih kurang 1-2 jam,
sedangkan masa kerjanya 12-24 jam. Lazimnya tiazid diberikan pada pagi hari agar
diuretika tidak mengganggu tidur pasien. Termasuk obat golongan ini adalah
Bendroflumetiazid, Klortalidon, Hidroklortiazid, Indapamid,Metolazon, Xipamid.

Bendroflumetiazid
Dewasa, Oral : 2,5-10 mg/hr
Pemakaian : Untuk hipertensi dan udema
Hidroklortiazid
Dewasa, Oral : 12,5-100 mg/hr
Efek samping : ketidakseimbangan elektrolit (hipokalemia, hipokalsemia,
hipomagnesemia) , hiperglikemia dan hiperurisemia
Indapamid
Dewasa, Oral : 2,5 mg/hari, dapat dinaikkan sampai 5 mg/ hari
Pemakaian : untuk hipertensi dan udema
Metolazon
Dewasa, Oral : 2,5- 5 mg/hari
Pemakaian : untuk hipertensi dan udema

6
Klortalidon
Dewasa, Oral : 25-100 mg/hr
Pemakaian : untuk hipertensi dan udema

b. Diuretika kuat
Diuretika kuat digunakan dalam pengobatan edema paru akibat gagal jantung kiri.
Pemberian intravena mengurangi sesak nafas dan prabeban lebih cepat dari mula kerja
diuresisnya. Diuretika ini juga digunakan pada pasien gagal jantung yang telah
berlangsung lama. Misalnya Furosemid, Bumetanid dan Torasemid.

Asam Etakrinat (Edecrin)


Dewasa : Oral 50 – 200 mg/hari, IV : 0,5 – 1 mg/kg/dosis
Anak : PO : 25 mg/hari
Pemakaian : Untuk edema paru – paru dan perifer akibat PJK - Dosis ulangan tidak
dianjurkan
Furosemid (Laxis)
Dewasa, Oral : 20 – 80 mg/hari, IV : 20 – 40 mg, disuntikan perlahan – lahan selama 1 –
2 menit Maks : 600 mg/hari
Pemakaian : Untuk edema paru dan prifer akibat PJK, hipertensi, payah ginjal tanpa
anuria,& hiperkalsemia, Furosemid meningkatkan 72 ekskresi kalsium
Bumetanid (Bumex)
Dewasa : Oral 0,5 – 2 mg/hari, Maks : 10 mg/hari. IV : 0,5 – 0,1 mg/dosis, dapat
diulangi 2 – 4 jam kemudian
Anak : Oral : 0,015 mg/kg/hari
Pemakaian : Sama seperti furosemid. Obat lebih kuat dari furosemide

c. Diuretika hemat kalium


Amilorid dan triamteren merupakan diuretika yang lemah. Keduanya menyebabkan
retensi kalium dan karenanya digunakan sebagai alternatif yang lebih efektif daripada
memberikan suplemen kalium pada pangguna tiazid atau diuretika kuat. Suplemen
kalium tidak boleh diberikan bersama diuretika hemat kalium. Juga penting untuk diingat

7
bahwa pemberian diuretika hemat kalium pada seorang pasien yang menerima suatu
penghambat ACE dapat menyebabkan hiperkalemia yang berat.

1) Diuretik Agen-Tunggal
Amilorid (Midamor)
Dewasa : Oral : 5 – 10 mg/hari
Pemakaian : Untuk edema dan hipertensi
Spironolakton (Aldactone)
Dewasa : Oral : 25 – 200 mg/hari dalam dosis terbagi
Anak : Oral : 3,3 mg/kg/hari dalam dosis terbagi
Pemakaian : Untuk edema dan hipertensi, dosis untuk hipertensi biasanya sedikit lebih
rendah dari yang di gunakan untuk edema, mempunyai masa kerja yang panjang.
Triamteren (Dyrenium)
Dewasa : Oral: 100 mg, 2 kali sehari, tidak melebihi 300 mg/hari
Pemakaian : Untuk edema akibat PJK, sirosis, nefrosis, dan edema akibat steroid Obat
diminum bersama makanan.
2) Kombinasi Diuretik
Amilorid dan Hidroklorotiazid (Moduretic)
Dewasa : Oral Sesuai dengan resep
Pemakaian : Tiap tablet mengandung amilorid HCl 5 mg dan hidroklrorotiazid 25 mg
atau 50 mg.
Spironolakton dan Hidroklorotiazid (Aldacazide)
Dewasa : Oral : 100 mg/hari
Pemakaian : Tersedia dalam dua kekuatan ; spironolaktin 25 mg atau 50 mg dan
hidroklrorotiazid 25 mg atau 50 mg
Triamteren dan Hidroklorotiazid (Dyazide, Maxzide)
Dewasa : Oral, Dyazide 1- 2 kap, 2 kali sehari sesudah makan
Pemakaian :
Dyazide : setiap tablet mengandung triamiteren 50 mg dan hidroklrorotiazid 25 mg
Maxzide : tersedia dalam dua kekuatan : triamteren 37,5 mg atau 75 mg dan
hidroklrorotiazid 50 mg atau 75 mg

8
d. Diuretika osmotik
Diuretika golongan ini jarang digunakan pada gagal jantung karena mungkin
meningkatkan volume darah secara akut.

Mannitol (Osmitrol)
IV : (TIK,TIO : 1,5 – 2,0 g/kg dari larutan 15 – 25 %, diinfus dalam 30 – 60 menit
IV : pencegahan oliguria : 50 – 100 g dari larutan 5 – 25 %
Pengobatan oliguria : IV : 300 – 400 dari lart20 % atau 25%
Pemakaian : Untuk menurunkan tekanan intra kranial (TIK) dan pada oliguria untuk
mencegah gagal ginjal akut, dipakai pada glaucoma, sudut sempit.
Urea (Ureaphil)
Dewasa : IV : 1,0 – 1,5 g/kg dari larutan 30 %
Anak (> 2 th) : IV : 0,5 – 1,5 g/kg dari larutan 30 %
Pemakaian : Pemakaian seperti pada mannitol. bukan merupakan obat pilihan, dipakai
pada operasi yang berlangsung lama untuk mencegah gagal ginjal akut.

3. Vasodilator
Vasodilator akan mengurangi gejala sesak nafas akibat filling pressure yang tinggi dan
memperbaiki kelelahan akibat curah jantung yang rendah.
Obat-obat yang dipakai :
a. Natrium nitropusid
Obat yang digunakan untuk menurunkan tekanan darah, jika tekanan darah sangat
tinggi dan mengakibatkan gejala, pada beberapa tipe gagal jantung, dan selama
operasi untuk menurunkan pendarahan.
b. Nitrogliserin
Obat yang digunakan untuk mengurangi dan mencegah angina (nyeri dada) akibat
gagal jantung.
c. Hidralazim

9
Obat untuk menurunkan tekanan darah dengan cara merilekskan pembuluh darah
vena (pembuluh darah yang menuju jantung) dan pembuluh darah arteri (pembuluh
darah yang meninggalkan jantung).

2. Obat Antiaritmia

Obat antiaritma adalah obat yang mempengaruhi fungsi elektrofisiologi jantung dengan
jalan memblok saluran ion (saluran Na, Ca, K) atau dengan mengurangi efek simpatis.
Penggolongan obat dan cara kerja ;
a. Kelas I
Menurunkan respon membrane melalui penghambat saluran Na (Kuinidin, Prokainamid,
Lidokain, Fenitoin)
b. Kelas II
Menghambat aktifitas simpatik melalui penghambat beta adrenergik (Propranadol,
Atenolol
c. Kelas III
Memperpanjang aksi potensial (Amiodaron, Bretilium)
d. Kelas IV
Menghambat aliran masuk Ca yang lambat (Verapamil, Diltiazem)

3. Obat Antihipertensi

Obat antihipertensi adalah obat yang digunakan untuk menurunkan tekanan darah
Klasifikasi :

Katergori Diastol Sistol


Normal <85 <130
Normal tinggi 85-89 130-139
HT ringan 90-99 140-159
HT sedang 100-109 160-179
HT berat 110-119 180-209
HT sangat berat >120 >210
Tahapan terapi HT :

a. Modifikasi pola hidup


b. Penurunan BB
c. Aktivitas fisik teratur

10
d. Pembatasan garam dan alcohol
e. Berhenti merokok

Obat yang dipakai :


a. Diuretik
Obat ini dapat meningkatkan ekskresi Na, Cl, dan air, mengurangi volume plasma dan
cairan ekstrasel.

b. Beta Blocker
1) Obat ini dapat mengurangi denyut jantung dan kontraksi miokard dan curah jantung
berkurang
2) Hambatan pelepasan NE (nor epineprin) melalui hambatan reseptor beta-2
3) Hambatan sekresi renin melalui hambatan reseptor beta-1 di ginjal
4) Efek sentral

c. Alfa Blocker
1) Alfa-1 blocker menghambat reseptor alfa-1 dipembuluh darah terhadap efek
vasokontriksi NE dan E, terjadi dilatasi arteriole dan vena lalu tekanan darah turun,
gambar mekanisme :

2) Efek NE dijantung tidak dihambat, lalu kontaksi jantung meningkat dan alfa bolker
yang non selektif sebagai AH
3) Efek samping : hipotensi ortostatik (pada dosis awal besar), sakit kepala, palpitasi,
rasa lelah, udem perifer, hidung tersumbat dan nausea
Contoh :
Doxazosin, prazosin, terazosin, bunazosin

11
d. Alfa beta bloker : Labetalol
Penghambat ACE
1) Mengurangi pembentukan A2 (angiontensin 2), lalu vasodilatasi dan penurunan
sekresi aldosterone, ekskresi natrium dan air serta retensi K dan penurunan TD.
2) Efek samping : batuk kering, rash, gangguan pengecap (disgeusia), GGA,
hiperkalemia
Contoh :

1. Kaptropil
a. Komposisi : 25 mg
b. Dosis : Penggunaan obat ini harus sesuai dengan petunjuk dokter.
Dosis awal: 3 kali sehari 12,5 mg. di tingkatkan menjadi 25-50 mg 2-3 hari.
Hipertensi berat: s/d 450 mg/hari.
c. Cara pakai : Di minum saat perut kosong, 1 jam sebelum makan atau 2
jam setelah makan.

2. Lisinopril
a. Komposisi : 5 mg
b. Dosis : Penggunaan obat ini harus sesuai dengan petunjuk dokter.
Dosis awal: 1 kali sehari 1 tablet
c. Cara pakai : Di minum setelah makan

3. Enalapril
a. Dosis : Dosis awal (tablet oral atau solusi): 5 mg di minum sekali
sehari. Dosis pemeliharaan (tablet oral atau solusi): 10-40 mg di minum per
hari sebagai dosis tunggal atau dalam 2 dosis yang terbagi.
b. Cara pakai :
1) Baca petunjuk penggunaan obat dengan teliti di label kemasan atau sesuai
dengan perintah dokter
2) Obat ini tersedia dalam bentuk tablet oral yang diminum langsung
melalui mulut
3) Obat ini dapat diminum sebelum makan
4) Apabila lupa minum obat, segera minum dosis yang terlewatkan

12
5) Bila sudah hampir masuk ke waktu dosis selanjutnya, kembali ke jadwal
minum obat seperti biasa dan jangan meminum dua dosis sekaligus
6) Gunakan obat sesuai jadwal dan dosis yang disarankan

4. Benazepril
a. Dosis : 10 mg 1 kali sehari. Dosis lanjutan 20-40 mg per hari dalam
satu kali dosis atau dua kali dosis terbagi. Dosis maksimum 80 mg per hari.
b. Cara pakai :
1) Ikuti semua aturan dan resep dokter
2) Obat ini dapat dikonsumsi sebelum atau sesudah makan
3) Anda harus melakukan tes tekanan darah secara berkali
4) Selain pengobatan dengan obat hipertensi, mohon jaga pola makan dan
pola hidup sehat untuk membantu menormalkan tekanan darah
5) Minum obat pada waktu yang sama agar mudah mengingatnya setiap hari

5. Delapril
a. Dosis : Dosis dewasa untuk hipertensi 2x sehari 15-30 mg
b. Cara pakai :
1) Ikuti anjuran dokter dan baca instruksi yang tertera pada kemasan obat
denapril
2) Hentikan pemakaian ketika hamil, karena akan menyebabkan kematian
pada janin

6. Fosinopril
a. Dosis : Dosis awal 4 mg oral sekali sehari. Dosis pemeliharaan 4 mg
sampai 8 mg secara oral setiap hari dalam satu atau dua dosis yang terbagi
b. Cara pakai : obat ini di minum langsung melalui mulut satu sampai dua
kali sehari, dengan atau tanpa makanan, sesuai petunjuk dokter

7. Quinapril
a. Dosis :
1) Untuk Hipertensi

13
- Dosis awal : 10-20 mg peroral setiap hari, dapat diberikan
5 mg pada pasien yang menerima terapi diuretik jika diuretik
dilanjutkan
- Dosis pemeliharaan : 20-80 mg peroral setiap hari atau dibagi setiap
12 jam
2) Untuk Gagal Jantung Kongestif
- Dosis awal : 5 mg peroral setiap 12 jam
- Dosis pemeliharaan : 20-40 mg peroral setiap hari atau dibagi setiap
12 jam
3) Untuk Diabetes Nefropati
- Memperlambat laju perkembangan penyakit ginjal pada pasien
dengan hipertensi, DM, dan mikroalbuminuria
- Dosis awal : 10-20 mg PO setiap hari
- Dosis pemeliharaan : 20-80 mh PO setiap hari atau dibagi setiap 12
jam
4) Dosis Modifikasi
Gangguan ginjal dengan hipertensi
- CrCl >60 mL/menit : 10 mg/hari
- CrCl 30-60 mL/menit : 5 mg/hari
- CrCl 10-30 mL/menit : 2,5 mg/menit
- CrCl <10 mL/menit : Data tidak tercukupi

Gangguan ginjal dengan gagal jantung kongestif


- CrCl >30 mL/menit : 5 mg/hari
- CrCl 10-30 mL/menit : 2,5 mg/hari
- CrCl <10 mL/menit : Data tidak tercukupi

b. Cara pakai :
3) Ikuti anjuran dokter dan baca instruksi yang tertera pada kemasan obat
quinapril
4) Laporkan dahulu tentang riwayat kesehatan kepada dokter, terutama
dengan penyakit yang pernah diderita dan obat yang sedang dikonsumsi
bersamaan dengan penggunaan obat quinapril

14
8. Perindopril
a. Dosis : Dosis awal 4 mg oral sehari sekali. Dosis pemeliharaan 4 mg
sampai 8 mg secara oral setiap hari dalam satu atau dua dosis yang terbagi
b. Cara pakai :
1) Ikuti petunjuk yang ada di label resep. Dokter mungkin mengubah dosis.
Jangan mengonsumsi obat ini dalam jumlah yang lebih atau kurang atau
tidak sesuai dengan rekomendasi dokter
2) Minum air yang banyak setelah mengonsumsi obat ini. Obat ini dapat
dikonsumsi sebelum atau setelah makan

9. Ramipril
a. Dosis : 2,5 mg, dua kali sehari
b. Cara pakai :
1) Ikuti anjuran dokter dan baca instruksi yang tertera pada kemasan dalam
mengonsumsi ramipril.
2) Jangan memulai atau menghentikan pengobatan, serta jangan menambah
atau mengurangi dosis tanpa seizin dokter
3) Obat ini di konsumsi sebelum makan

10. Silazapril
a. Dosis
1) Dosis awal : 1 mg sekali sehari, pada yang menerima diuretika,
pada usia lanjut, atau pada gangguan ginjal, dosis awal 0,5 mg sekali
sehari, pada hipertensi renovaskuler, sirosis hati, dosis awal 0,25-0,5 mg
sekali sehari
2) Dosis penunjang : lazim 1-2,5 mg sekali sehari, maksimal 5 mg/hari
3) Gagal jantung (tambahan)
- Dosis awal : 0,5 mg/hari dibawah pengawasan medis yang
ketat, tingkat sampai 1 mg /hari
- Dosis penunjang : lazim 1-2,5 mg/hari, maksimal 5 mg/hari
b. Cara pakai :
1) Ikuti anjuran dokter dan baca instruksi yang tertera pada kemasan obat
silazapril
2) Gunakan dosis rendah

15
3) Hindari pada penderita dengan aortic stenosis atau outflow tract
obstruction
4) Periksa tekanan darah (BP)
5) NSAIDs harus dihindari karena hal tersebut bisa menutup manfaat dan
meningkatkan efek samping

e. Calsium Antagonis
1) Calsium antagonis dapat menghambat masuknya Ca kedalam membrane sel
(sarkolema), kontaksi menurun dan TD menurun
2) Efek samping : hipotensi berlebihan, takikardi, palpitasi, sakit kepala, pusing dan
muka merah

f. Penghambat Saraf Adrenergik


1) Penghambat saraf adrenergik : reserpin, rauwolfia (akar), guanetidin, guanadrel
2) Reserpin dan alkaloid rauwolfia, lalu mengurangi resistensi perifer, denyut jantung
dan curah jantung dan TD turun
3) Efek samping : brakikardi, mulut kering, diare, mual, muntah, anoreksia,
bertambahnya nafsu makan, hiperasiditas lambung, mimpi buruk, depresi mental,
disfungsi seksual

g. Vasodilator
1) Vasodilator : hidralizin, minoksidil, diazoksid, Na nitroprusid
2) Merelaksasi otor polos lalu vasodilatasi dan TD turun
3) Hidralazin menurunkan TD diastole > TD sistol dengan menurunkan resistensi
perifer, lebih selektif mendilatasi arteriole daripada vena dan hipotensi postural
jarang terjadi
4) Efek samping : retensi Na dan air, sakit kepala dan takikardi

4. Obat Antiangina

Angina adalah nyeri dada mendadak yang parah, seperti ditekan, yang menyebar ke
leher, rahang bawah, bahu dan lengan kiri. Disebabkan ketidakseimbangan antara aliran
darah coroner dengan kebutuhan oksigen miokard dan terjadi iskemia.
Tipe angina :
a. Angina stabil/angina aterosklerotik

16
1) Penyebabnya adalah sumbatan plaque ateromatous pada pembuluh darah coroner
2) Nyeri timbul saat terjadi peningkatan kerja jantung
3) Nyeri hilang dengan istirahat atau pemberian nitrogliserin
b. Angina unstable
1) Disebut juga sindroma koroner akut
2) Gejalanya peningkatan frekuensi dan keparahan nyeri dada
3) Tidak dicetuskan oleh peningkatan aktivitas
4) Tidak hilang dengan istirahat ataupun pemberian nitrogliserin
c. Angina prinzmetal/variant
1) Terjadi karena spasme arteri koronaria yang reversible
2) Spasme terjadi sewaktu-waktu, bahjan saat istirahat, tidak berhubungan dengan
peningkatan aktivitas, denyut jantung, ataupun tekanan darah
3) Respons baik dengan pemberian vasodailator
4) Dapat menjadi unstable angina

Terapi angina dibagi menjadi 2 yaitu:


1. Farmakologis
Farmakologis dibagi menjadi 3 :
a. Nitrat Organik
1) ISDN dan ISMN  sediaan oral
2) Nitrogliserin  sediaan oral, sublingual, transdermal
3) Amyl nitrit  zat volatile  sediaan inhalasi
4) Mekanisme kerja: menurunkan vasokronstriksi coroner dan spasme
5) Nitrogliserin sublingual  obat pilihan untuk serangan angina karena
aktivitas/ stress

b. Beta Blocker
1) Menurunkan denyut jantung dan kekuatan kontraksi a kebutuhan oksigen
miokardium
2) Propranolol a tidak kardioselektif
a) Dosis : Dewasa dan anak > 12 tahun: 20 mg, 3-4 kali sehari
b) Cara pakai :
- Ikuti anjuran dokter dan baca instruksi yang tertera pada kemasan
dalam mengonsumsi

17
- Obat di minum sebelum makan

3) Metoprolol, acebutolol, atenolol a kardioseletif


Metoprolol
- Dosis : 50 mg per hari. Bila diperlukan, dosis dapat di tingkatkan
hingga 100 mg dalam 1-2 dosis terbagi
- Cara pakai : Obat ini di minum sebelum makan

Acebutolol
- Dosis pada orang dewasa (18-64 tahun) adalah:
 Dosis Awal : Obat hipertensi 400 mg satu kali sehari, atau dosis
200 mg diminum dua kali sehari.
 Dosis Lanjutan : Umumnya dokter akan menambah dosis
hingga 600 mg diminum dua kali sehari.
 Dosis Perawatan : Dosis untuk pemeliharaan adalah 400-800 mg
per hari.
 Obat ini tidak dianjurkan untuk anak-anak di bawah usia 17 tahun.
- Cara pakai : Obat ini I minum sbelum makan

Atenolol
- Dosis : Dosis awal atenolol: 50 miligram (mg) oral sekali sehari.
Jika respon optimal tidak tercapai dalam seminggu, dosis harus ditambah
sampai 100 mg oral sekali sehari. Dosis melebihi 100 mg tidak akan
memberikan efek signifikan dalam proses penyembuhan.
Sementara, dosis untuk lansia adalah 25 mg sebagai dosis awal, namun
bisa ditingkatkan dosisnya hingga 100 mg setiap harinya
- Cara pakai : Obat ini bisa di minum dengan atau tanpa makanan sesuai
dengan arahan dokter, biasanya 1-2 kali sehari. Untuk dosis, dokter akan
menyesuaikan jumlahnya sesuai dengan kondisi kesehatan Anda.

4) Pada dosis tinggi a semua -blocker dapat menghambat reseptor 1 dan 2 


lalu kenapa?
5) Dapat diberikan bersama nitrat untuk meningkatkan durasi latihan dan
toleransi

18
6) KI : asma, diabetes, bradikardi berat, penyakit vaskular perifer, penyakit paru
obstruktif kronis
7) Penghentian obat a tappering off a menghindari rebound angina/hipertensi

c. Calcium Channel Blocker


1) Nifedipine
a) Derivat dihydropiridine
b) Terutama bekerja sebagai vasodilator arterial : terapi variant angina krn
vasospasme spontan
c) Amlodipine : tidak mempengaruhi denyut jantung dan cardiac output
d) Pemberian p.o, dpt berupa tablet lepas lambat
e) Mengalami metabolisme di hepar, ekskresi lewat urine dan feses
f) ES : flushing, sakit kepala, hipotensi, edema perifer, konstipasi, refleks
takikardi
g) Dihidropiridine short acting hrs dihindari pada penyakit jantung coroner

- Dosis : 1 kali sehari 20 mg dapat di pertimbangkan jika ada


indikasi medis
- Cara pakai : hindari konsumsi grapefruit, telan utuh jangan di
kunyah atau di hancurkan.

2) Verapamil
a) Memperlambat konduksi jantung secara langsung : efek inotropik negatif
b) Dimetabolisme di hepar
c) KI pada pasien dengan fungsi jantung yang menurun atau ada
abnormalitas konduksi atrioventrikuler
d) Pada penderita yg juga mendapat digoxin a dapat meningkatkan kadar
digoxin.

- Dosis : 240-480 mg per hari dalam 3-4 dosis bagi


- Cara pakai : obat ini di minum sesudah makan

3) Diltiazem
a) Meperlambat konduksi AV : memperlambat denyut jantung

19
b) Mengatasi spasme arteri koroner : terapi variant angina
c) Dimetabolisme di hepar, ES sedikit

- Dosis : 30-60 mg sehari


- Cara pakai : harus sesuai dengan resep dokter. Bisa di berikan
Bersama makanan ataupun tidak.

2. Non-Farmakologis
a. Merubah gaya hidup, misalnya berhenti merokok
b. Olahraga, dapat meningkatkan kadar HDL dan memperbaiki koroner pada
penderita jantung kooroner, karena :
c. Memperbaiki fungsi paru-paru dan memperbanyak O2 masuk kedalam miokard
d. Menurunkan tekanan darah
e. Menyehatkan jasmani
f. Diet dapat mengurangi kadar hiperglikemia

C. Asuhan Keperawatan Menangani Pasien Kardiovaskuler Terkait Dengan Pemberian


Obat

1. Peran Perawat Dalam Pemberian Obat


Dalam menjalankan perannya, perawat menggunakan pendekatan proses
keperawatan dengan memperhatikan 7 hal benar dalam pemberian obat, yaitu benar pasien,
obat, dosis, rute pemberian, waktu, dokumentasi dan benar dalam informasi.

No Peran perawat Keterangan


1. Pengkajian Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses
keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data
dan perumusan kebutuhan atau masalah pasien (Doenges,
2000). Adapun data hasil pengkajian dapat dikelompokkan ke
dalam data subyektif dan data obyektif.
b. Data subyektif
1. Riwayat kesehatan sekarang
Perawat mengkaji tentang gejala-gejalayang dirasakan
klien.

20
2. Pengobatan sekarang
Perawat mengkaji informasi tentang setiap obat,
termasuk kerja, tujuan, dosis normal, rute pemberian,
efek samping, dan implikasi keperawatan dalam
pemberian dan pengawasan obat. Perawat bertanggung
jawab untuk mengetahui sebanyak mungkin informasi
tentang obat yang diberikan.
a) Dosis, rute, frekuensi, dokter yang meresepkan, jika
ada
b) Pengetahuan klien mengenai obat dan efek
sampingnya
c) Harapan dan persepsi klien tentang efektivitas obat
d) Kepatuhan klien terhadap aturan dan alasan
ketidakpatuhan
e) Alergi dan reaksi terhadap obat
f) Obat yang dibeli sendiri
3. Riwayat kesehatan dahulu
a) Riwayat penyakit dahulu yang pernah diderita pasien
b) Obat yang disimpan dalam pemakaian waktu lampau
c) Obat yang dibeli sendiri /OTC
d) Sikap dan lingkungan klien
Sikap klien terhadap obat menunjukkan tingkat
ketergantungan pada obat.
c. Data Obyektif
Dapat diketahui dengan beberapa cara, diantaranya adalah
dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik dan
pemeriksaan laboratorium.

2. Diagnosa Diagnosa keperawatan dibuat berdasarkan hasil pengkajian.


keperawatan Dibawah ini beberapa contoh diagnosa keperawatan NANDA
untuk terapi obat.
a. Kurang pengetahuan tentang terapi obat yang berhubungan
dengan :
1) Kurang informasi dan pengalaman
2) Keterbatasan kognitif

21
3) Tidak mengenal sumber informasi
b. Ketidakpatuhan terhadap terapi obat yang berhubungan
dengan :
1) Sumber ekonomi yang terbatas
2) Keyakinan tentang kesehatan
3) Pengaruh budaya
c. Penatalaksanaan program terapeutik tidak efektif yang
berhubungan dengan :
1) Terapi obat yang kompleks
2) Pengetahuan yang kurang

3. Perencanaan Fase perencanaan ditandai dengan penetapan lingkup tujuan,


atau hasil yang diharapkan. Lingkup tujuan yang efektif
memenuhi hal berikut ini :
1) Berpusat pada klien dan dengan jelas menyatakan perubahan
yang diharapkan.
2) Dapat diterima (pasien dan perawat)
3) Realistik dan dapat diukur
4) Dikerjakan bersama
5) Batas waktu jelas
6) Evaluasi jelas
Perawat mengatur aktivitas perawatan untuk memastikan bahwa
teknik pemberian obat aman. Perawat juga dapat merencanakan
untuk menggunakan waktu selama memberikan obat. Pada
situasi klien belajar menggunakan obat secara mandiri, perawat
dapat merencanakan untuk menggunakan semua sumber
pengajaran yang tersedia. Apabila klien dirawat di rumah
sakit,sangat penting bagi perawat untuk tidak menunda
pemberian instruksi sampai hari kepulangan klien.
Sasaran berikut harus dicapai :
1) Tidak ada komplikasi yang timbul akibat rute pemberian obat
yang digunakan.
2) Efek terapeutik obat yang diprogramkan dicapai dengan
aman sementara kenyamanan klien tetap dipertahankan.
3) Klien dan keluarga memahami terapi obat.

22
4) Pemberian obat secara mandiri dilakukan dengan aman.

4. Implementasi Implementasi meliputi tindakan keperawatan yang perlu untuk


mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Perawat harus mampu
mencegah resiko kesalahan dalam pemberian obat. Perawat
sebaiknya tidak menyembunyikan kesalahan pengobatan. Pada
catatan status klien, harus ditulis obat apa yang telah diberikan
kepada klien, pemberitahuan kepada dokter, efek samping yang
klien alami sebagai respons terhadap kesalahan pengobatan dan
upaya yang dilakukan untuk menetralkan obat.

2. Cara Mencegah Kesalahan Pemberian Obat


Untuk mencegah kesalahan dalam pemberian obat kepada pasien,perawat harus
memperhatikan beberapa hal sebagai berikut :

No Kewaspadaan Rasional
1. Baca label obat dengan teliti. Banyak produk yang tersedia dalam kotak,
warna, dan bentuk yang sama.
2. Pertanyakan pemberian banyak Kebanyakan dosis terdiri dari satu atau dua
tablet atau vial untuk dosis tablet atau kapsul atau vial dosis tunggal.
tunggal. Interpretasi yang salah terhadap program obat
dapat mengakibatkan pemberian dosis tinggi
berlebihan.
3. Waspadai obat-obatan bernama Banyak nama obat terdengar sama (misalnya,
sama. digoksindan digitoksin, keflex dan keflin,
orinase dan ornade).
4. Cermati angka di belakang koma. Beberapa obat tersedia dalam jumlah seperti
dibawah ini : tablet coumadin dalam tablet 2,5
dan 25 mg, Thorazine dalam Spansules
(sejenis kapsul) 30 dan 300 mg.
5. Pertanyakan peningkatan dosis Kebanyakan dosis diprogramkan secara
yang tiba-tiba dan berlebihan. bertahap supaya dokter dapat memantau efek
terapeutik dan responsnya.
6. Ketika suatu obat baru atau obat Jika dokter tidak lazim dengan obat tersebut

23
yang tidak lazim diprogramkan, maka risiko pemberian dosis yang tidak akurat
konsultasi kepada sumbernya. menjadi besar.
7. Jangan beri obat yang Banyak dokter menggunakan nama pendek
diprogramkan dengan nama atau singkatan tidak resmi untuk obat yang
pendek atau singkatan tidak resmi. sering diprogramkan. Apabila perawat atau
ahli farmasi tidak mengenal nama tersebut,
obat yang diberikan atau dikeluarkan bisa
salah.
8. Jangan berupaya atau Apabila ragu, tanyakan kepada dokter.
mencobamenguraikan dan Kesempatan terjadinya salah interpretasi
mengartikan tulisan yang tidak besar, kecuali jika perawat mempertanyakan
dapat dibaca. program obat yang sulit dibaca.
9. Kenali klien yang memiliki nama Seringkali, satu dua orang klien memiliki
akhir sama. Juga minta klien nama akhir yang sama atau mirip. Label
menyebutkan nama lengkapnya. khusus pada kardeks atau buku obat dapat
Cermati nama yang tertera pada memberi peringatan tentang masalah yang
tanda pengenal. potensial.
10. Cermati ekuivalen Saat tergesa-gesa, salah baca ekuivalen mudah
terjadi (contoh, dibaca miligram, padahal
mililiter).

3. Keamanan Dalam Pemberian Obat Melalui Injeksi


Perawat beresiko terkena cedera akibat tusukan jarum suntik melalui salah satu dari cara
berikut ini,
1. Meleset ketika mencoba kembali menutup jarum dan menusuk tangan anda yang
sebelah.
2. Anda kembali menutup jarum dan jarum menembus tutup itu.
3. Tutup jarum yang sudah dipasang lepas.
4. Mencederai diri anda sendiri saat mengumpulkan kotoran yang ternyata berisi instrumen
tajam.
Mengingat resiko tertular penyakit akibat needle stick injury, ada cara untuk melindungi diri
agar aman saat menutup kembali jarum suntik yang telah digunakan.

No Langkah Rasional

24
.
1. Jangan pernah menutup jarum Cedera akibat tertusuk jarum
kembali. Gunakan prosedur ini hanya menempatkan tenaga perawat pada risiko
bila sebuah wadah pembuangan benda terkena patogen yang ditularkan melalui
tajam tidak tersedia dan anda tidak darah. Setelah menggunakan sebuah
dapat meninggalkan ruangan. jarum, perawat kesehatan harus
membuang benda yang tajam ini ke wadah
pembuangan terdekat yang sudah
didesain.
2. Sebelum memberi injeksi, tempatkan Hal ini membuat perawat siap melakukan
tutup jarum di atas benda padat yang seluruh prosedur dengan cara yang aman.
tidak bergerak, misalnya tepi meja
disisi tempat tidur. Bagian tutup jarum
yang terbuka harus menghadap ke
wajah dan dalam jangkauan tangan
perawat yang dominan, atau
jangkauan infeksi, atau jangkauan
tangan.
3. Beri injeksi. Hal ini memastikan pemberian obat.
4. Tempatkan ujung jarum pada pintu Memaksa jarum masuk ke dalam tutupnya
masuk tutup jarum. Dengan perlahan dapat membuat jarum menjadi bengkok.
masukkan jarum ke dalam tutupnya.
5. Begitu jarum berada di dalam Gunakan gerakan perlahan dan jangan
tutupnya, gunakan sebuah benda pernah memaksa jarum ke dalam
untuk menahan sehingga jarum dapat tutupnya.
ditutup seluruhnya.
6. Buang jarum pada kesempatan Hal ini menjamin lingkungan yang aman
untuk klien dan perawat .
pertama.

Berikut adalah contoh langkah evaluasi untuk menentukan bahwa ada komplikasi yang
terkait dengan rute pemberian obat :

a. Mengobservasi adanya memar, implamasi, nyeri setempat atau perdarahan di tempat


injeksi.
b. Menanyakan klien tentang adanya rasa baal atau rasa kesemutan di tempat injeksi.
c. Mengkaji adanya gangguan saluran cerna, termasuk mual, muntah, dan diare pada klien.

25
d. Menginspeksi tempat IV untuk mengetahui adanya feblitis, termasuk demam,
pembengkakkan dan nyeri tekan setempat.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sistem kardiovaskuler memerlukan banyak mekanisme yang bervariasi agar fungsi
regulasinya dapat merespon aktivitas tubuh, salah satunya adalah meningkatkan aktivitas

26
suplai darah agar aktivitas jaringan dapat terpenuhi. Pada keadaan berat, arilan darah
tersebut lebih banyak diarahkan pada organ-organ vital seperti jantung dan otak yang
berfungsi memelihara dan mempertahankan sistem sirkulasi itu sendiri. Obat kardiovaskuler
adalah obat yang digunakan untuk kelainan jantung dan pembuluh darah.Jantung dan
pembuluh darah merupakan organ tubuh yang mengatur peredaran darah sehingga
kebutuhan makanan dan sisa metabolisme jaringan dapat terangkut dengan baik.Jantung
sebagai organ pemompa darah sedangkan pembuluh darah sebagai penyalur darah ke
jaringan.Pembuluh darah di pengaruhi systemaraf otonom melalui saraf simpatis dan
parasimpatis. Setiap gangguan dalam system tersebut akan mengakibatkan kelainan pada
sistem kardiovaskuler.

B. Saran
Dengan makalah ini, saya harapkan dapat memberikan informasi yang di butuhkan
tentang apa itu farmakologi dan obat-obat kardiovaskuler di dalam bidang kesehatan dan di
harapkan mahasiswa mampu memahami dan mengaplikasikannya dalam asuhan
keperawatan. Kami sangat berharap kritikan dan saran yang dapat membangun saya untuk
lebih baik lagi.Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

Adame, M.P., Josephson, D.L. and Holland Jr, L.N. (2009). Pharmacology for Nurses: A
Pathophysiologic Approach Vol. I. New Jersey : Pearson Prentice Hall.

Berman, A., Snyder, S.J., Kozier, B. dan Erb, B. 2008. Fundamentals of Nursing. Concepts,
Process and practice. 8th. New Jersey : Pearson Prentice Hall

27
Kee, K.L,: Hayes, E.R. and Mc Cuisin, L.E. 2009. Pharmacology for Nurses, 6e. Missouri :
Saunders
Lilley, L.L., Harrington, S., and Snider, J.S. 2007. Pharmacology and the Nursing Process, 6th Ed.
Philadelphia : Mosby-Elseiver
Deglin, Vallerand. 2005. Pedoman Obat Untuk Perawat. Jakarta : EGC

Ganiswarna. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : FKUI

Kee. Hayes. 1996. Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta : EGC

http://dr-suparyanto.blogspot.com/2010/04/obat-kardiovaskuler.html?m=1

Kasron, T .A.2011 .http://www.academia.edu/7644474/OBAT_SISTEM_KARDIOVASKULER

Gama, H . 2008. http://id.scribd.com/doc/315914754/obat-kardiovaskuler-1-docx

GAMBARAN PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN GAGAL JANTUNG KONGESTIF


RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT SULTAN SYARIF MOHAMAD ALKADRIE
PONTIANAK

*1 1 1
Tri Wulandari , Nurmainah , Robiyanto
1
Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura Pontianak Jl
Prof. Dr. H. Hadari Nawawi, Kota Pontianak, Kalimantan Barat.

28
Abstrak: Gagal jantung kongestif (GJK) didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi
dapat memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. Penyakit GJK menjadi penyebab utama
kematian di negara maju dan negara berkembang. Sehingga pasien GJK memerlukan terapi untuk
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas tersebut. Terapi obat yang diberikan berdasarkan
tatalaksana GJK yaitu obat diuretik, ACE inhibitor/ ARB, dan beta bloker. Penelitian ini bertujuan
untuk mendeskripsikan obat yang digunakan dan obat yang paling dominan diberikan pada pasien
GJK. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan studi potong lintang
(cross sectional) yang bersifat deskriptif. Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif
berdasarkan catatan rekam medik pasien GJK rawat inap di Rumah Sakit Sultan Syarif Mohamad
Alkadrie Pontianak tahun 2017. Hasil penelitian menunjukkan persentase pasien GJK yang
terbanyak adalah perempuan 54,84% dan laki-laki 45,16%. Terapi obat yang diberikan dari 31
sampel menunjukkan bahwa penggunaan obat yang paling sering diberikan adalah obat golongan
diuretik 62,50%, ARB 23,75%, ACE inhibitor 7,50%, dan beta bloker 6,25%. Kesimpulan dari
penelitian ini adalah obat yang paling dominan digunakan di Rumah Sakit Sultan Syarif Mohamad
Alkadrie Pontianak adalah obat golongan diuretik yaitu obat furosemid 37,50%.
Kata kunci: Gambaran obat, Gagal Jantung Kongestif, Rumah Sakit Sultan Syarif
Mohamad Alkadrie Pontianak

*Penulis :
Tri Wulandari
Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura
Pontianak Jl. Prof. Dr. H. Hadari Nawawi, Kota Pontianak, Kalimantan Barat.
Email: twdari96@gmail.com

29
OVERVIEW OF MEDICINE USE IN-PATIENTS OF CONGESTIVE HEART FAILURE IN
SULTAN SYARIF MOHAMAD ALKADRIE HOSPITAL PONTIANAK

1 1 1
Tri Wulandari , Nurmainah , Robiyanto
1
Department of Pharmacy, Faculty of Medicine, Tanjungpura University
Address on Jalam Prof. Dr. H. Hadari Nawawi
Pontianak City, West Kalimantan, Indonesia

Abstract: Congestive heart failure (CHF) is defined as a condition where the heart can no longer
pump enough blood to the body's tissues. CHF is a major cause of death in developed and
developing countries therefore patients need therapy to reduce the morbidity and mortality. Drug
`therapy for CHF based on CHF management guideline was diuretic drugs, ACE inhibitors / ARBs,
and beta blocker. This study aims to overview the drugs used and to know the most dominant drugs
given to CHF patients. This study was an observational study with a descriptive cross sectional
study design. Data collection was conducted retrospectively based on medical records of CHF
patients at Sultan Syarif Mohamad Alkadrie Hospital in 2017. The results showed that the CHF
patients were women 54.84% and men 45.16%. Drug therapy given from 31 samples showed that
the most commonly prescribed drug was diuretics 62,50%, ARB 23,75%, ACE inhibitor 7,50%, and
beta blocker 6,25%. The conclusion of this study was the most dominant drug used in the Hospital
Sultan Syarif Mohamad Alkadrie Pontianak was furosemide (37,50%) from diuretic class of drug..
Keywords: Drug overview, Congestive heart failure, Sultan Syarif Mohamad Alkadrie Hospital
Pontianak.

30
PENDAHULUAN

Penyakit gagal jantung kongestif (GJK) merupakan salah satu penyakit


(1)
kardiovaskular yang menjadi penyebab utama kematian di negara maju dan negara berkembang.
Prevalensi gagal jantung di negara maju bervariasi. Prevalensi GJK di Amerika pada tahun 2014
meningkat dari 5,7 juta menjadi 6,5 juta, di Spanyol prevalensi GJK pada tahun 2007 meningkat
dari 895 menjadi 2.126 kasus, di Italia prevalensi GJK pada tahun 2010 sebesar 1,44 %, dan di
(2,3)
Swadia prevalensi GJK pada tahun 2010 sebesar 1,8 %. Kasus ini diperkirakan banyak terjadi
(2)
pada pasien dengan usia 18 tahun atau lebih. Indonesia merupakan contoh negara berkembang
yang memiliki prevalensi penyakit GJK sebesar 0,13 % pada tahun 2013. Prevalensi penyakit GJK
(4)
di Kalimantan Barat diperkirakan sebesar 0,08 %.
Penyakit GJK adalah penyakit yang disebabkan adanya kelainan struktural ataupun
fungsional jantung yang menyebabkan gangguan kemampuan pengisian ventrikel dan ejeksi darah
(5)
ke seluruh tubuh. Gejala GJK ditandai dengan sesak nafas pada saat beraktivitas maupun tidur,
(4,6)
kelelahan, dan mengalami retensi cairan yang menimbulkan udem paru. Gejala ini harus diatasi
dengan cepat melalui tindakan pengobatan yang komprehensif. Tindakan farmasis yang dapat
dilakukan dengan memberikan pilihan obat-obatan secara tepat.
Udem merupakan salah satu gejala yang paling umum terjadi pada pasien GJK. Obat yang
paling sering diberikan adalah obat diuretik. Di Rumah Sakit “A” di Surakarta menurut penelitian
yang dilakukan Sistha pada tahun 2011 dan di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta
menurut penelitian yang dilakukan Cahyaningrum pada tahun 2015 menyatakan bahwa obat yang
paling sering digunakan adalah obat diuretik. Salah satu obat diuretik yang paling banyak
(1,7)
digunakan adalah diuretik loop, seperti furosemide. Diuretik ini merupakan salah satu diuretik
kuat yang berfungsi mengurangi retensi air dan garam sehingga mengurangi volume cairan,
sehingga dapat mengurangi edema paru dan kongesti paru. Namun penggunaan diuretik tidak dapat
mengurangi mortilitas, maka penggunaan diuretik biasa diberikan dengan kombinasi obat ACE
(8,9)
Inhibitor.
Perawatan pasien GJK dapat dilakukan dengan memberikan pengobatan yang tepat yang
sesuai dengan algoritma terapi pasien GJK dan menghindari obat-obatan yang dapat memperberat
kerja jantung. Obat yang digunakan untuk mengatasi GJK adalah diuretik, glikosida jantung
(1,7)
(digoksin), antihipertensi golongan ACE Inhibitor, ARB, dan β-Bloker. Digoksin digunakan
(7)
sebagai obat standar untuk penderita gagal jantung. Digoksin digunakan untuk meningkatkan
(10)
kontraksi miokardium. Adapun contoh obat yang dapat memperberat kerja jantung adalah obat
(8)
anti-inflamasi nonsteroid (OAINS). Adanya variasi penggunaan obat di beberapa rumah sakit
maka peneliti tertarik untuk mendeskripsikan pola penggunaan obat penyakit GJK di Rumah Sakit
Sultan Syarif Mohamad Alkadrie Pontianak. Rumah Sakit Sultan Syarif Mohamad Alkadrie
Pontianak merupakan rumah sakit kota Pontianak yang menjadi tempat rujukan pasien dari
puskesmas yang ada di Pontianak.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian observasional yang dirancang menggunakan rancangan
studi potong lintang (cross sectional) yang bersifat deskriptif. Data dikumpulkan secara retrospektif
berdasarkan data rekam medik dan resep yang didapatkan oleh subyek penelitian. Subyek yang
dilihat dalam penelitian ini adalah pasien GJK rawat inap di Rumah Sakit Sultan Syarif Mohamad
Alkadrie Pontianak periode Januari-Desember 2017. Data yang diambil berdasarkan kriteria inklusi
dan kriteria eksklusi. Kriteria inklusi yaitu Pasien yang terdiagnosis GJK dengan kode ICD-10

31
adalah I 50.0, pasien dengan usia di atas 18 tahun, pasien GJK dengan komorbid (Hipertensi, PJK,
Angina). Dan kriteria eksklusi yaitu Memiliki data rekam medis yang rusak atau hilang.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasartan data elektronik di Rumah Sakit Sultan Syarif Mohamad Alkadrie Pontianak
pada tahun 2017, terdapat 279 pasien yang teridiagnosa GJK. Namun demikian pasien yang
memiliki komorbid PJK, hipertensi,dan angina sebesar 125 pasien. Pasien yang memenuhi kriteria
inklusi sebesar 31 pasien dan pasien yang tidak memenuhi kriteria inklusi sebesar 94 pasien. Jumlah
data rekam medis yang tidak memenuhi kriteria inklusi dikarenakan data rekam medis yang tidak
ada di ruang penyimpanan data, diagnosa pasien tidak terdapat komorbid yang diinginkan, dan
diagnosis penyakit GJK merupakan diagnosis sekunder.

Karakteristik Subyek Penelitian


Tabel 1. Karakteristik Subyek Penelitian (N=31)
No Karakteristik Frekuensi Persentase (%)
1 Usia (tahun)
a. Dewasa (18-59) 11 35,48
b. Lanjut Usia ( ≥ 60) 20 64,51
2 Jenis Kelamin
Laki-laki 14 45,16
Perempuan 17 54,84
3 Komorbid
a. Penyakit Jantung Koroner 18 58,66
b. Hipertensi 11 35,48
c. Angina 2 06,45

Tampak pada tabel 1, karakteristik pasien GJK rawat inap di Rumah Sakit Sultan Syarif Mohamad
Alkadrie Pontianak periode Januari-Desember 2017 pada penelitian ini meliputi umur, jenis
kelamin dan komorbid pasien GJK. Karakteristik usia yang paling banyak adalah kelompok lanjut
usia (≥ 60 tahun) yang merupakan usia rentan untuk mengalami GJK dengan persentase 64,51%.
Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa prevalensi pasien GJK meningkat kira-kira
(11)
10% pada pasien yang berusia 60 tahun. Risiko penyakit GJK akan meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Hal ini dikarenakan kakuatan pembuluh darah tidak seelastis saat muda dan
juga timbulnya penyakit jantung yang lain pada usia lanjut yang merupakan faktor risiko GJK.
(7)
Salah satu contoh penyakit jantung yang merupakan faktor risiko GJK adalah hipertensi.
Berdasarkan Tabel 1 karakteristik jenis kelamin yang mempunyai risiko tinggi untuk
mengalami GJK adalah perempuan dengan persentase 54,84%. Hal ini dikarenakan adanya
pengaruh hormon pada saat perempuan menopause. Perempuan yang mengalami menopause kadar
esterogen akan berkurang atau hilang yang menyebabkan peningkatan kadar trigliserida dan
penurunan lemak total, sehingga perempuan menopause lebih beresiko terkena penyakit jantung
(12,13)
dari pada laki-laki.
Penyakit penyerta atau komorbid pada pasien GJK terbanyak adalah penyakit jantung
koroner (PJK) dengan persentase 58,66%. Dan penyakit hipertensi hipertensi merupakan penyakit
penyerta kedua terbanyak setelah PJK yaitu sebesar 35,48%. Hal ini sesuai dengan penelitian
(14)
Shila menunjukkan hasil bahwa sebagian besar pasien GJK memiliki penyakit penyerta PJK
(14,15)
daripada penyakit yang lain.

32
Terapi Farmakologi Pasien GJK
Tabel 2. Terapi Farmakologi Pasien GJK
No Jenis Obat Nama Obat Jumlah Persentase (%)
1 Diuretik
a. Diuretik Kuat Furosemid 30 37,50
b. Diuretik Hemat Kalium Spironolakton 20 25,00
2 ARB Valsartan 15 18,75
Candesartan 2 2,50
Irbesartan 1 1,25
Micardis 1 1,25
3 ACE Inhibitor Ramipril 2 2,50
Captopril 2 2,50
Tanapress 1 1,25
Lisinopril 1 1,25
4 Beta Bloker Bisoprolol 5 6,25
Keterangan : ACE = Angiotensin Converting Enzyme; ARB = Angiotensin Receptor Blocker.

Berdasarkan Tabel 2 obat yang paling banyak digunakan di Rumah Sakit Sultan Syarif
Mohamad Alkadrie Pontianak adalah obat golongan diuretik sebesar 63,50%. Obat golongan
diuretik yang banyak digunakan sebagai obat lini pertama adalah obat diuretik loop dengan
persentase 37,50%. Hal ini sesuai dengan tatalaksana penyakit gagal jantung bahwa obat lini yang
digunakan adalah obat golongan diuretik. Obat diuretik bermanfaat untuk mengatasi retensi cairan
(13)
yang terjadi pada pasien dengan gagal jantung. Akan tetapi penggunaan diuretik tidak dapat
mengurangi mortilitas, maka penggunaan diuretik biasa diberikan dengan kombinasi obat ACE
Inhibitor/ ARB. Persentase penggunaan obat ACE Inhibitor sebesar 7,50% dan ARB sebesar
23,75%. Obat ARB digunakan sebagai alternatif pada pasien yang tidak dapat mentoleransi ACE
Inhibitor. Obat ARB juga tidak memiliki efek samping batuk kering tidak seperti obat ACE
Inhibitor. Sehingga penggunaan obat ARB lebih banyak dari pada ACE Inhibitor. Selanjutnya
pasien diberikan obat golongan beta bloker. Persentase penggunaan obat beta bloker sebesar 6,25%.

Tabel 3. Antihipertensi Golongan Diuretik


No Obat-Obat Ya Persentase (%) Tidak Persentase (%)
1 Diuretik loop 11 35,48 20 64,51
Diuretik loop + diuretik
2 hemat kalium 19 61,29 12 38,70
3 Diuretik hemat kalium 1 3,22 30 96,77

Berdasarkan tatalaksana pasien GJK mendapatkan obat lini pertama adalah obat diuretik
loop. Penggunaan obat diuretik loop ini untuk mengurangi udema pada pasien GJK. Obat golongan
diuretik loop yang digunakan adalah obat furosemide. Mekanisme kerja obat furosemide dengan
cara menghambat reabsorbpsi NaCl dalam ansa Henle asendens segmen tebal. Furosemid bekerja
+ + - +
dengan cara menghambat kotranspor Na /K /Cl . Na secara aktif ditranspor keluar sel ke dalam
+ +
interstisium oleh pompa yang tergantung pada Na /K -ATPase di membrane basolateral. Hal ini
(16)
akan menyebabkan terjadinya diuresis dan berakhir dengan penurunan tekanan darah. Akan

33
tetapi obat furosemide memiliki efek samping menyebabkan meningkatnya pengeluaran kalium.
Akibatnya kalium banyak keluar dari tubuh sehingga menyebabkan hipokalemia dimana efeknya
terhadap pasien yaitu pasien akan merasa tidak berenergi. Untuk menghindari hal tersebut obat
furosemide biasa diberikan bersamaan dengan obat golongan diuretik hemat kalium dan suplemen
kalium. Spironolakton merupakan obat hemat kalium yang dapat dikombinasikan dengan
furosemide. Mekanisme kerja obat spironolakton adalah dengan cara memblokade ikatan aldosteron
+ -
pada reseptor sitoplasma sehingga meningkatkan ekskresi Na (Cl dan H2O) dan menurunkan sekresi
+ (16,17)
K yang diperkuat oleh listrik. Hal ini menyebabkan pengeluaran kalium akan ditahan
(17)
sehingga tidak terjadi hipokalemia. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat penggunaan obat
kombinasi golongan diuretik loop dan diuretik hemat kalium paling banyak sebesar 61,29%
daridapa pada penggunaan obat tunggal obat diuretik loop saja atau obat diuretik hemat kalium saja.
Berdasarkan tatalaksana GJK masih terdapat obat antihipertensi lainnya yang digunakan
sebagai obat lini pertama pada pasien GJK selain obat diuretik.

Tabel 4. Antihipertensi Lain Sebagai Lini Pertama


No Obat-Obat Ya Persentase (%) Tidak Persentase (%)
1 ARB 19 61,29 12 39,70
2 ACE-Inhibitor 6 19,35 25 80,64
3 Beta Bloker 5 16,12 26 83,87
Tidak mendapat obat
4 antihipertensi 1 3,22 30 96,77

Berdasarkan Tabel 4 obat lini pertama pada pasien GJK yang digunakan selain obat golongan
diuretik adalah obat antihipertensi golongan ARB sebesar sebesar 61,29%, ACE-Inhibitor 19,35%, Beta
Bloker 16,12%. Dan terdapat pasien yang tidak mendapatkan obat antihipertensi sebesar 3,22%.
Penggunaan obat ARB diberikan pada pasien yang tidak dapat mentoleransi ACE-Inhibitor. Penggunaan
ARB juga diharapkan dapat menghambat sebagian besar efek negatif dari sitem Renin Angiotensin
Aldosteron (RAA). Mekanisme kerja ARB dengan cara mengikat reseptor angiotensin tipe I (ATI) yang
terdapat pada otot polos pembuluh darah, kelenjar adrenal dan jaringan lainnya. Angiotensin II
merupakan efektor dari sistem Renin Angiotensin Aldosteron (RAA) yang memiliki peran krusial dalam
+
mempertahankan Na dan cairan tubuh, sehingga bekerja untuk mempertahankan tekanan darah.
Angiotensin II juga memperkuat neurotransmisi simpatis dengan memacu pelepasan norepinefrin dan
menstimulasi SSP untuk meningkatkan dorongan simpatis, sehingga terjadi peningkatan tekanan darah
lebih lanjut. Angiotensin Reseptor Bloker
mampu mensupresi berbagai efek angiotensin II berupa vasokonstriksi dan sekresi aldosteron
(16,17)
sehingga terjadi natriuresis dan diuresis yang bisa membantu efek penurunan tekanan darah.
ACE-Inhibitor bekerja dengan cara memblokade fungsi sistem RAA, dimana obat golongan
ACE Inhibitor ini menekan efek vasokonstriksi angiotensin II dalam susunan pembuluh darah
sehingga mengurangi resistensi perifer total dalam tekanan darah, menyebabkan netriuresis dan
diuresis yang membantu efek penurunan takanan darah dan membantu untuk mengembalikan
edema pulmonal sistemik dan remodeling jantung yang berperan pada gejala dan progresivitas
(16,17)
gagal jantung kronik. Akan tetapi penggunaan obat ACE-Inhibitor memiliki efek samping
berupa batuk kering yang disebabkan peningkatan bradikinin. Sehingga penggunaan obat ACE-
Inhibitor ini harus diberikan bersama obat mukolitik untuk mengurangi efek samping dari obat

34
tersebut. Atau penggunaan obat ACE-Inhibitor diganti dengan obat ARB dikarenakan obat ARB
tidak memiliki efek samping batuk kering.
Penggunaan Beta Bloker telah terbukti dapat meningkatkan Ejection Fraction, memperbaiki
gejala, dan menurunkan angka kematian pada pasien GJK. Efek menguntung lainya yaitu
berkurangnya iskemia dan laju denyut jantung, sehingga memperbaiki perfusi miokardium.
Mekanisme Beta Bloker secara selektif mengantagonis reseptor β1, dimana reseptor ini
meningkatkan laju dan kekuatan kontraksi jantung ketika terstimulasi oleh norepineprin yang
dilepaskan dari saraf simpatis dan epineprin dalam darah. Blokade yang terjadi pada reseptor β 1
(17)
menyebabkan terjadinya penurunan tekanan darah.

Gambaran Terapi Pasien GJK Dengan Komorbid


Tabel 6. Gambaran Terapi Pasien GJK Dengan Komorbid
No GJK dengan Komorbid Jumlah Persentase (%)
1 PJK (n = 18)
a. Nitrat 10 55,56
b. Antiplatelet 17 94,44
c. Statin 7 38,89
d. CCB 4 22,22

2
Hipertennsi (n = 11)
a. CCB
6 54,54

3 Angina (n = 2)
a. Nitrat 2 100
b. Antiplatelet 2 100
Keterangan : CCB = Calcium Channel Blocker.

Berdasarkan Tabel 6 obat yang digunakan untuk mengobati penyakit PJK pada pasien PJK
adalah nitrat, antiplatelet, statin, dan CCB. Gejala utama pada pasien PJK adalah angina pektoris
sehingga pengobatan lini pertama PJK dengan angina pektoris sama yaitu obat nitrat. Dimana
penggunaan nitrat pada pasien PJK dan angina Mekanisme kerja obat nitrat dengan melepas ion
nitrat, ion nitrat ini akan diubah menjadi nitrat oksida didalam sel yang kemudian mengaktivasi
guanilat siklase. Guanilat siklase menyebabkan peningkatan konsentrasi guanosin monofosfat siklik
(17)
intraselular pada sel otot polos vaskuar. Pemberian nitrat pada dosis terapeutik bekerja terutama
untuk mendilatasi vena, sehingga mengurangi tekanan vena sentral (preload) dan sebagai
konsekuensinya terjadi penurunan volume akhir diastolik ventrikel. Konsekuensi ini menurunkan
(11)
kontraksi miokardium, ketegangan dinding, dan kebutuhan O2. Pasien GJK dengan komorbid
PJK biasa memiliki keluhan nyeri pada bagian dada, untuk mengatasi nyeri dada ini dapat
dilakukan dengan pemberian obat nitrat sublingual kemudian dilanjutkan dengan pemberian
(17)
intravena.
Pasien PJK dan pasien angina juga mendapatkan obat antiplatelet. Pemberian obat platelet
untuk menjaga jika ruptur plak tidak terjadi arherotrombotisis yang dapat menimbulkan acute
coronary syndrome yang membahayakan pasien. Obat antiplatelet yang digunakan adalah aspilet,
clopidogrel, dan cilostazol. Obat aspirin digunakan untuk penghambatan sintesi prostaglandin,
clopidogrel digunakan untuk penghambatan agregasi trombosit dengan cara menghambat alur ADH

35
trombosit. Aspirin dapat menurunkan resiko infark miokard pada pasien dengan angina tidak stabil
dan meningkatkan ketahanan hidup pada pasien yang pernah mengalami infark miokard akut.
Mekanisme obat aspirin dengan cara menginhibisi siklooksigenase (COX) menyebabkan
pembentukan tromboksan dan prostasiklin. Tromboksan diproduksi oleh trombosit dan merupakan
suatu aktivator kunci trombosit. Prostasiklin yang dihasilkan endotel akan menginhibisi aktivasi
dan agregasi trombosit dengan meningkatkan cAMP. Peningkatan cAMP yang terjadi kemudian
berhubungan dengan penurunan kalsium intraseuler dan inhibisi agregasi platelet. Pemberian obat
(11,17)
aspirin dengan klopidogrel mempunyai efek yang sinergis jika diberikan bersamaan.
Penggunaan obat statin berdasarkan Tabel 6 sebesar 38,89 %. Obat statin sangat efektif
dalam menurunkan kolesterol total dan LDL, dan telah terbukti menurunkan angka kejadian PJK
dan mortalitas total. Mekanisme kerja obat statin dengan cara memblok sintesis kolesterol dalam
hati oleh inhibitor HMG KoA. Hal ini menstimulasi lebih banyak enzim, cenderung untuk
mengenbalikan sintesi kolesterol menjadi normal. Efek kompensasi ini tidak lengkap dan
pengurangan kolesterol dalam hepatosit menyebabkan peningkatan reseptor LDL. Peningkatan LDL
(17)
menyebabkan meningkatnya bersihan kolesterol dari plasma.
Pengobatan lainnya adalah pengobatan menggunakan obat golongan CCB. Pada kasus ini
obat golongan CCB digunakan untuk pasien GJK dengan komorbid PJK dan hipertensi.
Penggunaan CCB dapat menurunkan beban jantung karena menurunkan afterload dan preload,
meningkatkan aliran darah koroner karena melebarkan pembuluh darah koroner dan menghambat
(17)
atherosklerosis karena dapat mencegah deskuamasi sel endotel akibat berbagai ransangan.

KESIMPULAN
Terapi farmakologi yang diberikan kepada pasien GJK adalah obat golongan diuretik, ARB,
ACE Inhibitor, CCB, dan beta bloker. Dengan jumlah obat yang paling sering digunakan pada
pasien GJK di Rumah Sakit Sultan Syarif Mohamad Alkadrie Pontianak adalah obat golongan
diuretik yaitu obat furosemid dengan persentase 37,50%.

SARAN
Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui rasionalitas dari obat-obat yang
diresepkan kepada pasien gagal jantung kongestif (GJK).

DAFTAR PUSTAKA
1. Cahyaningrum A, Hadning I. Analisis Pola Pengobatan Pasien Gagal Jantung Rawat Inap
Di Rumah Sakit Pku Muhammadiyah Yogyakarta Periode Tahun 2015. Naskah Publikasi
Karya Tulis Ilmiah. 2017.
2. American Heart Association. Heart Disease and Stroke Statistic 2017 update. AHA
Statistical Update. 2017.
3. Savarese G, and Lund LH. Global Public Health Burden of Heart Failure.
Radcliffe Cardiology. 2017.
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2013. Diakses pada

tanggal 21 Februari 2018 dari http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil


%20Riskesdas%202013.pdf.

5. Ufara A, Purnamasari E , dan Usniah. Hubungan Kepatuhan Minum Obat Dengan Kejadian
Rawat Inap Ulang Pada Pasien Gagal Jantung Kongestif Di Rsu Kabupaten Tangerang. JKFT.
2016.
36
6. Dharma S, Oktavia S, dan Hanif AM. Evaluasi Penggunaan Kombinasi Angiotensin
Converting Enzyme Inhibitor Dengan Furosemid Terhadap Fungsi Ginjal Pasien Gagal Jantung
Kongestif Di Rsup Dr. M. Djamil Padang. Prosiding Seminar Nasional Perkembangan Terkini
Sains Farmasi dan Klinik III. 2013; 2339-2592.
7. Sistha FN. Gambaran Dan Analisis Biaya Pengobatan Gagal Jantung Kongestif Pada Pasien
Rawat Inap di RS “A” di Surakarta Tahun 2011. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas
Muhammadiyah Surakarta. 2013.
8. Robbins dkk. Buku Ajar Patologi. Jakarta: EGC; 2007.
9. Pearce EC. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama;
2013
10. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Informatorium Obat Nasional
Indonesia. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2008.
11. Aaronson P, Jeremy. At a Glance Sistem Kardiovaskular. Jakarta: Erlangga. 2002.
12. Tatsanavivat P. Prevalance of Coronary Heart Diease and Major Cardiovaskular Risk Factor in
Thailand. International Journal of Epidemiology. 1998.
13. Lupiyatama S. Gambaran Peresepan Digoksin Pada Pasien Gagal Jantung Yang Berobat Jalan
Di RSUP Dr. Kariadi semarang. 2012.
14. Lupiyatama S. Gambaran Peresepan Digoksin Pada Pasien Gagal Jantung Yang Berobat Jalan
Di RSUP Dr. Kariadi semarang. 2012.
15. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015.
16. Guyon AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC; 2008.
17. Kabo P. Bagaimana Menggunakan Obat-Obat Kardiovaskular Secara Rasional. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012.

Farmaka
Volume 15 Nomor 3 56

MOLEKULAR IMPRINTING POLIMER UNTUK PENGUJIAN ATENOLOL DALAM


CAIRAN BIOLOGIS : REVIEW JURNAL

Meilia Suherman, Aliya Nur Hasanah Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran Jalan Raya
Bandung – Sumedang Km. 21 Jatinangor 45363 Email : meilia16001@mail.unpad.ac.id

Abstrak

37
Atenolol merupakan obat golongan antagonis β adrenaceptor, atau dikenal juga dengan β1-blocker
yang digunakan untuk pengobatan kelainan pada jantung, seperti angina pektoris, hipertensi,
aritmia, dan infark moikard (serangan jantung), dan lain-lain. Namun, atenolol juga dianggap
sebagai doping bagi altet karena memiliki efek yang dapat mengurangi denyut jantung, tremor pada
tangan, dan juga mengurangi kecemasan (anti ansietas) selama pertandingan berlangsung. Hingga
saat ini telah banyak metode yang digunakan pengujian atenolol diantaranya metode kromatografi,
metode potensiometer, metode voltametri dan metode elektroforesis zona kapiler. Metode-metode
tersebut memiliki kelemahan dan keuntungannya masing - masing seperti faktor biaya, waktu
analisis, sensitivitas dan selektivitas. Selain itu pula metode preparasi sampel akan sangat
mempengaruhi hasil analisis karena keberadaan atenolol yang berada pada matriks biologi sehingga
membutuhkan teknik preparasi yang tepat untuk meningkatkan akurasi dari pembacaan alat.
Molecularly imprinted polymers (MIPs) adalah cara yang efektif untuk mengekstrak atau pra-
konsentrat target analit dari matriks kompleks sebelum analisis. MIP mempunyai kemampuan yang
selektif dalam mengisolasi senyawa spesifik atau analog strukturalnya dari matriks yang kompleks.

Kata kunci : analisis, atenolol, Molekular imprinting polimer, metode preparasi

Abstract

Atenolol is a β-adrenaceptor antagonist drugs, also known as β1-blockers used for the treatment of
heart diseases, such as angina pectoris, hypertension, arrhythmia, and moicard infarction (heart
attack), and others. However, atenolol is also thought of as doping for altet because it has effects
that can reduce heart rate, hand tremor, and also reduce anxiety (anti ansietas) during the game.
Until now many methods have been used such as chromatograpi, potentiometer, voltametri and
electroforesis method. This method has its own disadvantages and advantages such as cost factor,
timing analysis, sensitivity and selectivity. In addition, the sample preparation method will greatly
influence the results of the analysis because of the presence of atenolol that is on the biological
matrix, so it requires proper preparation techniques to improve the reading result of the tool.
Molecular Imprinting Polymer (MIPs) are an effective way to extract or pre-concentrate an
analytical target from a complex matrix before analysis. MIP has a selective ability in isolating or
its structural analogs from complex matrices.

Keyword : analysis, atenolol, Molecularly Imprinted Polymer, Preparation method.

Farmaka

Volume 15 Nomor 3

1. Pendahuluan

Atenolol,atau dikenal juta sebagai 4-[2hydroxy3[(1methylethyl)amino]propoxy] benzeneacetamide,


merupakan obat golongan β blocker yang digunakan secara tunggal atau pun kombinasi untuk
pengobatan hipertensi, angina pectoris, aritmia, dan infark miokard. Namun, atenolol juga dianggap
sebagai doping bagi atlet karena memiliki efek yang dapat mengurangi tekanan darah sistolik dan
diastol. Hingga saat ini metode pengujian atenolol adalah kromatografi massa nano-cair-
spektrometri massa, metode potensiometer, metode voltametri voltase diferensial, kromatografi
lapis tipis berkinerja tinggi, kromatografi cair kinerja fase balik dengan detektor UV, metode
voltametri, kromatografi cair kinerja tinggi tandem spektrometri massa, elektroforesis zona kapiler.
Tetapi metode-metode tersebut memiliki beberapa kelemahan seperti biaya yang tinggi, waktu
38
analisis yang lama, dan sensitivitas serta selektivitas yang rendah. Dengan demikian, perlu
dikembangkan metode yang efektif untuk penentuan obat ini. Saat ini berkembang preparasi sampel
dengan menggunakan SPE yang spesifik yaitu pembentukan molecular imprinting polymer, dengan
penggunaan metode preparasi ini diharapkan dapat mengurangi beberapa kelemahan di atas.
Metode preparasi MIP ini memungkinkan penetapan kadar analyt yang dapat dilakukan dengan
penggunaan HPLC yang umum terdapat di setiap institusi.
Molecularly Imprinted Polymers (MIPs) adalah cara yang efektif untuk mengekstrak atau
pra-konsentrat target analit dari matriks kompleks sebelum analisis [13]. MIP adalah bahan sintetis
yang dirancang untuk memiliki selektivitas yang ditentukan untuk target molekuler yang telah
ditentukan, dan dapat disintesis dengan perakitan sendiri melalui ikatan non-kovalen atau kovalen
[11] kompleks pra-polimerisasi antara molekul dan monomer fungsional yang sesuai dalam
porogen yang sesuai. Kompleks pra-polimerisasi kemudian dipolimerisasi dengan bantuan
crosslinker, setelah itu templatenya hilang. Pengambilan template dapat dilakukan dengan prosedur
ekstraksi sederhana, atau pemutusan secara kimia, tergantung pada jenis interaksi antara template
dan monomer. Polimer berpori yang memiliki situs pengenalan khusus, bentuk, ukuran dan fungsi
komplementer, terhadap molekul template, atau analog struktural yang memiliki struktur yang
mirip [11]. Review ini bertujuan untuk melihat melihat pengaruh penggunaan MIP untuk preparasi
atenolol dalam sediaan biologis.

1.1 Atenolol

Atenolol, atau dikenal juga sebagai 4-[2-hydroxy-3-[(1methylethyl)amino]propoxy]


benzeneacetamide, merupakan obat golongan β blocker yang digunakan secara tunggal atau pun
kombinasi untuk pengobatan hipertensi, angina pectoris, aritmia, dan infark miokard. Obat ini
bekerja dengan mekanisme penyekat β1-adenoreseptor yang selektif bekerja pada reseptor β1 di
jantung. Waktu paruh eliminasinya dari tubuh sekitar 6 jam, dengan dosis yang lazim diberikan
yaitu 25-100 m perhari . Atenolol adalah suatu senyawa aminoalkohol dan relatif polar hidrofilik.
Secara fisik atenolol berupa serbuk putih atau hampir putih, tidak berbau, atau hampir tidak berbau
dengan nilai pKA 9,6, kelarutan dalam air 26,5 mg/ml pada 37oC, dan log koefisien partisi
(oktanol ; air) adalah 0,2. Atenolol ini mudah larut dalam HCl 1M (300 mg/ml pada 25 oC dan
sedikit larut dalam kloroform (3 mg/ml pada 25oC).

I.1.1 Penyalahgunaan Atenolol

β-Blockers / β-antagonists / β-adrenergic blocking agents / β-adrenergic antagonists merupakan


obat yang digunakan secara luas untuk pengobatan penyakit-penyakit jantung. Banyak atlet-atlet
yang menggunakan β-blockers untuk mengurangi denyut jantung, tremor pada tangan, dan juga
mengurangi kecemasan (anti ansietas) selama pertandingan berlangsung. Karena itulah β-blockers

39
dianggap sebagai doping dan dilarang penggunaannya oleh atlet selama pertandingan. Konsentrasi
maksimum kadar urin yang diizinkan adalah 0.5 μg/mL dan ini telah ditetapkan oleh World Anti-
Doping Agency (WADA). Obat-obat β-blockers tidak benar-benar dieliminasi dari tubuh sehingga
sering diekresikan dalam air seni setelah terapi. Akibatnya, timbul kekhawatiran terjadinya efek
samping jangka panjang dan efek kronis dari obat ini kepada manusia dan ekosistem. Salah satu
golongan obat β-adrenergik yang sering disalahgunakan adalah atenolol.

I.1.2 Metode Pengujian Atenolol

Sampai sejauh ini, telah dilaporkan beberapa metode yang dapat digunakan untuk penentuan
atenolol, di antaranya kromatografi massa nano-cair-spektrometri massa, metode potensiometer,
metode voltametri voltase diferensial, kromatografi lapis tipis berkinerja tinggi, kromatografi cair
kinerja fase balik dengan detektor UV, metode voltametri, kromatografi cair kinerja tinggi tandem
spektrometri massa, elektroforesis zona kapiler, dan teknik lainnya. Sebagian besar pengujian
atenolol menggunakan HPLC, hal ini dikarenakan kelebihannya dibandingkan teknik lainnya
termasuk ketepatan, kepekaan, ketahanan, dan sebagainya yang sangat baik.

I.2. Molecularly Imprinted Polymer (MIP)

Molecularly Imprinted Polymer (MIP) merupakan teknik yang dikembangkan untuk membuat
polimer yang memiliki sifat pengenalan molekul terhadap analit, senyawa analog dan enantioner
tunggal. MIP dibuat dengan mencampurkan molekul template dengan monomer fungsional,
crosslinker, dan inisiator dalam pelarut yang sesuai biasanya berupa pelarut aprotik dan nonpolar.

40
Gambar 1. Gambaran skematik proses pembentukan molekuler iprinting

(Mariana R. Et., al 2016)

Beberapa variable dari proses imprinting dapat memengaruhi selektivitas dan kapasitas pengikatan
dari MIP. Interaksi antara molekul template, monomer fungsional dan crosslinker, seperti ikatan
hydrogen dan elektrostatik/gaya van der walls, diperlukan untuk membentuk jarak molekular
dengan reseptor. Morfologi polimer dan selektivitas dari MIP dipengaruhi oleh konsentrasi dan
stoikiometri dari template/monomer fungsional. Selama proses polimerasi, pemisahan fase
dipengaruhi oleh suhu dan porogen yang digunakan dalam proses, yang akan menentukan
morfologi dari polimer, porositas, dan aksesbilitas dari lokasi pengikatan. Hal ini juga
mempengaruhi interaksi antara gugus fungsidan molekul template. Selektivitas dan kapabilitas MIP
bergantung juga pada sensitivitas suhu dari keseimbangan ikatan antara monomer fungsional dan
templet.

I.2.1. Jenis Ikatan MIP

Jenis ikatan yang digunakan dalam penggunaan molekuler imprinting ada dua, yaitu kovalen dan
nonkovalen. Energi ikatan pada beberapa jenis ikatan pada pendekatan non kovalen sangat lemah
dibandingkan ikatan kovalen. Desain dan sistensi pada imprint yang berhasil membutuhkan dasar
pengertian pada gaya fundamental yang mengarah ke self-assembly pada template dengan monomer
dan pengikatan kembali ligan pada MIP akhir. Untuk ikatan nonkovalen, interaksi yang paling
penting adalah gaya Van der Waals (VDW), ikatan hidrogen, interaksi ionik, dan gaya hidrofobik.

I.2.2. Teknik Preparasi MIP

I.2.2.1 Template

Template adalah hal penting yang mengarahkan kelompok fungsional yang tergantung dengan
monomer fungsional dalam semua proses molecular imprinting. Kebanyakan MIP menggunakan
molekul organik kecil sebagai template. Terdapat pula prosedur khusus untuk senyawa organik
yang lebih besar, misalnya protein dan sel. Struktur imprinting yang jauh lebih besar masih menjadi
tantangan. Alasan utama adalah template yang lebih besar kurang kaku dan dengan demikian tidak
memfasilitasi pembuatan rongga pengikat dengan baik selama proses pencetakan.

I.2.2.2. Monomer

41
Monomer fungsional dipilih dengan sangat hati-hati karena merupakan salah satu hal terpenting
untuk pembentukan interaksi template dan substrat. Untuk nonkovalen imprinting, rasio optimal
template atau monomer dapat dicapai secara empiris dengan evaluasi beberapa polimer yang dibuat
dengan formulasi yang berbeda dengan meningkatnya template.

Dari mekanisme secara umum pembentukan sisi ikat MIP, monomer fungsional bertanggung jawab
untuk interaksi ikatan dalam sisi ikatan imprinted, dan untuk prosedur molecular imprinting non
kovalen, biasanya digunakan jumlah mol yang relatif berlebihan. Untuk mendukung pembentukan
monomer fungsional dengan template, hal yang terpenting untuk menyesuaikan fungsi template
dengan monomer secara komplementer (misal ikatan H-donor dengan ikatan H-akseptor) untuk
memaksimalkan pembentukan kompleks dan efek imprinting.

I.2.2.3. Crosslinker

Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi selektivitas sorben MIP, salah satunya adalah jenis
dan jumlah agen pengikat silang (cross-linking agent) yang digunakan pada proses polimerisasi.
Cross-linker berperan dalam mengontrol morfologi matriks polimer, menstabilkan situs ikatan, dan
menjaga kestabilan mekanik. Kesesuaian jumlah cross-linker sangat diperlukan untuk menjaga
stabilitas dari rongga dan matriks polimer. Derajat crosslinking yang terlalu tinggi, dapat
menyebabkan kapasitas dari polimer menurun dan difusi substrat ke dalam situs pengenalan
terganggu selama proses rebinding. Sementara itu, apabila derajat crosslinking terlalu rendah, maka
spesifisitas ikatan dari MIP dapat menurun.

I.2.2.4. Pelarut Porogen

Pelarut porogen memiliki peran yang penting dalam pembentukan struktur pori MIP, karena sifat
dan tingkat pelarut porogenik menentukan kekuatan interaksi non-kovalen, memengaruhi
bentuk/morfologi polimer, dan secara langsung memengaruhi kineja MIP[11]. Pemilihan pelarut ini
didasarkan pada :

1. Molekul template, inisiator, monomer, dan crosslinker harus larut dalam pelarut porogenik,
2. Pelarut porogeik harus menghasilkan pori-pori, untuk menjaga sifat aliran yang baik

melalui polimer yang dihasilkan, dan

3. Pelarut porogeik harus memiliki polaritas yang relatif rendah.

I.2.2.5. Inisiator

Inisiator dengan sifat kimia yang berbeda dapat digunakan sebagai sumber radiasi dalam polimerasi
radikal bebas. Inisiator digunakan untuk mendukung pembentukan monomer fungsional dengan
monomer [11]. Pada penelitiannya Jinyang Yu, et. Al. 2010 dan Homayon A. Et. Al. 2014
42
menggunakan 2,2’-azobisisobutyronitrile (AIBN) sebagai inisiator dalam pembuatan MI-SPE
atenolol [13,14].

I.2.3. Metode Sintesis MIP


Terdapat 2 metode yang dapat digunakan untuk pembuatan MIP yaitu metode ruah dan metode
pengendapan. Metode ruah merupakan metode yang banyak digunakan dalam sintesis MI-SPE
karena cepat, sederhana, serta tidak membutuhkan keahlian khusus atau instrumen canggih dalam
pembuatannya. Produk yang dihasilkan memerlukan proses penggerusan dan pengayakan sebelum
digunakan. Proses penggerusan selain menghabiskan banyak waktu juga dapat merusak sejumlah
situs ikatan serta mengurangi kemampuan pengenalan molekul dan selektivitas dari polimer yang
diperoleh dari metode polimerasi pengendapan yang merupakan alternatif lain dalam pembuatan
MIP. Pada dasarnya, metode pengendapan menggunakan reaksi pencampuran dengan metode ruah,
kecuali penggunaan pelarut porogen yang lebih banyak. Partikel yang seragam dapat diperoleh
dengan menggunakan metode ini, di mana proses pembentukan rantai polimer terus tumbuh sampai
ukurannya lebih besar hingga menjadi tidak larut dalam reaksi campuran. Selanjutnya, butiran
partikel polimer dengan mudah diperoleh dengan pencucian dan sentrifugasi. Teknik ini mudah dan
membutuhkan waktu yang lebih singkat daripada metode ruah dan menghasilkan butiran yang
teratur dalam jumlah besar.

I.2.5. Evaluasi MIP

Evaluasi MIP dilakukan dengan menggunakan parameter ikatan yang dapat diperkirakan dari ikatan
isoterm oleh aplikasi pada beberapa model matematika (model disecrete Langmair dan continous
Freundlich adalah yang paling sering diterapkan) dan kinetika reaksi pada proses absorbsi dalam
sistem batch. Isoterm adsorbsi berguna untuk memahami interaksi antara absorbat dan absorben dan
memperkirakan beberapa parameter. Isoterm ini menunjukan hubungan antara konsentrasi absorbat
dalam larutan dan jumlah absorbat yang teradsorbsi pada polimer ketika berada pada
kesetimbangan. Model yang sering digunakan untuk menjelaskan isoterm adsorbsi adalah Langmuir
dan Freudich.

II. Metode

43
Referensi yang digunakan pada review jurnal tentang moleklar imprinting polimer untuk
pengujian atenolol ini adalah jurnal-jurnal penelitian tentang atenolol, Molekular imprinting
polimer dan penggunaan MIP untuk pengujian atenolol dari berbagai sumber internasional. Kriteria
inklusi pada review jurnal ini adalah jurnal internasional tentang atenolol, Molekular imprinting
polimer dan penggunaan MIP untuk pengujian atenolol dari sepuluh tahun terakhir (2007-2017).
Jumlah studi yang digunakan untuk hasil dan pembahasan review jurnal ini adalah kurang lebih
sebanyak 20 jurnal.
III. Hasil

Berikut ini adalah hasil perbandingan penggunaan SPE terhadap beberapa obat dari

golongan β bloker :

Gambar 2. Rata-rata perolehan kembali β-blockers pada beberapa macam jenis SPE (Warunya

B, et. Al., 2014)

44
Gambar 3. Design komputerisasi struktur dari kompleks atenolol dan MAA menunjukkan

adanya ikatan hidrogen (ikatan non kovalen). (Jinyang Yu, et. Al. 2010).

Gambar 4. Morfologi dari MIPs telah diuji dengan menggunakan SEM

(Scanning Electron Microscope ) (Jinyang Yu, et. Al. 2010).

Gambar 5, Pengujian selektifiitas MIP terhadap senyawa analognya (Jinyang Yu, et.

Al. 2010)

Tabel 1 Pengujian atenolol pada beberapa sampel berbeda (Hamayon A.P., et al.
2014) Konsentrasi Penambahan Kadar yang
45
Recovery LOD
Sampel atenolol atenolol diperoleh RSD
(%) (mg/L)
(mg/L) (mg/L) (mg/L)

Tablet 4 - 3,81±0,42 95,3 5,65 0,04

Urin - 4 3,84±0,23 96,0 3,19 0,03

Plasma - 4 3,60±0,31 89,9 4,86 0,05

Tabel 2 Pengujian atenolol pada urin dengan konsentrasi yang berbeda

(Warunya B, et. al., 2014)

Konsentrasi atenolol yang


Recovery (%)
ditambahkan (µg/mL)

10 98±6

50 97±4

100 99±2

IV. Hasil

Pengujian atenolol yang digunakan sebagai doping umumnya berada dalam matriks sampel
yang rumit seperti cairan biologi. Beberapa metode preparasi sampel telah dikembangkan untuk
tujuan bioanalitik dan membersihkan sampel dari matriksnya dan prakonsentrasi, seperti ekstraksi
pelarut (yaitu, ekstraksi cair cair (LLE), ekstraksi fase padat (SPE), phasemicroextraction padat
(SPME). Dan dalam beberapa penelitian SPE telah terbukti menjadi metode preparasi sampel yang
efektif untuk menghilangkan gangguan dari matriknya secara selektif, sehingga metode selanjutnya

46
seperti pemisahan kromatografi akan mendapatkan hasil yang sensitif, selektif, dan robust. Metode
SPE yang sering digunakan diantaranya fase terbalik, fase normal dan penukar ion, saat ini
molecular imprinting merupakan metode SPE yang saat ini dikenal memiliki selectivitas yang
tinggi. Warunya B, et. Al., 2014 telah melakukan penelitian terhadap retensi dan selektivity macam-
macam SPE terhadap golongan obat β bloker. Gambar 2 menunjukkan bahwa penggunaan MI-SPE
merupakan metode preparasi sampel yang paling efektif dalam pengujian β bloker menggunakan
SPE. Pengujian meliputi ekstraksi fase terbalik, fase normal dan penukar ion serta MIP, di mana
hasilnya adalah Efisiensi recovery SPE yg digunakan: SupelMIP > Plexa PCX > Oasis MCX >
Oasis HLB > Plexa > Plexa PAX > Oasis MAX. Pengujian juga menggunakan cairan biologis
(urin) untuk melihat efektivitas dari SPE yang telah dioptimasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
diantara metode preparasi SPE lainnya MIP memiliki hasil yang lebih efektif.

Jinyang Yu, et. Al. Jinyang telah melakukan simulasi komputer untuk mengetahui jenis
ikatan yang tebentuk antara monomer dengan template (gambar 3). Dari hasil simulasi komputer
menunjukan bahwa terjadi ikatan hidrogen (ikatan nonkovalen) antara monomer dengan template.
Dimana penelitian ini menggunakan asam metakrilat (MAA) sebagai monomer fungsional dan
Trimetilpropan trimetakrilat (TRIM) sebagai crosslinker.

Pembentukan MIP dengan metode pengendapan juga diketahui merupakan metode yang
paling efektif dibanding dengan metode ruah. Hal ini dimungkinkan karena pada metode ruah
dilakukan penggerusan yang diperkirakan dapat menyebabkan kerusakan banyak situs aktif dan
ketidak beraturan bentuk partikel, sehingga mengurangi kemampuan adsorbs dari sorben. Pada
metode pengendapan tidak ilakukan penggerusan sehingga situs aktif terjaga, selain itu partikel
yang dihasilkan memiliki ukuran yang seragam dengan diameter yang kecil sehingga meningkatkan
luas permukaan partikel yang berguna dalam mengoptimalkan terjadinya absorbs. Gambar 4
menunjukan mikrosker yang seragam yang dibuat dengan metode penggendapan (ukuran
partikelnya seragam dengan diameter sekitar 0.6μm) yang dilihat dengan menggunakan SEM.

Pengujian selektifitas diperlukan untuk memastikan bahwa metode cukup selektf untuk
pengujian obat yang diinginkan. Dari gambar 6 terlihat bahwa jumlah ikatan atenolol dan MIP jauh
lebih tinggi (hasil yang diperoleh >90%) dibanding propranolol, pindolol atau alprenolol. Hal ini
dapat dijelaskan karena adanya polimerasi dari larutan yang mengandung komplek supra-molecular
dari monomer fungsional dan template. Dari hasi review beberapa jurnal diperoleh bahwa
selektifitas penggunaan monomer dengan template atenolol selektif hanya ntuk atenolol.

Dilakukan pula penelitian terhadap pengaruh matriks terhadap pengujian atenolol, Hamayon
A.P., et all. 2014 melakukan penelitian terhadap pengaruh matriks terhadap atenolol dengan
menggunakan 3 matriks yang berbeda, dimana sampel di spike ke dalam bentuk matriknya

47
diantaranya tablet, urin dan plasma. Tabel 1 menunjukan hasil recovery untuk atenolol pada matriks
yaitu 89.9% pada plasma darah, 96.0% pada urin,dan 95.3% pada tablet [14]. Warunya B, et. Al.,
2014 telah melakukan pengujian untuk perolehan kembali atenolol yang ditambahkan ke dalam urin
dalam beberapa konsentrasi, hasil penelitian menunjukan bahwa perolehan kembali atenolol dengan
penggunaan MIP dengan variasi konsentrasi menunjukan hasil yang baik yaitu > 90% dengan
koefisien korelaasi 0,9995 dan nilai LOD dan LOQ masing-masing 2,0 µg/mL dan 6,7 µg/mL (tabel
2). Perlu digarisbawahi bahwa hasil recovery yang diperoleh di dapat dengan menggunakan
monomer yang berbeda, namun dapat dilihat bahwa penggunaan MIP unuk pengujian atenolol di
dalam matriks (tablet dan cairan biologi) memberikan hasil perolehan kembali yang tinggi.

V. Kesimpulan
Molekular imprinting polimer merupakan metode preparasi yang menujukan hasil yang selektif dan
sensitive terhadap atenolol. Hingga saat ini telah banyak metode pengujian atenolol yang
digunakan, Tetapi metode-metode tersebut memiliki beberapa kelemahan seperti biaya yang tinggi,
waktu analisis yang lama, dan sensitivitas serta selektivitas yang rendah. Selain itu pula keberadaan
obat dalam senyawa biologis akan mempengaruhi hasil analisis. Dari hasil review, metode
molecular imprinting merupakan metode yang efektif digunakan dalam pengujian atenolol di dalam
matriks biologi Karena memiliki selektifitas yang tinggi dibandingkan senyawa analognya dan juga
memiliki nilai recovery yang tinggi. Sehingga pengujian selanjutnya dapat dilakukan dengan HPLC
konvensional.

Ucapan Terima Kasih

Penulis menyampaikan terima kasih kepada ibu Dr. Aliya Nur Hasanah, M.Si.,Apt, selaku dosen
pembimbing atas kritik, saran, dan kesediaannya dalam menelaah artikel ini.

Daftar Pustaka

Antonia Maria Carro-Diaz and Rosa, Antonia Lorenzo-Ferreira. Molecularly Imprinted Polymers for
Sample Preparation. Handbook of Molecularly Imprinted Polymers.

Arias, R.; Jimenez, R.M.; Alonso, R.M.; Telez, M.; Arrieta, I.; Flores, P.; Ortiz-Lastra, E.

Determination of the β-blocker atenolol in plasma by capillary zoneElectrophoresis. J.

Chromatogr. A 2001, 916, 297-304.

48
Argekar, A.P.; Powar, S.G. Simultaneous determination of atenolol and amlodipine intablets by

high-performance thin-layer chromatography. J. Pharm. Biomed. Anal. 2000, 21, 1137-

1142.

Arvand, M.; Vejdani, M.; Moghimi, M. Construction and performance characterizationof an ion

selective electrodeforpotentiometric determination of atenolol inpharmaceutical

preparations. Desalination 2008, 225, 176-184.

A. Martı´n-Esteban. 2013. Molecularly-imprinted polymers as a versatile, highly selective tool in

sample preparation. Trends in Analytical Chemistry, Vol. 45, 2013

Beltran et. Al., 2010

B. Rezaei, S. Mallakpour and O. Rahmanian. 2010. Application of Molecularly Imprinted Polymer

for Solid Phase Extraction and Preconcentration of Hydrochlorothiazide in

Pharmaceutical and Serum Sample Analysis. J. Iran. Chem. Soc., Vol. 7, No. 4, December

2010, pp. 1004-1011.

Cervini, P.; Antonio Ramos, L.; Tadeu, E.; Cavalheiro, G. Determination of atenolol ata

graphite–polyurethane composite electrode. Talanta 2007, 72, 206-209.

D’Orazio, G.; Fanali, S. Use of teicoplanin stationary phase for the enantiomeric resolution of

atenolol in human urine by nano-liquid chromatography–mass spectrometry. J. Pharm.

Biomed. Anal. 2006, 40, 539-544.

Giuseppe V., Roberta D. S., Lucia M., Maria R. L., Anna S.,Sonia S.dan Giuseppe M. 2011.

Molecularly Imprinted Polymers: Present and Future Prospective. Int. J. Mol. Sci. 2011, 12,

5908-5945

Goyal, R.N.; Gupta, V.K.; Oyama, M.; Bachheti, N. Differential Pulse Voltammetric

Determination Of Atenolol In Pharmaceutical Formulation And Urine Using Nanogold

Modified Indium Tin Oxide Electrode” Eletrochem Commun. 2006,8,65-70.

Goyal, R.N.; Singh, S.P . Voltammetric Determination Of Atenolol At C60-Modifiedgglassy

Carbon Electrodes. Talanta 2006, 69,932-937.12.

49
Hennion, 1999. Solid-phase extraction: method development, sorbents, and coupling with liquid

chromatograply. J Chromatogr A. 1999 sep 24;856(1-2):3-54

Homayon A.P., Elham M., Mohsen A. & Leile H. 2014. Selective sorption and Determination

of atenolol in pharmaceutical and biological samples by molecular imprinting using new

copolymer beads as functional matrix. Journal of liquid chromatography & related

technologies.

H. Yan and K. H. Row. 2006. Characteristic and Synthetic Approach of Molecularly

Imprinted Polymer. Int. J. Mol. Sci. 2006, 7, 155-178

Hongyuan Yan and Kyung Ho Row. 2008. Molecularly Imprinted Solid-Phase Extraction for

Determination of Enrofloxacin and Ciprofloxacin in Chicken Muscle. Bull. Korean

Chem. Soc. 2008, Vol. 29, No. 6 1173

Jinyang Y, Xiaoling H, Renyuan S, Shan X. 2011. Molecularly Imprinted Polymer

Microspheres PreparedbyPrecipitation Polymerization for Atenolol Recognition.

Advanced Materials Research Vols. 148-149 (2011) pp 1192-1198

Kevin D. C., Cheng Z., and Jared L. A. 2016. Sample Preparation for Bioanalytical and

Pharmaceutical Analysis. Anal. Chem. 2016, 88, 11262−11270

Mcainsh, J. (1977). Pharmacokinetics atenolol.Postgrad. med. J., 53, (Suppl. 3) 74-78.

Mehdi K., Farhad A. 2010. Computer-assisted design and synthesis of molecularly imprinted

polymers for selective extraction of acetazolamide from human plasma prior to its

voltammetric determination.

Nikolai, L.N.; McClure, E.L.; MacLeod, S.L.; Wong, C.S. Stereoisomerquantification of the β-

blocker drugs atenolol, metoprolol, and propranolol inwastewaters by chiral high-

performance liquid chromatography–tandem massspectrometry. J. Chromatogr. A 2006,

1131, 103-109.

O. Kamp, G. T. Sieswerda and C. A. Visser: Comparison of Effects on Systolic and Diastolic

Left Ventricular Function of Nebivolol Versus Atenolol in Patients With Uncomplicated

Essential HypertensionAm. J. Cardiol. Vol. 92 (2003), p. 334.

50
Rachel W. 2010. Development and Characterisation of Molecularly Imprinted Suspension

Polymers.

Robert J. U., Sarah C. B., Yizhao C., Ripal N. S., dan Ken D. S. 2001. Characterization of

Molecularly Imprinted Polymers with the Langmuir-Freundlich Isotherm. Anal. Chem.

2001, 73, 4584-4591

Sergey dan Anthony, 2006. Molecular imprinting of polymers

Venkatesh, G.; Ramanathan, S.; Mansor, S.M.; Nair, N.K.; Munavvar, A.S.; Croft, S.L.;

Navaratnam, V. Development and validation of RP-HPLC-UV method for simultaneous

determination of buparvaquone,atenolol, propranolol, quinidine and verapamil: A tool

for the standardization of rat in situ intestinal permeability studies. J. Pharm. Biomed.

Anal. 2007, 43, 1546-1551.

Warunya B., Hana S., Francisco J. L., Ana M. G. C & Petr S. 2014. Retention and selectivity of

basic drugs on solid-phase extraction sorbents: Application to direct determination of β-

blockers in urine. Anal Bioanal Chem (2014) 406:4207–4215

Xiao-Shui Li, Gang-Tian Zhu, Yan-Bo Luo, Bi-Feng Yuan, Yu-Qi Feng. 2013. Synthesis and

applications of functionalized magnetic materials in sample preparation. Trends in

Analytical Chemistry, Vol. 45, 2013

51
52
53
54

Anda mungkin juga menyukai