Anda di halaman 1dari 67

Penapisan Senyawa untuk Kandidat Inhibitor Protease HIV

Isolat Indonesia Menggunakan Dimer-based Screening System


(DBSS)

SKRIPSI SARJANA

Disusun oleh:
NAMA: Miftahul Faridl
NIM: 10416032

PROGRAM STUDI MIKROBIOLOGI


SEKOLAH ILMU & TEKNOLOGI HAYATI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2020

i
LEMBAR PENGESAHAN

Penapisan Senyawa untuk Kandidat Inhibitor Protease HIV Isolat Indonesia


Menggunakan Dimer-based Screening System (DBSS)

Tugas yang diambil untuk memenuhi ketentuan yang berlaku dalam menempuh
studi tingkat Sarjana Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi
Bandung

Oleh
Miftahul Faridl
10416032

Diperiksa dan disetujui oleh,


Dosen Pembimbing

Azzania Fibriani, Ph.D.


NIP. 19771205 201012 2 002

Mengetahui,
a.n. Dekan Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati
Ketua Program Studi Mikrobiologi SITH ITB

Dr. Intan Taufik


NIP. 19750228 200812 1 001
KATA PENGANTAR

Pada tahun 2020, epidemi HIV/AIDS global hampir memasuki dekade yang
kelima. Meskipun perkembangan teknologi di bidang kesehatan dan farmasi telah
berhasil meningkatkan taraf hidup dan angka harapan hidup pada pasien, namun
kasus kematian akibat HIV/AIDS tiap tahunnya masih bertambah. Pasien yang
terus bertahan hidup juga harus berjuang menghadapi diskriminasi sosial dan
stigma buruk dari masyarakat. Oleh karena itu, penulis mendedikasikan penelitian
ini bagi seluruh orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Penulis berharap penelitian ini
dapat menjadi bagian dari usaha besar dalam mengakhiri epidemi HIV/AIDS.

Penyelesaian tugas akhir ini tidak terlepas dari dukungan banyak sekali pihak yang
telah membantu penulis, di antaranya:
1. Keluarga penulis, terutama kedua orang tua, yang selalu memberikan
dukungan moral dan kasih sayang
2. Azzania Fibriani, Ph.D. sebagai dosen pembimbing yang selalu terbuka
dalam berdiskusi dan memberi arahan dalam menyelesaikan penelitian
3. Prof. Yana Maolana Syah, Ph.D atas set senyawa ujinya sehingga penelitian
ini dapat diselesaikan dengan baik
4. Jeremia Oktavian Chrisnanto sebagai rekan saya di riset DBSS yang tiap
saat menyelesaikan pekerjaan laboratorium bersama dan memberi banyak
masukan penelitian
5. Teman-teman Mikrobiologi 2016 atas dukungan dan pengalaman berharga
sehingga saya selalu bersemangat menyelesaikan tugas akhir ini

Penulis sangat bersyukur atas dukungan dari pihak-pihak tersebut di atas dan
banyak pihak lainnya sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dalam waktu yang
tepat. Selain itu, penulis sangat terbuka atas masukan dan saran sehingga penelitian
dan tulisan ini dapat dikembangkan dengan lebih baik lagi.
Bandung, 1 Juni 2020

Miftahul Faridl

iii
ABSTRAK
Terapi antiretroviral (ART) penting untuk menjaga tingkat harapan hidup orang
dengan HIV/AIDS dengan menurunkan titer virus di dalam darah menjadi tidak
terdeteksi. Kasus resistensi virus terhadap regimen ART menyebabkan penapisan
dan pengembangan obat yang lebih lanjut penting untuk dilakukan. Sebelumnya
telah dikembangkan dimer-based screening system (DBSS) untuk penapisan
senyawa dengan aktivitas inhibisi dimerisasi protease HIV isolat Indonesia (HIV
Id) dengan melakukan fusi gen protease HIV dengan domain pengikatan DNA dari
gen regulator AraC. Dimerisasi protease HIV menyebabkan aktifnya protein AraC
sehingga menghambat ekspresi gen pelapor EmGFP yang diregulasi oleh promoter
AraC. Namun pada penelitian tersebut di atas belum dilakukan validasi dan
implementasi lebih lanjut. Dalam penelitian ini akan dilakukan validasi konstruksi
dan ekspresi protease HIV-Id, serta implementasi sistem DBSS yang telah
dirancang sebelumnya. Validasi konstruksi plasmid dilakukan dengan metode
Polymerase Chain Reaction (PCR) dan sekuensing DNA. Analisis ekspresi HIV-Id
dalam protein fusi dilakukan dengan metode Sodium Dodecyl Sulfate-
Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE). Implementasi sistem DBSS
dilakukan dengan menggunakan 8 senyawa uji, menggunakan konstruksi plasmid
fusi gen AraC dan protease HIV Id tanpa pemberian senyawa sebagai kontrol
negatif dan konstruksi plasmid gen AraC tanpa fusi protease sebagai kontrol positif.
Senyawa-senyawa uji yang digunakan adalah CC-01, CC-07, CS-05, CS-07, CS-
08, CS-10, CS-12, dan CS-04a. Tiap senyawa diujikan pada konsentrasi 2, 4, 6, 8,
dan 10 ppm menggunakan pelarut DMSO. Pendaran gen pelapor diamati pada
eksitasi 475 nm dan emisi 500-550 nm.

Hasil PCR menujukkan pita DNA berukuran 1076 bp yang merupakan wilayah
amplifikasi gen fusi AraC dan protease HIV Id. Analisis sekuensing DNA
menujukkan similaritas 100% dengan konstruksi yang dirancang. Sementara itu,
ekspresi protein fusi berhasil dikonfirmasi dengan mendapatkan pita terduga
protein berukuran 24,2 kDa setelah elektroforesis SDS-PAGE total protein yang
diduga merupakan fusi HIV protease dengan protein regulator. Hasil pengukuran
fluoresensi relatif (fluoresensi dibagi absorbansi) menunjukkan senyawa CC-01

iv
dan CS-08 memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan kontrol negatif pada
seluruh konsentrasi. Hasil analisis docking molekuler menunjukkan senyawa CC-
01, yang diidentifikasi sebagai asam kalofolat D, membentuk interaksi hidrofobik
dengan domain dimerisasi pada Asp145 dan Ala148. Sementara itu, senyawa CS-
08, yang diidentifikasi sebagai asam kalolongoat metil ester, membentuk ikatan
hidrogen dengan domain dimerisasi Ala148. Oleh karena itu, kedua senyawa
tersebut berpotensi menjadi kandidat inhibitor protease HIV Id, sehingga perlu
dilakukan pengujian lebih lanjut.
Kata kunci: AraC, DBSS, dimerisasi, HIV, protease

v
ABSTRACT
Antiretroviral therapy (ART) is important in maintaining the life expectancy of
people with HIV/AIDS by reducing viral blood titer into its undetected level. Cases
of HIV resistance on ART regimens are causing the screening and development of
new drugs essential. Previously, the Dimer-based Screening System (DBSS) had
been developed to screen compounds with dimerization inhibitory activity of
Indonesian HIV isolate (HIV Id) protease by fusing the HIV Id protease gene with
DNA-binding domain of AraC regulator gene. Protease HIV dimerization activates
AraC protein to repress the expression of the reporter gene, EmGFP, which is
regulated under the AraC promoter. Thus far, the previous studies had not validated
and implemented the system for drug screening. This study validated the construct
and expression of HIV Id protease and implemented the DBSS system. The plasmid
construct was validated by using Polymerase Chain Reaction (PCR) method and
DNA sequencing. HIV Id protease within the fused protein was analyzed by using
Sodium Dodecyl Sulfate-Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE)
method. DBSS system implementation was done to screen eight test compounds by
using the plasmid construct of AraC and HIV Id protease fused genes without the
addition of compounds as the negative control, and AraC gene plasmid without
fused HIV Id gene as the positive control. The test compounds are CC-01, CC-07,
CS-05, CS-07, CS-08, CS-10, and CS-04a. Each compound was tested on 2, 4, 6,
8, and 10 ppm concentration by using DMSO as the solvent. The fluorescence of
the reporter gene was measured at 475 nm wavelength for excitation and 500-550
nm for emission.

PCR analysis showed 1076 bp of DNA band which indicated the amplification
region of AraC and HIV Id protease fused genes. DNA sequencing analysis showed
100% similarity with the constructed genes. Meanwhile, fused protein expression
was confirmed by observing a 24.2 kDa protein band on total protein SDS-PAGE
electrophoresis, predicted to be HIV Id protease fusion with regulator protein. The
results of relative fluorescence measurement (fluorescence divided by absorbance)
show that CC-01 and CS-08 had higher values relative to negative control on each
concentration. Molecular docking analysis showed that CC-01, identified as
kalofolat D acid, forms hydrophobic interaction with the dimerization domain at

vi
Asp145 and Ala148. Meanwhile, CS-08, identified as kalolongoat acid methyl
ester, forms hydrogen bonds with the dimerization domain at Ala148. Therefore,
the two compounds are potential as candidates for HIV Id protease inhibitor, thus
further testing is needed.

Keywords: AraC, DBSS, dimerization, HIV, protease

vii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........................................................................................ iii


Abstrak ..................................................................................................... iv
Abstract .................................................................................................... vi
Daftar Isi ................................................................................................ viii
Daftar Gambar ......................................................................................... x
Daftar Tabel ............................................................................................. xi
Daftar Lampiran ..................................................................................... xii
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 3
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................. 3
1.4 Kerangka Berpikir dan Hipotesis ........................................................... 4
Bab II Tinjauan Pustaka
2.1 Human Immunodeficiency Virus-1 (HIV-1) ........................................... 5
2.2 Siklus Hidup HIV-1 .............................................................................. 6
2.3 Protease HIV-1 ..................................................................................... 8
2.4 Dimer-based Screening System ........................................................... 10
Bab III Metodologi Penelitian
3.1 Alat ..................................................................................................... 14
3.2 Bahan.................................................................................................. 14
3.3 Metode Kerja ...................................................................................... 14
Bab IV Hasil dan Pembahasan
4.1 Konfirmasi Gen Fusi Protease HIV Id-AraCDBD ............................... 19
4.2 Konfrimasi Ekspresi Protease HIV Id-AraCDBD ................................ 24
4.3 Hasil Pengujian Senyawa .................................................................... 25
4.4 Hasil Analisis Docking Molekuler ....................................................... 30
Bab V Penutup
5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 36
5.2 Saran................................................................................................... 36
Daftar Pustaka ........................................................................................ 37

viii
Lampiran................................................................................................. 44

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Struktur genom HIV ................................................................ 6


Gambar 2.2 Tahap-tahap penempelan dan fusi virion HIV pada inang ........ 7
Gambar 2.3 Struktur homodimer protease HIV-1 ...................................... 10
Gambar 2.4 Sistem penapisan homodimer YycG Bacillus subtilis ............. 11
Gambar 2.5 Desain plasmid untuk DBSS (protease HIV Id-AraCDBD) .... 13
Gambar 3.1 Peta pelat mikrotiter 96-well untuk pengujian senyawa .......... 16
Gambar 4.1 Desain plasmid kontrol positif tanpa protease HIV Id ............ 19
Gambar 4.2 Elektroforegram amplifikasi PCR koloni ............................... 20
Gambar 4.3 Elektroforegram amplifikasi PCR plasmid ............................. 21
Gambar 4.4 Penyejajaran lokal hasil sekuensing gen fusi .......................... 22
Gambar 4.5 Penyejajaran lokal hasil sekuensing gen AraC tanpa fusi........ 23
Gambar 4.6 Elektroforegram SDS-PAGE total protein .............................. 24
Gambar 4.7 Hasil pengujian pendaran awal ............................................... 26
Gambar 4.8 Hasil pengujian senyawa ........................................................ 28
Gambar 4.9 Nilai fluoresensi relatif setelah normalisasi ............................ 30
Gambar 4.10 Struktur senyawa CC-01 dan CS-08 ..................................... 31
Gambar 4.11 5 struktur protein fusi hasil pemodelan oleh I-Tasser............ 32
Gambar 4.12 Superimposisi struktur protein fusi 4 .................................... 33
Gambar 4.13 Hasil analisis docking molekuler senyawa CC-01 ................ 34
Gambar 4.14 Hasil analisis docking molekuler senyawa CS-08 ................. 35

x
DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Nilai RMSD superimposisi 5 model protein fusi ........................ 33

xi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Larutan & Reagen ................................................................. 44


Lampiran B Campuran & Siklus PCR ....................................................... 46
Lampiran C Kromatogram Reverse Hasil Sekuensing DNA ...................... 47
Lampiran D Nilai Fs Senyawa Uji ............................................................. 48
Lampiran E Hasil Uji One-way ANOVA .................................................. 49
Lampiran F Uji Student s t-Test ................................................................ 51
Lampiran G Nilai Pendaran Relatif ........................................................... 55

xii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyebabkan Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS) berkembang sebagai epidemi global sejak
tahun 1980an dan menyebabkan sekitar 35 juta kematian hingga saat ini. Sejak
kasus infeksi HIV pertama yang teridentifikasi di pertengahan tahun 1981, jumlah
infeksi oleh HIV telah melebihi 70 juta kasus (del Rio, 2017). Tren kasus infeksi
baru dunia telah menurun sejak sekitar tahun 1998 karena upaya preventif yang
dilakukan. Selain itu, tren jumlah kematian terkait AIDS per tahunnya juga
menurun sejak tahun 2015 karena upaya perluasan akses obat-obatan terapi
antiretroviral atau antiretroviral therapy (ART) (del Rio, 2017; UNAIDS, 2018).
Sementara itu, tren kasus infeksi baru di Indonesia juga mengalami penurunan
dengan total infeksi hingga 2018 sebanyak 630 ribuan kasus. Namun, jumlah
kematian terkait AIDS di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 60% dalam
kurun waktu 2010 hingga 2018 sehingga total kematian mencapai 38 ribuan kasus
(UNAIDS, 2018). Menurut laporan UNAIDS (2019), pertumbuhan kasus kematian
ini disebabkan oleh rendahnya jumlah penderita (51%) yang mengetahui statusnya
serta hanya sekitar 33% yang aktif mengonsumsi obat-obatan ART.

Obat-obatan ART merupakan dosis kombinasi obat tertentu yang diberikan pada
orang dengan HIV untuk menekan level virus di darah menjadi tidak terdeteksi
sehingga tidak berkembang ke fase AIDS serta menularkan ke individu sehat
lainnya. Terapi lini pertama diberikan pada pasien setelah diagnosis positif dan
memenuhi syarat inisiasi terapi. Terapi lini pertama terdiri atas pemberian dua
senyawa golongan inhibitor reverse transcriptase (RT) golongan nukleotida seperti
tenofovir dan lamivudine, serta satu senyawa inhibitor RT golongan non-nukleotida
seperti efavirens atau inhibitor integrase (IN) seperti dolutegravir (World Health
Organization, 2019). Terapi lini kedua diberikan apabila terjadi kegagalan terapi
lini pertama akibat resistensi virus yang ditandai dengan rendahnya jumlah sel CD4,
naiknya jumlah virus (viral load) dalam darah, dan/atau timbulnya infeksi

1
oportunistik (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Terapi lini kedua meliputi
pemberian dua senyawa inhibitor RT seperti zidovudine dan lamivudine serta satu
jenis inhibitor protease (PI) seperti atazanavir dan ritonavir (Kementerian
Kesehatan RI, 2014; World Health Organization, 2019). Terapi lini ketiga diberikan
kepada pasien yang mengalami kegagalan terapi lini kedua. Namun, komponen
terapi lini ketiga seperti senyawa PI darunavir tidak termasuk dalam program
nasional sehingga ketersediaannya terbatas dan mahal (Kementerian Kesehatan RI,
2014). Selain itu, telah dilaporkan banyak kasus resistensi mutan terhadap
komponen PI di terapi lini ketiga ini (Koh et al., 2010). Oleh karena itu, sintesis dan
penapisan senyawa-senyawa golongan inhibitor protease HIV, terutama dari galur
rekombinan yang bersirkulasi di Indonesia perlu dilakukan.

Desain inhibitor protease HIV yang dilakukan selama ini, misalnya pada sintesis
senyawa darunavir (Yoshimura et al., 2002) dan ritonavir (Kempf et al., 1995),
didasarkan pada analisis interaksi senyawa dengan protease HIV terlebih dahulu,
kemudian seleksi dilakukan dengan melakukan berbagai uji pra-klinis seperti uji
secara in vitro pada lini sel yang ditransfeksi virus. Namun, metode penemuan
senyawa obat dengan cara seperti ini membutuhkan waktu lebih lama dengan
jumlah senyawa kandidat yang lebih sedikit. Sistem penapisan obat-obatan secara
high-throughput menggunakan sistem sel pada pelat mikrotiter dengan berbagai
jenis desain menjadi populer dalam dua dekade terakhir, serta menjadi standar yang
banyak digunakan dalam industri farmasi (S ma ski, Markowic , & Mikiciuk-
Olasik, 2012). Sistem penapisan high-throughput memungkinkan seleksi banyak
senyawa sekaligus sebelum dilakukannya rangkaian uji pra-klinis.

Salah satu metode penapisan secara high-throughput adalah penargetan protein


homodimer dengan menggunakan sistem prokariot transforman (Furuta et al., 2005;
Okada et al., 2007). Sistem ini melakukan fusi protein target homodimer seperti
reseptor histidin kinase YycG dari Staphylococcus aureus dengan domain
pengikatan DNA dari protein regulator FadR. Protein regulator ini berikatan dengan
promoter iclr sehingga meregulasi ekspresi gen pelapor EmGFP di bawahnya.
Sistem penapisan ini (Okada et al., 2007) kemudian diadaptasi pada penelitian

2
selanjutnya (Fibriani, Feraliana, Steven, Rahmita, & Rachman, 2018) dengan
menggunakan protein target protease HIV yang difusikan dengan protein regulator
domain pengikatan DNA AraC (AraCDBD). Selain itu, modifikasi dengan
menggunakan sekuens protease HIV isolat Indonesia (HIV Id) telah dibuat, namun
validasi sistem dan implementasinya untuk penapisan senyawa belum dilakukan.
Oleh karena itu, penelitian ini akan melakukan validasi konstruk vektor dan
ekspresi protein fusi serta melakukan penapisan beberapa senyawa menggunakan
sistem yang telah dibuat dengan protease HIV Id.

1.2 Rumusan Masalah


Desain plasmid dengan gen fusi protease HIV Id-AraCDBD telah berhasil
dilakukan. Selain itu, transformasi plasmid ke dalam Escherichia coli BL21 (DE3)
juga telah dilakukan pada penelitian sebelumnya. Validasi sistem ini untuk
digunakan dalam penapisan senyawa untuk kandidat inhibitor protease HIV Id
perlu untuk dilakukan. Oleh karena itu, masalah yang akan dijawab dalam
penelitian ini yaitu:
1.2.1 Apakah plasmid gen fusi protease HIV Id-AraCDBD telah sesuai dengan
desain?
1.2.2 Apakah urutan DNA gen fusi protease HIV Id-AraCDBD telah sesuai
dengan desain?
1.2.3 Apakah protein fusi protease HIV Id-AraCDBD dapat diekspresikan?
1.2.4 Apakah sistem DBSS dapat digunakan untuk melakukan penapisan
senyawa untuk kandidat inhibitor protease HIV Id?
1.2.5 Bagaimana interaksi senyawa uji dengan protease HIV Id?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan beberapa pertanyaan riset dan rumusan masalah di atas, maka tujuan
dari penelitian ini yaitu:
1.3.1 Melakukan validasi konstruksi dan ekspresi gen fusi protease HIV Id-
AraCDBD
1.3.2 Melakukan penapisan senyawa untuk kandidat inhibitor dimerisasi protease
HIV Id dengan DBSS

3
1.4 Kerangka Berpikir & Hipotesis
Konstruksi gen fusi dilakukan dengan melakukan insersi ke dalam plasmid
backbone pRSET di bawah kendali promoter T7. Gen di bawah kendali promoter
ini dapat diekspresikan secara berlebih bahkan secara basal tanpa induksi IPTG.
Transformasi ke dalam Escherichia coli BL21 (DE3) yang memiliki T7 polimerase
juga memungkinkan ekspresi gen fusi untuk dilakukan. Oleh karena itu, ekspresi
gen fusi berukuran 24,2 kDa ini dapat dilakukan dalam vektor E. coli BL21 (DE3).

Protease HIV merupakan protein homodimer simetris yang membentuk wilayah


katalitik apabila dimerisasi terjadi (Gulnik, Erickson, & Xie, 2000). Dimerisasi
protease HIV terjadi melalui dua tahap: interaksi wilayah situs aktif dan interaksi
wilayah termini. Dimerisasi awal terjadi karena interaksi residu di situs aktif yang
membentuk struktur dimer awal. Beberapa residu esensial untuk tahapan ini di
antaranya Asp25, Asp29, dan Arg27 (Ishima, Torchia, Lynch, Gronenborn, & Louis,
2003). Selanjutnya, struktur homodimer stabil terbentuk setelah terjadi interaksi
residu di wilayah termini. Residu nomor 1-5 dan 96-99 merupakan wilayah termini
yang berperan dalam penyetabilan dimer protease HIV (Pettit, Gulnik, Everitt, &
Kaplan, 2003).

Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang dikemukakan untuk tujuan


penelitian yaitu:
1.4.1 Konstruksi plasmid telah sesuai dengan desain serta gen fusi protease HIV
Id-AraCDBD dapat diekspresikan untuk DBSS.
1.4.2 Senyawa uji yang dapat menghambat dimerisasi protease HIV Id
berinteraksi dengan domain dimerisasi protease (situs aktif dan terminus).

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Human Immunodeficiency Virus-1 (HIV-1)


Human Immunodeficienxy Virus (HIV) merupakan virus dari famili Retroviridae
penyebab Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) pada manusia (Barré-
Sinoussi et al., 1983). Virus ini menargetkan infeksi pada sel T limfosit manusia
dan sel lainnya yang mengekspresikan reseptor CD4, CCR5, dan CXCR4
(Alkhatib, 2009). Infeksi HIV menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4 dalam
darah sehingga mengganggu sistem imun adaptif. Infeksi yang tidak ditangani
menyebabkan fase memasuki fase AIDS di mana infeksi oportunistik terjadi akibat
jumlah sel CD4 turun hingga kurang dari 200 sel/ml. Kemajuan infeksi HIV
menjadi AIDS umumnya terjadi setelah 11 tahun infeksi (Munoz et al., 1989).
Walaupun interval waktu yang lebih singkat dapat terjadi hingga satu bulan setelah
infeksi (Silva et al., 2010).

HIV terbagi atas dua kelompok utama yaitu HIV-1 dan HIV-2. Pembagian ini
didasarkan pada perbedaan susunan genetik yang cukup besar. HIV-1 merupakan
kelompok penyebab mayoritas infeksi di seluruh dunia (Nyamweya et al., 2013)
termasuk di Indonesia (Merati et al., 2012). Sementara itu, infeksi oleh HIV-2
hanya terkonsentrasi di wilayah Afrika Barat. Namun, HIV-2 memiliki laju infeksi
yang lebih rendah dengan kemungkinan kemajuan menjadi AIDS yang lebih kecil
dibandingkan infeksi oleh HIV-1. Penelitian mengenai HIV juga umumnya
didasarkan pada infeksi HIV-1 (Nyamweya et al., 2013). HIV-1 terbagi atas tiga
kelompok lagi yaitu M (main), O (outlier), N, dan P. Kelompok M menjadi
kelompok utama penyebab infeksi di dunia dan dibagi lagi menjadi sembilan
subtipe (A-D, F-H, J, & K). Beberapa subtipe rekombinan, yang dikenal sebagai
circulating recombinant form (CRF), juga diidentifikasi sebagai subtipe dari
kelompok M (Tebit & Arts, 2011). Subtipe rekombinan CRF01_AE diketahui
sebagai galur utama penyebab infeksi HIV-1 di Indonesia (Merati et al., 2012).

5
HIV merupakan virus dengan materi genetik ssRNA rantai positif berukuran 9,8
kbp dengan kapsid ikosahedral dan envelope berbentuk lonjong. Virus ini memiliki
dua salinan ssRNA yang identik dan dihubungkan secara nonkovalen. RNA
direplikasi dengan metode retrotranskripsi menggunakan enzim reverse
transcription (RT) yang dimiliki serta dibawa bersama virionnya. Struktur virion
juga membawa enzim fungsional protease (PR) dan integrasi (IN) di dalamnya.
Sementara itu, struktur envelope memiliki beberapa protein struktural seperti gp120
dan gp41 yang berperan dalam pengenalan reseptor pada sel (Seitz, 2016).

Gambar 2.1 Struktur genom RNA HIV (Seitz, 2016)

Genom RNA HIV terdiri atas beberapa gen yang mengodekan protein struktural
dan nonstruktural yang dibatasi oleh wilayah long terminal repeats (LTR) (Gambar
2.1). Gen gag dan pol menghasilkan polipeptida Gag dan GagPol yang menjadi
protein kapsid (CA), protein matriks (MA), nucleoprotein (NC), PR, RT, RNase H,
dan IN. Gen env mengodekan glikoprotein permukaan gp120 dan gp41. Sementara
itu, gen lainnya mengodekan protein nonstruktural yang berperan dalam berbagai
proses replikasi dan patogenesis HIV (Seitz, 2016).

2.2 Siklus Hidup HIV-1


HIV masuk ke dalam sel dengan terlebih dahulu menempel secara tidak spesifik
pada permukaan sel inang. Protein envelope (Env) dari virion berinteraksi dengan
beberapa faktor penempelan pada sel seperti proteoglikan sulfat heparan, 4 7
integrin, dan atau reseptor intercellular adhesion molecular 3-grabbing non-
integrin (DC-SIGN) pada sel dendritik. Proses penempelan non-spesifik ini

6
mempermudah pengenalan virion dengan reseptor utama virus yaitu CD4 (Wilen,
Tilton, & Doms, 2012).

Gambar 2.2 Tahap-tahap penempelan dan fusi virion HIV pada sel inang. Protein gp41 dan gp120
terlebih dahulu berinteraksi dengan reseptor CD4 dan koreseptor CCR5 atau CXCR4 lalu
melakukan fusi membran (Wilen et al., 2012).

Fungsi normal dari reseptor CD4 adalah protein superfamily immunoglobulin yang
berperan dalam persinyalan pada sistem imun adaptif. Variable loop dari kompleks
protein heterodimer gp120 dan gp41 pada envelope virion akan berinteraksi dengan
reseptor CD4. Interaksi ini akan merubah konformasi protein envelope sehingga
protein gp41 dapat mengalami fusi dengan membran inang (Gambar 2.2).
Selanjutnya, variable loop gp120 akan berinteraksi dengan protein reseptor lain dari
inang yaitu koreseptor CCR5 atau CXCR4. Interaksi dengan koreseptor ini yang
memacu fusi membran envelope virion dengan membran sel inang. Pada tahap ini,
lebih dari satu interaksi protein gp41 dengan membran inang dibutuhkan untuk
menarik virion ke arah sel untuk terjadinya fusi membran dan kapsid yang berisi
genom HIV masuk ke dalam sel (Wilen et al., 2012).

Degradasi atau pelepasan kapsid dari HIV terjadi akibat rusaknya struktur setelah
protein tegumen gp41 terlepas saat fusi berlangsung. Lokasi degradasi kapsid
secara penuh belum diketahui. Konsensus awal adalah terjadinya degradasi kapsid
di sitoplasma segera setelah fusi sehingga RNA virus dan kompleks reverse
transkriptase dapat terpapar ke sitoplasma. Namun, struktur kapsid dapat saja
terjaga setelah masuk ke dalam sel dan baru mengeluarkan kompleks reverse
transkriptase setelah mendekati kompleks pori nukleus (Ambrose & Aiken, 2014;
Arhel, 2010). Degradasi kapsid yang terlalu awal di sitoplasma dapat mengurangi

7
efisiensi transpor RNA ke nukleus (Ambrose & Aiken, 2014). Sementara itu, tahap
awal dari proses reverse transkriptase, yaitu elongasi untai RNA, terjadi sebelum
proses degradasi kapsid berlangsung (Cosnefroy, Murray, & Bishop, 2016).

Transkripsi balik genom RNA menjadi DNA rantai ganda (dsDNA) dilakukan oleh
kompleks enzim reverse transkriptase yang dibawa bersama virion. Transkripsi
balik dilakukan dengan menggunakan primer tRNA pada daerah long terminal
repeats (LTR) pada genom virus, kemudian dilakukan polimerasi untai DNA
komplemen. Selanjutnya untai RNA didegradasi oleh domain RNase H dari reverse
transkriptase sebelum disintesis sisa komplemen DNA-nya (Hu & Hughes, 2012).
Setelah itu, untai dsDNA diintegrasikan ke genom inang oleh enzim integrase yang
juga dibawa bersama virion. Integrasi dilakukan dengan membentuk sticky ends
pada kedua ujung dsDNA virus untuk sintesis ikatan fosfodiester pada wilayah di
genom inang yang diputus. Pada tahap ini, gen dari virus dapat ditranskripsikan
seperti gen-gen pada inang. Selain itu, provirus dapat direplikasi bersama sel inang
dan masuk ke fase laten (Craigie & Bushman, 2012).

Transkripsi terjadi dengan beberapa produk mRNA yang mengodekan gen-gen


struktural dan fungsional. Translasi dilakukan dengan menggunakan kompleks
ribosom inang dan menghasilkan polipeptida panjang. Polipeptida yang ditranslasi
dari mRNA Gag dan GagPol terlebih dahulu dipotong dengan menggunakan enzim
protease agar fungsional. Gag dan GagPol terdiri atas beberapa protein struktural
dan enzim-enzim yang penting (Huang & Chen, 2013). Penyusunan kembali virion
bersama genom RNA virus terjadi di kompartemen retikulum endoplasma.
Selanjutnya, virion keluar dari sel dengan melakukan budding ke membran sel
inang untuk digunakan sebagai envelope (Sundquist & Kräusslich, 2012).

2.3 Protease HIV


Virion HIV yang dilepaskan ke luar sel masih bersifat noninfeksius karena belum
terjadinya pematangan. Pematangan struktur virion terjadi setelah berlangsungnya
pemotongan polipeptdia Gag dan GagPol, yang mana polipeptida GagPol
merupakan hasil translasi dari kodon start yang sama namun mengalami satu

8
pergeseran tranlasi dari polipeptida Gag. Proses pemotongan polipeptida ini
dilakukan oleh enzim protease HIV yang sendirinya merupakan hasil pemotongan
otomatis dari polipeptida GagPol (Fun, Wensing, Verheyen, & Nijhuis, 2012;
Huang & Chen, 2013). Polipeptida Gag dipotong menjadi protein-protein struktural
matriks (MA, p17), kapsid (CA, p24), nukleokapsid (NC, p7), p6, dan dua peptida
kecil p1 serta p2. Sementara itu, polipeptida GagPol dipotong menjadi enzim RT
dan IN (Fun et al., 2012). Protease HIV lebih bergantung pada konformasi struktur
yang asimetris dari polipeptida target untuk mengenali wilayah pemotongan
dibandingkan urutan asam aminonya (Prabu-Jeyabalan, Nalivaika, & Schiffer,
2002).

Protease HIV merupakan enzim yang terdiri dari dua subunit sama atau disebut
sebagai homodimer dan tersusun simetris. Situs katalitik akan hanya akan terbentuk
apabila dimerisasi terjadi. Situs katalitik atau disebut binding cleft merupakan tiga
asam amino berututan Asp25-Thr26-Gly27 yang membentuk struktur loop dari tiap
subunit yang berhadapan. Oleh karena itu, wilayah ini disebut juga triad katalitik.
Wilayah ini juga menjadi target dari inihibitor protease HIV (Gulnik et al., 2000).
Sementara itu, substrat masuk ke wilayah binding cleft akan terlebih dahulu
melewati daerah flap (Gambar 2.3) yang membentuk struktur seperti pintu masuk.
Flap merupakan struktur turn ang menghubungkan dua buah -sheet dan
merupakan residu 45-55 dari protease HIV (Tóth & Borics, 2006). Wilayah flap ini
berada dalam konformasi terbuka dan tertutup untuk menerima substrat yang masuk
(Hornak, Okur, Rizzo, & Simmerling, 2006).

9
Gambar 2.3 Struktur homodimer protease HIV-1 (Louis, Aniana, Weber, & Sayer, 2011)

Proses dimerisasi protease HIV terjadi dalam dua tahap yaitu dimerisasi awal pada
daerah sisi aktif tiap subunit, lalu pembentukan dimer stabil akibat interaksi wilayah
termini (Hayashi et al., 2014). Residu sisi aktif yang esensial terhadap proses
dimerisasi adalah Asp25, Asp29 dan Arg27. Interaksi residu-residu ini membentuk
struktur awal homodimer yang belum stabil (Ishima et al., 2003). Selanjutnya,
wilayah C-terminus dan N-terminus dari tiap subunit berinteraksi membentuk
struktur dimer yang stabil. Termini meliputi residu 1-4 dan 95-99 dari tiap subunit
(Pettit et al., 2003). Oleh karena itu, wilayah ini penting dalam pembentukan dimer
protease dan sekaligus menjadikannya target senyawa inhibitor (Hayashi et al.,
2014). Senyawa sintetik darunavir (DNV) merupakan senyawa yang dikembangkan
untuk menargetkan wilayah dimerisasi di sisi aktif protease HIV. Darunavir
berinteraksi dengan Asp29 dan Asp30 sehingga dimerisasi protease HIV tidak
terjadi (Purohit & Sethumadhavan, 2009). Namun, kasus resistensi beberapa mutan
HIV-1 terhadap darunavir telah dilaporkan (Koh et al., 2010).

2.4 Dimer-based Screening System (DBSS)


Sistem penapisan secara high throughput dikembangkan untuk menapis banyak
kandidat senyawa obat sekaligus secara in vitro. Sistem-sistem ini dikembangkan
untuk mendapat banyak kandidat senyawa sekaligus sebelum dilakukan pengujian
klinis lebih lanjut (Szyma ski et al., 2012). Salah satu sistem yang dikembangkan

10
adalah penapisan senyawa yang menargetkan protein homodimer dari organisme
patogen yang dikembangkan oleh Okada et al. (2007). Penapisan ini dibuat
berdasarkan sistem repressor IclR dengan gen pelapor GFP yang telah
dikembangkan sebelumnya (Furuta et al., 2005). Pada penelian ini (Okada et al.,
2007), dilakukan penargetan homodimerisasi histidin kinase YycG yang berasal
dari Bacillus subtilis. Plasmid backbone pFI001 digunakan pada penelitian ini.
Plasmid disisipkan gen GFP yang berada di bawah promoter iclR (PiclR). Sementara
itu, domain sitoplasmik dari gen YycG (CYycG) yang memiliki peran dimerisasi
difusikan dengan domain N-terminus (N-100) dari protein repressor IclR yang
memiliki peran pengikatan DNA dengan PiclR. Penambahan senyawa inhibitor
dimerisasi YycG menyebabkan kegagalan domain N-100 untuk berikatan dengan
PiclR sehingga ekspresi GFP dapat terjadi (Gambar 2.4).

Gambar 2.4 Sistem penapisan homodimer yang menargetkan dimerisasi YycG dari Bacillus
subtilis (Okada et al., 2007)

Sistem penapisan homodimer ini diaptasi pada penelitian selanjutnya (Fibriani et


al., 2018) yang menargetkan dimerisasi protease HIV dengan plasmid backbone
pRSET. Gen protease HIV difusikan dengan domain pengikatan DNA gen AraC
(AraCDBD) yang berasal dari sistem operon arabinosa Escherichia coli. Domain
dimerisasi dari AraC telah dihilangkan sehingga aktivitasnya bergantung pada

11
dimerisasi protease HIV. Pada keadaan asalnya, protein AraC membentuk
homodimer agar dapat berikatan dengan wilayah promoter AraBAD dari sistem
operon arabinosa dan membentuk dua buah loop DNA sehingga transkripsi gen di
bawahnya tidak dapat terjadi (Bustos & Schleif, 1993). Gen fusi protease HIV
dengan AraCDBD diletakkan di bawah promoter T7 sehingga dapat diekspresikan
pada Escherichia coli BL21 (DE3). Penambahan senyawa yang mampu
menghambat dimerisasi protease HIV akan menyebabkan AraCDBD tidak aktif
menjadi supresor. Oleh karena itu, gen EmGFP yang berada di bawah kontrol
promoter AraC dapat diekspresikan (Fibriani et al., 2018). Ekspresi gen fusi dan
pengujian kemampuan sistem ini telah dilakukan dengan menggunakan kontrol
positif darunavir (Dwipayana, Fibriani, & Syah, 2018). Sistem ini juga telah
digunakan untuk melakukan penapisan senyawa kandidat inhibitor protease HIV
(Tsurayya, Fibriani, & Syah, 2019). Sementara itu, modifikasi gen protease HIV-1
yang digunakan pada penelitian ini dengan menggantinya menggunakan protease
isolat Indonesia (HIV Id) yang berasal dari galur CRF01_AE juga telah dilakukan
(Gambar 2.5) (Nurfajri & Fibriani, belum dipublikasikan). Namun, implementasi
sistem ini untuk menapis senyawa inhibitor pembentukan dimer belum dilakukan.

12
Gambar 2.5 Desain plasmid DBSS untuk penapisan senyawa inhibitor pembentukan dimer
protease isolat Indonesia (HIV Id)

13
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat
Alat-alat ang digunakan dalam penelitian ini aitu mikropipet (1000 l, 100 l dan
10 µl), inkubator shaker 37 oC, kit SDS-PAGE, kit elektroforesis agarosa,
waterbath, Glomax® Discover Microplate Reader (Promega ) dan mesin PCR.

3.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Escherichia coli BL21
(DE3) transforman (plasmid fusi AraCDBD-protease HIV Id dan plasmid
AraCDBD tanpa fusi protease), tip mikropipet (1000 l, 100 l dan 10 µl), pelat
mikrotiter 96-well flat bottom bening steril, pelat mikrotiter 96-well flat bottom
gelap, kit isolasi plasmid Presto Mini Plasmid Kit (Geneaid), NaCl, ekstrak ragi,
tripton, agar bakteriologis, microtube 1,5 ml, PCR tube, tabung sentrifuga 10 ml
dan 50 ml, agarosa, akrilamida-bisakrilamida (14:1, 40%), sodium dodecyl sulfate
(SDS), biru bromfenol, gliserol, -merkaptoetanol, ammonium persulfat, TEMED,
Coomassie Brilliant Blue R-250, metanol teknis, asam asetat glasial, basa tris, HCl,
NaOH, kit PCR M Taq HS Red Mi (Bioline), primer forward
AraC_DBD_F_Mell (5 -CTGGAAAGGATCCATGGATAATCGGGTACGC-
3) dan primer reverse AraC_Promoter_R_Mell (5 -
CATAGCACCATGGTTCATACTCCCGCCATTCAG-3 ).

3.3 Metode Kerja


3.3.1 Konfirmasi Keberadaan Gen Fusi Protease HIV Id-AraCDBD dengan
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Kultur Escherichia coli BL21 (DE3) transforman dikultur ulang pada pelat Luria
Bertani (LB) agar (Lampiran A) dengan ampisilin (100 ppm) menggunakan metode
4-way streak dan diinkubasi pada 37 oC selama 16 jam. Koloni tunggal yang
didapatkan kemudian dicuplik dengan ujung tip mikropipet dan dibuat menjadi
suspensi ke dalam 20 µl nuclease-free water. Suspensi ini dijadikan template dalam
reaksi PCR dengan amplifikasi wilayah awal AraCDBD hingga wilayah akhir

14
promoter AraC. Amplifikasi PCR menggunakan primer AraC_DBD_F_Melly dan
AraC_Promoter_R_Melly. PCR dilakukan menggunakan protokol yang disarankan
oleh M Taq (Lampiran B). Selanjutnya, sebanyak 2 µl sampel dipindahkan pada
well gel agarosa 1%. Elektroforesis dilakukan pada tegangan 100 V selama 30
menit. Pita DNA pada gel diwarnai dengan larutan EtBr dan diamati di bawah UV
luminescence.

3.3.2 Konfirmasi Urutan DNA Gen Fusi Protease HIV Id-AraCDBD dengan
Sekuensing DNA
3-5 koloni tunggal Escherichia coli BL21 (DE3) transforman dicuplik dan
ditumbuhkan pada 10 ml medium kaldu LB (Lampiran A) dengan ampisillin (100
ppm). Kultur ditumbuhkan selama 16 jam pada temperatur 37 oC dan agitasi 200
rpm. Plasmid dari sel kemudian diisolasi dengan menggunakan protokol yang
disediakan oleh kit isolasi plasmid. Plasmid yang didapatkan kemudian
dikonfirmasi dengan melakukan amplifikasi PCR pada daerah awal AraCDBD
hingga daerah akhir promoter AraC. Lalu, sekuensing urutan DNA dilakukan oleh
perusahaan Macrogen dengan menggunakan primer T7 universal. Sekuens
contiguous kemudian dibuat dari hasil sekuensing forward dan reverse.
Selanjutnya, penyejajaran lokal dilakukan antara sekuens contiguous hasil
sekuensing dengan sekuens referensi desain plasmid menggunakan program
EMBOSS WATER yang disediakan laman EMBL-EBI.

3.3.3 Konfirmasi Ekspresi Protein Fusi Protease HIV Id-AraCDBD dengan


SDS-PAGE
3-5 koloni tunggal Escherichia coli BL21 (DE3) transforman dicuplik dan
ditumbuhkan pada 10 ml medium kaldu LB dengan ampisillin (100 ppm). Kultur
ditumbuhkan selama 16 jam pada temperatur 37 oC dan agitasi 200 rpm.
Selanjutnya sebanyak 1 ml kultur dipindahkan ke dalam microtube 1,5 ml dan
disentrifugasi pada kecepatan 14.000 g selama 1 menit. Pelet yang didapatkan
kemudian dibuat suspensi dengan menambahkan 100 µl SDS loading buffer
(Lampiran A) per 0,2 gram pelet. Pelet dilarutkan kemudian dipanaskan pada
temperatur 100 oC selama 15 menit di dalam waterbath. Sebanyak 2 µl suspensi

15
yang masih panas ini kemudian dimasukkan ke dalam well gel SDS-PAGE (5%
akrilamida-bisakrilamida pada stacking gel dan 12% akrilamida-bisakrilamida pada
separating gel). Elektroforesis dijalankan selama 120 menit dengan tegangan
konstan 100 V. Gel diwarnai dengan larutan staining CBB R-250 (Lampiran A)
selama 15 menit, kemudian dilakukan destaining dengan destaining solution
(Lampiran A) selama overnight.

3.3.4 Pengujian Pendaran Awal dan Pengujian Senyawa


Bakteri transforman diaktivasi dengan ditumbuhkan sebanyak 3-5 loop ke dalam
medium kaldu LB dengan ampisilin (100 ppm) selama 16 jam. Selain bakteri
transforman, Escherichia coli BL21 (DE3) tanpa plasmid juga ditumbuhkan pada
medium LB tanpa ampisilin untuk digunakan sebagai kontrol dalam pengujian
senyawa. Selanjutnya, pada tiap well dimasukkan kultur sebanyak 10% volume,
senyawa uji dalam DMSO sebanyak 5% volume, dan medium kaldu LB hingga 100
µl.

Senyawa uji didapatkan dari Kelompok Keahlian Kimia Organik, Program Studi
Kimia, Fakultas Matematika & Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi
Bandung. Senyawa yang diujikan yaitu CC-01, CC-07, CS-05, CS-07, CS-08, CS-
10, CS-12 dan CS-04a. Senyawa diujikan dengan variasi konsentrasi akhir 2, 4, 6,
8 dan 10 ppm. Blangko yang digunakan untuk tiap perlakuan adalah medium kaldu
LB dan senyawa uji yang sesuai tanpa penambahan kultur. Gambar 3.1
menunjukkan peta pelat mikrotiter 96-well untuk pengujian satu senyawa dalam
satu ulangan.

X Y -ve a b c d e +ve
X Y -ve a b c d e +ve
X Y -ve a b c d e +ve
X Y -ve a b c d e +ve
X Y -ve a b c d e +ve

X* Y* -ve* a* b* c* d* e* +ve*

16
X* Y* -ve* a* b* c* d* e* +ve*
Gambar 3.1 Peta pelat mikrotiter 96-well untuk pengujian senyawa dengan X merupakan
Escherichia coli BL21 (DE3) tanpa plasmid di dalam LB tanpa ampisilin; Y merupakan
Escherichia coli BL21 (DE3) tanpa plasmid di dalam LB dengan ampisilin; -ve merupakan kontrol
negatif atau baseline tanpa penambahan senyawa uji; a-e merupakan perlakuan dengan
penambahan senyawa uji 2-10 ppm; +ve merupakan kontrol positif Escherichia coli BL21 (DE3)
transforman dengan plasmid AraCDBD tanpa fusi protease HIV Id; *) merupakan blangko untuk
tiap perlakuan pada well di atasnya

Kontrol Escherichia coli BL21 (DE3) tanpa plasmid dalam medium dengan dan
tanpa ampisilin digunakan untuk memastikan kerja dari ampisilin sebagai penanda
selektif. Oleh karena itu, apabila terjadi pertumbuhan kultur di well dengan
penambahan ampisilin, maka seluruh pelat menjadi tidak valid.

Pendaran diukur dengan Glomax® Discover Microplate Reader pada panjang


gelombang eksitasi 475 nm dan emisi 500-550 nm. Absorbansi densitas optik
diukur pada panjang gelombang 600 nm. Sementara itu, nilai pendaran terkoreksi
absorbansi (Fs) untuk tiap konsentrasi uji dihitung berdasarkan persamaan (Okada
et al., 2007) di bawah ini.
𝐹𝑙𝑢𝑜𝑟𝑒𝑠𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝐹𝑙𝑢𝑜𝑟𝑒𝑠𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜
𝐹𝑠
𝐴𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝐴𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜

3.3.5 Analisis Statistik


Variasi konsentrasi uji pada rentang 2-10 ppm diharapkan memberi tren inhibisi
pembentukan dimer protease HIV Id. Oleh karena itu, signifikansi pengaruh variasi
konsentrasi ini perlu dihitung secara statistik. Uji one-way ANOVA dilakukan
karena sampel yang bersifat independen dan memiliki lebih dari dua konsentrasi
uji. Nilai p hitung yang lebih kecil dari 0,05 dianggap signifikan.

Sementara itu, untuk menentukan senyawa dengan aktivitas inhibisi pembentukan


dimer diperlukan pengujian signifikansi perbedaan nilai Fs masing-masing antar
senyawa uji dengan kontrol negatif (baseline). Variansi nilai Fs tiap senyawa dan
ulangan baseline. Uji independent t-test dilakukan apabila sebarannya normal, dan

17
uji Mann-Whitney U test dilakukan apabila sebaran tidak normal. Nilai Fs berbeda
signifikan apabila nilai t hitung lebih besar atau sama dengan t kritis.

3.3.6 Analisis Docking Molekuler


Analisis interaksi molekuler antara senyawa uji dengan aktivitas inhibisi
pembentukan dimer dengan protease HIV Id dilakukan untuk memperkuat temuan
hasil penapisan dengan DBSS yang sudah dilakukan. Pemodelan struktur protein
dilakukan dengan memasukkan sekuens protein fusi AraCDBD-protease HIV Id
pada situs I-Tasser (Yang & Zhang, 2015; Zhang, 2009). Struktur protein yang
dihasilkan kemudian dipilih berdasarkan hasil penyejajaran dan superimposisi yang
paling mirip dengan protease tanpa fusi AraCDBD menggunakan program TM-
Align (version 20190822) yang disediakan situs I-Tasser dan divisualisasi dengan
perangkat lunak PyMOL. Sementara itu, struktur senyawa didapatkan dari
Kelompok Keahlian Kimia Organik, Program Studi Kimia, Institut Teknologi
Bandung. Struktur senyawa digambar dengan program MarvinSketch (version
18.28) dan dipilih konformasi yang paling sesuai serta disimpan dalam format pdb.

Docking molekuler dianalisis dengan perangkat lunak AutoDockTools (1.5.6rc3)


menggunakan program AutoDockVina (Goodsell & Olson, 1990; Trott & Olson,
2009). Struktur protein fusi dalam format pdb diatur sebagai makromolekul,
sementara senyawa uji diatur sebagai ligan. Output interaksi ligan-makromolekul
yang memiliki ikatan hidrogen divisualisasi dengan program LigPlot (v.1.4.5).

18
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Konfirmasi Gen Fusi Protease HIV Id-AraCDBD


Konfirmasi keberadaan gen fusi protease HIV Id-AraCDBD dilakukan terlebih
dahulu sebelum melakukan implementasi sistem ini untuk melakukan penapisan
senyawa obat. Selain melakukan konfirmasi plasmid dengan gen fusi (Gambar 2.5),
konfirmasi juga dilakukan pada plasmid kontrol positif yang berisi gen AraCDBD
tanpa fusi protease HIV Id (Gambar 4.1)

Gambar 4.1 Plasmid kontrol AraCDBD tanpa protease HIV Id

Konfirmasi keberadaan gen fusi dilakukan dengan dua tahap yaitu amplifikasi PCR
dari template koloni bakteri, lalu sekuensing urutan basa DNA. Elektroforegram
dari PCR koloni bakteri transforman plasmid gen fusi dan plasmid kontrol dapat
dilihat pada gambar 4.2 di bawah. Wilayah amplifikasi meliputi bagian awal gen
AraCDBD hingga akhir promoter AraC.

19
Gambar 4.2 Elektroforegram hasil amplifikasi PCR dari koloni transforman. (1) menggunakan
template dari transforman dengan gen AraCDBD tanpa fusi protease HIV Id; (2) menggunakan
template dari transforman dengan gen fusi protease HIV Id-AraCDBD; (3) kontrol negatif; dan (4)
DNA ladder 1 kb.

Ukuran amplikon apabila digunakan primer AraC_DBD_F_Melly dan


AraC_Promoter_R_Melly adalah 1076 bp untuk plasmid dengan gen fusi dan 776
bp untuk plasmid AraCDBD tanpa fusi protease HIV Id. Sementara itu, berdasarkan
Gambar 4.2 dapat diamati pita DNA di sekitar marker 750 bp untuk sampel
amplikon plasmid AraCDBD, dan di sekitar marker 1 kbp untuk sampel amplikon
plasmid dengan gen fusi. Ukuran ini telah sesuai dengan ukuran pada desain
plasmid.

Sementara itu, untuk memastikan bahwa wilayah transcription start site (TSS)
masih ada dan tidak terjadinya mutasi serta pergeseran reading frame pada wilayah
gen fusi, maka perlu dilakukan pengurutan basa DNA dengan sekuensing plasmid
menggunakan primer T7 universal. Pada penelitian ini, dilakukan isolasi plasmid
terlebih dahulu. Kemudian, dilakukan konfirmasi keberhasilan isolasi plasmid

20
dengan melakukan amplifikasi PCR menggunakan template isolat plasmid dan
primer yang sama dengan yang digunakan pada PCR koloni di awal.

Gambar 4.3 Amplifikasi PCR plasmid untuk sekuensing DNA. (1) DNA ladder 1 kb; (2)
menggunakan template dari plasmid dengan gen AraCDBD tanpa fusi protease HIV Id; (3) kontrol
negatif; dan (4) menggunakan template dari plasmid dengan gen fusi protease HIV Id-AraCDBD

Berdasarkan Gambar 4.3 teramati pita amplikon DNA yang juga telah sesuai
dengan hasil dari gambar 4.2 yang mengindikasikan plasmid berhasil diisolasi dari
kultur cair transforman. Plasmid backbone yang digunakan merupakan plasmid
pRSET yang bersifat low copy number dengan f1 ori karena digunakan untuk
ekspresi protein (Schoepfer, 1993; Wang & Kushner, 1991). Penggunaan medium
LB untuk kultur bakteri dengan plasmid yang bersifat low copy number juga
memberi yield isolat plasmid yang sedikit (Wood, Smith, Ream, & Kevin Lewis,
2017). Hal ini menjelaskan penampakan pita amplikon yang tipis dari hasil isolasi
plasmid. Walaupun demikian, sekuensing DNA dengan isolat plasmid ini tetap
dilakukan.

Sekuensing dilakukan dengan menggunakan primer T7 universal untuk forward


dan reverse. Namun, sekuens contig susah dibuat karena sekuens reverse dengan
primer T7 terminator tidak memiliki puncak kromatogram yang terpisah dengan

21
baik (Lampiran C). Hal ini disebabkan sekuens primer universal T7 terminator yang
tidak berkomplemen secara penuh pada wilayah T7 terminator yang ada pada
desain plasmid. Walaupun demikian, wilayah minimum yang tinggi akan konten
G-C dan sekuens palindromik dari urutan DNA T7 terminator (5 -
CTAGCATAACCCCTTGGGGCCTCTAAACGGGTCTTGAGGGGTTTTTTG-
3 ), yang berperan dalam terminasi transkripsi (Hartvig & Christiansen, 1996)
masih ada dalam desain plasmid. Oleh karena itu, sekuensing hanya dilakukan
dengan satu primer forward yaitu primer universal T7 promoter.

Gambar 4.4 Hasil penyejajaran urutan DNA sekuensing gen fusi protease HIV Id-AraC DBD
(HIV_F_T7promoter) dengan urutan DNA referensi (HIVId_Reference) menggunakan program
penyejajaran lokal EMBOSS-WATER dari EMBL-EBI

22
Berdasarkan Gambar 4.4. di atas, didapatkan nilai identitas dan similaritas 100%
antara hasil sekuensing dengan desain plasmid. Sementara itu, wilayah hasil
sekuensing adalah 968 bp yang mencakup wilayah awal promoter T7 hingga
wilayah di bagian tengah promoter AraC yang meregulasi ekspresi gen EmGFP.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diketahui bahwa tidak terjadi mutasi wilayah
gen fusi protease HIV Id-AraCDBD. Selain itu, juga dapat dikonfirmasi tidak
terjadinya perubahan reading frame sehingga gen fusi dapat diekspresikan.

Gambar 4.5 Hasil penyejajaran urutan DNA sekuensing gen AraC dari plasmid kontrol positif
(AraC_1_T7promoter) dengan urutan DNA referensi (AraC_Reference) menggunakan program
penyejajaran lokal EMBOSS-WATER dari EMBL-EBI

Sementara itu, berdasarkan Gambar 4.5 diketahui bahwa hasil penyejajaran gen
AraC dari plasmid kontrol positif memiliki nilai identitas dan similaritas 100%

23
juga. Wilayah 418 bp yang sejajar mencakup daerah setelah transcription start site
(TSS) sebelum kodon start gen AraC, hingga wilayah di tengah terminator T7. Oleh
karena itu, dapat disimpulkan tidak terjadinya mutasi dan pergeseran reading frame
dari gen AraC pada plasmid kontrol positif.

4.2 Konfirmasi Ekspresi Protein Fusi HIV Id-AraCDBD


Keberadaan gen fusi protease HIV Id-AraCDBD telah dikonfirmasi melalui metode
amplifikasi PCR dan sekuensing urutan DNA. Selanjutnya, dilakukan konfirmasi
kemampuan sistem ini dalam melakukan ekspresi protein fusi tersebut. Gen fusi
ditargetkan berada di wilayah sitoplasmik sehingga dilakukan pemanenan protein
total dari sel. Konfirmasi ekspresi protein fusi HIV Id-AraCDBD dilakukan dengan
metode sodium dodecyl sulphate polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-
PAGE). Elektroforegram gel SDS-PAGE protein total dari Escherichia coli BL21
(DE3) transforman plasmid dengan gen fusi protease HIV Id-AraCDBD disajikan
pada Gambar 4.6 di bawah ini.

Gambar 4.6 Elektroforegram SDS-PAGE total protein. (1) protein marker; (2) sampel protein
total Escherichia coli BL21 (DE3) transforman dengan plasmid gen fusi protease HIV Id-
AraCDBD; dan (3) sampel protein total Escherichia coli BL21 (DE3) tanpa plasmid (kontrol
negatif)

24
Berdasarkan Gambar 4.6 dapat diamati adanya pita tebal pada sampel total protein
bakteri dengan gen fusi pada wilayah di antara 22 kDa dan 25 kDa. Pita ini tidak
teramati pada kontrol negatif yang berupa E. coli BL21 (DE3) tanpa plasmid
sehingga tidak memiliki gen fusi protease HIV Id-AraCDBD. Oleh karena itu, pita
tebal tersebut diduga merupakan protein fusi protease HIV Id-AraCDBD yang
memiliki ukuran 24,2 kDa sesuai dengan prediksi pada desain plasmid. Gen fusi ini
diletakkan di bawah promoter T7 pada desain plasmid (Gambar 2.5) sehingga dapat
dilakukan ekspresi berlebih dengan induksi IPTG. IPTG melakukan induksi
ekspresi T7 RNA polimerase (T7 RNA Pol) melalui promoter lacUV5 yang ada
pada galur E. coli BL21 (DE3) (Dumon-Seignovert, Cariot, & Vuillard, 2004;
Studier & Moffatt, 1986). Namun, pada penelitian ini tidak dilakukan induksi
ekspresi dengan IPTG karena ekspresi basal T7 RNA Pol dari promoter lacUV5
dapat terjadi (Dubendorf & Studier, 1991; Studier & Moffatt, 1986). Selain itu,
telah ditemukan bahwa overekspresi gen fusi protease HIV Id-AraC akibat induksi
IPTG menyebabkan toksisitas pada sel (Nurfajri & Fibriani, belum dipublikasikan).
Overekspresi protein heterolog pada Escherichia coli diketahui dapat menyebabkan
toksisitas pada sel yang ditandai dengan tidak tumbuhnya sel dalam medium dan
stabilitas plasmid menjadi rendah (Dumon-Seignovert et al., 2004).

4.3 Hasil Pengujian Senyawa


Berdasarkan hasil konfirmasi sebelumnya, diketahui bahwa gen fusi protease HIV
Id-AraCDBD dapat diekspresikan sehingga fungsinya dalam sistem DBSS ini
diduga dapat berjalan. Oleh karena itu, uji pendaran awal sebelum digunakan untuk
penapisan senyawa perlu untuk dilakukan.

25
Fluoresensi Terkoreksi Absorbansi (Fs)
8.00E+03

Relative Fluorescence Unit (RFU)


7.00E+03

6.00E+03
4.82E+03
5.00E+03

4.00E+03

3.00E+03
1.99E+03
2.00E+03

1.00E+03

0.00E+00
Protease HIV Id-AraCDBD (Baseline) AraCDBD (kontrol positif)

Gambar 4.7 Grafik uji pendaran awal kultur dengan plasmid gen fusi protease HIV Id-AraCDBD
sebagai baseline dan kultur dengan plasmid AraCDBD tanpa fusi protease HIV Id sebagai kontrol
positif

Gambar 4.7 menunjukkan nilai pendaran terkoreksi absorbansi sel (Fs) dari kultur
transforman dengan plasmid gen fusi protease HIV Id-AraCDBD, yang akan
digunakan sebagai baseline dalam penapisan senyawa, dan juga kontrol positif.
Nilai Fs kontrol positif ((4,82x103 ± 2,02x103) RFU) lebih tinggi dari nilai Fs
baseline ((1,99x103 ± 2,81x102) RFU). Hasil uji Student s t-test menunjukkan
perbedaan yang signifikan untuk kedua perlakuan (t hitung = -2,742; t kritis one-
tail = 1,895). Hal ini menunjukkan lebih tingginya level ekspresi gen EmGFP pada
kontrol positif. EmGFP berada di bawah promoter AraC pada desain plasmid
(Gambar 2.5 dan Gambar 4.1) yang dikenali oleh RNA polimerase dari Escherichia
coli BL21 (DE3) karena berasal dari sistem operon arabinosa E. coli (Ogden,
Haggerty, Stoner, Kolodrubetz, & Schleif, 1980).

Gen AraC yang disisipkan dalam plasmid yang didesain hanya memiliki domain
pengikatan DNA yang mengenali wilayah promoter AraC. Sementara itu, aktivitas
regulasi transkripsi oleh repressor AraC ini hanya terjadi apabila domain
pengikatan DNA dari AraC berinteraksi dengan dua wilayah pada promoter AraC
yaitu sekuen I2 dan O2 dan membentuk loop sehingga tidak dapat diakses oleh RNA
polimerase. Sementara itu, interaksi protein regulator AraC dengan dua wilayah ini

26
membutuhkan dua subunit AraC yang membentuk homodimer karena adanya
domain dimerisasi (Schleif, 2010). Oleh karena itu, delesi domain dimerisasi AraC
seperti pada desain plasmid menyebabkan aktivitas regulasi transkripsi gen EmGFP
tidak terjadi. Hal ini menyebabkan nilai Fs yang tinggi pada plasmid kontrol dengan
gen AraCDBD.

Protease HIV mampu melakukan membentuk homodimer dengan sendirinya di


dalam sel Escherichia coli (Cheng, Brik, Wong, & Kan, 2004). Oleh karena itu,
fusi domain pengikatan DNA protein regulator AraC (AraCDBD) dengan protease
HIV menyebabkan aktifnya AraC dalam regulasi promoter AraC setelah dimer
protease terbentuk. Sehingga, ekspresi EmGFP dapat diinhibisi saat pembentukan
dimer protease HIV Id. Hal ini menyebabkan nilai Fs baseline lebih rendah
dibandingkan plasmid kontrol positif tanpa fusi protease HIV Id. Berdasarkan hasil
ini, maka dapat disimpulkan sistem DBSS dengan fusi protease HIV Id bersama
protein regulator AraCDBD menggunakan gen pelapor EmGFP yang diregulasi
promoter AraC dapat digunakan untuk penapisan senyawa inhibitor protease HIV
Id.

Terdapat delapan set senyawa uji yang dipakai dalam penapisan di penelitian ini.
Delapan senyawa tersebut diberi label CC-01, CC-07, CS-05, CS-07, CS-08, CS-
10, CS-12 dan CS-04a. Seluruh senyawa diperoleh dari Kelompok Keahlian Kimia
Organik, Program Studi Kimia, FMIPA. Senyawa diujikan dalam konsentrasi 2, 4,
6, 8 dan 10 ppm. Pengujian senyawa dilakukan sebanyak 2 dan 3 ulangan.
Sementara itu, ulangan untuk baseline dan kontrol positif diambil dari seluruh
ulangan pengujian senyawa (18 ulangan). Hasil pengujian senyawa dapat diamati
pada Gambar 4.8 di bawah ini.

27
Fluoresensi Terkoreksi Absorbansi (Fs)
9000
8000
7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
0
Baseline CC-01 CC-07 CS-05 CS-07 CS-08 CS-10 CS-12 CS-04a AraC

2 ppm 4 ppm 6 ppm 8 ppm 10 ppm

Gambar 4.8 Grafik pendaran hasil uji senyawa dengan rentang konsentrasi 2-10 ppm

Variasi konsentrasi 2-10 ppm digunakan karena sistem ini telah diuji dengan
darunavir pada rentang konsentrasi 1-10 ppm pada penelitian sebelumnya (Nurfajri
& Fibriani, belum dipublikasikan). Darunavir diketahui merupakan inhibitor
dimerisasi protease HIV (Purohit & Sethumadhavan, 2009) sehingga digunakan
untuk validasi sistem penapisan ini. Pengaruh variasi konsentrasi tiap senyawa
terhadap pendaran (Fs) yang dihasilkan diuji secara statistik dengan metode one-
way ANOVA (Lampiran E) dan ditemukan bahwa variasi konsentrasi tersebut tidak
berpengaruh secara signifikan (P value > 0,05). Hal ini dapat disebabkan jumlah
molekul tiap senyawa berbeda dengan darunavir untuk konsentrasi sama dalam
ppm karena dimensi satuannya yang merupakan massa per volume. Namun, hal ini
tidak dapat diprediksi dalam desain penelitian karena struktur senyawa dan rumus
molekul yang tidak tersedia di awal penapisan. Selain itu, sistem ini dikembangkan
untuk menapis senyawa atau isolat apapun secara blind, high-throughput dan
massal sebagai tahap awal seleksi kandidat inhibitor protease HIV Id. Oleh karena
itu, identifikasi struktur senyawa di awal tidak esensial untuk dilakukan.

Oleh karena variasi konsentrasi uji tidak memberi perbedaan nilai Fs yang
signifikan, maka seluruh variasi konsentrasi digunakan sebagai ulangan percobaan
untuk tiap senyawa uji. Selanjutnya, untuk menentukan senyawa yang berpotensi
sebagai kandidat inhibitor pembentukan dimer protease HIV Id maka dilakukan uji

28
Student s t-test antara senyawa uji dengan baseline. Perbedaan signifikan dengan
rata-rata nilai Fs (Lampiran D) senyawa uji yang lebih tinggi menunjukkan potensi
senyawa tersebut sebagai kandidat inhibitor pembentukan dimer. Namun,
ditemukan bahwa seluruh uji Student s t-test dari seluruh senyawa tidak memiliki
perbedaan signifikan dengan nilai baseline (Lampiran F).

Hal tersebut di atas dapat disebabkan oleh rentang konsentrasi uji 2-10 ppm yang
belum menunjukkan aktivitas inhibisi pembentukan dimer protease HIV Id.
Beberapa penyebabnya diduga interaksi senyawa dengan komponen lainnya pada
sel atau rendahnya permeabilitas senyawa terhadap membran sel sehingga afinitas
senyawa pada protease HIV Id yang masih rendah. Penapisan senyawa obat dengan
sistem Escherichia coli yang telah dilakukan sebelumnya memang sulit dilakukan
untuk senyawa dengan permeabilitas rendah seperti turunan peptida (Cheng et al.,
2004). Selain itu, standar deviasi yang besar menunjukkan nilai Fs masih memiliki
sebaran yang terlalu luas. Hal ini dapat menyebabkan perbedaan yang tidak
signifikan dengan nilai Fs baseline walaupun rata-ratanya terlihat lebih tinggi pada
beberapa senyawa di konsentrasi tertentu. Jumlah ulangan yang masih sedikit dapat
menyebabkan tren nilai Fs yang belum teramati dan standar deviasi yang terlalu
besar. Penyebab lainnya yang diduga menyebabkan nilai Fs yang memiliki standar
deviasi terlalu tinggi adalah kelarutan protein fusi di dalam sel yang rendah.
Penelitian sebelumnya (Nurfajri & Fibriani, belum dipublikasikan) menunjukkan
fraksi protein fusi di membran sel lebih tinggi dibandingkan fraksi sitoplasmik.
Temuan dibuktikan dengan pita protein yang lebih tebal pada gel elektroforesis
SDS-PAGE. Translokasi protein fusi protease HIV Id-AraCDBD ke wilayah
membran menyebabkan tidak jalannya sistem penapisan homodimer ini. Toksisitas
protein fusi ini seperti yang telah dilaporkan sebelumnya (Nurfajri & Fibriani,
belum dipublikasikan) juga menyebabkan badan inklusi yang merupakan agregat
protein di dalam sel (Slouka, Kopp, Spadiut, & Herwig, 2019). Protein yang
membentuk badan inklusi menyebabkan sistem penapisan homodimerisasi ini tidak
berjalan. Walaupun demikian, pembentukan badan inklusi tidak dianalisis dalam
penelitian ini karena dilakukan denaturasi total protein untuk elektroforesis SDS-
PAGE.

29
Berdasarkan hasil analisis di atas, tidak dapat ditentukan senyawa yang berpotensi
menjadi kandidat inhibitor protease HIV Id. Oleh karena itu, dapat dipilih senyawa
dengan nilai Fs yang relatif lebih tinggi dari baseline dengan asumsi bahwa ekspresi
EmGFP pada baseline merupakan ekspresi basal. Oleh karena itu, terlebih dahulu
dilakukan normalisasi nilai pendaran dengan membaginya dengan nilai pendaran
baseline untuk mendapatkan nilai pendaran relatif (Gambar 4.9).

Fluoresensi Relatif (Normalisasi terhadap Baseline)


4.5
4
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
Baseline CC-01 CC-07 CS-05 CS-07 CS-08 CS-10 CS-12 CS-04a AraC

2 ppm 4 ppm 6 ppm 8 ppm 10 ppm

Gambar 4.9 Fluoresensi relatif senyawa uji dengan normalisasi terhadap baseline

Berdasarkan Gambar 4.9 diketahui nilai pendaran relatif yang lebih tinggi dari 1,0
merupakan nilai pendaran yang relatif lebih tinggi dari baseline. Senyawa CC-01
dan CS-08 merupakan senyawa yang memiliki pendaran relatif lebih tinggi
(Lampiran G) dari 1,0 pada seluruh konsentrasi uji. Sementara itu, senyawa lainnya
memiliki satu atau lebih konsentrasi uji dengan pendaran relatif lebih rendah dari
baseline. Oleh karena itu, senyawa CC-01 dan CS-08 berpotensi menjadi kandidat
inhibitor pembentukan dimer protease HIV Id.

4.4 Hasil Analisis Docking Molekuler


Berdasarkan hasil penapisan dengan DBSS diketahui bahwa senyawa CC-01 dan
CS-08 memiliki potensi untuk kandidat inhibitor protease HIV Id. Oleh karena itu,

30
perlu dilakukan analisis tambahan untuk mendukung temuan ini. Salah satu metode
yang dilakukan adalah analisis docking molekuler secara in silico. Mula-mula
dilakukan penentuan struktur senyawa CC-01 dan CS-08 yang didapatkan dari
Kelompok Keahlian Kimia Organik, Program Studi Kimia, FMIPA. Struktur kedua
senyawa tersebut adalah sebagai berikut (Gambar 4.10).

Gambar 4.10 Struktur senyawa CC-01 (kiri) dan CS-08 (kanan)

Senyawa CC-01 diidentifikasi sebagai asam kalofolat D, sedangkan senyawa CS-


08 diidentifikasi sebagai asam isokalolongoat metil ester. Kedua senyawa ini
kemudian digambar dengan program MarvinSketch dan dipilih konformer dengan
energi paling kecil untuk mendapatkan struktur tiga dimensi yang paling mungkin.
Struktur senyawa kemudian disimpan dalam format pdb untuk digunakan sebagai
ligan dalam docking molekuler.

Selanjutnya, struktur protein fusi protease HIV Id-AraCDBD dibuat dengan


menggunakan situs I-Tasser dan didapatkan lima model (Gambar 4.11).

31
(1) (2)

(3) (4)

(5)

Gambar 4.11 5 model protein fusi protease HIV Id-AraCDBD oleh situs I-Tasser yang
divisualisasi dengan program PyMOL

Situs I-Tasser melakukan pemodelan struktur protein dengan terlebih dahulu


melakukan penyejajaran untuk mendapatkan beberapa template. Model baru
kemudian dibangung berdasarkan template yang ada sehingga bisa didapatkan
beberapa model sekaligus (Yang & Zhang, 2015). Penentuan model protein yang
paling mendekati struktur asalnya dapat dilakukan dengan penyejajaran atau
superimposisi dengan model protease HIV Id tanpa fusi menggunakan program

32
TM-Align yang disediakan situs I-Tasser. Nilai root-mean-square deviation
(RMSD) yang didapatkan adalah sebagai berikut.

Tabel 4.1 Nilai root-mean-square deviation atom model I-Tasser dengan protease HIV Id
Model I-Tasser RMSD (Å)
Model 1 1,36
Model 2 1,49
Model 3 1,32
Model 4 0,62
Model 5 0,63

Nilai RMSD dalam superimposisi dua struktur protein menunjukkan nilai rata-rata
jarak antar atom yang sejajar dalam satuan panjang (Å). Semakin kecil nilai RMSD
berarti semakin mirip struktur kedua protein yang disuperimposisi (Sargsyan,
Grauffel, & Lim, 2017). Nilai RMSD di bawah 1,5 umumnya digunakan untuk
mengindikasikan superimposisi yang baik (Hevener et al., 2009). Berdasarkan
Tabel 4.1 diketahui bahwa protein fusi model 4 memiliki nilai RMSD yang paling
kecil. Struktur superimposisi protein fusi model 4 dengan protease HIV Id prediksi
PyMOL dapat dilihat pada Gambar 4.12 di bawah ini. Struktur tersebut
menunjukkan wilayah loop sisi aktif dan domain dimerisasi di wilayah termini
saling membentuk superimposisi. Oleh karena itu, model 4 digunakan dalam
analisis docking molekuler selanjutnya.

Gambar 4.12 Struktur superimposisi protein fusi protease HIV Id-AraCDBD model 4 (cyan)
dengan protease HIV Id tanpa fusi AraCDBD (hijau)

33
Analisis docking molekuler dilakukan dengan program AutoDockVina pada
perangkat lunak AutoDockTools (1.5.6rc3) yang merupakan metode komputasi
cepat dan paling sering digunakan (Trott & Olson, 2009). Protein fusi protease HIV
Id-AraCDBD model 4 digunakan sebagai makromolekul atau reseptor yang rigid.
Kemudian, struktur senyawa CC-01 dan CS-08 diatur sebagai ligan. Daerah
prediksi docking dipilih secara manual pada domain dimerisasi: daerah sisi aktif
dan daerah termini (Hayashi et al., 2014). Hasil prediksi docking lalu divisualisasi
dengan perangkat lunak LigPlot (v.1.4.5).

Gambar 4.13 Interaksi senyawa asam kalofolat D (CC-01) dengan beberapa residu protein fusi
protease HIV Id-AraCDBD

Pada Gambar 4.13 dapat diamati bahwa interaksi CC-01 dengan protein fusi hanya
berupa interaksi hidrofobik. Energi afinitas interaksi ini sebesar -2,7 kcal/mol.
Energi bebas Gibbs yang diukur sebagai energi afinitas ikatan ini harus bernilai
negatif agar interaksi dapat berlangsung secara spontan (Du et al., 2016).
Berdasarkan hal tersebut, maka interaksi tersebut di atas (Gambar 4.13) dapat
berlangsung secara spontan di dalam sel. Namun, besaran energi afinitas tersebut
sekitar ¼ kali lebih rendah dibandingkan dengan darunavir (12,2 kcal/mol) (King
et al., 2004) yang dapat menjelaskan rendahnya nilai pendaran relatif senyawa ini

34
dibandingkan kontrol positif. Namun, interaksi hidrofobik terbentuk pada dua
residu di sisi aktif protease HIV Id yaitu Asp145 dan Ala148 (Hayashi et al., 2014).
Selain itu, juga diketahui Asp145 merupakan residu katalitik dari protease HIV
(Gulnik et al., 2000). Oleh karena itu, senyawa CC-01 berpotensi menjadi kandidat
inhibitor pembentukan dimer protease HIV Id.

Gambar 4.14 Interaksi senyawa asam isokalolongoat metil ester (CS-08) dengan beberapa residu
protein fusi protease HIV Id-AraCDBD

Sementara itu, interaksi CS-08 dengan protein fusi yaitu pembentukan ikatan
hidrogen antara gugus samping ester dengan gugus OH dari Ala148 pada gen fusi.
Besar energi afinitas total interaksi senyawa ini dengan protein fusi adalah -3,3
kcal/mol yang juga lebih kecil dari darunavir (King et al., 2004) dan tidak berbeda
jauh dengan energi afinitas CC-01. Hal ini juga dapat menjelaskan rendahnya nilai
pendaran relatif senyawa ini. Walaupun demikian, residu Ala148 merupakan bagian
dari situs aktif dan domain dimerisasi protease HIV (Hayashi et al., 2014). Oleh
karena itu, senyawa ini juga berpotensi digunakan sebagai inhibitor pembentukan
dimer protease HIV Id.

35
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Konstruksi plasmid fusi protease HIV Id-AraCDBD telah sesuai dengan desain
dan protein fusi dapat diekspresikan sehingga sistem DBSS dapat digunakan untuk
penapisan senyawa.
2. Senyawa asam kalofolat D (CC-01) dan asam isokalolongoat metil ester (CS-08)
berpotensi digunakan sebagai inhibitor dimerisasi protease HIV isolat Indonesia.

5.2 Saran
1. Identifikasi struktur senyawa dan analisis docking molekuler untuk senyawa
lainnya dilakukan untuk membandingkan interaksinya dengan protease HIV Id.
2. Pengujian aktivitas senyawa CC-01 dan CS-08 dapat dilanjutkan untuk protease
HIV dari strain lainnya serta digunakan untuk uji-uji lanjutan.

36
DAFTAR PUSTAKA

Alkhatib, G. (2009, March). The biology of CCR5 and CXCR4. Current Opinion
in HIV and AIDS, Vol. 4, pp. 96 103.
https://doi.org/10.1097/COH.0b013e328324bbec
Ambrose, Z., & Aiken, C. (2014, April 1). HIV-1 uncoating: Connection to
nuclear entry and regulation by host proteins. Virology, Vol. 454 455, pp.
371 379. https://doi.org/10.1016/j.virol.2014.02.004
Arhel, N. (2010, November 17). Revisiting HIV-1 uncoating. Retrovirology, Vol.
7, p. 96. https://doi.org/10.1186/1742-4690-7-96
Barré-Sinoussi, F., Chermann, J. C., Rey, F., Nugeyre, M. T., Chamaret, S.,
Gruest, J., Montagnier, L. (1983). Isolation of a T-lymphotropic retrovirus
from a patient at risk for acquired immune deficiency syndrome (AIDS).
Science, 220(4599), 868 871. https://doi.org/10.1126/science.6189183
Bustos, S. A., & Schleif, R. F. (1993). Functional domains of the AraC protein.
Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of
America, 90(12), 5638 5642. https://doi.org/10.1073/pnas.90.12.5638
Cheng, T. J., Brik, A., Wong, C. H., & Kan, C. C. (2004). Model system for high-
throughput screening of novel human immunodeficiency virus protease
inhibitors in Escherichia coli. Antimicrobial Agents and Chemotherapy,
48(7), 2437 2447. https://doi.org/10.1128/AAC.48.7.2437-2447.2004
Cosnefroy, O., Murray, P. J., & Bishop, K. N. (2016). HIV-1 capsid uncoating
initiates after the first strand transfer of reverse transcription. Retrovirology,
13(1), 58. https://doi.org/10.1186/s12977-016-0292-7
Craigie, R., & Bushman, F. D. (2012). HIV DNA integration. Cold Spring Harbor
Perspectives in Medicine, 2(7). https://doi.org/10.1101/cshperspect.a006890
del Rio, C. (2017, July 1). The global HIV epidemic: What the pathologist needs
to know. Seminars in Diagnostic Pathology, Vol. 34, pp. 314 317.
https://doi.org/10.1053/j.semdp.2017.05.001
Du, X., Li, Y., Xia, Y. L., Ai, S. M., Liang, J., Sang, P., Liu, S. Q. (2016,
January 26). Insights into protein ligand interactions: Mechanisms, models,
and methods. International Journal of Molecular Sciences, Vol. 17.

37
https://doi.org/10.3390/ijms17020144
Dubendorf, J. W., & Studier, F. W. (1991). Controlling basal expression in an
inducible T7 expression system by blocking the target T7 promoter with lac
repressor. Journal of Molecular Biology, 219(1), 45 59.
https://doi.org/10.1016/0022-2836(91)90856-2
Dumon-Seignovert, L., Cariot, G., & Vuillard, L. (2004). The toxicity of
recombinant proteins in Escherichia coli: A comparison of overexpression in
BL21(DE3), C41(DE3), and C43(DE3). Protein Expression and
Purification, 37(1), 203 206. https://doi.org/10.1016/j.pep.2004.04.025
Dwipayana, I. D. A. P., Fibriani, A., & Syah, Y. M. (2018). Pengembangan dan
Pengujian Sistem Seleksi Senyawa Penghambat Pembentukan Dimer
Protease HIV-1. Institut Teknologi Bandung.
Fibriani, A., Feraliana, Steven, N., Rahmita, M., & Rachman, E. G. (2018).
Plasmid Construction for Development of a High Throughput System
Selection of New Anti-HIV Drugs Derived from Biological Resources
Indonesia. BioTechnology: An Indian Journal, 14(3), 4. Retrieved from
https://www.tsijournals.com/articles/plasmid-construction-for-development-
of-a-high-throughput-system-selection-of-new-antihiv-drugs-derived-from-
biological-resources-13720.html
Fun, A., Wensing, A. M. J., Verheyen, J., & Nijhuis, M. (2012, August 6). Human
Immunodeficiency Virus gag and protease: Partners in resistance.
Retrovirology, Vol. 9, pp. 1 14. https://doi.org/10.1186/1742-4690-9-63
Furuta, E., Yamamoto, K., Tatebe, D., Watabe, K., Kitayama, T., & Utsumi, R.
(2005). Targeting protein homodimerization: A novel drug discovery system.
FEBS Letters, 579(10), 2065 2070.
https://doi.org/10.1016/j.febslet.2005.02.056
Goodsell, D. S., & Olson, A. J. (1990). Automated docking of substrates to
proteins by simulated annealing. Proteins: Structure, Function, and
Bioinformatics, 8(3), 195 202. https://doi.org/10.1002/prot.340080302
Gulnik, S., Erickson, J. W., & Xie, D. (2000, January 1). HIV protease: Enzyme
function and drug resistance. Vitamins and Hormones, Vol. 58, pp. 213 256.
https://doi.org/10.1016/s0083-6729(00)58026-1

38
Hartvig, L., & Christiansen, J. (1996). Intrinsic termination of T7 RNA
polymerase mediated by either RNA or DNA. The EMBO Journal, 15(17),
4767 4774. https://doi.org/10.1002/j.1460-2075.1996.tb00854.x
Ha ashi, H., Takamune, N., Nirasawa, T., Aoki, M., Morishita, Y., Das, D.,
Mitsuya, H. (2014). Dimerization of HIV-1 protease occurs through two
steps relating to the mechanism of protease dimerization inhibition by
darunavir. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United
States of America, 111(33), 12234 12239.
https://doi.org/10.1073/pnas.1400027111
Hevener, K. E., Zhao, W., Ball, D. M., Babaoglu, K., Qi, J., White, S. W., & Lee,
R. E. (2009). Validation of molecular docking programs for virtual screening
against dihydropteroate synthase. Journal of Chemical Information and
Modeling, 49(2), 444 460. https://doi.org/10.1021/ci800293n
Hornak, V., Okur, A., Rizzo, R. C., & Simmerling, C. (2006). HIV-1 protease
flaps spontaneously open and reclose in molecular dynamics simulations.
Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of
America, 103(4), 915 920. https://doi.org/10.1073/pnas.0508452103
Hu, W. S., & Hughes, S. H. (2012). HIV-1 reverse transcription. Cold Spring
Harbor Perspectives in Medicine, 2(10).
https://doi.org/10.1101/cshperspect.a006882
Huang, L., & Chen, C. (2013, July). Understanding HIV-1 protease
autoprocessing for novel therapeutic development. Future Medicinal
Chemistry, Vol. 5, pp. 1215 1229. https://doi.org/10.4155/fmc.13.89
Ishima, R., Torchia, D. A., Lynch, S. M., Gronenborn, A. M., & Louis, J. M.
(2003). Solution Structure of the Mature HIV-1 Protease Monomer: Insight
into the tertiary fold and stability of a precursor. Journal of Biological
Chemistry, 278(44), 43311 43319. https://doi.org/10.1074/jbc.M307549200
Kementerian Kesehatan RI. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 87 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengobatan Antiretroviral.
Jakarta, Indonesia.
Kempf, D. J., Marsh, K. C., Denissen, J. F., McDonald, E., Vasavanonda, S.,
Flentge, C. A., Norbeck, D. W. (1995). ABT-538 is a potent inhibitor of

39
human immunodeficiency virus protease and has high oral bioavailability in
humans. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United
States of America, 92(7), 2484 2488. https://doi.org/10.1073/pnas.92.7.2484
King, N. M., Prabu-Jeyabalan, M., Nalivaika, E. A., Wigerinck, P., de Béthune,
M.-P., & Schiffer, C. A. (2004). Structural and Thermodynamic Basis for the
Binding of TMC114, a Next-Generation Human Immunodeficiency Virus
Type 1 Protease Inhibitor. Journal of Virology, 78(21), 12012 12021.
https://doi.org/10.1128/jvi.78.21.12012-12021.2004
Koh, Y., Amano, M., Towata, T., Danish, M., Leshchenko-Yashchuk, S., Das, D.,
Mitsu a, H. (2010). In Vitro Selection of Highl Darunavir-Resistant and
Replication-Competent HIV-1 Variants by Using a Mixture of Clinical HIV-
1 Isolates Resistant to Multiple Conventional Protease Inhibitors. Journal of
Virology, 84(22), 11961 11969. https://doi.org/10.1128/jvi.00967-10
Louis, J. M., Aniana, A., Weber, I. T., & Sayer, J. M. (2011). Inhibition of
autoprocessing of natural variants and multidrug resistant mutant precursors
of HIV-1 protease by clinical inhibitors. Proceedings of the National
Academy of Sciences of the United States of America, 108(22), 9072 9077.
https://doi.org/10.1073/pnas.1102278108
Merati, T. P., R an, C. E., Spelmen, T., Wirawan, D. N., Bakta, I. M., Otto, B.,
Crowe, S. M. (2012). CRF01-AE dominates the HIV-1 epidemic in
Indonesia. Sexual Health, Vol. 9, pp. 414 421.
https://doi.org/10.1071/SH11121
Munoz, A., Wang, M.-C., Bass, S., Taylor, J. M. G., Kingsley, L. A., Chmiel, J.
S., & Polk, B. F. (1989). Acquired immunodeficieny syndrome (AIDS)-free
time after human immunodeficiency virus type 1 (HIV-1) seroconversion in
homosexual men. American Journal of Epidemiology, 130(3), 530 539.
https://doi.org/10.1093/oxfordjournals.aje.a115367
Nyamweya, S., Hegedus, A., Jaye, A., Rowland-Jones, S., Flanagan, K. L., &
Macallan, D. C. (2013, July). Comparing HIV-1 and HIV-2 infection:
Lessons for viral immunopathogenesis. Reviews in Medical Virology, Vol.
23, pp. 221 240. https://doi.org/10.1002/rmv.1739
Ogden, S., Haggerty, D., Stoner, C. M., Kolodrubetz, D., & Schleif, R. (1980).

40
The Escherichia coli L-arabinose operon: Binding sites of the regulatory
proteins and a mechanism of positive and negative regulation. Proceedings
of the National Academy of Sciences of the United States of America, 77(6 I),
3346 3350. https://doi.org/10.1073/pnas.77.6.3346
Okada, A., Gotoh, Y., Watanabe, T., Furuta, E., Yamamoto, K., & Utsumi, R.
(2007). Targeting Two-Component Signal Transduction: A Novel Drug
Discovery System. In Methods in Enzymology (Vol. 422, pp. 386 395).
https://doi.org/10.1016/S0076-6879(06)22019-6
Pettit, S. C., Gulnik, S., Everitt, L., & Kaplan, A. H. (2003). The Dimer Interfaces
of Protease and Extra-Protease Domains Influence the Activation of Protease
and the Specificity of GagPol Cleavage. Journal of Virology, 77(1), 366
374. https://doi.org/10.1128/jvi.77.1.366-374.2003
Prabu-Jeyabalan, M., Nalivaika, E., & Schiffer, C. A. (2002). Substrate shape
determines specificity of recognition for HIV-1 protease: Analysis of crystal
structures of six substrate complexes. Structure, 10(3), 369 381.
https://doi.org/10.1016/S0969-2126(02)00720-7
Purohit, R., & Sethumadhavan, R. (2009). Structural basis for the resilience of
Darunavir (TMC114) resistance major flap mutations of HIV-1 protease.
Interdisciplinary Sciences, Computational Life Sciences, 1(4), 320 328.
https://doi.org/10.1007/s12539-009-0043-8
Sargsyan, K., Grauffel, C., & Lim, C. (2017). How Molecular Size Impacts
RMSD Applications in Molecular Dynamics Simulations. Journal of
Chemical Theory and Computation, 13(4), 1518 1524.
https://doi.org/10.1021/acs.jctc.7b00028
Schleif, R. (2010). AraC protein, regulation of the l-arabinose operon in
Escherichia coli , and the light switch mechanism of AraC action. FEMS
Microbiology Reviews, 34(5), 779 796. https://doi.org/10.1111/j.1574-
6976.2010.00226.x
Schoepfer, R. (1993). The pRSET family of T7 promoter expression vectors for
Escherichia coli. Gene, 124(1), 83 85. https://doi.org/10.1016/0378-
1119(93)90764-T
Seitz, R. (2016). Human Immunodeficiency Virus (HIV). Transfusion Medicine

41
and Hemotherapy, 43(3), 203 222. https://doi.org/10.1159/000445852
Silva, M. de O., Bastos, M., Martins Netto, E., Gouvea, N. A. de L., Torres, A. J.
L., Kallas, E., Brites, C. (2010). Acute HIV infection with rapid
progression to AIDS. Brazilian Journal of Infectious Diseases, 14(3), 291
293. https://doi.org/10.1590/s1413-86702010000300016
Slouka, C., Kopp, J., Spadiut, O., & Herwig, C. (2019, February 1). Perspectives
of inclusion bodies for bio-based products: curse or blessing? Applied
Microbiology and Biotechnology, Vol. 103, pp. 1143 1153.
https://doi.org/10.1007/s00253-018-9569-1
Studier, F. W., & Moffatt, B. A. (1986). Use of bacteriophage T7 RNA
polymerase to direct selective high-level expression of cloned genes. Journal
of Molecular Biology, 189(1), 113 130. https://doi.org/10.1016/0022-
2836(86)90385-2
Sundquist, W. I., & Kräusslich, H. G. (2012). HIV-1 assembly, budding, and
maturation. Cold Spring Harbor Perspectives in Medicine, Vol. 2.
https://doi.org/10.1101/cshperspect.a006924
S ma ski, P., Markowic , M., & Mikiciuk-Olasik, E. (2012). Adaptation of
high-throughput screening in drug discovery-toxicological screening tests.
International Journal of Molecular Sciences, Vol. 13, pp. 427 452.
https://doi.org/10.3390/ijms13010427
Tebit, D. M., & Arts, E. J. (2011, January 1). Tracking a century of global
expansion and evolution of HIV to drive understanding and to combat
disease. The Lancet Infectious Diseases, Vol. 11, pp. 45 56.
https://doi.org/10.1016/S1473-3099(10)70186-9
Tóth, G., & Borics, A. (2006). Flap opening mechanism of HIV-1 protease.
Journal of Molecular Graphics and Modelling, 24(6), 465 474.
https://doi.org/10.1016/j.jmgm.2005.08.008
Trott, O., & Olson, A. J. (2009). AutoDock Vina: Improving the speed and
accuracy of docking with a new scoring function, efficient optimization, and
multithreading. Journal of Computational Chemistry, 31(2), NA-NA.
https://doi.org/10.1002/jcc.21334
Tsurayya, N., Fibriani, A., & Syah, Y. M. (2019). Aplikasi Dimer-Based

42
Screening System (DBSS) dalam Menyeleksi Kandidat Obat Anti-HIV.
Institut Teknologi Bandung.
UNAIDS. (2018). UNAIDS Data 2018 - Google Search. Retrieved March 21,
2020, from https://www.unaids.org/en/resources/documents/2018/unaids-
data-2018
Wang, R. F., & Kushner, S. R. (1991). Construction of versatile low-copy-number
vectors for cloning, sequencing and gene expression in Escherichia coli.
Gene, 100(C), 195 199. https://doi.org/10.1016/0378-1119(91)90366-J
Wilen, C. B., Tilton, J. C., & Doms, R. W. (2012). HIV: Cell binding and entry.
Cold Spring Harbor Perspectives in Medicine, 2(8).
https://doi.org/10.1101/cshperspect.a006866
Wood, W. N., Smith, K. D., Ream, J. A., & Kevin Lewis, L. (2017). Enhancing
yields of low and single copy number plasmid DNAs from Escherichia coli
cells. Journal of Microbiological Methods, 133, 46 51.
https://doi.org/10.1016/j.mimet.2016.12.016
World Health Organization. (2019). Update of Recommendations on First- and
Second-Line Antiretroviral Regimens. Geneva, Switzerland.
Yang, J., & Zhang, Y. (2015). Protein Structure and Function Prediction Using I-
TASSER. Current Protocols in Bioinformatics, 52(1), 5.8.1-5.8.15.
https://doi.org/10.1002/0471250953.bi0508s52
Yoshimura, K., Kato, R., Kavlick, M. F., Nguyen, A., Maroun, V., Maeda, K.,
Mitsuya, H. (2002). A Potent Human Immunodeficiency Virus Type 1
Protease Inhibitor, UIC-94003 (TMC-126), and Selection of a Novel (A28S)
Mutation in the Protease Active Site. Journal of Virology, 76(3), 1349 1358.
https://doi.org/10.1128/jvi.76.3.1349-1358.2002
Zhang, Y. (2009). I-TASSER: Fully automated protein structure prediction in
CASP8. Proteins: Structure, Function and Bioinformatics, 77(SUPPL. 9),
100 113. https://doi.org/10.1002/prot.22588

43
LAMPIRAN A
Larutan & Reagen

Luria Bertani agar (1 L)


Tripton 10 gram
Ekstrak ragi 5 gram
NaCl 5 gram
Akuades hingga 1 L

Luria Bertani broth


Tripton 10 gram
Ekstrak ragi 5 gram
NaCl 5 gram
Agar bakteriologis 12 gram
Akuades hingga 1 L

SDS loading buffer


Tris-Cl 100 mM (pH 6,8)
SDS 4%
Biru bromfenol 0,2%
Gliserol 20%
-merkaptoetanol 200 mM

SDS running buffer 10X 1 L (pH 8,3)


Tris base 30 gram
Glisin 144 gram
SDS 10 gram
Deion hingga 1 L

Staining solution
CBB R-250 0,25 gram

44
Metanol teknis 45 ml
Asam asetat glasial 10 ml
Deion 45 ml

Destaining solution
Metanol teknis 45 ml
Asam asetat glasial 10 ml
Deion 45 ml

45
LAMPIRAN B
Campuran dan Siklus PCR

Komponen Volume
MyTaq Red Mix, 2X 5 µl
Primer F, 1 µM 0,4 µl
Primer R, 1 µM 0,4 µl
Template 2 µl
Nuclease-free water 2,2 µl
Total 10 µl

Tahapan Temperatur (oC) Waktu Jumlah Siklus


Denaturasi awal 95 1 menit 1X
Denaturasi 95 15 detik
Annealing 56 20 detik 25X
Ekstensi 72 10 detik
Ekstensi akhir 68 5 menit 1X
Hold 4 -

46
LAMPIRAN C
Kromatogram Reverse Hasil Sekuensing DNA

1. Kontrol positif plasmid tanpa fusi protease

2. Plasmid dengan gen fusi

47
LAMPIRAN D
Nilai Fs Senyawa Uji

Fs
Perlakuan/Senyawa
2 ppm 4 ppm 6 ppm 8 ppm 10 ppm
Baseline 1779.966433
CC-01 3418.528 2816.281 2477.78 3322.184 3421.318
CC-07 1773.742 3274.786 3226.368 2365.217 2416.266
CS-05 1736.347 1875.257 1280.441 1325.028 1737.918
CS-07 2927.365 1548.462 2501.84 1540.035 1486.333
CS-08 1961.15 2533.108 2137.47 2574.682 2251.923
CS-10 1448.648 2651.662 2171.206 1533.516 2083.814
CS-12 2199.46 1327.165 1108.461 1046.374 1232.274
CS-04a 841.7403 865.1243 1006.773 1648.288 1449.651
AraC 6815.007534

Standar Deviasi
Perlakuan/Senyawa
2 ppm 4 ppm 6 ppm 8 ppm 10 ppm
Baseline 375.8167045
CC-01 981.4114 878.0347 791.7711 2381.867 3091.709
CC-07 37.07837 2814.753 458.4201 200.5896 611.7038
CS-05 1289.871 1117.877 1137.707 995.044 71.09569
CS-07 896.1302 178.7684 1394.453 1101.405 1006.632
CS-08 254.8496 261.4151 1171.991 1214.791 367.4577
CS-10 157.8046 915.0647 444.5882 164.7322 1163.956
CS-12 439.8543 658.3403 829.363 431.2823 313.6192
CS-04a 35.24587 181.0559 908.9127 641.4405 118.1088
AraC 1695.619857

48
LAMPIRAN E
Hasil Uji One-way ANOVA

1. Signifikansi Variasi Konsentrasi CC-01


ANOVA
Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 1271761 4 317940.2 0.112389 0.975272 3.47805
Within Groups 28289219 10 2828922

Total 29560980 14

2. Signifikansi Variasi Konsentrasi CC-07


ANOVA
Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 3367826 4 841956.5 0.716463 0.599597 3.47805
Within Groups 11751566 10 1175157

Total 15119392 14

3. Signifikansi Variasi Konsentrasi CS-05


ANOVA
Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 581401.6 4 145350.4 0.13968 0.960158 5.192168
Within Groups 5202961 5 1040592

Total 5784363 9

4. Signifikansi Variasi Konsentrasi CS-07


ANOVA
Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 3582310 4 895577.5 0.894521 0.529877 5.192168
Within Groups 5005905 5 1001181

Total 8588215 9

49
5. Signifikansi Variasi Konsentrasi CS-08
ANOVA
Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 545977.8 4 136494.4 0.21891 0.916901 5.192168
Within Groups 3117591 5 623518.2

Total 3663569 9

6. Signifikansi Variasi Konsentrasi CS-10


ANOVA
Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 1960249 4 490062.3 1.003471 0.484279 5.192168
Within Groups 2441835 5 488367

Total 4402084 9

7. Signifikansi Variasi Konsentrasi CS-12


ANOVA
Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 1762264 4 440566 1.377554 0.360692 5.192168
Within Groups 1599088 5 319817.6

Total 3361352 9

8. Signifikansi Variasi Konsentrasi CS-04a


ANOVA
Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 1068030 4 267007.6 1.038502 0.470639 5.192168
Within Groups 1285541 5 257108.3

Total 2353572 9

50
LAMPIRAN F
Uji Student s t-Test

1. Signifikansi Nilai Fs Baseline dengan Senyawa CC-01


t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances

Variable Variable
1 2
Mean 1898.878 2508.334
Variance 719659.6 2111499
Observations 18 15
Pooled Variance 1348232
Hypothesized Mean
Difference 0
df 31
t Stat -1.50136
P(T<=t) one-tail 0.07169
t Critical one-tail 1.695519
P(T<=t) two-tail 0.143381
t Critical two-tail 2.039513

2. Signifikansi Nilai Fs Baseline dengan Senyawa CC-01


t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances

Variable Variable
1 2
Mean 1898.878 2319.951
Variance 719659.6 1079957
Observations 18 15
Pooled Variance 882374.3
Hypothesized Mean
Difference 0
df 31
t Stat -1.2822
P(T<=t) one-tail 0.104639
t Critical one-tail 1.695519
P(T<=t) two-tail 0.209279
t Critical two-tail 2.039513

3. Signifikansi Nilai Fs Baseline dengan Senyawa CC-01


t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances

51
Variable Variable
1 2
Mean 1898.878 1590.998
Variance 719659.6 642707
Observations 18 10
Pooled Variance 693022.1
Hypothesized Mean
Difference 0
df 26
t Stat 0.937704
P(T<=t) one-tail 0.178513
t Critical one-tail 1.705618
P(T<=t) two-tail 0.357026
t Critical two-tail 2.055529

4. Signifikansi Nilai Fs Baseline dengan Senyawa CC-01


t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances

Variable Variable
1 2
Mean 1898.878 2000.807
Variance 719659.6 954246.1
Observations 18 10
Pooled Variance 800862.6
Hypothesized Mean
Difference 0
df 26
t Stat -0.28878
P(T<=t) one-tail 0.387518
t Critical one-tail 1.705618
P(T<=t) two-tail 0.775036
t Critical two-tail 2.055529

5. Signifikansi Nilai Fs Baseline dengan Senyawa CC-01


t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances

Variable Variable
1 2
Mean 1898.878 2291.667
Variance 719659.6 407063.2
Observations 18 10
Pooled Variance 611453.1

52
Hypothesized Mean
Difference 0
df 26
t Stat -1.2736
P(T<=t) one-tail 0.107036
t Critical one-tail 1.705618
P(T<=t) two-tail 0.214073
t Critical two-tail 2.055529

6. Signifikansi Nilai Fs Baseline dengan Senyawa CC-01


t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances

Variable Variable
1 2
Mean 1898.878 1977.769
Variance 719659.6 489120.5
Observations 18 10
Pooled Variance 639857.6
Hypothesized Mean
Difference 0
df 26
t Stat -0.25006
P(T<=t) one-tail 0.402254
t Critical one-tail 1.705618
P(T<=t) two-tail 0.804507
t Critical two-tail 2.055529

7. Signifikansi Nilai Fs Baseline dengan Senyawa CC-01


t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances

Variable Variable
1 2
Mean 1898.878 1382.747
Variance 719659.6 373483.5
Observations 18 10
Pooled Variance 599829.4
Hypothesized Mean
Difference 0
df 26
t Stat 1.689678
P(T<=t) one-tail 0.051524
t Critical one-tail 1.705618
P(T<=t) two-tail 0.103047

53
t Critical two-tail 2.055529

8. Signifikansi Nilai Fs Baseline dengan Senyawa CC-01


t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances

Variable Variable
1 2
Mean 1898.878 1162.315
Variance 719659.6 261508
Observations 18 10
Pooled Variance 561068.6
Hypothesized Mean
Difference 0
df 26
t Stat 2.493212
P(T<=t) one-tail 0.009676
t Critical one-tail 1.705618
P(T<=t) two-tail 0.019352
t Critical two-tail 2.055529

54
LAMPIRAN G
Nilai Pendaran Relatif

Konsentrasi
Senyawa/Perlakuan
2 ppm 4 ppm 6 ppm 8 ppm 10 ppm
Baseline 1
CC-01 1.920557 1.58221 1.392038 1.866431 1.922125
CC-07 0.996503 1.839802 1.8126 1.328798 1.357479
CS-05 0.975494 1.053535 0.719362 0.744412 0.976377
CS-07 1.644618 0.869939 1.405555 0.865205 0.835034
CS-08 1.101791 1.423121 1.200848 1.446478 1.265149
CS-10 0.813863 1.489726 1.219802 0.861542 1.170704
CS-12 1.235675 0.745613 0.622742 0.587862 0.692302
CS-04a 0.472897 0.486034 0.565614 0.926022 0.814426
AraC 3.82872812

55

Anda mungkin juga menyukai