Anda di halaman 1dari 5

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 3

Nama Mahasiswa : Ardiansyah Iqbal Hakim

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 042784119

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4211/Pengantar Ilmu Hukum

Kode/Nama UPBJJ : 12/UPBJJ MEDAN

Masa Ujian : 2020/21.1(2020.2)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
No. Soal
Kasus Baiq Nuril
Putusan Nomor 83 PK/Pid.Sus/2019, Mahkamah Agung (MA) telah memutus perkara Baiq Nuril
Maknun yang putusannya menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) atas permohonan Baiq
Nuril yang mengajukan PK ke MA. Kasus Baiq Nuril berawal pada tahun 2012, di mana ia
menjadi guru honorer pada SMA 7 Mataram, bermula dari percakapan telepon dengan Kepala
Sekolahnya yang bercerita soal pengalaman hubungan seksual yang diduga juga mengarah pada
pelecehan seksual secara verbal kepada Baiq Nuril. Karena merasa risih, Baiq Nuril kemudian
merekam pembicaraan tersebut dan rekaman itu akhirnya diketahui orang lain. Kemudian Kepala
Sekolah dimaksud melaporkan sebagai kasus pelanggaran terhadap UU Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE).
Ditolaknya permohonan PK Baiq Nuril, berdampak bahwa putusan kasasi MA yang menghukum
Baiq Nuril dinyatakan berlaku. Sebagaimana putusan tingkat Kasasi bulan September 2018
memutus Baiq Nurul Maknun bersalah dan diganjar hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp. 500
juta, karena dianggap melanggar UU ITE, Pasal 27 ayat (1) dan (3) jo Pasal 45 ayat 1 Undang-
Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), walaupun
sebelumnya Pengadilan Negeri Mataram, dalam sidang putusan tertanggal 26 Juli 2017,
menyatakan Baiq Nuril tidak bersalah dan divonis bebas.
Sumber : https://www.kompasiana.com/rat/5d2d95d00d82304da36e6d52/kasus-
baiq-nurilantara-amnesti-dan-ketiadaan-mekanisme-menemukan-hukum-yang-adil

1. Uraikan oleh saudara berdasarkan kasus di atas, sistem hukum manakah yang dianut oleh
Indonesia dan apakah sistem hukum tersebut masih relevan diberlakukan di Indonesia?
Jawab: Sistem hukum civil law, sistem ini masih relevan diberlakukan karena berupa peraturan
perundang undangan, kebiasaan-kebiasaan dan yurispudensi. Tradisi hukum civil law ini juga
menempatkan posisi konstitusi tertinggi yaitu peraturan perundang-undangan.
2. Ada dua sistem hukum yang berlaku di dunia, apakah dimungkinkan kedua sistem hukum tersebut
diberlakukan di Indonesia secara bersamaan? Berikan pendapat saudara disertai dengan
contohnya.
Jawab: Tidak mungkin karna dalam satu negara hanya menganut satu hukum.
setiap sistem hukum memiliki perbedaan tata cara merealisasikannya masing masing
3. Berdasarkan kasus di atas menunjukkan bahwa hukum telematika saat ini mulai terus berkembang
seiring perkembangan zaman. Berikan pendapat saudara mengenai perkembangan hukum
telematika dan implementasi UU ITE apakah kasus Baiq Nuril memang termasuk pelanggaran
UU ITE? Jelaskan!
Jawab: Jika kita membagi unsur dari Pasal 27 ayat (1) UU ITE maka dapat dibagi menjadi 3
unsur yaitu:
dengan sengaja dan tanpa hak
1. 1. mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
2. 2. memiliki muatan melanggar kesusilaan
UU ITE sendiri tidak menggambarkan secara jelas apa yang dimaksud dengan unsur ?dengan
sengaja dan tanpa hak; unsur mendistribusikan, mentransmisikan dan membuat dapat diaksesnya
serta memiliki muatan melanggar kesusilaan. Dengan tidak adanya penjelasan dari undang-
undang tentang apa yang dimaksudkan dari unsur-unsur tersebut menyebabkan terdapat berbagai
perbedaan pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan unsur-unsur tersebut. Oleh karena itu
dibutuhkan peranan dari penafsiran hukum yang seharusnya dilakukan oleh Hakim untuk
menjelaskan maksud dari unsur-unsur delik tersebut.
1. Unsur dengan sengaja dan tanpa hak
Jika kita melihat unsur yang pertama, JPU tidak dapat memilih salah satu apakah sengaja atau
tanpa hak untuk dibuktikan di persidangan. Kata ?dan? memiliki implikasi bahwa JPU harus
membuktikan tidak hanya unsur kesengajaan akan tetapi juga tanpa hak.
Pengertian kesengajaan sendiri adalah merupakan bagian dari arti kesalahan yang seluas-
luasnya. Mvt menterjemahkan dengan sengaja sebagai kehendak yang disadari yang ditujukan
untuk melakukan kejahatan tertentu. Sengaja dalam hal ini juga dipersamakan dengan willens en
wetens.[3]Hakim MA dalam hal ini hanya mengambil pemahaman kehendak yang disadari,
tanpa melihat apakah perbuatan tersebut memang merupakan sesuatu yang dikehendaki oleh
terdakwa. Sengaja apabila dihubungkan dengan teori kehendak harus dipahami bahwa inti
kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-
undang. Sehingga dengan sengaja memindahkan rekaman yang terdapat dari handphone Baiq
Nuril ke laptop milik saksi Haji Imam Mudawin harus dihubungkan dengan unsur kedua yaitu
bahwa Baiq Nuril memang menghendaki agar informasi/dokumen elektronik tersebut
didistribusikan dan/atau ditransmisikan dan/atau dapat diakses. Dalam hal ini hakim hanya
melihat dari perbuatan factual yang dilakukan oleh Baiq Nuril tanpa melihat bahwa untuk
tercapainya unsur sengaja dibutuhkan unsur ?niat? dan ?motif? yang sama sekali tidak
dipertimbangkan oleh hakim. Jika dihubungkan dengan alasan pemberat pidana yang
dikemukakan dalam pertimbangan MA terkait akibat yang ditimbulkan. Maka harus dibuktikan
apakah terdapat korelasi apakah akibat yang dialami oleh saksi Imam merupakan maksud yang
diinginkan oleh Baiq Nuril. Hakim MA disini juga tidak menjelaskan lebih lanjut hubungan
antara perbuatan memindahkan informasi tersebut dengan akibat yang diinginkan oleh Baiq
Nuril.
Unsur sengaja dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE sendiri harus dibuktikan bersama-sama dengan
unsur tanpa hak, hal ini dikarenakan terdapat kata ?dan? yaitu ?dengan sengaja dan tanpa hak?
yang berdampak bahwa JPU tidak dapat membuktikan salah satu unsur melainkan harus terbukti
kedua-duanya. Hakim MA dalam putusannya sama sekali tidak mempertimbangkan unsur ?tanpa
hak?.
Berdasarkan putusan No 1190/Pid.B/010/PN.TNG orang yang berhakmeskipun memiliki
kesengajaan untuk mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tidak dapat dipidana. Sehingga
unsur ini harus dibuktikan apakah Baiq Nuril memiliki hak atau tidak untuk mendistribusikan
rekaman tersebut. Unsur ?tanpa hak? ditafsirkan dan seringkali dipersamakan dengan unsur
?melawan hukum?, di sini unsur tanpa hak harus dipahami tidak hanya dalam perbuatan
faktualnya saja melainkan sangat tergantung pada keadaan peristiwa yang konkrit.[4] Sehingga,
perbuatan pemindahan data dari handphone Baiq Nuril tidak dapat dimaknai pemindahan
data/informasi semata melainkan harus dilihat mengapa Baiq Nuril memindahkan data tersebut
dan apakah pemindahan data tersebut dibenarkan dalam hukum.
1. Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
Dalam memahami unsur kedua dari ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU ITE, terkait dengan unsur
sebelumnya yaitu ?dengan sengaja? hakim tidak melihat kasus secara utuh dan menggabungkan
antara perbuatan yang dilakukan oleh Baiq Nuril dengan perbuatan yang dilakukan oleh saksi
Haji Imam Mudawin. Dalam konteks pembuktian unsur mendistribusikan disini terdapat dua
perbuatan yang berbeda antara memindahkan data dari handphone ke laptop dan penyebaran
data yang terdapat di laptop Haji Imam Mudawin ke pihak lain. Pada dasarnya perbuatan yang
dilakukan oleh Baiq Nuril berhenti pada saat pemindahan data dari handphone ke laptop dengan
maksud sebagai bahan laporan ke DPRD kota Mataram atas pelecehan yang dilakukan oleh saksi
Haji Muslim kepada Baiq Nuril. Perbuatan mendistribusikan selanjutnya bukan lagi merupakan
perbuatan dari Baiq Nuril melainkan perbuatan dari saksi Haji Imam Mudawin. Di sini hakim
haruslah mempertimbangkan bahwa kedua perbuatan tersebut merupakan perbuatan terpisah dan
berdiri sendiri, karena memiliki ?niat? dan ?perbuatan? yang berbeda tidak dapat serta merta
dapat digabungkan menjadi satu kesatuan.[5]
Seperti yang diketahui bahwa unsur mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya merupakan unsur yang multitafsir yang dapat menimbulkan
ketidakpastian hukum karena undang-undang sendiri tidak memberikan penjelasan yang
memadai tentang unsur ini,[6] oleh karena itu penjelasan yang komprehensif tentang hubungan
perbuatan dan pemenuhan unsur menjadi sangat tergantung dari keterangan ahli karena
pengertian unsur tersebut menjadi sangat teknis dan berada di luar ranah hukum yang dapat
dimengerti oleh masyarakat awam termasuk hakim. Ketidaktelitian hakim dalam menafsirkan
unsur ini berdasarkan keyakinan hakim sendiri tanpa didukung oleh keterangan ahli
mengakibatkan pemahaman hakim menjadi sangat dangkal dan tidak sesuai dengan apa yang
dimaksudkan oleh undang-undang.
Hakim tidak memberikan pertimbangan yang memadai tentang mendistribusikan dan
mentransmisikan. Hakim hanya mengukur unsur mendistribusikan dari tersebarnya informasi
tersebut ke banyak orang, dan unsur mentransmisikan dari pemindahan data yang dilakukan oleh
Baiq Nuril dari handphone ke dalam laptop. Pada dasarnya jika hakim cukup jeli untuk melihat
unsur ini, perbuatan Baiq Nuril tersebut haruslah dilakukan dalam suatu sistem elektronik yang
dalam hal ini sama sekali tidak menjadi hal yang dipertimbangkan oleh hakim MA.[7]
1. Memiliki muatan melanggar kesusilaan
Untuk dapat dinyatakan bahwa seseorang memenuhi unsur sengaja dan tanpa hak hakim, unsur
kesengajaan ini tidak dapat berdiri sendiri karena seharusnya tidak sebatas mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik akan tetapi dihubungkan dengan muatan yang melanggar kesusilaan. Jika
kita membaca Pasal 27 ayat (1) UU ITE pada dasarnya tindak pidana intinya (yang juga
merupakan pembeda dengan ketentuan Pasal 27 ayat (3) dan (4)) adalah melanggar kesusilaan.
Pengertian ?melanggar kesusilaan? juga tidak dijelaskan dalam UU ITE sehingga untuk
menafsirkan ?melanggar kesusilaan? terdapat ruang yang luas untuk digunakan apakah akan
menggunakan konsep yang terdapat dalam KUHP atau bahkan menggunakan UU Pornografi dan
Pornoaksi, dimana dalam pertimbangan Hakim dalam putusan kasasi tidak tergambar dengan
jelas bahkan Majelis hakim tidak memberikan pertimbangan yang cukup tentang apakah materi
rekaman yang ditransmisikan dan/atau distribusikan tersebut telah memenuhi unsur ?melanggar
kesusilaan?. Hakim hanya melihat dari sudut bahasa yang digunakan yang seolah-oleh
bermuatan seksual yang dipersamakan dengan kesusilaan tanpa melihat maksud dan tujuan dari
kata-kata tersebut secara komprehensif, dimana ucapan yang terdapat dalam dokumen elektronik
(rekaman) tersebut berada dalam ruang pribadi antara Baiq Nuril dan Haji Muslim sehingga
dalam ?melanggar kesusilaan? yang dibutuhkan persyaratan tambahan berupa terpenuhinya
unsur ?openbaar? menjadi tidak terpenuhi.
Jika melihat penjatuhan pidana yang diberikan kepada Baiq Nuril di sini telah Pasal 27 ayat (1)
UU ITE telah menimbulkan overkriminalisasi yang digolongkan sebagai misuse of criminal
sanction.[8]Karena focus dari majelis hakim dalam menjatuhkan pertimbangan hukum yang
berpusat pada bagian mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tanpa melihat materi yang
didistribusikan dan ditransmisikan yaitu ?melanggar kesusilaan?. Materi yang direkam oleh Baiq
Nuril sendiri pada dasarnya adalah rekaman pribadi antara Baiq Nuril dan saksi yang harus
dibuktikan apakah memenuhi rumusan ?melanggar kesusilaan?. Jika ukuran kesusilaan yang
dipakai adalah KUHP maka ukuran pelanggaran dari ?melanggar kesusilaan? adalah dilakukan
untuk dipertunjukkan di muka umum atau dengan terbuka, sedangkan ukuran umum yang
digunakan oleh Hakim MA adalah ukuran pada saat rekaman tersebut didistribusikan yang pada
dasarnya tujuannya bukan untuk dipertujukkan di muka umum melainkan dalam rangka
menunjukkan perbuatan yang dilakukan oleh saksi Haji Muslim terhadap Baiq Nuril.
Penulis juga melakukan analisis terhadap pertimbangan hakim MA yang menyatakan tujuan dari
pemidanaan Baiq Nuril adalah sebagai sarana pembelajaran bagi terdakwa dan masyarakat disini
hakim tidak melihat secara utuh bahwa keberadaan UU ITE sendiri ditujukan antara lain .?.untuk
memberikan rasa aman, keadilan dan kepastian hukum bagi pengguna..?[9] karena dampak dari
putusan MA terhadap Baiq Nuril adalah tidak terpenuhinya rasa aman dan keadilan serta
kepastian hukum bagi Baiq Nuril yang seharusnya diposisikan sebagai korban akan tetapi
berdasarkan UU ITE beralih menjadi terpidana. J
Dapat disimpulkan bahwa hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap Baiq Nuril terkesan
menyederhanakan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE dan tidak melihat
kasus dan perbuatan secara utuh dimulai dari motif, niat sampai dengan tujuan dari perbuatan
yang dilakukan oleh Baiq Nuril.

Anda mungkin juga menyukai