Anda di halaman 1dari 65

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS 2020


UNIVERSITAS PATTIMURA

BBLR ,Icteric dan Kejang Neonatorum, Hipoglikemia Refrakter Pada Bayi

DisusunOleh :
PRISKILLA LEVINCE BELSERAN
(2018-84-039)

PEMBIMBING
dr. Vivianty Hartiono, Sp.A-MARS

KEPANITERAAN KLINIK
PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2020

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 1
BAB I
PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang.


Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi baru lahir yang berat badan
lahirnya pada saat kelahiran kurang dari 2500 gram tanpa memandang usia
kehamilan. Dulu bayi baru lahir yang berat badannya kurang atau sama dengan 2500
gram (≤2500 gram) disebut bayi prematur. Tetapi ternyata morbiditas dan mortalitas
neonatus tidak hanya bergantung pada berat badannya, tetapi juga pada maturitas bayi
itu.1 Berat lahir adalah berat badan bayi yang ditimbang dalam 1 jam setelah
kelahiran. Sejak tahun 1961 WHO telah mengganti istilah premature baby dengan
low birth weight baby (bayi dengan berat lahir rendah = BBLR)..4
BBLR merupakan salah satu masalah kesehatan yang memerlukan perhatian
di berbagai negara terutama pada negara berkembang atau negara dengan sosio-
ekonomi rendah. WHO (World Health Organization) mendefinisikan BBLR sebagai
bayi yang lahir dengan berat ≤ 2500 gr. WHO mengelompokkan BBLR menjadi 3
macam, yaitu BBLR (1500–2499 gram), BBLSR (1000-1499 gram), BBLER (< 1000
gram). WHO juga mengatakan bahwa sebesar 60–80% dari Angka Kematian Bayi
(AKB) yang terjadi, disebabkan karena BBLR. BBLR memiliki risiko lebih besar
untuk mengalami morbiditas dan mortalitas daripada bayi lahir yang memiliki berat
badan normal. Masa kehamilan yang kurang dari 37 minggu dapat menyebabkan
terjadinya komplikasi pada bayi karena pertumbuhan organ-organ yang berada dalam
tubuhnya kurang sempurna. Kemungkinan yang terjadi akan lebih buruk bila berat
bayi semakin rendah. Semakin rendah berat badan bayi, maka semakin penting untuk
memantau perkembangannya di minggu-minggu setelah kelahiran.5
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering
ditemukan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang kembali
dirawat dalam minggu pertama kehidupan disebabkan oleh keadaan ini. Umumnya
merupakan transisi fisiologis yang lazim pada 60%-70% bayi aterm dan hampir

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 2
semua bayi preterm. Bilirubin hasil pemecahan heme disebut bilirubin indirek, pada
kadar >20 mg/dl dapat menembus sawar darah otak dan bersifat toksik terhadap sel
otak. Hiperbilirubinemia berat dapat menekan konsumsi O2 dan menekan oksidasi
fosforilasi yang menyebabkan kerusakan sel otak menetap dan berakibat disfungsi
neonatal, ensefalopati yang dikenal sebagai kernicterus.6
Studi yang dilakukan pada beberapa peneliti menyebutkan ikterus dengan
komplikasi (asfiksia, sepsis, sefalhematom) terdapat sebanyak 16 (27,2%). Terdapat
dua proses yang melibatkan antara komplikasi dengan risiko terjadinya ikterus
neonatorum yaitu (a) produksi yang berlebihan, hal ini melebihi kemampuan bayi
untuk mengeluarkannya, misalnya pada perdarahan tertutup dan sepsis. (b) gangguan
dalam proses uptake dan konjugasi hepar, gangguan ini dapat disebabkan oleh
hipoksia dan infeksi. Sehingga dalam keadaan tersebut penatalaksanaan ikterus harus
dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus dapat dihindarkan.7
Kejang pada neonatus adalah perubahan paroksimal dari fungsi neurologik
misalnya perilaku, sensorik, motorik dan fungsi autonom sistem saraf. Angka
kejadian kejang di negara maju berkisar antara 0,8-1,2 setiap 1000 neonatus per
tahun. Insidens meningkat pada bayi kurang bulan yaitu sebesar 20% atau 60/1000
lahir hidup bayi kurang bulan, dibanding pada bayi cukup bulan sebesar 1,4% atau
3/1000 lahir hidup bayi cukup bulan.8
Kejang dan spasme merupakan keadaan kegawatan atau tanda bahaya, karena
dapat mengakibatkan hipoksia otak yang berbahaya bagi kelangsungan hidup bayi
atau dapat mengakibatkan gejala sisa di kemudian hari. Di samping itu kejang dapat
merupakan tanda atau gejala dari 1 masalah atau lebih. Angka kematian berkisar 21-
58%, sebanyak 30% yang berhasil hidup menderita kelainan neurologis.
Penyebab tersering adalah hipoksik-iskemik-ensefalopati (30-50%),
perdarahan intrakranial (10-17%), kelainan metabolik misalnya hipoglikemi (6-10%),
hipokalsemia (6-15%), infeksi SSP (5-14%), infark serebral (7%), inborn errors of
metabolism (3%), malformasi SSP (5%).8

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 3
Hipoglikemia yang dimaksud adalah hipoglikemia pada bayi dan anak.
Disebut hipoglikemia apabila kadar gula darah kurang dari 40 mg% (serum atau
plasma lebih tinggi 10-15%). Terjadi apabila didapatkan defek pada produksi
glukosa, pemakaian glukosa yang berlebihan, atau pada beberapa kasus kombinasi
dari keduanya. Hipoglikemia dapat asimptomatik atau disertai gejala gangguan
susunan saraf pusat dan kardiopulmonal yang berat. Pada BBLR, bayi prematur,
asfiksia, makrosomia, dan anak sakit berat yang secara klinis terdapat tanda
hipoglikemia, harus diperiksa terhadap kemungkinan hipoglikemia, khususnya
apabila terdapat riwayat masukan per oral kurang. Insidens hipoglikemia simptomatik
pada bayi baru lahir di Amerika bervariasi dari 1,3 - 3 per 1000 kelahiran hidup.
Insidens meningkat pada bayi risiko tinggi. Prognosis tergantung penyebab dan
cepatnya pemberian terapi. Glukosa merupakan bahan yang sangat penting untuk
metabolisme neuron, maka kadar glukosa darah harus berkisar 70 - 100 mg/dL
(normal) untuk mencegah terjadinya komplikasi.8
Keterlambatan terapi dapat menyebabkan kerusakan otak yang menetap
khususnya pada bayi kecil dan prematur. Hipoglikemia yang berlangsung lama atau
berulang dapat berpengaruh besar terhadap perkembangan dan fungsi otak. Apabila
disertai hipoksemia dan iskemia, hipoglikemia dapat menyebabkan kerusakan otak
yang menetap.8

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 4
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas

Nama : By.MIS
Umur : 3 Hari
Jenis Kelamin : Laki - laki
BB/PB : 2300gr/47Cm
Alamat : Halong baru
Tanggal lahir : 20/07/2020

2.2 Anamnesis
Keluhan utama : Lemas
Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang ke UGD RSUD M.Haulussy Ambon
dengan keluhan adanya lemas dan biru kurang lebih 1 jam SMRS saat hendak ke
dr.M. keluhan juga disertai dengan Bayi minum yang sangat sedikit. Refleks hisap
lemah. Bab (-) BAK (-)
Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien tidak pernah mengalami hal serupa sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga: Tidak ada anggota keluarga yang mengalami hal yang
sama.
Riwayat Pengobatan : Pasien sempat dilakukan penanganan awal oleh dr.M
sebelum dibawah ke IGD Haulussy Ambon, Namun tidak diketahui dengan jelas
penanganan apa yang diberikan
Riwayat Kelahiran : Lahir secara PN, Air ketuban Jernih, Riwayat imunisasi tidak
jelas. Riwayat ibu tidak sakit selama persalinan.
2.3 Pemeriksaan Fisik (24 Juli 2020)
Status generalis

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 5
- Kesadaran : Compos Mentis
- Keadaan umum : Tampak lemah
- BB : 2300gram
- PB : 47cm
Vital sign
Nadi : 147 x/menit
Pernafasan : 28 x/menit
Suhu : 36,70 C
Tekanan darah :-
oksigen : 85%
Pemeriksaan fisik
- Kepala : Normosefal
- Rambut : Hitam, tidak mudah di cabut
- Mata : Simetris, pupil isokor +|+, cahaya langsung
+|+, cahaya tidak langsung +|+,
palpebra edema -|-
konjungtiva: anemia -/|-, ikterik +|+
- Telinga : Sektret (-)
- Hidung : Deviasi septum nasi (-)
- Mulut : Sianosis (-),
- Gusi : Bengkak (-),
- Lidah : Makroglosia (-), basah (+), pucat (-)
- Leher : Pembesaran KGB (-)
- Thorax : Pengembangan dada simetris
- Kulit : Icteric pada kedua extremitas atas dan bawah
a. Jantung :
o Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
o Palpasi : Ictus cordis teraba

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 6
o Perkusi : Redup
o Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni regular, murmur (-),
gallop (-)
b. Paru :
o Inspeksi : tampak retraksi dinding dada (+)
o Palpasi : Krepitasi (-), nyeri tekan (-)
o Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
o Auskultasi : Bunyi napas dasar vesikuler, bunyi tambahan : rhonki
(-/-), wheezing (-/-)
o
- Abdomen :
o Inspeksi : Tampak abdomen datar
o Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
o Perkusi : Timpani, asites (-)
o Palpasi : Nyeri tekan (-), pembesaran organ : Hepatomegali (-)
- Ekstremitas : Edema (-), akral hangat, CRT < 2 detik
- Genitalia : Edema (-)
Pemeriksaan Neurologi :
- Refleks Fisiologis : KPR (+), APR (+)
- Reflex Patologis : (-)
- Nervus Kranialis : Dalam batas normal
- Tanda Rangsangan Meningeal : Kaku kuduk (-), Kernig sign (-), Brudsinki I-
IV (-)
2.4 Pemeriksaan penunjang (selama pasien dirawat)
(24 Juli 2020)
Darah Rutin Hasil Nilai Rujukan

Hemoglobin 23.0g/dl 14,0-18,0 gr/dl

Hematokrit 68.3 % 40-52%(p)

Jumlah Leukosit 7.29 103/mm3 5,0-10,0 x103/mm3


Laporan Kasus BBLR + Icteric dan164
Jumlah Trombosit
Kejang Neonatus, Hipoglikemia
103/mm3
Refrakter
150-400x103/mm3
Page 7

Neutrofil 82.5% 50 – 70%


(23 Juni 2020)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Anti-SARS-CoV-2
Non reaktif Non reaktif
IgG/IgM

Spesimen :
WB/Serum/Plasma

(Pemeriksaan Kadar Glukosa darah)


Hari/tanggal Hasil Nilai Rujukan

24/07/2020
Jam 19.25 wit 31mg/dl
Jam 20.30 wit 24mg/dl

26/07/2020
Jam 10.00 wit 57mg/dl
Jam 16.00 wit 147 mg/dl
Jam 22.00 wit 89 mg/dl
Jam 04.00 wit 147 mg/dl

27/7/2020
Jam 10.00 wit 73 mg/dl
Jam 16.15 wit 55 mg/dl
Jam 22.10 wit 193 mg/dl

29/07/2020
Jam 06.00 wit 71 mg/dl

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 8
Pemeriksaan darah kimia ( Tanggal 27/07/2020)
 Bilirubin total  19.1 mg/dL
 Bilirubin I  16.7 mg/dL
 Bilirubin II  2.4 mg/dL
2.5 Resume
Pasien datang ke UGD RSUD M.Haulussy Ambon dengan keluhan adanya lemas dan
biru kurang lebih 1 jam SMRS saat hendak ke dr.M. keluhan juga disertai dengan
Bayi minum yang sangat sedikit. Refleks hisap lemah. Bab (-) BAK (-). Pasien
sempat dilakukan penanganan awal oleh dr.M sebelum dibawah ke IGD Haulussy
Ambon, Namun tidak diketahui dengan jelas penanganan apa yang diberikan. Lahir
secara PN, Air ketuban Jernih, Riwayat imunisasi tidak jelas. Riwayat ibu tidak sakit
selama persalinan. Pada Pemeriksaan fisik status generalis BB : 2300gram dan PB :
47cm, Mata ikterik +|+ dan pada pemeriksaan kulit Icteric pada kedua extremitas atas
dan bawah. Hasil Lab : Pemeriksaan darah rutin dalam batas normal, Hasil lab SARS
COV 2 Non reaktif., pemeriksaan darah kimia glukosa darah 36mg/dL, Bilirubin
Bilirubin total 19.1mg/dL Bilirubin I 16.71mg/dL Bilirubin II 2.41mg/dL

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 9
2.6 Diagnosis
 BBLR
 Hipoglikemia refrakter
 Icteric neonatorum
 Kejang neonatorum
2.7 Tatalaksana
 IFVD D10% 8tpm
 Ampiclin 2x125mg/iv
 Gentamisin 1x12.5 mg/iv
 Asi 20-30cc/jam
2.8 Anjuran
- Rawat Pada Neonatus Intensive Care Unit (NICU)
- Pemeriksaan glukosa darah secara berkala
2.9 Prognosis
- Quo Ad functionam: Dubia
- Quo Ad vitam: Dubia
- Quo Ad sanationam: Dubia

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 10
2.10 Followup
Hari/Tanggal/Tahun SOA Planning

S : lemas, sesak (+), - Rawat inkubator


O :BB : 2300gr, retraksi - cek bilirubin total
dada (+), icteric pada - jika hasil >10 
mata dan kedua Fototerapi.
ekstremitas atas dan - cek GDS tiap 6 jam
bawah (+) (Kramer IV) - Meropenem 3x50mg

Kamis /24 Juli 2020 OGT terpasang : residu: - Fenitoin 25mg tiap

(usia 4 hari) 5cc berwarna coklat tua. 12 jam dalam 30cc


Hasil Lab : Leukosit 7.29 - Metylprednisolon
103/mm3 , Hb 23.0 g/dl, 2x5mg/IV
GDS : 36mg/dl - Omeprazole
A : BBLR,Icteric 2x2mg/IV
neonatrum, Hipoglikemia - Campuran D40 8cc
+D10 92cc
- Oral care 11cc/jam
Jumat /25 Juli 2020 S : : lemas - Rawat inkubator
(usia 5 hari) O: BB : 2300gr, retraksi - O2 0.5 -1 liter/menit
dada (+), icteric - Asi
berkurang 2cc/2jam/OGTLia
OGT terpasang : residu t residu
(-) - Omeprazole
GDS : 43mg/dl 2x2mg/IV
A:BBLR,kejang - Meropenem
neonatorum,Icteric 3x75mg/IV
neonatrum, Hipoglikemia - Racikan cairan
refrakter kosentrasi 12.5% 4cc
D40% 4cc D10%

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 11
- Kebutuhan cairan
250cc/hari
- Oral :
2cc/jam10x2=20c
c
- Fenitoin 25mg/12
jam (distop setelah
bebas kejang 2x24
jam)
- Metylprednisolon
2x5mg/IV
- Fototerapi
- Cek GDS tiap 6jam
S : lemah,Kejang(-), - Rawat incubator
O: BB : 2300gr, icteric - Asi 6cc/2 jam/OGT
berkurang. Refleks hisap - Omeprazole stop
baik.OGT terpasang : - Metylprednisolon
residu (-) 2x5mg/IV
GDS : 73mg/dl - Fototerapi
Sabtu/27 Juni 2020
Bilirubin total : 19.1
(usia 6 hari)
Bilirubin 1 : 16.7
Bilirubin 2 : 2.4
A:BBLR,kejang
neonatorum,Icteric
neonatrum, Hipoglikemia
refrakter

S: Lemah - Rawat incubator


Minggu 28/7/2020
O: BB : 2300gr, icteric - Asi 6cc/2 jam/OGT
(usia 7 hari)
berkurang. Refleks hisap - Metylprednisolon

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 12
baik. GDS : 84mg/dl (Stop)
A:BBLR,kejang - Omeprazole (stop)
neonatorum,Icteric - Selesai Foto terapi
neonatrum, Hipoglikemia
refrakter

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 13
BAB III
PEMBAHASAN TEORI
3.1. BBLR
3.1.1 Definisi
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi baru lahir yang berat badan
lahirnya pada saat kelahiran kurang dari 2500 gram tanpa memandang usia
kehamilan.). Untuk mendapat keseragaman, pada kongres European Perinatal
Medicine II di London (1970) telah diusulkan definisi berikut : 1,2
- Bayi kurang bulan adalah bayi dengan masa kehamilan kurang dari 37 minggu.
- Bayi cukup bulan adalah bayi dengan masa kehamilan mulai dari 37 minggu
sampai 42 minggu.
Bayi lebih bulan adalah bayi dengan masa kehamilan mulai 42 minggu atau lebih.
Dengan pengertian seperti yang telah diterangkan diatas, bayi BBLR dapat dibagi
menjadi dua golongan, yaitu :
1. Prematuritas murni
Masa gestasinya <37 minggu dan berat badannya sesuai dengan berat badan
untuk masa gestasi itu atau biasa disebut bayi kurang bulan-sesuai masa
kehamilan (BKB-SMK).
2. Dismaturitas
Bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat badan seharusnya untuk masa
gestasi itu. Berarti bayi mengalami retardasi pertumbuhan intrauterine dan
merupakan bayi yang kecil untuk masa kehamilan (KMK). 1,3
Diketahui pula kategori sesuai masa kehamilan, besar masa kehamilan dan
kecil masa kehamilan. Untuk menentukan apakah bayi baru lahir itu premature
(sesuai masa kehamilan = SMK), matur normal, KMK atau besar untuk masa
kehamilan (BMK) dapat dipakai kurva atau chart Lubchenco.4

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 14
Gambar 1. Kurva Lubchenco. KB: kurang bulan; CB: cukup bulan; LB: lebih bulan; BMK:
besar masa kehamilan; SMK: sesuai masa kehamilan; KMK: kecil masa kehamilan 4

Selain BBLR, diketahui pula istilah Very Low Birth Weight (VLBW) adalah
berat bayi lahir kurang dari 1500 gram dan Extremely Low Birth Weght (ELBW)
adalah berat bayi lahir kurang dari 1000 gram4
3.1.2 Epidemiologi
WHO mengatakan bahwa sebesar 60–80% dari Angka Kematian Bayi (AKB)
yang terjadi, disebabkan karena BBLR. BBLR memiliki risiko lebih besar untuk
mengalami morbiditas dan mortalitas daripada bayi lahir yang memiliki berat badan
normal. Masa kehamilan yang kurang dari 37 minggu dapat menyebabkan terjadinya
komplikasi pada bayi karena pertumbuhan organ-organ yang berada dalam tubuhnya
kurang sempurna.5

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 15
Berdasarkan data dari World Health Rangkings tahun 2014 dari 172 negara di
dunia, Indonesia menempati urutan ke 70 yang memiliki presentase kematian akibat
BBLR tertinggi yaitu sebesar 10,69%. Tingkat kelahiran di Indonesia pada tahun
2010 sebesar 4.371.800 dengan kejadian BBLR sebesar 15,5 per 100 kelahiran hidup
atau 675.700 kasus prematur dalam 1 tahun5
3.1.3Etiologi
A. Prematuritas murni
1. Faktor ibu
a. Penyakit
Penyakit yang berhubungan langsung dengan kehamilan misalnya
toksemia gravidarum, perdarahan antepartum, trauma fisis dan psikologis.
Penyebab lainnya adalah diabetes mellitus, penyakit jantung, bacterial
vaginosis, chorioamnionitis atau tindakan operatif dapat merupakan
faktor etiologi BBLR.
b. Usia
Angka kejadian prematuritas tertinggi adalah pada usia dibawah 20 tahun
dan pada multi gravida yang jarak antar kelahirannya terlalu dekat. Pada
ibu-ibu yang sebelumnya telah melahirkan lebih dari 4 anak juga sering
ditemukan. Kejadian terendah adalah pada usia antara 26-35 tahun.
c. Keadaan sosial ekonomi
Kejadian tertinggi pada golongan sosial ekonomi yang rendah. Hal ini
disebabkan oleh keadaan gizi yang kurang baik dan pengawasan antenatal
yang kurang.
2. Faktor janin
Hidramnion, gawat janin, kehamilan ganda, eritroblastosis umumnya akan
mengakibatkan BBLR. 1,4
B. Dismaturitas
Penyebab dismaturitas adalah setiap keadaan yang menganggu pertukaran zat
antara ibu dan janin (gangguan suplai makanan pada janin). Dismaturitas

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 16
dihubungkan dengan keadaan medik yang menggangu sirkulasi dan insufisiensi
plasenta, pertumbuhan dan perkembangan janin, atau kesehatan umum dan nutrisi
ibu. 2,3
3.1.4 Patogenesis
Bayi yang merupakan BBLR sesuai dengan usia kehamilan preterm biasanya
dihubungkan dengan keadaan medis dimana terdapat ketidakmampuan uterus untuk
mempertahankan janin (incompetent cervix/premature dilatation), gangguan pada
perjalanan kehamilan, pelepasan plasenta, atau rangsangan tidak pasti yang
menimbulkan kontraksi efektif pada uterus sebelum kehamilan mencapai umur cukup
bulan. 2
Dismaturitas dihubungkan dengan keadaan medik yang menggangu sirkulasi
dan efisiensi plasenta, pertumbuhan dan perkembangan janin, atau kesehatan umum
dan nutrisi ibu. Dismaturitas mungkin merupakan respon janin normal terhadap
kehilangan nutrisi atau oksigen. Sehingga masalahnya bukan pada dismaturitasnya,
tetapi agaknya pada resiko malnutrisi dan hipoksia yang terus menerus. Serupa
halnya dengan beberapa kelahiran preterm yang menandakan perlunya persalinan
cepat karena lingkungan intrauteri berpotensi merugikan. 2,4
3.1.5 Manifestasi Klinis
A. Prematuritas murni
Berat badan kurang dari 2500 gram, panjang badan kurang atau sama dengan
45 cm, lingkaran dada kurang dari 30 cm, lingkaran kepala kurang dari 33 cm, masa
gestasi kurang dari 37 minggu. Kepala relatif besar dari badannya, kulitnya tipis,
transparan, lanugo banyak, lemak subkutan kurang. Osifikasi tengkorak sedikit, ubun-
ubun dan sutura lebar, genitalia imatur. Desensus testikulorum biasanya belum
sempurna dan labia minora belum tertutup oleh labia mayora. Rambut biasanya tipis
dan halus. Tulang rawan dan daun telinga belum cukup, sehingga elastisitas daun
telinga masih kurang. Jaringan mamma belum sempurna, puting susu belum
terbentuk dengan baik. Bayi kecil, posisinya masih posisi fetal, yaitu posisi dekubitus
lateral, pergerakannya kurang dan masih lemah. Bayi lebih banyak tidur daripada

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 17
bangun. Tangisnya lemah, pernapasan belum teratur dan sering terdapat serangan
apnoe. Otot masih hipotonik, sehingga kedua tungkai selalu dalam keadaan abduksi,
sendi lutut dan sendi kaki dalam fleksi dan kepala menghadap ke satu jurusan. 1,2
Refleks moro dapat positif. Refleks mengisap dan menelan belum sempurna,
begitu juga refleks batuk. Kalau bayi lapar, biasanya menangis, gelisah, aktivitas
bertambah. Bila dalam waktu tiga hari tanda kelaparan ini tidak ada, kemungkinan
besar bayi menderita infeksi atau perdarahan intrakranial. Seringkali terdapat edema
pada anggota gerak, yang menjadi lebih nyata sesudah 24-48 jam. Kulitnya tampak
mengkilat dan licin serta terdapat ‘pitting edema’. Edema ini seringkali berhubungan
dengan perdarahan antepartum, diabetes mellitus, dan toksemia gravidarum. 1,2
Frekuensi pernapasan bervariasi terutama pada hari-hari pertama. Bila
frekuensi pernapasan terus meningkat atau selalu diatas 60x/menit, harus waspada
kemungkinan terjadinya penyakit membran hialin, pneumonia, gangguan metabolik
atau gangguan susunan saraf pusat. Dalam hal ini, harus dicari penyebabnya,
misalnya dengan melakukan pemeriksaan radiologis toraks. 1,2
B. Dismaturitas
Dismaturis dapat terjadi preterm, term, dan postterm. Pada preterm akan
terlihat gejala fisis bayi prematur murni ditambah dengan gejala dismaturitas. Dalam
hal ini berat badan kurang dari 2500 gram, karakteristik fisis sama dengan bayi
prematur dan mungkin ditambah dengan retardasi pertumbuhan dan ‘wasting’. Pada
bayi cukup bulan dengan dismaturitas, gejala yang menonjol adalah ‘wasting’,
1,3
demikian pula pada post term dengan dismaturitas. Bayi dismatur dengan tanda
‘wasting’ tersebut, yaitu :
1. Stadium pertama
Bayi tampak kurus dan relatif lebih panjang, kulitnya longgar, kering seperti
perkamen, tetapi belum terdapat noda mekonium.
2. Stadium kedua
Didapatkan tanda stadium pertama ditambah dengan warna kehijauan pada kulit,
plasenta, dan umbilikus. Hal ini disebabkan oleh mekonium yang tercampur

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 18
dalam amnion yang kemudian mengendap ke dalam kulit, umbilikus, dan
plasenta sebagai akibat anoksia intrauterin.
3. Stadium ketiga
Ditemukan tanda stadium kedua ditambah dengan kulit yang berwarna kuning,
demikian pula kuku dan tali pusat. Ditemukan juga tanda anoksia intrauterin
yang sudah berlangsung lama. 1,3
3.1.6 Alur Penegakkan Diagnosis
Bayi berat lahir rendah didiagnosis bila termasuk dalam golongan :
1. Prematuritas murni
Masa gestasinya kurang dari 37 minggu dan berat badannnya sesuai dengan
berat badan untuk masa gestasi itu atau biasa disebut Bayi Kurang Bulan-
Sesuai Masa Kehamilan (BKB-SMK).
2. Dismaturitas
Bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat badan seharusnya untuk masa
gestasi itu, berarti bayi mengalami retardasi pertumbuhan intrauterin dan
merupakan bayi yang Kecil untuk Masa Kehamilan (KMK). 1
A. Anamnesis
Riwayat yang perlu ditanyakan pada ibu dalam anamesis untuk menegakkan
mencari etiologi dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya BBLR :
- Umur ibu
- Riwayat hari pertama haid terakir
- Riwayat persalinan sebelumnya
- Paritas, jarak kelahiran sebelumnya
- Kenaikan berat badan selama hamil
- Aktivitas
- Penyakit yang diderita selama hamil
- Obat-obatan yang diminum selama hamil
B. Pemeriksaan Fisik
Yang dapat dijumpai saat pemeriksaan fisik pada bayi BBLR antara lain :

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 19
- Berat badan
- Tanda-tanda prematuritas (pada bayi kurang bulan)
- Tanda bayi cukup bulan atau lebih bulan (bila bayi kecil untuk masa
kehamilan).
- Pemeriksaan skor Ballard
C. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain :
- Darah rutin, glukosa darah, kalau perlu dan tersedia fasilitas diperiksa kadar
elektrolit dan analisa gas darah.
- Foto dada ataupun babygram diperlukan pada bayi baru lahir dengan umur
kehamilan kurang bulan dimulai pada umur 8 jam atau didapat/diperkirakan
akan terjadi sindrom gawat nafas.
- USG kepala terutama pada bayi dengan umur kehamilan kurang bulan.
- Pengukuran rasio lesitin : sfingomyelin pada cairan amnion. Merupakan gold
standard untuk menentukan apakah seorang bayi menderita RDS atau tidak.9
3.1.7 Tatalaksana
A. Penatalaksanaan Prematur Murni
Mengingat belum sempurnanya kerja alat-alat tubuh yang perlu untuk
pertumbuhan dan perkembangan serta penyesuaian diri dengan lingkungan hidup di
luar uterus, maka perlu diperhatikan pengaturan suhu lingkungan, pemberian
makanan, dan bila perlu pemberian oksigen, mencegah infeksi, serta mencegah
kekurangan vitamin dan zat besi. 2
 Atur suhu
BBLR mudah mengalami hipotermi, oleh karena itu suhu tubuhnya harus
dipertahankan dengan ketat. Bisa dengan membersihkan cairan pada tubuh bayi,
kemudian dibungkus. Atau bisa juga dengan meletakkannya di bawah lampu atau
dalam inkubator. Dan bila listrik tidak ada, bisa dengan metode kangguru, yaitu
meletakkan bayi dalam pelukan ibu (skin to skin)

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 20
 Cegah sianosis
Cara mencegah sianosis dapat dengan cara pemberian oksigen agar saturasi
oksigen dalam tubuh bayi dapat dipertahankan dalam batas normal.10
 Cegah infeksi
BBLR mudah sekali diserang infeksi. Ini disebabkan oleh karena daya tahan
tubuh terhadap infeksi berkurang, relatif belum sanggup untuk membentuk antibodi
dan daya fagositosis serta reaksi terhadap peradangan belum baik. Oleh karena itu,
perlu diperhatikan prinsip-prinsip pencegahan infeksi, antara lain mencuci tangan
sebelum dan sesudah memegang bayi, membersihkan tempat tidur bayi segera
sesudah tidak dipakai lagi, membersihkan kulit dan tali pusat bayi dengan baik.10
 Pemberian vitamin K
Dosis 1 mg intra muskular, sekali pemberian. Pemberian vitamin K pada bayi
imatur adalah sama seperti bayi-bayi dengan berat badan dan maturitas yang normal.
Vitamin K yang diberikan adalah vitamin K1.
 Intake harus terjamin
Pada bayi-bayi prematur, refleks isap, telan dan batuk belum sempurna. Kapasitas
lambung masih sedikit, daya enzim pencernaan, terutama lipase masih kurang.
Pemberian minum dimulai pada waktu bayi berumur 3 jam agar bayi tidak menderita
hipoglikemia dan hiperbilirubinemia. Pada umumnya bayi dengan berat lahir 2000
gram atau lebih dapat menyusu pada ibunya. Bayi dengan berat kurang dari 1500
gram kurang mampu mengisap air susu ibu atau susu botol, terutama pada hari-hari
pertama. Dalam hal ini bayi diberi minum melalui sonde lambung
B. Penatalaksanaan bayi dismaturitas
Pada umumnya sama dengan perawatan neonatus umumnya, seperti
pengaturan suhu lingkungan, makanan, mencegah infeksi dan lain-lain. Bayi dismatur
biasanya tampak haus dan harus diberi makanan dini (early feeding). Hal ini sangat
penting untuk menghindari terjadinya hipoglikemia. Kadar gula darah harus diperiksa
setiap 8-12 jam. Frekuensi pernapadan terutama dalam 24 jam pertama harus diawasi

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 21
untuk mengetahui adanya sindrom aspirasi mekonium atau sindrom gangguan
pernapasan idiopatik. Sebaiknya setiap jam dihitung frekuensi pernapasan. Bila
frekuensi lebih dari 60x/menit, dibuat foto thorax. Pencegahan terhadap infeksi
sangat penting, karena bayi sangat rentan terhadap infeksi, yaitu karena pemindahan
IgG dari ibu ke janin terganggu. Temperatur harus dikelola, jangan sampai
kedinginan karena bayi dismatur lebih mudah menjadi hipotermik, hal ini disebabkan
oleh karena luas permukaan tubuh bayi relatif lebih besar dan jaringan lemak
subkutan kurang. 1,10
 Perawatan bayi dalam inkubator
Inkubator yang canggih dilengkapi oleh alat pengatur suhu dan kelembaban
bayi agar bayi dapat mempertahankan suhu tubuhnya yang normal, alat oksigen yang
dapat diatur, serta kelengkapan lain untuk mengurangi kontaminasi bila inkubator
dibersihkan. Kemampuan bayi berat lahir rendah dan bayi sakit untuk hidup lebih
besar bila mereka dirawat pada suhu mendekati suhu lingkungan yang netral. Suhu ini
ditetapkan dengan mengatur suhu permukaan yang terpapar radiasi, kelembapan yang
relatif, dan aliran udara sehingga produksi panas sesedikit mungkin dan suhu tubuh
bayi dapat dipertahankan dalam batas normal. Bayi yang besar dan lebih tua
memerlukan suhu lingkungan lebih rendah dari bayi yang kecil dan lebih muda. Suhu
inkubator yang optimum diperlukan agar panas yang hilang dan konsumsi oksigen
terjadi minimal sehingga bayi telanjang pun dapat mempertahankan suhu tubuhnya
sekitar 36,5- 37,5 oC. Tingginya suhu lingkungan ini tergantung dari besar dan
kematangan bayi. Dalam keadaaan tertentu, bayi yang sangat prematur tidak hanya
memerlukan inkubator untuk mengatur suhu tubuhnya, tetapi juga memerlukan
pleksiglas penahan panas atau topi maupun pakaian. 2,10
Seandainya tidak ada inkubator, pengaturan suhu dan kelembapan dapat diatur
dengan memberikan sinar panas, dan botol air hangat, disertai dengan pengaturan
suhu dan kelembapan ruangan. Mungkin pula diperlukan pemberian oksigen melalui
pipa intubasi.10

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 22
Ibu yang memiliki bayi berat lahir rendah (BBLR) tidak perlu khawatir lagi
soal perawatan buah hatinya itu selepas keluar rumah sakit. Sekarang para ahli di
bidang kedokteran mengembangkan metode kangguru untuk merawat BBLR itu.
Metode tersebut memungkinkan panas tubuh ibunya memberikan kehangatan
bayinya. Metode kangguru ini memang terkesan unik, dengan sebuah pakaian yang
berbentuk seperti tubuh kangguru yang berkantung, bayi bisa mendapatkan
kehangatan cukup karena bersentuhan langsung dengan tubuh ibunya. Ada tiga
kriteria BBLR sudah bisa dirawat di rumah setelah keluar dari inkubator. Pertama,
berat sudah kembali ke berat lahir dan lebih dari 1500 gram. Kemudian berat bayi
cenderung naik dan suhu tubuh stabil selama tiga hari berturut-turut. Yang juga harus
diperhatikan, bayi sudah mampu mengisap dan menelan. Selain itu, ibu sudah harus
merawat dan memberi minum. Metode kangguru ini cukup efektif sebab selain
membuat bayi tidak tergantung pada rumah sakit, ibu lebih percaya diri merawat
bayinya di rumah. Keuntungan lainnya, BBLR bisa mendapatkan ASI eksklusif dan
menurunkan resiko bayi terkena kehilangan panas tubuh. 10
3.1.8 KOMPLIKASI
Komplikasi prematuritas 1,5,6
1) Sindrom gangguan pernapasan idiopatik
Disebut juga sebagai penyakit membran hialin karena pada stadium akhir akan
terbentuk membran hialin yang akan melapisi paru. Penyakit ini disebabkan
kurangnya surfaktan pada alveoli.9
2) Pneumonia aspirasi
Sering ditemukan pada bayi prematur karena refleks menelan dan batuk belum
sempurna.
3) Perdarahan intraventrikuler
Perdarahan spontan di ventrikel otak lateral karena anoksia otak. Kelainan ini
biasanya hanya ditemukan pada otopsi.
4) Fibroplasia retrolental

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 23
Penyakit ini ditemukan pada bayi prematur yang disebabkan oleh gangguan
oksigen yang berlebihan.
5) Hiperbilirubinemia
Bayi prematur lebih sering mengalami hiprebilirubinemia dibandingkan dengan
bayi cukup bulan. Hal ini disebabkan oleh faktor kematangan hepar yang tidak
sempurna sehingga konjugasi bilirubin indirek menjadi bilirubin direk belum
sempurna. Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai kadar bilirubin serum di atas
5 mg/dl.10
6) Infeksi
Daya tahan tubuh terhadap infeksi berkurang karena rendahnya IgG gamma
globulin.
7) Peningkatan resiko timbulnya patent ductus arteriosus (terutama bayi <1000
g)
8) Anemia dan polisitemia
9) Hipotermia karena lapisan lemak yang masih sedikit
10) Hipoglikemia
Komplikasi dismaturitas 1,2,5
1. Sindrom aspirasi mekonium
Keadaan hipoksia intrauterin mengakibatkan janin mengadakan ‘gasping’ dalam
uterus. Selain itu mekonium akan dilepaskan ke dalam likuor amnion, akibatnya
cairan yang mengandung mekonium yang lengket itu masuk ke dalam paru janin
karena inhalasi. Pada saat lahir, bayi akan menderita gangguan pernapasan idiopatik.
2. Hipoglikemia simptomatik
Tertama pada bayi laki-laki. Penyebabnya belum jelas, tetapi mungkin sekali
disebabkan oleh persediaan glikogen yang sangat kurang pada bayi dismaturitas.
Diagnosis dapat dibuat dengan melakukan pemeriksaan kadar gula darah. Bayi
BBLR dinyatakan hipoglikemia bila kadar gula darah yang kurang dari 20 mg%.
3. Asfiksia neonatorum

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 24
Bayi dismatur lebih sering menderita asfiksia neonatorum dibandingkan dengan
bayi biasa.
4. Penyakit membran hialin
Terutama pada bayi dismatur yang preterm. Hal ini karena surfaktan pada paru
belum cukup sehingga alveoli selalu kolaps.
5. Hiperbilirubinemia
Bayi dismatur lebih sering mendapat penyakit ini dibandingkan dengan bayi
yang sesuai dengan masa kehamilannya. Hal ini disebabkan gangguan pertumbuhan
hati.
3.1.9 PROGNOSIS
Prognosis BBLR ini tergantung dari berat ringannya masa perinatal, misalnya
masa gestasi (makin muda masa gestasi/makin rendah berat badan, makin tingggi
angka kematian), asfiksia atau iskemia otak, sindroma gangguan pernapasan,
perdarahan intraventrikuler, fibroplasias retrolental, infeksi, gangguan metabolik.
Prognosis ini juga tergantung dari keadaan sosial ekonomi, pendidikan orang tua dan
perawatan pada saat kehamilan, persalinan dan postnatal (pengaturan suhu
lingkungan, resusitasi, makanan, pencegahan infeksi, mengatasi gangguan
pernapasan, asfiksia, hiperbilirubinemia, hipoglikemia, dan lain-lain). 2,4

2.2 ICTERIC NEONATORUM


2.2.1Anatomi Hepar dan Kandung Empedu
Hati adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-1,8 kg atau
kurang lebih 25% berat badan orang dewasa yang menempati sebagian besar kuadran
kanan atas abdomen dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan fungsi yang
sangat kompleks. Batas atas hati berada sejajar dengan ruang interkostal V kanan dan
batas bawah menyerong ke atas dari iga IX kanan ke iga VIII kiri. Permukaan
posterior hati berbentuk cekung dan terdapat celah transversal sepanjang 5 cm dari
sistem porta hepatis.12,13

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 25
Gambar 2. Anatomi hepar; tampak anterior dan visceral23

Secara mikroskopis di dalam hati manusia terdapat 50.000-100.000 lobuli,


setiap lobulus berbentuk heksagonal yang terdiri atas sel hati berbentuk kubus yang
tersusun radial mengelilingi vena sentralis. Di antara lembaran sel hati terdapat
kapiler yang disebut sinusoid yang merupakan cabang vena porta dan arteri hepatika.
Sinusoid dibatasi oleh sel fagositik (sel kupffer) yang merupakan sistem
retikuloendotelial dan berfungsi menghancurkan bakteri dan benda asing lain di
dalam tubuh, jadi hati merupakan salah satu organ utama pertahanan tubuh terhadap
serangan bakteri dan organ toksik.12

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 26
Gambar 3. Anatomi sel hepatosit dan intrahepatic vascular.
Sumber: Netter, Frank H. Atlas of human anatomy. 25th edition.

Selain cabang-cabang vena porta dan arteri hepatica yang mengelilingi bagian perifer
lobulus hati, juga terdapat saluran empedu yang membentuk kapiler empedu yang
dinamakan kanalikuli empedu yang berjalan diantara lembaran sel hati.12
Sistem Bilier dan Kandung Empedu
Empedu yang dihasilkan hepatosit akan disekresikan ke dalam kanalikuli dan
selanjutnya ditampung dalam suatu saluran kecil empedu yang terletak di dalam hati
yang secara perlahan akan membentuk saluran yang lebih besar lagi.12,13
Kandung empedu dapat menampung ±50 ml cairan empedu dengan ukuran panjang
8-10 cm dan terdiri atas fundus, korpus dan kolum. Lapisan mukosanya membentuk

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 27
cekungan kecil dekat dengan kolum yang disebut kantong Hartman, yang bisa
menjadi tempat tertimbunnya batu empedu12
2.2.2. Metabolisme Bilirubin
Bilirubin adalah produk akhir katabolisme protoporfirin besi atau heme, yang
sebanyak 75% berasal dari hemoglobin dan 25% dari heme di hepar (enzim sitokrom,
katalase dan heme bebas), mioglobin otot, serta eritropoiesis yang tidak efektif di
sumsum tulang. Metabolisme bilirubin terdiri dari tahapan :
1) Transport bilirubin
Bilirubin dibentuk dari degradasi zat yang mengandung heme. Pembentukan
bilirubin dimulai dengan memutuskan cincin tetrapirol protoheme (protoporfirin IX)
sehingga terbentuklah tetrapirol rantai lurus (biliverdin). Enzim yang pertama kali
terlibat dalam pembentukan bilirubin adalah mikrosomal heme-oksigenase. Telah
diketahui ada 2 bentuk utama heme-oksigenase: yang pertama terdapat di dalam
hepar dan lien; yang kedua terdapat di dalam otak dan testis. Heme-oksigenase
menyebabkan reduksi besi porfirin (Fe3+ menjadi Fe2+) dan hidroksilasi karbon α-
methine, dimana karbon α ini dioksidasi dari cincin tetrapirol sehingga menghasilkan
karbon monoksida.
Pemotongan ini membuka struktur cincin dan berhubungan dengan oksigenasi
kedua atom karbon di kedua ujung rantai. Αtom karbon yang dipotong, diekskresi
sebagai karbon monoksida yang juga merupakan neurotransmiter. Besi yang dilepas
oleh heme-oksigenase dapat digunakan kembali oleh tubuh. Hasil akhir tetrapirol
rantai lurus adalah biliverdin IXα. Stereospesifisitas enzim yang menyebabkan
pemutusan hampir pasti terdapat pada α-karbon tetrapirol. Hal ini berbeda dari hasil
yang didapatkan pada oksidasi kimiawi in vitro, di mana pemutusan dapat terjadi di
antara keempat atom karbon (α, β, γ, δ) yang menghubungkan keempat cincin pirol
dan menghasilkan jumlah isomer α, β, γ dan δ yang sama. In utero, bilirubin IXβ
merupakan pigmen empedu yang pertama kali ditemukan, dan dapat ditemukan di
empedu atau mekonium pada usia kehamilan 15 minggu. Sejumlah kecil bilirubin
IXβ juga ditemukan pada empedu orang dewasa. Kemudian, atom karbon sentral

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 28
pada biliverdin IXα direduksi dari methine menjadi kelompok methilene, membentuk
bilirubin IXα, yang diselesaikan oleh enzim biliverdin reduktase sitosolik. Kedekatan
enzim ini menyebabkan sangat sedikitnya biliverdin yang dapat ditemukan di
sirkulasi. .
2) Pengambilan bilirubin oleh sel hati
Struktur hati sudah disesuaikan sedemikian rupa untuk uptake bilirubin. Aliran
darah yang melalui sinusoid lebih lambat daripada aliran darah yang melewati
kapiler, karena aliran darah ini lebih berasal dari tekanan vena dibandingkan tekanan
arterial. Bilirubin yang terikat albumin dengan mudah mengalir dari plasma ke dalam
space of Disse di antara endotelium dan hepatosit, karena lapisan endotelial sinusoid
hati tidak mempunyai lamina basalis yang terdapat pada sistem kapiler organ lainnya.
Celah-celah pada endotelium memungkinkan kontak langsung dengan membran
plasma hepatosit.
Pertama, bilirubin dipisahkan dari albumin yang mengikatnya dan memasuki
hepatosit melalui membran reseptor karier sehingga lebih mudah memasuki hepatosit.
Telah diketahui media transport yang membawa anion organik memasuki hepatosit,
termasuk bilirubin, bromsulfophthalein (BSP) dan indocyanine green (ICG),

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 29
Gambar 4 Skema metabolisme Bilirubin pada janin, neonatus dan orang
Dewasa11
3) Konjugasi
Di dalam hepatosit, bilirubin berkonjugasi dengan asam glukoronat. Proses ini terjadi
di dalam retikulum endoplasma (mikrosom). Sebagai donor asam glukoronat adalah
uridine diphosphate glucoronic acid (UDP-GA). Hasil konjugasinya adalah ester
dengan atau tanpa rantai samping asam propionat pada cincin B dan C pirol bilirubin.
Enzim yang bertanggung jawab untuk esterifikasi ini adalah bilirubin uridine
diphosphate glucuronasyltransferase (BUGT). BUGT berbeda dari isoform
glucuronosyltransferase lainnya, yang mengkatalisis konjugasi tiroksin, steroid, asam
empedu dan xenobiotic.11

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 30
bilirubin terkonjugasi lainnya (misalnya glukosa, xilosa dan diester). Pada
bayi, karena aktivitas UGT1A1 rendah, empedu mengandung lebih sedikit bilirubin
diglukoronida dan lebih banyak bilirubin monoglukoronida daripada orang dewasa
4) Sekresi bilirubin terkonjugasi
Setelah berkonjugasi, bilirubin diekskresi dengan melawan gradien konsentrasi
hepatosit melalui membran kanalikuli ke dalam empedu. Data dari penelitian pada
hati tikus menunjukkan bahwa transport bilirubin diglukoronida melalui membran
kanalikuli dengan menggunakan karier, elektrogenik, dan distimulasi oleh HCO3.
Data serupa juga menunjukkan bahwa bilirubin glukoronida dibawa melewati
membran kanalikuli baik oleh ATP dan membran potensial, sistem tergantung
transport. Transporter tergantung ATP yang bertanggungjawab terhadap pasase
bilirubin glukoronida dari hepatosit melalui membran kanalikuli adalah transporter
anion organik kanalikuli multispesifik (CMOAT), yang merupakan transporter yang
terikat ATP dan homolog dengan proterin 2 multidrug resistance. Sebelumnya,
CMOAT dianggap sebagai transporter anion organik non-asam empedu, pompa
glutathione S-conjugate dan pompa leukotrien. Mutasi genetik yang mengubah ATP
binding cassette transporter ini termasuk penyakit cystic fibrosis, hiperinsulinemia,
adrenoleukodistrofi, multidrug resistance dan Sindroma Dubin-Johnson. Mekanisme
ini dapat dipenuhi dengan meningkatkan jumlah bilirubin dan bilirubin terkonjugasi.
pada hiperbilirubinemia kecuali jika terdapat peningkatan fraksi bilirubin
terkonjugasi. Baik bilirubin delta maupun bilirubin terkonjugasi bereaksi langsung
yang menjelaskan suatu keadaan yang telah lama membingungkan para klinikus.11
Berdasarkan keempat tahapan tersebut, ikterus dapat terjadi karena:
 Pembentukan bilirubin yang berlebihan
 Defek pengambilan bilirubin oleh sel hati
 Defek konjugasi bilirubin
 Penurunan ekskresi bilirubin

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 31
 Campuran; peningkatan kadar bilirubin terjadi karena prosuksi yang
berlebihan dan sekresi yang menurun
Gangguan berupa pembentukan bilirubin yang berlebihan, defek pengambilan dan
konjugasi bilirubin menghasilkan peningkatan bilirubin indirek. Penurunan ekskresi
bilirubin akan menyebabkan peningkatan kadar bilirubin direk atau disebut kolestasis,
sedangkan bila mekanismenya bersifat campuran, terjadi peningkatan bilirubin direk
maupun indirek.11
5) Sirkulasi enterohepatik
Jika bilirubin terkonjugasi memasuki lumen usus, ada beberapa kemungkinan
terjadinya metabolisme lebih lanjut. Pada orang dewasa, flora normal akan
menghidrogenasi karbon ikatan rangkap dalam bilirubin untuk menghasilkan
urobilinogen (Oksidasi atom karbon tengah menghasilkan urobilin. Karena adanya
sejumlah besar ikatan tak jenuh di dalam bilirubin, maka ada banyak bentuk reduksi
dan oksidasi dari ikatan-ikatan ini. Keluarga besar reduksi-oksidasi hasil bilirubin ini
dikenal sebagai urobilinoid, diekskresikan ke dalam feses. Bakteri yang paling
penting dalam peranannya memproduksi urobilinoid adalah Clostridium ramosum,
yang bekerja sama dengan Escherichia coli. Konversi bilirubin terkonjugasi menjadi
urobilinoid penting untuk menghalangi absorpsi bilirubin di intestinal yang dikenal
sebagai sirkulasi enterohepatik. Neonatus hanya sedikit memiliki flora intestinal,
sehingga lebih banyak mengabsorpsi bilirubin dari intestinum. Perbedaan antara
ekskresi pigmen empedu pada orang dewasa dan pada neonates. Di dalam intestinum,
bilirubin terkonjugasi juga dapat bertindak sebagai substrat, baik untuk bakterial
maupun untuk β-glukuronidase jaringan endogen. Enzim ini menghidrolisis asam
glukoronat dari bilirubin glukuronida. Bilirubin tak terkonjugasi yang diproduksi,
diabsorbsi lebih cepat dari intestinum. Pada fetus, β-glukuronidase sudah terdeteksi
pada usia kehamilan 12 minggu dan diyakini mempunyai peranan penting dalam
mempercepat absorpsi bilirubin intestinum, yang memungkinkan bilirubin
dikeluarkan melalui plasenta. Setelah lahir, peningkatan kadar β-glukuronidase

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 32
intestinal dapat menyebabkan peningkatan kadar bilirubin serum. Kemampuan β-
glukuronidase jaringan endogen untuk men-dekonjugasi bilirubin glukuronida telah
2.2.3 Definisi Ikterus Neonatorum
Ikterus didefinisikan sebagai warna kuning pada konjungtiva, kulit, dan
mukosa akibat penumpukan bilirubin serum >5 mg/dL. 11 Bayi yang lahir dengan
ikterus karena adanya akumulasi bilirubin di kulit, selaput lendir, dan konjungtiva.11
Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai dengan gejala
klinis yaitu warna kuning pada kulit dan mukosa akibat akumulasi bilirubin darah >5
mg/dL.11

2.2.4 Klasifikasi Ikterus


Ikterus dapat diklasifikasikan berdasarkan onset terjadinya yaitu sebagai berikut.
1) Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologis merupakan ikterus yang muncul pada hari ke-dua dan ke-tiga
yang tidak mempunyai dasar patologis. Bentuk ikterus ini umumnya terjadi pada bayi
baru lahir dengan kadar bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama >2 mg/dL.
Pada bayi cukup bulan yang diberi susu formula, kadar bilirubin akan mencapai
puncaknya sekitar 6-8 mg/dL pada hari ke-3 pasca lahir dan kemudian akan menurun
cepat selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan lambat sebesar 1 mg/dL selama 1
sampai 2 minggu.11
Pada bayi prematur, ikterus terjadi lebih dini, kadar bilirubin naik perlahan
tetapi dengan kadar puncak lebih tinggi, serta memerlukan waktu lebih lama untuk
menghilang hingga mencapai 2 minggu. Kadar bilirubin akan mencapai <2 mg/dL
setelah usia 1 bulan, baik pada bayi cukup bulan maupun premature.11
2) Ikterus Patologis
Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologi atau kadar
bilirubinnya mencapai kadar nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Keadaan berikut
ini menandakan kemungkinan ikterus patologis dan membutuhkan pemeriksaan
lanjutan:1,5

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 33
- Awitan ikterus sebelum usia 24 jam
- Peningkatan bilirubin serum >5 mg/dL dalam 24 jam
- Kadar bilirubin terkonjugasi >2 mg/dL
- Bayi menunjukkan tanda sakit (muntah, letargi, kesulitan minum, penurunan
berat badan, apnea, takipnea, instabilitas suhu)
- Ikterus yang menetap >2 minggu.
2.2.5 Etiopatogenesis icteric
Faktor etiologi yang mungkin berhubungan dengan hiperbilirubinemia pada
bayi yang mendapat ASI adalah asupan cairan (kelaparan, frekuensi menyusui,
kehilangan berat badan/dehidrasi), hambatan ekskresi bilirubin hepatik (pregnandiol,
lipase-free fatty acids, unidentifed inhibitor), intestinal reabsorbtion of bilirubin
(pasase mekonium terlambat, pembentukan urobilinoid bakteri, beta-glukoronidase,
hidrolisis alkaline dan asam empedu). Penyebab neonatal hiperbilirubinemia infdirek
antara lain incomptabilitas darah fetomaternal (Rh,ABO), defisiensi enzim
kongenital, sepsis, polisitemia, keterlambatan klem tali pusat, imaturitas, gangguan
metabolik, asfiksia, hipoksia, hipotermi, hipoglikemia, anomali kongenital dan lain
sebagainya11,15
Penyebab terjadinya ikterus pada neonatus <24 jam pasca kelahiran adalah
hemolisis yang berlebihan karena adanya inkompatibilas rhesus dan ABO.
Inkompatibilitas rhesus adalah perbedaan golongan darah rhesus ibu dan anak yang
menyebabkan kelainan. Karena perbedaan ini, sel darah ibu memproduksi antibody
terhadap sel darah merah janin. Immunoglobulin ibu (antibody IgG) yang melintasi
plasenta kedalam sirkulasi janin akan mendeteksi sel darah merah janin sebagai benda
asing dan menyebabkan hemolysis.11
Enzim G6PD merupakan enzim yang membantu sel darah merah tetap
berfungsi normal dan menjaga sel darah merah dari agen infeksi. Adanya mutasi atau
perubahan pada gen penghasil enzim G6PD. Gangguan ini menyebabkan penderita
kekurangan enzim G6PD. Kondisi ini berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup
sel darah merah dan sel darah merah akan lebih mudah pecah daripada waktu

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 34
normalnya. Selain itu, defisiensi enzim piruvat kinase juga berpengaruh terhadap
proses hemolisis. Enzim piruvat kinase berperan dalam proses glikolisis untuk
pembentukan ATP dan juga berperan dalam pembentukan integritas membrane sel.
Ketiadaan atau kekurangan enzim ini akan menyebabkan dinding sel darah merah
lebih mudah lisis12
Mekanisme terjadinya peningkatan kadar bilirunin dalam darah dapat
disebabkan oleh berbagai faktor yang mengganggu proses metabolis.

Gambar 6. Patofisiologi ikterus


Sumber: Silbernagl S, Lang F. Jaundice in Color atlas of pathophysiology14
2.2. 6 Diagnosis Ikterus Neonatorum
Anamnesis8,16
Proses mengidentifikasi ikterus neonatorum terdiri dari anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis dimulai dengan identitas pasien yan
meliputi nama lengkap bayi, umur dan tanggal lahir, jenis kelamin, berat badan dan
tanyakan berat badan saat bayi lahir. Selain itu perlu juga ditanyakan nama ibu, ayah,
golongan darah ayah dan ibu, agama, pendidikan, dan alamat.
Keluhan utama dan keluhan penyakit sekarang yang ditanyakan yaitu onsetnya
sejak kapan, sudah berapa lama, kuningnya dimana saja, tanyakan riwayat demam

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 35
sebelumnya, apakah kuning muncul setelah demam hilang, tanyakan tentang asupan
gizi bayi, tanyakan terkait warna urin dan feses bayi. Selain itu, tanyakan gejala-
gejala lain seperti gejala-gejala yang mengarahkan ke ikterus neonatorum.
Riwayat penyakit selama kehamilan yang dapat menyebabkan bayi ikterus
seperti golongan darah ibu dan bayi tidak sesuai, rhesus ABO inkompatibilitas,
infeksi yang pernah diderita ibu misalnya toksoplasma, rubella, cytomegalovirus,
herpes, hepatitis B, dan spherositosis kongenital.11,12
Riwayat persalinan pada bayi yang sekarang. Jenis persalinan ibu, penolong
persalinan, temat persalinan, umur kehamilan, warna ketuban, keadaan bayi waktu
lahir (nilai APGAR 1 menit pertama dan lima menit kedua), tanyakan tentang riwayat
pemberian ASI), riwayat melahirkan sebelmnya dengan ikterus. Rriwayat persalinan
traumatic menyebabkan perdarahan atau hemolisis pada bayi. Keterlambatan klem
tali pusat menyebabkan polisitemi neonatal dan peningkatan bilirubin.16
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan ikterus tetap dilakukan seperti
pemeriksaan fisik lainnya yakni harus pemeriksaan dari kepala sampai kaki. Kondisi
bayi harus diperiksa apakah pucat (berhubungan dengan anemia hemolitik atau
kehilangan darah ekstravaskular), petechie, memar di kulit yang berlebihan,
hepatosplenomegali, kehilangan BB.8,16
Pada bayi tampak kuning. Amati ikterus pada siang hari dengan sinar lampu
yang cukup. Tekan kulit dengan ringan memakai jari tangan untuk memastikan warna
kulit dan jaringan subkutan:
- Pada hari pertama, tekan pada ujung hidung atau dahi
- Pada hari kedua, tekan pada lengan atau tungkai
- Pada hari ketiga dan seterusnya, tekan pada tungkai dan kaki
Pemeriksaan metode visual ini dilakukan pada semua bayi baru lahir secara
rutin setiap hari. Hasil pemeriksaan dapat dikuantifikasi menjadi grade 1 samapi
grade 5 dengan metode Karmer (gambar 5). Jika pada pemeriksaan, ditemukan bayi

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 36
kuning secara visual, dianjurkan untuk melakukan konfirmasi kadar bilirubin,baik
secara invasive, non invasive.

Gambar 7. Metode Kramer8


Sumber: Rohsiswatmo R, Amandito R. Hiperbilirubinemia pada neonatus >35
minggu di Indonesia dan tatalaksana terkini.
Tabel 23. Korelasi metode visual dengan estimasi nilai bilirubin24
Zon Bagian tubuh yang kuning Rata-rata bilirubin indirek serum
a (mg/dl)
I Kepala + leher 4-8
II Badan atas (diatas umbilicus) 5-12
III Tungkai bawah dan paha 8-16
IV Ekstremitas atas dan kaki bawah 11-18
V Telapak tangan dan tumit >18

Pemeriksaan penunjang
1) Darah8
- Apusan darah tepi untuk melihat morfologi eritrosit dan ada tidaknya
hemolisis.
- Pemeriksaan golongan darah, rhesus, dan direct coombs test dari ibu dan bayi
untuk mecari penyakit hemolitik lain.

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 37
- Pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui bilirubin direk/indirek
2) Pemeriksaan bilirubin serum
Pemeriksaan ini merupakan baku emas untuk penegakan diagnosis ikterus
neonatorum serta untuk menentukan intervensi lebih lanjut. Tetapi perlu
dipertimbangkan karena hal ini merupakan tindakan invasive dan terkait
beberapa kendala seperti, membutuhkan darah 1ml, dibutuhkan tenaga
laboratorium khusus sehingga waktu tunggu hasil keluar berkisar 4 jam atau
lebih.
3) Bilirubinometer transkutan (TcB)
Merupakan metode yang akurat dan tidak invasif sehingga dapat menjadi
alternative pemeriksaan bilirubin neoatus. Alat ini bekerja dengan prinsip
spektrofotometer dan mengukur cahaya yang dipantulkan dari warna kulit.
Kelemahan dari pemeriksaan ini yaitu tidak dapat digunakan ketika pasien
dalam fototerapi atau terpapar sinar matahari, kurang akurat dan konsisten
pada kadar bilirubin total >15 mg/dl. Keuntungannya adalah karena
meminimalisir pengambilan darah, dapat digunakan sebagai pemeriksaan
universal dan tetap akurat pada kadar bilirubin <15 mg/dl.
4) Bilistick
Pemeriksaan ini merupakan sistem pemeriksaan sederhana, cepat, tidak
membutuhkan reagen, dapat mengukur kadar bilirubin serum hingga 30 mg/dl, tidak
terpegaruh terapi sinar, sampel darah yang dibutuhkan relative sedikir (25 µl), dan
dapat menggunakan darah kapiler dari tumit pasien8
3.2.6 Tatalaksana11
Hiperbilirubinemia merupakan alasan paling sering bayi dibawa kembali ke
rumah sakit pada umur beberapa minggu. Langkah paling penting penanganan
jaundice adalah menentukan penyebabnya. Terlepas dari penyebabnya, peningkatan
fraksi bilirubin tak terkonjugasi dalam serum dapat menyebabkan kernikterus seperti
yang telah dibahas sebelumnya.11

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 38
Saat ini sudah tersedia fototerapi baru menggunakan woven fiberoptic pads,
yang efektif (dibandingkan dengan foto konvensional) dan aman. Secara umum
fototerapi digunakan untuk mencegah supaya bilirubin tidak mencapai kadar yang
memerlukan exchange transfusion. Saat ini fototerapi banyak dilakukan di rumah,
suatu praktek yang dianjurkan oleh American Academy of Pediatrics. Selain
komplikasi yang telah diketahui, fototerapi sudah digunakan secara luas dan secara
umum dianggap aman. Walaupun fototerapi memang mempengaruhi cardiac output
dan aliran darah ke organ lain (misalnya, meningkatkan aliran darah ke otak), dan
dapat dihubungkan dengan pembukaan duktus arteriosus, efek ini secara umum
bukanlah masalah pada bayi yang ekstrim prematur (berat badan lahir kurang dari
800 gram). Prolonged fototherapy dan rendahnya kadar bilirubin serum (9,4 mg/dl)
dikatakan berhubungan dengan kebutaan. Hal ini dapat berkaitan dengan efek
langsung sinar pada mata imatur yang tidak dilindungi atau penurunan proteksi
antioksidan akibat rendahnya kadar biliribin serum.11
Fototerapi sebaiknya tidak dilakukan tanpa sebelumnya dilakukan evaluasi
diagnostik penyebab jaundice. Walaupun sudah dianjurkan agar posisi bayi diubah
tiap 6 jam selama mendapat fototerapi, tetapi ada data dari suatu penelitian bahwa
perubahan posisi tidak berpengaruh terhadap kadar bilirubin serum.11
Exchange tranfusion merupakan metode tercepat untuk menurunkan
konsentrasi bilirubin serum. Indikasi exchange tranfusion beragam dan dapat
berhubungan dengan adanya anemia maupun peningkatan kadar bilirubin serum.
Pada penyakit hemolitik neonatal, indikasi tranfusi antara lain adalah anemia
(hematokrit <45%), direct Coombs’s test (+), dan kadar bilirubin darah umbilikus >4
mg/dl, peningkatan kadar bilirubin serum >1 mg/dl/jam selama lebih dari 6 jam,
anemia progresif dan kecepatan peningkatan kadar bilirubin serum >0,5 mg/dl/jam.
Kadang-kadang exchange tranfusion untuk kasus hemolisis dapat dihindari dengan
menggunakan imunoglobulin intravena dosis tinggi. Indikasi exchange tranfusion
atas hiperbilirubinemia sendiri adalah: (1) kadar bilirubin >15 mg/dl selama lebih dari
48 jam, (2) indeks saturasi salisilat >8,0 dan HABA binding <50% pada 2x

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 39
pengambilan berjarak 4 jam, (3) rasio kadar bilirubin total serum (mg/dl) dibanding
kadar protein total serum (g/dl) >3,7, dan (4) rasio kadar bilirubin serum dibanding
kadar protein total serum >0,7. Walaupun banyak risiko exchange tranfusion yang
telah dijabarkan, angka mortalitasnya masih rendah (<0,6%) jika dilakukan dengan
benar.11
3.2.7 KOMPLIKASI
Bayi baru lahir yang mengalami ikterus berat berisiko mengalami bilirubin-
induced neurologic dysfunction (BIND) ketika bilirubin melewati sawar darah otak.
Bilirubin yang masuk akan berikatan dengan gllobus pallidus dan juga hipokampus,
otak kecil, nuclear body subthalamicus, dan menyebabkan neurotoksisitas dengan
cara apoptosis dan nekrosis. Secara akut dapat bermanifestasi sebagai ensefalopati
bilirubin akut (ABE) yang ditandai dengan letargi, hipotonia, dan penurunan reflex
menghisap yang bersifat reversibel. Kernicterus yang permanen dapat berkembang
jika ABE juga berkembang. Manifestasi klinis tampak berupa serebral palsy, kejang,
baby arching (bayi melengkung) atau epistotonus, dan tuli sensorineural11

3.3 KEJANG NEONATUS


3.3.1 Definisi
Definisi kejang adalah depolarisasi berlebihan sel-sel neuron otak, yang
mengakibatkan perubahan yang bersifat paroksismal fungsi neuron (perilaku, fungsi
motorik dan otonom) dengan atau tanpa perubahan kesadaran. Kejang pada neonatus
dibatasi waktu yaitu kejang yang terjadi pada 28 hari pertama kehidupan (bayi cukup
bulan) atau 44 minggu masa konsepsi (usia kronologis + usia gestasi pada saat lahir)
pada bayi premature.18,19

3.3.2 Etiopatogenesis

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 40
Depolarisasi berlebihan sel-sel neuron otak terjadi akibat masuknya ion
natrium ke dalam sel, sedangkan repolarisasi diakibatkan oleh keluarnya ion kalium
ke ekstra sel. Fungsi neuron adalah menjaga keseimbangan antara depolarisasi dan
repolarisasi. Jika terjadi depolarisasi maka terjadi potensial aksi yang mengakibatkan

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 41
penglepasan neurotransmiter dari presinaps di terminal akson. Neurotransmiter akan
berikatan dengan reseptor postsinaps dan menghasilkan potensial aksi yang dapat
bersifat eksitasi atau inhibisi. Fungsi otak normal sangat bergantung dari
keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi
Keseimbangan membran potensial membutuhkan enerji yang berasal dari adenosine
triphospate (ATP) yang menggerakkan pompa Na-K yang berfungsi mengeluarkan
ion kalium dan memasukkan ion natrium.19
Meskipun mekanisme terjadinya kejang pada neonatus belum diketahui secara
pasti, namun terdapat beberapa teori yang menerangkan depolarisasi berlebihan,
yaitu9 (1) Pompa Na-K tidak berfungsi akibat kekurangan enerji, disebabkan oleh
hipoksikiskemik dan hipoglikemia. (2) Neurotransmiter eksitasi (glutamate) yang
berlebihan (produksi yang berlebih atau berkurangnya re-uptake) sehingga
mengakibatkan depolarisasi yang berlebihan, ditemukan pada keadaan hipoksik-
iskemik dan hipoglikemia. (3) Defisiensi relatif neurotransmiter inhibisi (gama-
amynobutiric acid /GABA) mengakibatkan depolarisasi berlebihan, hal ini terjadi
akibat menurunnya aktivitas enzim glutamic acid decarboxylase pada keadaan
defisiensi piridoksin. (4) Terganggunya permeabilitas membrane sel, sehingga ion
natrium lebih banyak masuk ke intrasel yang mengakibatkan depolarisasi berlebihan,
ditemukan pada hipokalsemia dan hipomagnesemia karena ion kalsium dan
magnesium berinteraksi dengan membrane sel untuk menghambat masuknya ion
natrium.19

Manifestasi klinis20

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 42
3.3.3 Evaluasi diagnostic19,20
Riwayat kehamilan, persalinan dan riwayat kejang dalam keluarga sangat
diperlukan untuk mencari faktor risiko dan etiologi, setelah itu dilakukan
pemeriksaan penunjang. Pendekatan diagnosis sebaiknya dilakukan secara bertahap.
Langkah pertama adalah pemeriksaan darah lengkap, gula darah, elektrolit, analisis
cairan serebrospinal (CSS), EEG dan pencitraan untuk mencari etiologi, memberikan
tata laksana yang tepat serta untuk menentukan prognosis.19
Pemeriksaan ultrasonografi kepala sering merupakan pilihan pertama karena
dapat dilakukan bed-side sambil menunggu kondisi neonatus stabil untuk
pemeriksaan CT atau MRI. Pemeriksaan CT sangat bermanfaat untuk mendeteksi
perdarahan intracranial akut atau kalsifikasi, sedangkan MRI untuk mengetahui
gambaran kerusakan otak yang disebabkan oleh HIE dan melihat disgenesis
serebral.19,20

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 43
3.3.4 Tatalaksana
Permasalahan dalam tata laksana adalah obat apa yang diberikan pada saat akut dan
rumatan, serta berapa lama dan kapan menghentikan obat antikonvulsan tersebut.
Prinsip utama dalam tata laksana kejang neonatus adalah, (1) Mempertahankan
ventilasi dan perfusi yang adekuat. (2) Mencari dan memberikan tata laksana
terhadap etiologi kejang sesegera mungkin. (3) Tata laksana kejang, dengan
mempertimbangkan manfaat pemberantasan kejang dengan efek samping yang
mungkin timbul dari pemberian obat antikonvulsan.20

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 44
3.4. HIPOGLIKEMIA REFRAKTER
3.4.1 Definisi
Belum ada definisi yang dipakai secara universal untuk hipoglikemia. Sampai
saat ini belum ada cukup bukti yang dapat menjelaskan berapa kadar gula darah yang
dikatakan hipoglikemia. Beberapa peneliti merekomendasikan kadar gula darah yang
berbeda-beda untuk dipertahankan pada periode neonatus untuk mencegah kerusakan
perkembangan otak. Kadar normal gula darah bervariasi tergantung beberapa faktor
seperti usia gestasi, berat lahir, cadangan dalam tubuh, status makanan, kemampuan
untuk menggunakan energi dan ada atau tidak adanya penyakit dalam tubuh. Sampai
saat ini belum ada bukti yang konkrit yang menunjukkan hubungan keluaran jangka
panjang yang buruk dengan batasan kadar gula darah dan durasi hipoglikemia.
Sehingga konsensus berkembang menjadi “Operational Threshold”.21
Definisi hipoglikemia berdasarkan Operatinal Threshold adalah konsentrasi
kadar gula plasma atau whole blood dimana klinisi harus mempertimbangkan

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 45
intervensi berdasarkan bukti-bukti terbaru yang ada di literatur. Konsentrasi kadar
plasma gula darahi <45 mg/dL..21
3.4.2 Homeostasis glukosa
Pada kondisi tidak stress, glukosa janin sepenuhnya bersal dari ibu, melalu
transfer plasenta Konsentarsi glukosa janin dapat mencerminkan namun dapat sedikit
lebih rendah diandingkan pada kondisi maternal. Sebenarnya, pengaturan
homeostasis pada janin dan bayi tidak sepenuhnya dapat dibuktikan, karena sebagian
besar kesimpulan yang diambil adalah dari penelitian binatang percobaan. Walaupun
demikian pada anak dan dewasa mempunyai substrat dan pengaturan metabolisme
hormonal yang sama, namun homeostasis glukosa pada bayi gambarannya berbeda.
Bila seorang ibu hamil mendapatkan nutrisi yang adekuat, maka pada janin tidak akan
terjadi glukoneogenesis dan ketogenesis. Selama dalam kandungan, energi pokok
yang digunakan janin adalah: glukosa, asam amino, dan laktat, glukosa merupakan
50% dari energi yang dibutuhkan. Glukosa ibu masuk melalui plasenta ke janin
dengan difusi karena adanya perbedaan konsentrasi pada ibu dan plasma janin, kadar
glukosa plasma janin 70-80% kadar dalam vena ibu. Glukosa yang masuk ke janin
dalam jumlah yang proporsional untuk kebutuhan energi yang dibutuhkan janin
dengan kecepatan 5-7 gram/kgBB/menit, sesuai dengan kecepatan produksi glukosa
endogen setelah lahir. Sistem enzim yang terlibat dalam glukoneogenesis dan
glukogenolisis sudah ada dalam hepar janin namun tidak aktif, kecuali apabila
terangsang oleh ibu yang sangat kelaparan. Pada hewan aktivitas enzim untuk
glukoneogenesis sangat penting, pada janin manusia tidak ada atau bila ada sangat
rendah dan tidak meningkat sampai periode perinatal yang akan mencapai kadar
dewasa hanya dalam beberapa jam sampai beberapa hari setelah kehidupan
ekstrauterin. Untuk mempertahankan euglikemia, pada saat lahir tidak ada produksi
glukosa oleh janin manusia, namun produksi glukosa hepar dan glukoneogenesis
telah dibuktikan ada dalam beberapa jam setelah lahir, kecuali pada bayi yang
prematur. Enzim yang dibutuhkan untuk glikogenolisis dan sintesis glikogen sudah
ada pada hepar janin sejak lama sebelum terjadi akumulasi glikogen. Hanya pada

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 46
anak dengan penyakit glycogen storage, dalam 3-4 minggu terakhir kehamilan,
terjadi peningkatan cadangan glikogen hepar mencapai kadar saat lahir.22,23

Gambar 8. Metabolisme Glukosa23


Pada saat lahir kadar glukosa plasma umbilical 60-80% dari kadar glukosa vena
ibu. Pada bayi aterm sehat yang sudah lepas dari ibunya dua jam pertama setelah
lahir, kadar glukosa darahnya tidak pernah di bawah 40 mg/dL, pada usia 4-6 jam
berkisar antara 45-80 mg/dL. Kadar glukosa dipertahankan segera setelah lahir
dengan pemecahan glikogen hepar (glikogenolisis) karena pengaruh epinefrin dan
glucagon, difasilitasi oleh turunnya kadar insulin. Namun dalam waktu 8-12 jam
pertama glikogen berkurang, setelah itu kadar glukosa dipertahankan oleh sintesis
glukosa dari laktat, gliserol, dan alanin (glukoneogenesis). Setelah mendapat
makanan dan masukan karbohidrat adekuat, glukoneogenesis tidak dibutuhkan lagi.
Hipoglikemia disebabkan oleh berkurangnya suplai glukosa atau meningkatnya
konsumsi glukosa. Karena euglikemia pada mulanya tergantung pada glikogenolisis
dan glikoneogenesis, bayi yang kekurangan substrat atau jalur metaboliknya tidak
normal, terjadi hipoglikemia.
Pada orang sehat, kadar glukosa darah post absorbsi tetap dipertahankan dalam
rentang yang sempit, antara 60-100 mg/dL. Setelah makan maka kadar glukosa akan
meningkat sementara antara 120-140 mg/dL, setelah itu kembali ke kadar semula

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 47
biasanya sekitar 2 jam setelah absorbsi karbohidrat terakhir. Insulin dan glukagon
merupakan dua hormon yang sangat penting dalam sistem umpan balik glukosa, bila
gula darah meningkat setelah makan, maka sekresi insulin meningkat dan
merangsang hepar untuk menyimpan glukosa sebagai glikogen. Bila sel (khususnya
hepar dan otot) kelebihan glukosa, maka kelebihan glukosa disimpan sebagai lemak.
Bila kadar glukosa turun, fungsi sekresi glukagon adalah meningkatkan kadar glukosa
dengan merangsang hepar untuk melakukan glikogenolisis dan melepaskan glukosa
kembali ke dalam darah. Pada keadaan kelaparan, hepar mempertahankan kadar
glukosa melalui gluconeogenesis.22,23
Glukoneogenesis, adalah pembentukan glukosa dari asam amino dan gliserol
yang merupakan bagian dari lemak. Otot memberikan simpanan glikogen dan
memecah protein otot menjadi asam amino yang merupakan substrat untuk
glikoneogenesis dalam hepar. Asam lemak dalam sirkulasi di katabolisme menjadi
keton, asetoasetat dan beta hidroksi butirat yang dapat digunakan sebagai pembantu
bahan bakar untuk sebagian besar jaringan, termasuk otak. Hipotalamus merangsang
sistem saraf simpatis dan epinefrin yang disekresi oleh adrenal menyebabkan
pelepasan glukosa oleh hepar.
Bila hipoglikemia berkelanjutan, sampai beberapa jam atau hari, maka hormone
pertumbuhan dan kortisol disekresi dan penurunan penggunaan glukosa oleh sebagian
besar sel tubuh. Insulin merupakan hormone pengatur utama, bila tidak bekerja atau
kurang maka terjadi hiperglikemia post absorbsi, jadi insulin mempertahankan
euglikemia post absorbsi. Pada orang normal bila dibuat hipoglikemia dengan
diberikan insulin, maka pertama kali hepar yang berperan secara fisiologis terjadi
respon untuk mengatasi hipoglikemia dengan mengeluarkan glukosa yang disimpan
sebagai glikogen dari sel hepatosit dan merubah laktat, gliserol, dan asam amino
menjadi glukosa (glikoneogenesis), bila kadar glukosa darah tetap tidak mencukupi
maka tubuh meningkatkan kadar glukagon, epinefrin, hormon pertumbuhan, dan
kortisol. Glukagon yang pertama kali mengatasi hipoglikemia, bila gagal, maka yang
kedua adalah epinefrin, bila glukagon dapat mengatasi hipoglikemia, maka epinefrin

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 48
tidak diperlukan, namun bila tidak ada glukagon maka epinefrin memegang peranan
penting. Hormon pertumbuhan dan kortisol, walaupun berperan namun bekerjanya
lebih lambat. 23
3.4.3 Etiologi23

Glukosa adalah sumber utama energi untuk otak janin dan bayi. Selama
proses adaptasi dari penyediaan kontinu glukosa dalam-rahim sampai suplai
intermiten setelah lahir, neonatus rentan terhadap periode hipoglikemia. Penurunan
ringan kadar glukosa darah merupakan gejala umum dari adaptasi perinatal.
Konsentrasi glukosa darah hingga 30 mg / dL umum ditemukan pada neonatus sehat
1 sampai 2 jam setelah lahir; konsentrasi rendah ini, terlihat pada semua bayi
mamalia baru lahir, biasanya bersifat sementara, tanpa gejala, dan dianggap sebagai
bagian dari adaptasi normal kehidupan postnatal. Periode ini ditandai dengan regulasi

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 49
hormonal dan jalur metabolisme glukoneogenesis, glikogenolisis hepatik dan
ketogenesis. Kebanyakan neonatus mengkompensasi hipoglikemia "fisiologis"
dengan memproduksi bahan bakar alternatif termasuk badan keton, yang berasal dari
lemak. Namun, pada beberapa neonatus,hal ini mungkin tertunda dan hipoglikemia
mungkin akan bertahan lama atau berat. Hipoglikemia persisten, berulang atau
hipoglikemia berat dapat menyebabkan cedera permanen pada perkembangan otak.24
Hipoglikemia berulang (refrakter) dan persisten adalah kegagalan
mempertahankan kadar normal gula darah walaupun sudah mendapat infus glukosa
dengan GIR 12mg/kg/min atau ketika stabilitas tidak tercapai setelah 7 hari
pengobatan.(3) Hipoglikemia berulang mempunyai banyak penyebab. Penyebab
hipoglikemia berulang dan persisten sangat berhubungan dengan gangguan endokrin
atau metabolic.24

Gambar . Etiologi Hipoglikemia refrakter 24


Beberapa neonatus dapat diidentifikasi dengan berbagai gejala klinis sebagai
neonates berisiko tinggi untuk hipoglikemia berat selama 48 jam pertama kehidupan,

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 50
dan sebagian dari mereka juga mengalami peningkatan risiko hipoglikemia persisten
setelah 48 jam pertama kehidupan. 26

Gambar. Waktu screening gula darah26


3.4.5 Manifestasi klinik
Tanda-tanda klinis dari neonatus hipoglikemia tidak begitu spesifik, tetapi
melibatkan dua sistem utama yaitu stimulasi adrenergik dari sistem saraf simpatik dan
kegagalan fungsi sistem saraf pusat. Tanda-tanda ini antara lain gelisah, stupor,
jitteriness, tremor, apatis, sianosis, kejang, episode apnea, takikardi, menangis lemah
atau bernada tinggi, floppiness atau kelesuan, makan yang buruk, dan eye rolling.
Episode berkeringat, pucat,hipotermia dan henti jantung juga dilaporkan. Hal ini
penting untuk menyaring gangguan lain yang mungkin mendasari (misalnya, infeksi).
Tanda-tanda ini biasanya mereda dengan cepat dengan normalisasi pasokan glukosa
dan konsentrasi plasma. Koma dan kejang dapat terjadi pada neonatus hipoglikemia.
yang berkepanjangan (konsentrasi glukosa plasma atau darah lebih rendah dari 10 mg
/ dL) dan hipoglikemia berulang-ulang. Tanda-tanda yang lebih serius (misalnya,
aktivitas kejang) biasanya terjadi di akhir kasus yang parah dan hipoglikemia yang
berlarut-larut atau cepat berbalik dengan penggantian glukosa dan normalisasi
konsentrasi glukosa plasma..25,26
3.4.6 Tatalaksana
Tujuan utama pengobatan hipoglikemia adalah secepat mungkin
mengembalikan kadar gula darah kembali normal, menghindari hipoglikemia
berulang sampai homeostasis glukosa normal dan mengkoreksi penyakit yang

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 51
mendasari terjadinya hipoglikemia. Sehingga harus diketahui status klinis dan
penyebab hipoglikemia.
Semua bayi hipoglikemia dengan gejala harus diterapi dengan cairan dekstrosa
intravena. Karena berat dan dapat berkepanjangan, hipoglikemia simtomatik dapat
mengakibatkan cedera saraf, sehingga intervensi yang cepat diperlukan untuk bayi
yang memiliki tanda dan gejala klinis. Nilai cut off untuk mengobati bayi
hipoglikemia dengan gejala adalah 40 mg/dL. 25,26
- Intervensi hipoglikemia dengan gejala
Semua bayi hipoglikemia dengan gejala harus diterapi dengan cairan dekstrosa
intravena. Tata laksana hipoglikemia dapat dilihat pada alur penatalaksaan. 25
Rumus GIR (mg/kg/min):
a. Kecepatan cairan (mL/jam) x konsentrasi dekstrosa (%)
6 x berat badan (kg)
b. Kecepatan cairan (mL/kg/hari) x konsentrasi dekstrosa (%)
144
c. Kecepatan cairan (mL/kg/hari) x konsentrasi dekstrosa (%) x 0,07

Alur tatalaksana Hipoglikemia

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 52
Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 53
Gambar 6. Tatalaksana Hipoglikemi Persisten 27
3.4.7 Prognosis27
Prognosis baik terjadi pada neonatus dengan hipoglikemia asimptomatik durasi
pendek. Hipoglikemia terjadi kembali pada 10-15% bayi setelah perawatan yang
adekuat. Kekambuhan lebih umum jika cairan intravena mengalami ekstravasasi atau
dihentikan terlalu cepat sebelum pemberian makan oral ditoleransi dengan baik.
Anak-anak yang memiliki hipoglikemia neonatal transien memiliki peningkatan
kejadian hipoglikemia ketosis di kemudian hari. Prognosis untuk fungsi intelektual
harus dijaga agar tetap normal karena hipoglikemia bergejala yang berkepanjangan,
berulang, dan berat dikaitkan dengan gejala sisa neurologis. Bayi simptomatik dengan
hipoglikemia, terutama bayi berat lahir rendah, mereka dengan hipoglikemia
hiperinsulinemia persisten, dan bayi hipoglikemik berat yang lahir dari ibu diabetes
yang tidak dikontrol dengan baik, memiliki prognosis yang lebih buruk untuk
perkembangan intelektual normal berikutnya daripada bayi asimtomatik.27

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 54
Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 55
BAB IV
DISKUSI KASUS

Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi baru lahir yang berat badan
lahirnya pada saat kelahiran kurang dari 2500 gram tanpa memandang usia
kehamilan.1
Diagnosis BBLR ditegakan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik yaitu
ditemukan BBL 2300gram, hal ini sejalan dengan teori bahwa Bayi berat lahir
rendah (BBLR) adalah bayi baru lahir yang berat badan lahirnya pada saat kelahiran
kurang dari 2500 gram tanpa memandang usia kehamilan.1,2
Tidak diketahui secara jelas faktor resiko yang berperan dalam proses
pathogenesis BBLR pada kasus ini karena dari anamnesis tidak didapati ibu
mengalami infeksi atau sakit sebelumnya, paritas ataupun keadaan janin misalnya
eritroblastosis yang dapat menyebabkan BBLR dan faktor resiko prematuritas
murni1,2,3,4 namun menurut kepustakaan Dismaturitas dihubungkan dengan keadaan
medik yang menggangu sirkulasi dan efisiensi plasenta, pertumbuhan dan
perkembangan janin, atau kesehatan umum dan nutrisi ibu. Dismaturitas mungkin
merupakan respon janin normal terhadap kehilangan nutrisi atau oksigen. Sehingga
masalahnya bukan pada dismaturitasnya, tetapi agaknya pada resiko malnutrisi dan
hipoksia yang terus menerus. Serupa halnya dengan beberapa kelahiran preterm yang
menandakan perlunya persalinan cepat karena lingkungan intrauteri berpotensi
merugikan.2,3
Tatalaksana untuk BBLR Mengingat belum sempurnanya kerja alat-alat tubuh
yang perlu untuk pertumbuhan dan perkembangan serta penyesuaian diri dengan
lingkungan hidup di luar uterus, maka perlu diperhatikan pengaturan suhu
lingkungan, pemberian makanan, dan bila perlu pemberian oksigen, mencegah
infeksi, serta mencegah kekurangan vitamin dan zat besi2,3 hal ini sejalan dengan
perawatan yang diberikan bayi dirawat didalam inkubator dan intake cairan yang
adekuat selama perawatan. 2,3

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 56
Pada kasus ini ditemukan komplikasi akibat BBLR yaitu Hiperbilirubinemia
sejalan dengan teori komplikasi BBLR yaitu ditemukan adanya Hiperbilirubinemia2,5,6
Hal ini disebabkan oleh faktor kematangan hepar yang tidak sempurna sehingga
konjugasi bilirubin indirek menjadi bilirubin direk belum sempurna.
Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai kadar bilirubin serum di atas 5 mg/dl. 10 dan
juga Hipoglikemia2,5,6 disebabkan oleh persediaan glikogen yang sangat kurang pada
bayi dismaturitas. Diagnosis dapat dibuat dengan melakukan pemeriksaan kadar gula
darah. Bayi BBLR dinyatakan hipoglikemia bila kadar gula darah yang kurang dari
20 mg%.10
Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan juga pada kasus ini, bayi tampak
kuning diseluruh tubuh pada usia 3 hari minggu pertama kehidupan, hal ini sejalan
dengan teori bahwa Peningkatan kadar biliribun serum (hiperbilirubinemia)
merupakan masalah yang sering dijumpai pada minggu pertama kehidupan. 11
Keadaan ini dapat merupakan kejadian sesaat yang dapat hilang spontan. Sebaliknya,
hiperbilirubinemia dapat juga merupakan hal yang serius, bahkan mengancam jiwa.
Sebagian besar bayi cukup bulan yang kembali ke rumah sakit dalam minggu pertama
kehidupan berhubungan dengan keadaan hiperbilirubinemia. Dengan kondisi
perawatan yang memulangkan neonatus secara dini, dapat meningkatkan risiko
terjadinya kernikterus pada bayi cukup bulan apabila dipulangkan dalam 48 jam
setelah lahir.11
Ikterus didefinisikan sebagai warna kuning pada konjungtiva, kulit, dan mukosa
akibat penumpukan bilirubin serum >5 mg/dL.11 Bayi yang lahir dengan ikterus
karena adanya akumulasi bilirubin di kulit, selaput lendir, dan konjungtiva.11 Ikterus
neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai dengan gejala klinis yaitu
warna kuning pada kulit dan mukosa akibat akumulasi bilirubin darah >5 mg/dL. 11
Hal ini sejalan dengan kasus yang ditemukan Berdasarkan pemeriksaan yang
dilakukan juga pada kasus ini, bayi tampak kuning diseluruh tubuh (Kramer IV) pada
usia 3 hari minggu pertama kehidupan, dan hasil pemeriksaan laboratorium Bilirubin
Total 19.1mg/dL, Bilirubin I 16.7mg/dL, dan bilirubin II 2.4mg/dL yang

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 57
menunjukan hiperbilirubinemia.11 dan juga Menurut kepustakaan Ikterus fisiologis
umumnya pada bayi baru lahir usia >24 jam, kadar bilirubin tak terkonjugasi pada
minggu pertama > 2 mg/dl.
Pada bayi cukup bulan yang mendapat susu formula kada bilirubin akan
mencapai puncaknya sekitar 6-8 mg/dl pada hari ke-3 kehidupan dan akan menurun
cepat selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan lambat sebesar 1 mg/dl selama 1-2
minggu.11,12 Pada bayi prematur, ikterus terjadi lebih dini, kadar bilirubin naik
perlahan tetapi dengan kadar puncak lebih tinggi, serta memerlukan waktu lebih lama
untuk menghilang hingga mencapai 2 minggu. Kadar bilirubin akan mencapai <2
mg/dL setelah usia 1 bulan, baik pada bayi cukup bulan maupun premature. 11 dan
sejalan dengan kasus ini yaitu Pada bayi baru lahir, mempunyai konsentrasi bilirubin
tak terkonjugasi yang relative tinggi di dalam usus. Selain itu, pada bayi baru lahir
kekurangan flora normal yang akan mengurangi proses pembentukan bilirubin
menjadi urobilinogen. Keadaan ini menyebabkan peningkatan kadar bilirubin.14,15
Tatalaksana yang diberikan pada kasus ini adalah dilakukannya fototerapi, Pilihan
terapi untuk menurunkan kadar bilirubin tidak terkonjugasi antara lain fototerapi,
exchange tranfusion, pemutusan sirkulasi enterohepatik dan induksi enzim. Pilihan-
pilihan terapi ini masih terus diteliti.15
Untuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia dilakukan fototerapi pada bayi
tersebut berdasarkan hasil bilirubin total yang meningkat menjadi 19,1 mg/dl.
Menurut kepuastakaan, Untuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada bayi
berdasarkan American Academy of Pediatrics yaitu bayi usia 25-48 jam fototerapi
dilakukan jika kadar bilirubin serum >15 mg/dl. Untuk usia 49-72 jam jika kadar
bilirubin >18 mg/dl dan untuk usia >72 jam fototerapi dilakukan jika kadar bilirubin
> 20 mg/dl. Selain itu fototerapi yang dianjurkan berdasarkan berat badan yaitu <
1000 g (4-6 mg/dl), 1001-1500 g (6-8 mg/dl), 1501-2000 g (8-10 mg/dl), 2001-2500
g (10-12 mg/dl) dan >2500 g ( 12-15 mg/dl).14,15

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 58
Kejang pada neonatus dibatasi waktu yaitu kejang yang terjadi pada 28 hari
pertama kehidupan (bayi cukup bulan) atau 44 minggu masa konsepsi (usia
kronologis + usia gestasi pada saat lahir) pada bayi premature.18,19
Faktor resiko yang ada pada kasus ini dimana adanya kelainan metabolic yang
ditemukan yaitu hipoglikemia. Hal ini sejalan dengan teori bawah salah faktor resiko
19
yang berperan adalah kelainan metabolik Meskipun mekanisme terjadinya kejang
pada neonatus belum diketahui secara pasti, namun terdapat beberapa teori yang
menerangkan depolarisasi berlebihan, yaitu9 (1) Pompa Na-K tidak berfungsi akibat
kekurangan enerji, disebabkan oleh hipoksikiskemik dan hipoglikemia. (2)
Neurotransmiter eksitasi (glutamate) yang berlebihan (produksi yang berlebih atau
berkurangnya re-uptake) sehingga mengakibatkan depolarisasi yang berlebihan,
ditemukan pada keadaan hipoksik-iskemik dan hipoglikemia. (3) Defisiensi relatif
neurotransmiter inhibisi (gama-amynobutiric acid /GABA) mengakibatkan
depolarisasi berlebihan, hal ini terjadi akibat menurunnya aktivitas enzim glutamic
acid decarboxylase pada keadaan defisiensi piridoksin. (4) Terganggunya
permeabilitas membrane sel, sehingga ion natrium lebih banyak masuk ke intrasel
yang mengakibatkan depolarisasi berlebihan, ditemukan pada hipokalsemia dan
hipomagnesemia karena ion kalsium dan magnesium berinteraksi dengan membrane
sel untuk menghambat masuknya ion natrium.19
Manifestasi kejang pada bayi prematur berbeda dibandingkan bayi cukup
bulan. Kejang neonates lebih bersifat fragmenter, kurang terorganisasi dan hampir
tidak pernah bersifat kejang umum tonik klonik. Kejang pada bayi prematur lebih
tidak terorganisasi dibandingkan dengan bayi cukup bulan, berkaitan dengan
perkembangan neuroanatomi dan neurofisiologi pada masa perinatal sejalan dengan
kasus yaitu adanya dismaturitas 1,5,6,19 Organisasi korteks serebri pada neonatus
belumm sempurna, selain itu pembentukan dendrit, akson, sinaptogenesis dan proses
mielinisasi dalam system eferen korteks belum selesai. Imaturitas anatomi tersebut
mengakibatkan kejang yang terjadi tidak dapat menyebar ke bagian otak yang lain
sehingga tidak menyebabkan kejang umum. Daerah subkorteks seperti sistem limbik

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 59
berkembang lebih dahulu dibandingkan daerah korteks dan bagian ini sudah
terhubung dengan diensefalon dan batang otak sehingga kejang pada neonatus lebih
banyak bermanifestasi gerakan-gerakan oral-buccal-lingual movements seperti
menghisap. mengunyah, drooling, gerakan bola mata dan apnea.19
Tatalaksana yang diberikan pada kasus ini adalah pemberian obat anti kejang
Fenitoin 25mg tiap 12 jam dalam 30cc, mengeliminasi penyebab yaitu faktor
hipoglikemia dan mempertahankan ventilasi dan perfusi yang adekuat. Sejalan
dengan teori yang menyatakan bahwa Prinsip utama dalam tata laksana kejang
neonatus adalah, (1) Mempertahankan ventilasi dan perfusi yang adekuat. (2)
Mencari dan memberikan tata laksana terhadap etiologi kejang sesegera mungkin. (3)
Tata laksana kejang, dengan mempertimbangkan manfaat pemberantasan kejang
dengan efek samping yang mungkin timbul dari pemberian obat antikonvulsan.20

Diagnosis hipoglikemia dapat ditegakan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik serta


pemeriksaan adar gluosa darah secara berkala. Pada neonatus dalam kasus ini
memiliki faktor risiko yaitu, menunjukkan gejala-gejala hipoglikemia ukuran kecil
untuk usia kehamilan bayi dengan BBLR 2300gram dan bayi kurang minum atau
intake oralnya tidak adekuat, hal ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa
Pada BBLR, bayi prematur, asfiksia, makrosomia, dan anak sakit berat yang secara
klinis terdapat tanda hipoglikemia, harus diperiksa terhadap kemungkinan
hipoglikemia, khususnya apabila terdapat riwayat masukan per oral kurang. 20
Hipoglikemia terus mewakili masalah metabolik yang sering dialami kebanyakan
neonatus. Sehat dan sakit pada neonatus dapat dipengaruhi oleh hipoglikemia selama
hari-hari pertama kehidupan. Faktor yang menempatkan neonatus pada risiko tinggi
untuk terjadinya hipoglikemia adalah prematuritas, stres perinatal atau asfiksia,
ukuran kecil untuk usia kehamilan dan bayi yang lahir dari ibu diabetes. 20
Gejala klinis dari hipoglikemia pada kasus ini adalah adanya kejang,sianosi,takikardia
hal ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa Tanda-tanda klinis dari neonatus
hipoglikemia tidak begitu spesifik, tetapi melibatkan dua sistem utama yaitu stimulasi

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 60
adrenergik dari sistem saraf simpatik dan kegagalan fungsi sistem saraf pusat. Tanda-
tanda ini antara lain gelisah, stupor, jitteriness, tremor, apatis, sianosis, kejang,
episode apnea, takikardi, menangis lemah atau bernada tinggi, floppiness atau
kelesuan, makan yang buruk, dan eye rolling. Episode berkeringat, pucat,hipotermia
dan henti jantung juga dilaporkan. Hal ini penting untuk menyaring gangguan lain
yang mungkin mendasari (misalnya, infeksi). Tanda-tanda ini biasanya mereda
dengan cepat dengan normalisasi pasokan glukosa dan konsentrasi plasma. Koma dan
kejang dapat terjadi pada neonatus hipoglikemia.
Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah secara berkala dalam masa perawatan
pasien ini dibawah nilai cut off 40 mg/dL) . Sejak dijadikan kasus pada 24 juli
2020, GDS pasien 36mg/dL (dibawah nilai cut off 40 mg/dL) dan segera diterapi
Campuran D40 8cc +D10 92cc . namun pada jam pemantauan berikutnya nilai kadar
glukosa darah tetap dibawah nilai cut off 40mg/dl, hal ini menunjukan bahwa terjadi
hipoglikemia refrakter atau berulang hal ini sejalan dengan teori yang menyatakan
bahwa Hipoglikemia berulang (refrakter) dan persisten adalah kegagalan
mempertahankan kadar normal gula darah walaupun sudah mendapat infus glukosa
dengan GIR 12mg/kg/min atau ketika stabilitas tidak tercapai pengobatan.
Hipoglikemia berulang mempunyai banyak penyebab. Penyebab hipoglikemia
berulang dan persisten sangat berhubungan dengan gangguan endokrin atau
metabolic.24
Pada pasien ini didapati GIR 8.66 mg/kgBB/menit tetapi dalam perawatan
pasien tidak mencapai stabilitas glukosa darah sehingga dapat didiagnosa
hipoglikemia berulang
Tujuan utama pengobatan hipoglikemia adalah secepat mungkin
mengembalikan kadar gula darah kembali normal, menghindari hipoglikemia
berulang sampai homeostasis glukosa normal dan mengkoreksi penyakit yang
mendasari terjadinya hipoglikemia. Sehingga harus diketahui status klinis dan
penyebab hipoglikemia.26

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 61
Semua bayi hipoglikemia dengan gejala harus diterapi dengan cairan dekstrosa
intravena. Karena berat dan dapat berkepanjangan, hipoglikemia simtomatik dapat
mengakibatkan cedera saraf, sehingga intervensi yang cepat diperlukan untuk bayi
yang memiliki tanda dan gejala klinis.25,26
Pengobatan untuk hipoglikemia refrakter dan persisten selain dengan
meningkatkan GIR, obat tambahan dapat diberikan untuk hipoglikemia menetap
dengan GIR >12mg/kg/min. Obat yang digunakan dapat berupa hidrokortison
(menurunkan utilisasi glukosa perifer), diazoxide (mengurangi sekresi insulin),
26
glucagon (meningkatkan glukoneogenesis dan glikogenolisis). Pada pasien
diberikan metilprednisolon (golongan glukokortiokoid) 2 x 5 mg sejak hari keempat.
Berdasarkan teori glukokortikoid secara fisiologi menurunkan sekresi insulin dan
meningkatkan resistensi insulin dengan glukoneogenesis dan glikogenolisis. Dalam
teori ini, efek ini dapat menginduksi peningkatan konsentrasi serum glukosa.25,26,27
Hal ini sesuai dengan penatalaksanaan pada kasus ini yaitu terapi dengan cairan
dekstrosa intravena yang disesuaikan dengan kebutuhan GIR dan pemberian
metylprednisolon sehingga pada hari berikutnya nilainya cut off untuk pasien ini
diatas 45mg/dL dan menunjukan perbaikan.

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 62
DAFTAR PUSTAKA
1. Hasan R, Alatas H. Perinatologi. Dalam: Ilmu Kesehatan Anak 3; edisi ke-4.
Jakarta : FKUI, 1985;1051-7.
2. Wiknjosastro H, Saifuddin AB. Bayi Berat Lahir Redah. Dalam: Ilmu
Kebidanan; edisi ke-3. Jakarta : yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, 2002;771-83.
3. Arifuddin J, Palada P. BBLR-LBW. Dalam : Perinatologi dan Tumbuh
Kembang. Jakarta : FKUI, 2004;9-11.
4. Olsen IE, Groveman SA, Lawson ML, Clark RH, Zemel BS. New Intrauterine
Growth Curves Based on United States Data. American Association od
paediatrician. Diambil dan dimodifikasi dari:
http://pediatrics.aappublications.org/content/125/2/e214
5. WHO. 2014. Low Bitrh Weight. [online]
http://www.worldlifeexpentancy.com/cause-of-death/low-birth-weight/by-
country/
6. Porter ML, Denis BL. Hiperbilirubinemia in the term newborn. American
Family Physician, 2002
7. Tazami RM, Mustarim S. Gambaran faktor resiko ikterus neonatorum pada
neonatus di ruang perinatologi RSUD Raden Mattaher Jambi. Medical
Journal, 2013
8. Pudjiadi AH, Hegar B., Handryastuti S, dkk. Pedoman Pelayanan Medis.
Edisi II. Cetakan I. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011

9. Shadkam MN, Lookzadeh MH, Taghizadeh M, Golzar A, Shadkam ZN.


Diagnostic value of gastric shake test for hyaline memnrane disease in
preterm infant. Iran Journal of Reproductive Medicine. 2014. Diakses dari:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1544769/

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 63
10. Gomella, TL, Cunningham MD. Management of the Extremely Low Birth
Infant During the First Weekof Life. In : Lange Neonatology; 5 th ed. New
York : Medical Publishing Division, 2002; 120-31
11. Martiza Iesje. Icterus. Dalam: Juffrie M, Soenarto SSY, Oswari H, Arief S,
Rosalina I, Mulyani NS, penyunting. Buku ajar gastroenterologi-hepatologi.
Jakarta: Badan penerbit IDAI, 2010.
12. Snell R. Anatomi klinis: berdasarkan sistem. Jakarta: EGC; 2012
13. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of anatomy & physiology. 13 th edition.
USA: John Wiley & Sons, Inc; 2012.
14. Silbernagl S, Lang F. Jaundice in Color atlas of pathophysiology. New York:
Thieme; 2000
15. Kosim MS. Buku ajar neonatology. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2014.
16. Salim E, Suldiah, Praja A, Akune K. Pedoman praktik klinik rumah sakit
umum daerah undata. Makassar: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUH;
2012
17. Kerina. Skrining dan Tata Laksana Awal Hipoglikemia pada Neonatus untuk
Mencegah Komplikasi. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM.
18. Hill A. Neonatal seizures. Pediatr in Rev 2000; 21:117-21.
19. Sheth RD. Neonatal seizures. E-medicine.16 November 2001 (Sitasi 28
September 2005). Didapat
dari:http://www.emedicine.com/neuro/topic240.htm.
20. Zupanc ML. Neonatal seizures. Pediatr Clin N Am 2004; 51:961-78.
21. Kaban Risna Kerina. Skrining dan Tata Laksana Awal Hipoglikemia pada
Neonatus untuk Mencegah Komplikasi. Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI-RSCM. Jakarta. 2012; 85-77
22. Sperling A. Hypoglycemia from kliegman. Nelson Textbook of Pediatrics on
MD Consult. 2009; 25-1
23. Zuanto ichwan. Hipoglikemia pada bayi dan anak. Akses 28 Juli 2020.

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 64
https://www.scribd.com/doc/87066378/Referat-Hipoglikemia-Pada-Anak. di
akses pada tanggal 28 Juli 2020
24. Kumar P, Saini SS. An Update on Neonatal Hypoglycemia. Neonatal Unit,
Department of Pediatrics, Postgraduate Institute of Medical Education and
Research, Chandigarh INDIA
25. Adamkin, DH. Clinical Report—Postnatal Glucose Homeostasis in Late-
Preterm and Term Infants. PEDIATRICS Volume 127, Number 3, March
2011.
26. Kaban KR. Skrining dan Tata Laksana Awal Hipoglikemia pada Neonatus
untuk Mencegah Komplikasi dalam Kegawatan pada Bayi dan Anak. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan LXI. Departemen Ilmu Kesehatan
Anak FKUI-RSCM. 2012 : 77 – 84
27. Kliegman R, Stanton B, St. Geme J, Schor NF. Nelson Textbook of
Pediatrics. 20th ed. Behrman RE, editor. Canada: Elsevier; 2016. 773-788 p.

Laporan Kasus BBLR + Icteric dan Kejang Neonatus, Hipoglikemia Refrakter Page 65

Anda mungkin juga menyukai