Anda di halaman 1dari 25

Nama : Desidarius Kaba

NIM : 170510019

Semester : VII (Tujuh)

Mata Kuliah : Moral Sosial

Dosen : Antonius Moa, Lic. S. Th.

PEMULIHAN PRINSIP FEMINIM SEBAGAI UPAYA MENGATASI KRISIS


EKOLOGI MENURUT KONSEP EKOFEMINISME VANDANA SHIVA

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Pemilihan Tema

Alam dan segala organisme hidup yang terdapat di dalamnya memiliki hubungan
yang saling terkait. Keberadaan alam disimbolkan sebagai ibu pertiwi 1 (terra mater).
Simbolisasi tersebut mengungkapkan keberadaan alam sebagai ibu kerahiman yang penuh
kasih. Karena itu, antara manusia dan alam terjalin suatu ikatan emosional yang intim seperti
seorang ibu dengan anaknya. Mereka saling melindungi, menyayangi, mengasihi, dan saling
menghormati satu dengan yang lain. Alam menjadi pelindung dan sumber kehidupan bagi
segala yang ada di dalamnya. Sementara itu, manusia, binatang, tumbuhan dan
keanekaragaman hayati selalu bersinggungan dengan alam dalam memenuhi kebutuhannya.2

Keberadaan alam mesti disikapi oleh manusia dengan menaruh rasa hormat
kepadanya. Sikap hormat tersebut dapat ditunjukan dengan cara menjaga, merawat dan ikut
melestarikan. Penghormatan terhadap alam tidak sekedar dilakukan karena alam mempunyai

1
Terminologi Ibu Pertiwi berasal dari bahasa Kawi “Pratiwi” yang berarti tanah atau bumi. Istilah
tersebut memiliki arti yang senada dengan kata mater dalam bahasa Latin. mater diartikansebagai ibu yang
identik dengan tanah, alam, materi. [I. E. Sumarah, “Moral Lingkungan Hidup: Pentingnya Merawat
Lingkungan” dalam Semakin Menjadi Manusiawi: Teologi Moral Masa Kini (Yogyakarta: Universitas Sanata
Dharma, 2014), hlm. 121.]
2
Sutoyo, “Paradigma Perlindungan Lingkungan Hidup” dalam ADIL: Jurnal Hukum vol. 4, no.1 hlm.
193.

1
hak untuk dihormati. Sikap hormat tersebut terutama lebih didasarkan pada kenyataan
ontologis bahwa manusia merupakan bagian integral dari alam. Di antara keduanya terdapat
hubungan yang erat. Lingkungan hidup sebagai alam semesta juga merupakan tempat
berlangsungnya eksistensi semua mahluk hidup.3 Karena itu, merosotnya kualitas lingkungan
hidup merupakan bukti nyata bahwa kualitas hidup manusia juga mengalami kemerosotan.4

Tidak dapat dipungkiri bahwa dewasa ini kualitas lingkungan hidup mengalami
kemerosotan. Keadaan dan kondisi alam tidak sedang berada dalam keadaan yang baik.
Alam, yakni ibu dan rumah (oikos) bagi segala organisme hidup, sedang sakit dan menderita.
Sakit itu ditandai dengan bencana dan masalah alam yang semakin marak terjadi di pelbagai
penjuru dunia dan telah menjadi masalah global.5

Kerusakan lingkungan hidup ini diakibatkan oleh perilaku manusia. Manusia dengan
paham antroposentrisme6 menganggap bahwa dirinyalah yang merupakan pusat dari seluruh
kehidupan (human centered ethic). Karena itu, manusia menganggap hanya dirinyalah yang
berhak mendapat pertimbangan moral. Sedangkan keberadaan alam hanya merupakan sarana
yang diperlukan untuk memenuhi keinginan dan mencapai tujuan hidupnya.7

Pandangan ini membuat manusia menganggap dirinya sebagai pusat dari kehidupan.
Hal ini kemudian mendorongnya untuk menciptakan berbagai macam teknologi. Kemajuan
dan inovasi teknologi diciptakan sebagai sarana yang mempermudah dalam mencapai
keinginan dan tujuannya. Berhadapan dengan alam, teknologi dimanfaatkan oleh manusia
untuk mengeruk sumber daya alam. Manusia berpikir bahwa dengan mengandalkan
teknologi, maka hasil produksi akan lebih maksimal. Tidak ada yag salah dengan maksud

3
A. Sonny Keraf, Filsafat Lingkungan Hidup: Alam sebagai Sebuah Sistem Kehidupan (Yogyakarta:
Kanisius, 2014), hlm. 85.
4
A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup (Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 167.
5
Bencana alam yang dimaksudkan bukanlah bencana yang murni terjadi karena peristiwa alam seperti
gunung meletus, tsunami, gempa bumi, dan lain sebagainya. Melainkan, bencana alam yang terjadi sebagai
akibat dari kehancuran, kerusakan, dan pencemaran lingkungan hidup yang disebabkan oleh ulah dan perilaku
manusia. [A. Sonny Keraf, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm.
26; bdk. Muryani, Ekofeminisme: Perempuan dan Permasalahan Lingkungan (Sidoarjo: Indomedia Pustaka,
2017), hlm. iii.]
6
Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan hidup yang memandang manusia sebagai pusat dari
sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem
dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung atau tidak langsung. [A.
Sonny Keraf, Etika Lingkungan…, hlm. 47.]
7
William Chang, Moral Spesial (Yogyakarta: Kanisius, 2015), hlm. 286.

2
tersebut. Namun, pada kenyataannya penggunaan teknologi secara tidak terkendali justru
membawa dampak buruk. Alam sebagai ibu yang menyediakan berbagai sumber daya yang
diperlukan oleh makhluk hidup dipaksa untuk menghasilkan sesuatu yang lebih dari yang
normal. Konsekuensinya alam menjadi sakit.8

Pola pikir demikian mengakibatkan alam tidak lagi dilihat sebagai suatu sistem
kehidupan yang utuh; sebagai ibu yang penuh kerahiman. Manusia kehilangan rasa hormat
terhadap alam dan tidak mau bertanggungjawab melestarikannya. Manusia justru cenderung
memperlakukan alam secara eksploitatif dan desktruktif. Tindakan eksploitatif terhadap alam
dipengaruhi oleh cara pandang manusia yang hanya melihat alam dalam konteks ekonomi.
Manusia kurang memperhatikan keseimbangan ekosistem bumi. Sedangkan tindakan
manusia disebut destruktif, sebab dalam proses eksploitasi dan konsumsi, manusia cenderung
mencemari lingkungan dengan beraneka ragam limbah kimia berupa bahan gas, cair dan
padat.9

Sikap manusia yang salah dalam mengelola alam telah menciptakan masalah dan
krisis lingkungan hidup. Secara tidak langsung, masalah krisis lingkungan hidup ini
menunjukan bahwa ada yang tidak tepat pada perilaku manusia. Sebagai subyek moral,
manusia tidak lagi bersikap bijkasana terhadap keutuhan hidup. Manusia yang seharusnya
menjadi penggagas dalam menciptakan suasana harmonis, justru menjadi perusak tatanan
ekosistem hidup yang telah berlangsung baik. Karena itu dapat dikatakan bahwa krisis
lingkungan hidup yang terjadi merupakan bentuk dari krisis etika dan moral manusia dalam
relasinya dengan alam.10

Masalah krisis ekologi merupakan bentuk dari krisis etika dan moral manusia. Karena
itu, pemulihan harus datang dari dalam diri manusia. Solusi yang dapat digunakan untuk
memulihkan keadaan alam yang rusak bukan hanya diupayakan melalui pemecahan politis
dan sistemik.11 Melainkan manusia perlu merubah cara pandangnya tentang alam. Alam

Francis Lim, Filsafat Teknologi: Don Idhe tentang Dunia, Manusia dan Alat (Yogyakarta: Kanisius,
8

2008), hlm. 170-171.


Robert P. Borrong, Etika Bumi Akses Etika dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (Jakarta: BPK
9

Gunung Mulia, 1990), hlm. 281-282.


10
William Chang, Moral Spesial…, hlm. 277; bdk. A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan…, hlm. 41-42.
11
B. Munawar, “Manusia, Alam, dan Lingkungan Hidupnya” dalam FORUM, vol. 14, no. 1. (Januari -
Juni 2011), hlm. 112.

3
seharusnya tidak lagi dipandang dan dipahami dalam konteks economic sense12, melainkan
harus terarah pada ecological and sustainable sense. Dengan kata lain, dalam mengelolah
sumber daya alam, baiknya manusia tidak sekedar mengejar keuntungan secara finansial
melaikan semestinya memperhatikan kelestarian alam.13

Masalah ekologi menunjukan bahwa ada yang salah dengan sikap hidup manusia.
Kendati demikian, hal itu tidak menjadi acuan untuk menilai bahwa manusia secara umum
sudah tidak lagi peduli dengan alam. Ada banyak orang dari pelbagai lapisan masyarakat
yang masih peduli dan menaruh rasa hormat terhadap alam. Banyak tokoh pemerhati
lingkungan hidup menawarkan berbagai bentuk teori untuk mengatasi permasalahan ekologi.
Mereka mengemukakan banyak gagasan kepedulian berkenaan relasi antara manusia dan
alam. Salah satu tokoh yang turut menyumbungkan pemikirannya sebagai solusi untuk
memulihkan kerusakan alam adalah Vandana Shiva.14

Vandana Shiva berpendapat bahwa pertama-tama manusia perlu menyadari bahwa


bumi bukanlah miliknya, melainkan dirinya adalah milik bumi. Keberadaannya di bumi juga
harus disadari sebagai tamu bukan sebagai penguasa maupun kolonialis. Kerusakan alam
yang terjadi disebabkan oleh kesalahan manusia yang tidak menyadari keberadannya sebagai
bagian dari alam. Manusia tidak lagi memandang alam sebagai ibu bagi biodiversitas 15. Alam
justru hanya sebatas dipahami sebagai objek materi belaka. Alam hanya akan bernilai apabila
memberikan keuntungan secara ekonomi bagi kehidupan manusia.16

Manusia beranggapan bahwa dengan menjadi penguasa dan mengelolahnya sesuai


dengan kehendaknya, ia dapat semakin menunjukan eksistensi dirinya secara nyata. Padahal
dalam kenyataannya, jati diri manusia justru dapat ditemukan manakala berkorelasi dengan

12
Economic sense merupakan sebuah pemahaman yang berangkat dari pengertian; “kemampuan
mengenali” atau “kesadaran akan” pendayagunaan “sumberdaya”, terutama dalam hal ini finansial, secara se
“efisien” mungkin, dengan memperhatikan analisa biaya dan manfaat (cost and benefit) atas kebijakan yang
diambil. [Lihat https://www.kompasiana.com/nagascorpio/54ff5dcfa33311934a510033/kontroversi-sri-mulyani-
jk-economic-sense-versus-common-sense diakses pada 20 Oktober 2020.]
13
Sutoyo, “Paradigma Perlindungan…, hlm. 195.

Citra Nurkamilah, “Etika Lingkungan dan Implementasinya Dalam Pemeliharaan Lingkungan Alam
14

pada Masyarakat Kampung Naga” dalam Religious vol.2, no. 2. (2018), hlm. 137.
15
Biodiversitas adalah jumlah total dari seluruh mahluk hidup, kekayaan yang luas dan variasi dunia
kehidupan dari tingkat gen hingga bioma. [J. Supriatna, Konservasi Biodiversitas: Teori dan Praktek di
Indonesia (Jakarta: Obor, 2018), hlm. 13].
16
Vandana Shiva dan Maria Mies, Ecofeminisme: Perspektif Gerakan Perempaun dan Lingkungan
(Yogyakarta: IRE Press, 2005), hlm. 120-121.

4
lingkungannya. Karena itu, Vandana Shiva degan konsep ekofeminismenya mengupayakan
solusi untuk masalah kehidupan manusia dan alam yang berangkat dari pengalaman
perempuan. Kemudian menjadikannya sebagai sumber belajar dalam melestarikan dan
mengelola alam.17

Shiva berargumen bahwa pentingnya belajar dari pengalaman perempuan sebab


hancurnya alam berarti hancurnya prinsip feminitas. Prinsip feminim menjadikan manusia
lebih bersifat intuitif, lebih senang berkoordinasi dan bekerja sama serta lebih condong
memelihara dan merawat. Sedangkan prinsip maskulin lebih condong pada tindakan
penguasaan dan penaklukan alam. Selain itu, perempuan merupakan pihak yang secara
langsung merasakan dampak negatif dari kerusakan lingkungan hidup. Karena, peran gender
yang masih menempatkan perempuan memegang peranan penting dari setiap kegiatan rumah
tangga atau domestik. Perempuan harus berkerja ektra lebih keras dalam memenuhi
kebutuhan keluarga. Perempuan berperan penting, sebab mereka menjadi korban yang
terkena dampak paling parah, sekaligus menjadi yang paling gigih dalam memperjuangkan
kelestarian alam.18

Berangkat dari pengalaman perempuan yang menjadi korban dari kerusakan ekologi,
Shiva melakukan kritik terhadap kapitalisme-patriarki. Menurutnya, kapitalisme-patriarki
pada hakikatnya merupakan akar masalah dari munculnya ketidakadilan sosial dan kerusakan
lingkungan. Kapitalisme-patriarki mengembangkan prinsip maskulinitas yang didalamnya
dekat dengan budaya kematian. Prinsip maskulinitas mengarah pada budaya tersebut sebab
bercirikan persaingan, dominasi, eksploitasi dan penindasan. Selain itu, prinsip ini juga
cenderung mematikan fungsi produksi dan reproduksi yang biasanya dilakuakn perempuan,
sehingga mengakibatkan kedudukan perempuan mengalami pergeseran. Mereka bukan lagi
produsen penghasil kehidupan, melainkan sekedar menjadi konsumen.19

Menyadari pentingnya relasi harmoni antara alam dan manusia yang sudah mulai
pudar, ada baiknya diadakan pelbagai upaya sebagai solusi untuk mengatasi masalah tersebut.
Rusaknya alam terjadi akibat dominasi dari prinsip maskulin. Prinsip ini hadir secara nyata
dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan pembangunan berkelanjutan yang lebih

Dewi Candraninggrum (ed.), Ekofeminisme: Dalam Tafsir Agama, Pendidikan, Ekonomi dan
17

Budaya (Yogyakarta: Jalasutra, 2013), hlm. xiv.


18
Vandana Shiva dan Maria Mies, Ecofeminisme…, hlm. 16
19
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology and Survival in India (London: Zed Books, 1988),
hlm. 12.

5
menekanan kapitalisme-patriarki. Pemulihannya dapat diupayakan dengan cara
menghidupkan kembali prinsip feminim. Pertanyaan mendasar mengenai sejauh mana
pentingnya pemulihan prinsip feminim dalam mengatasi kerusakan ekologi merupakan aspek
yang melatarbelakangi penulis untuk menguraikan pemikiran Vandana Shiva. Untuk itu,
penulis hendak menjelaskan pemikiran Vandana Shiva tentang pemulihan prinsip feminim
sebagai upaya untuk mengatasi krisis ekologi yang terjadi.

2. Perumusan dan Pembatasan Tema

Hubungan antara alam dan manusia oleh Vandana Shiva disebut sebagai hubungan
antara Prakriti (alam) dan Purusha (manusia). Diantara keduanya terjalin suatu relasi yang
intim. Alam dan manusia saling memelihara dan bukannya terpisah. Alam diadakan untuk
menyediakan segala sesuatu yang diperlukan oleh manusia. Sedangkan manusia dengan akal
budi dan kehendak bebas yang dimilikinya bertanggungjawab untuk menjaga kelestarian
alam.

Dewasa ini kita tidak dapat mengingkari bahwa relasi intim tersebut menjadi pudar.
Akibatnya muncul pelbagai persoalan sosial diantara sesama manusia maupun antara manusia
dengan alam. Persoalan ini muncul sebab manusia tidak lagi mampu melihat dan menghargai
relasi tersebut. Manusia justru melihat alam sebagai objek yang dapat dimanfaatkan untuk
memenuhi hasratnya. Sikap sedemikian merupakan ciri khas manusia yang lebih
menonjolkan prinsip maskulin. Pemulihannya dapar diupayakan dengan kembali
menanamkan kesadaran akan pentingnya peran perempuan dan prinsip feminitas.

Oleh sebab itu dalam skripsi ini, penulis memberikan tekanan pada pemulihan prinsip
feminim dalam upaya mengatasi krisis ekologi. Penulis lebih menyoroti upaya pemulihan
prisnsip feminim dalam bingkai pemikiran ekofeminisme. Terutama konsep ekofeminisme
yang dicetus oleh Vandana Shiva. Oleh karena itu, paper ini diberi judul: PEMULIHAN
PRINSIP FEMINIM SEBAGAI UPAYA MENGATASI KRISIS EKOLOGI MENURUT
KONSEP EKOFEMINISME VANDANA SHIVA.

3. Metode Penulisan

Penulisan paper ini menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research).


Untuk mendukung ide dan gagasan dalam menguraikan topik yang dibahas, penulis
menggunakan sejumlah buku, majalah dan artikel, serta sumber dari internet. Penulis

6
menggunakan berbagai sumber, baik yang ditulis sendiri oleh Vandana Shiva, ditulis bersama
dengan tokoh lain maupun sumber lain yang berkaitan dengan pemikirannya.

Sebagai sumber utama, penulis akan menggunakan buku Staying Alive: Women,
Ecology, and Survival in India yang ditulis sendiri oleh Vandana Shiva dan buku
Ecofeminisme yang ditulisnya bersama dengan Maria Mies. Sebagai sumber pendukung,
penulis menggunakan bahan-bahan yang berbicara tentang ekofeminisme, ekologi dan Etika
Lingkungan Hidup. Bahan-bahan tersebut diolah sedemikian rupa lalu dipaparkan secara
sistematis dan deskriptif. Pada akhirnya, penulis akan membuat rangkuman umum, refleksi
kritis dari penulis dan relevansi dari pemikiran Vandana Shiva.

7
BAB II

DATA TENTANG TEMA YANG DIBAHAS

1. Biografi Vandana Shiva

Vandana shiva adalah seorang ahli ilmu fisika dan filsuf pengetahuan, pemikir
lingkungan terkenal, aktivis, feminis, dan penulis buku ilmu advokasi kebijakan. Ia lahir
dilembah Dehradun, Uttarakhand di kaki pegunungan Himalaya, India pada 5 November
1952. Shiva menempuh pendidikannya di St. Mary’s School di Nainital dan pada biara Yesus
dan Maria, Dehradun. Pada tahun 1978, Shiva mendapatkan dua gelar akademik sekaligus,
mendapatkan gelar Ph.D di bidang fisika kuantum dengan judul disertasi: Hidden Variables
and Non-locality in Quantum Theory, dari University of Western Ontario, Canada. Dan gelar
M.A di bidang Filsafat dari University of Guelph (Ontario, Canada).20

Kecintaannya pada alam terbentuk oleh keadaan di sekitar lingkungan tempat


tinggalnya. Dimana alam mulai dieksploitasi secara tidak bertanggungjawab dengan tujuan
untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Selain itu, sikap demikian juga dipengaruhi oleh
didikan dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang konservasionis hutan dan ibunya
seorang petani. Hal tersebut menjadi dasar bagi Shiva untuk tumbuh menjadi seorang yang
memiliki kepedulian mendalam terhadap alam.21

Kepedulian terhadap alam dan perempuan mendorongnya untuk menyuarakan


keadlian bagi keduanya. Vandana Shiva banyak menulis buku tentang bagaimana manusia
seharusnya memperlakukan alam. Ia juga mendirikan Navdanya, sebuah gerakan yang
memperjuangkan konservasi biodiversitas dan hak-hak petani. Ia mengepalai bagian
Technology and Natural Resource Policy pada lembaga Research Foundation for Science.
Selain itu, Shiva juga berpartisipasi dalam gerakan Chipko22 yang melawan tindakan
perusakan ekologi. Shiva juga pernah menjabat sebagai salah satu pemimpin dari

20
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology and Survival in India (London: Zed Books, 1988),
hlm.
21
Cahaya Khaeroni, Konsep Ekofeminisme Vandana Shiva dan Implikasinya Pada Pengembangan
Paradigma Pendidikan Agama Islam Inklusif Gender (Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga,
2009), hlm. 17.
22
Gerakan Chipko adalah gerakan perempuan yang rela mengorbankan kehidupan mereka untuk
menyelamatkan dan menghentikan penebangan pohon-pohon kecil (indigenous) di tanah mereka akibat ulah
patriarki kapitalis dan isme-isme destruktif lain. Dalam bahasa hindi, Chipko berarti “memeluk”. [Rosemarie
Putnam Tong, Feminist Thought (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), hlm. .].

8
International Forum on Globalization, dan gerakan solidaritas yang dikenal sebagai gerakan
anti-globalisasi.23

2. Pemikiran Vandana Shiva


2.1 Konsep Ekofeminisme

Ekofeminisme merupakan suatu disiplin ilmu yang lahir dari perpaduan antara konsep
ekologi dan feminisme. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Françoise d’ Eaubonne
dalam bukunya, Le Féminisme ou la Mort (1974). Ide dalam karya ini dimaksudkan untuk
menggugah kesadaran perempuan untuk melakukan sebuah revolusi ekologis dalam
menyelamatkan lingkungan hidup yang rusak. Ilmu ini mulai populer pada tahun 1980 disaat
terjadi pelbagai macam protes yang dilakukan terkait kerusakan alam. Karena itu, secara
singkat ekofeminisme adalah ilmu yang secara khusus menyoroti hubungan langsung antara
penindasan terhadap perempuan dan perusakan terhadap alam.24

Gerakan ekofeminisme yang berbicara tentang diskriminasi terhadap alam dan


perempuan kemudian berkembang ke dalam beberapa aliran. Aliran-aliran tersebut antara
lain, ekofeminisme spiritual, ekofeminisme radikal, ekofeminisme alam, serta ekofeminisme
transformatif. Setiap aliran memiliki fokus dan landasan yang berbeda-beda dalam melihat
keterkaitan antara perempuan dan alam.25

Berbeda dengan gerakan feminisme pada umumnya yang lebih menggunakan analisis
gender untuk memahami ketidakadilan perempuan, Vandana Shiva yang merupakan salah
satu tokoh ekofeminisme lebih memfokuskan gagasannya pada prinsip maskulinitas dan
prinsip feminitas, yang merupakan ideologi yang kontradiktif. Vandana Shiva menyebut
konsep ekofemenismenya sebagai sebuah etika menolak segala bentuk konsep dualisme yang
ada dalam relasi alam dan manusia. Mengidentifikasi alam sebagai materi yang tidak
mempunyai jiwa adalah sebuah kesalahan besar yang dilakukan manusia. Karna perspektif
dualistik ini hanya membentuk hirarki antara keduanya. Alam semesta, satwa dan tumbuhan
telah lebih dahulu ada sebelum manusia. Dimana alam semesta tetap akan bergerak tanpa
membutuhkan tangan-tangan profesional manusia untuk mengaturnya. Manusia hanya

23
Cahaya Khaeroni, Konsep Ekofeminisme…, hlm. 18.
24
Rosemarie Putnam Tong, Feminist…, hlm. 360-361.
25
Rosemarie Putnam Tong, Feminist…, hlm. 174-175.

9
menyerupai parasit yang terus menerus memanfaatkan alam tanpa memberi sebuah bentuk
apresiasi terhadap alam yang telah menyelenggarakan kehidupannya.26

2.2 Kritik Vandana Shiva Terhadap Dominasi Prinsip Maskulin

Vandana Shiva berpendapat bahwa punahnya ekosistem di bumi adalah ulah manusia.
Manusia dalam konteks ini adalah mereka yang memandang alam dengan paham
antroposentrisme. Umumnya terminologi “manusia” yang dilabelisasi oleh Shiva ialah
bangsa Barat. Hal itu dikarenakan, orang-orang dari Barat kerap merasa bahwa mereka
memiliki tanggungjawab terhadap dunia dan semua orang di dunia. Akibatnya, mereka
menghadirkan ideologi antroposentris yang dikemas pada pembangunan-pembangunan.
Melalui ilmu pengetahuan modern, pembangunan digerakan dengan diberi nyawa kapitalis
dan akal-akal maskulin. Sedangkan dunia ketiga yang memiliki kekayaan alam yang
melimpah dan masih perawan menjadi daya tarik Barat untuk dieksploitasi.27

Orang-orang Barat kerap menganggap bangsa Timur yang kental dengan pelbagai
kearifan lokal sebagai bangsa yang tertinggal. Karena itu, mereka berusaha untuk menghantar
mereka kepada konsep kesejahteraan dan kemajuan yang menurut mereka ideal. Usaha yang
mereka lakukan adalam melalui proyek-proyek pembangunan yang berideologi kapitalisme.
Sekilas dilihat dari tujuan yang ingin mereka capai, sungguh suatu hal yang baik dan mulia.
Namun upaya tersebut justru melahirkan masalah baru bagi masyarakat di belahan dunia
bagian Timur. Dampak tersebut antara lain ialah kaum perempuan tidak lagi mampu
memproduksi kehidupan, baik secara biologis dan sosial mereka dalam menyediakan
kebutuhan hidup. Hal itu dikarenakan, proyek pembangunan yang diususng oleh manusia
Barat berdampak pada kerusakan lingkungan. Manusia Timur yang akrab dengan alam
akhirnya menjadi pihak yang paling merasakan dampak negatif dari kerusakan lingkungan
hidup, tempat dimana mereka tinggal.28

Akibat paling parah menurut Shiva dari proyek pembangunan tersebut ialah
ketimpangan sosial. Shiva menempatkan kaum perempuan paling pertama terpukul oleh
adanya perilaku antroposentris dengan prinsip maskulin, karena mereka yang paling miskin

26
Vandana Shiva dan Maria Mies, Ecofeminisme…, hlm. 22.
27
Vandana Shiva, Staying Alive …, hlm. 3.
28
Vandana Shiva, Staying Alive …, hlm. 4.

10
di antara yang termiskin. Kemiskinan kaum perempuan disebabkan oleh paradigma
kedomestikannya di dalam kehidupan.29

Adapun kenyataan itu diperkuat oleh Shiva atas dua faktor penyebab. Pertama, karena
pekerjaan mereka bekerja sama dengan proses-proses alam. Kedua, pekerjaan yang
memenuhi kebutuhan dasar dan menjamin kelangsungan hidup secara umum dianggap
rendah. Oleh karena itu, kekerasan yang terjadi pada alam sama halnya menimbulkan
kekerasan pada perempuan. Dari sini Shiva menyatakan alam dan perempuan diubah menjadi
manusia pasif untuk digunakan dan ditindas untuk memenuhi nafsu yang tidak terkendalikan
dan tidak dapat dekendalikan oleh kaum laki-laki yang berkedudukan sebagai pelaku
antroposentris.30

Perilaku antroposentris tidak terlepas dari terjadinya transaksi terhadap alam yang
dikomoditaskan. Proyek pembangunan tentu memerlukan sumber daya alam sebagai bahan
baku. Alam menjadi bahan olah produksi suatu industri. Bagi Shiva, kegiatan memproduksi
barang sebagai kegiatan pokok ekonomi dianggap sama dengan pembangunan, kegiatan itu
merusak potensi perempuan untuk menghasilkan penghidupan dan barang jasa untuk
memenuhi kebutuhan pokok. Proses-proses produksi yang banyak menggunakan energi dan
sumber daya yang lahir dari pertumbuhan ekonomi pasar ini menuntut pasokan sumber daya
yang kian tinggi dari ekosistem. Terjadinya proses produksi terhadap alam kemudian disikapi
sebagai adanya perilaku kapitalisme. Kapitalisme menempatkan alam sebagai objek yang
ditransaksikan agar mendapatkan keuntungan.31

Pergerakan kapitalisme membaur kedalam proyek-proyek industri yang menggunakan


sumber daya mengganggu proses-proses ekologi penting, karena industri seperti itu tidak saja
menuntut pasokan bahan baku yang tinggi, tetapi juga mencemarkan udara, air dan tanah.
Semakin terjadinya antroposentris yang mengakibatkan pencemaran semakin mengalami
kehancuran masa depan ekosistem alam. Apalagi perilaku antroposentris didukung oleh ilmu
pengetahuan yang tidak menghormati kebutuhan alam dan pembangunan yang tidak
menghormati kebutuhan manusia yang kehidupannya berpangku pada alam.

Sebuah kesadaran baru mulai muncul terkait mempersoalkan ilmu pengetahuan dan
pembangunan yang menyingkap bahwa kedua aspek tersebut bukanlah kategori kemajuan
29
Vandana Shiva, Staying Alive…, hlm. 7.
30
Vandana Shiva, Staying Alive…, hlm. 9.
31
Vandana Shiva, Staying Alive…, hlm. 9.

11
yang universal, melainkan keduanya bagian dari proyek-proyek khusus yang tidak lain wujud
dari patriarkat Barat modern. Shiva melihat hal ini sangat mengebirikan keberadaan kaum
perempuan dunia ketiga. Bahkan Shiva menyatakan ilmu pengetahuan modern dan
pembangunan adalah pernyataan paling brutal dan mutakhir dari ideologi patriarkat yang
membawa kehancuran bagi alam dan seluruh umat manusia. Keduanya dalam praktiknya
melanggengkan akar-akar ideologi dan bias revolusi ilmu pengetahuan dan revolusi industri,
bahkan pengaruh keduanya meluas ke dalam bidang-bidang kegiatan baru dan daerah-daerah
penindasan baru.32

2.3 Pemulihan Prinsip Feminim Sebagai Upaya Mengatasi Krisis Ekologi

Penerapan prinsip maskulin yang terwujud dalam proyek pembangunan maupun ilmu
pengetahuan secara nyata telah merusak alam dan berdampak pada peran perempuan. Proyek-
proyek barat umumnya bersifat kapitalis-patriarki. Di dalamnya terkandung dominasi,
perusakan, kekerasan dan penundukan, perampasan serta pengabaian perempuan dan alam.
Oleh karena itu, melalui konsep ekofeminismenya, Shiva menawarkan sebuah gerakan
alternatif bagi perempuan untuk menolak kapitalism patriarkis yang mengeksploitasi
lingkungan dan secara tegas berani menjamin pemberian peran sama bagi perempuan untuk
menyelesaikan masalah lingkungan hidup dalam pemanfaatan sumber daya alam.33

Shiva dengan lantang menyerukan bahwa “laki-laki tidak pernah memikirkan


kehidupan, yang mereka pikirkan hanyalah ingin menakhlukan alam dan musuhnya”. Karena
itu, perempuan harus berada pada garda terdepan dalam melakukan perubahan. Perubahan
yang mana turut melibatkan perempuan dalam upaya menciptakan kemajuan dalam bidang
kehidupan manusia namun tetap mempertahankan kelestarian lingkungan hidup. Upaya itu
dapat dilakukan dengan kembali menghidupkan prinsip feminitas.34

Pemulihan prinsip feminin didasarkan pada prinsip keseluruhan. Pemulihan itu adalah
pemulihan keberadaan kreatif dan kesadaran dalam alam, perempuan, serta laki-laki.
Implikasinya terhadap alam adalah memandang alam sebagai organisme hidup. Terhadap
perempuan, implikasinya adalah memandang perempuan sebagai makhluk yang produktif
dan aktif. Dan akhirnya implikasi dari pemulihan prinsip terhadap laki-laki adalah pengalihan

32
Vandana Shiva, Staying Alive…, hlm. xxxiv.
33
Vandana Shiva dan Maria Mies, Ecofeminisme…, hlm 19-20.
34
Vandana Shiva dan Maria Mies, Ecofeminisme…, hlm. 17.

12
tindakan kehidupan, bukan untuk menciptakan masyarakat yang mengancam kehidupan dan
menghancurkan kehidupan.35

Bahkan Shiva bersama rekannya Maria Mies menawarkan perspektif subsistensi


sebagai kunci untuk menghentikan semua praktik dan sistem yang mengancam kehidupan.
Pemulihan itu dapat dilakukan dengan cara: 36

Pertama, Manusia harus menghasilkan hanya yang diperlukannya untuk memenuhi


kebutuhan fundamental manusia, dan menolak dorongan untuk menghasilkan “komoditas dan
uang dalam kuantitas yang tinggi dan semakin tinggi (upah atau keuntungan). Kedua,
Manusia harus menggunakan alam hanya sebatas kebutuhan mereka, memperlakukannya
sebagai suatu realitas dengan “subjektivitasnya sendiri”, dan manusia harus memanfaatkan
satu sama lain bukan dengan alasan untuk menghasilkan uang, melainkan untuk menciptakan
komunitas yang mampu memenuhi kebutuhan fundamental manusia, terutama kebutuhan
akan hubungan yang intim. Ketiga, Manusia harus menggantikan demokrasi representative
dengan demokrasi partisipatoris, sehingga setiap laki-laki dan perempuan mempunyai
kesempatan untuk mengekspresikan perhatiannya terhadap orang lain. Keempat, Manusia
harus mengembangkan pendekatan pemecahan masalah yang “multidimensional dan
sinergis,” karena masalah masyarakat kontemporer adalah saling berhubungan. Kelima,
Manusia harus menggabungkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan pengetahuan kontemporer
dengan kearifan, tradisi, bahkan keajaiban/kekuatan magis kuno.

Keenam, Manusia harus menghancurkan batas antara kerja dan bermain, ilmu
pengetahuan dan seni, jiwa dan benda. Ketujuh, Manusia harus memandang air, udara, bumi
dan semua sumber alam sebagai milik komunitas dan bukannya milik perseorangan.
Kedelapan, Laki-laki dan juga perempuan harus mengadopsi pandangan ekofeminis sosialis
transformatif, yaitu perspektif subsistensi. Kesembilan, Laki-laki dan perempuan harus
menumbuhkan nilai-nilai feminin tradisional (peduli, bersimpati, dan merawat), serta terlibat
dalam produksi subsistensi, karena hanya masyarakat yang berdasarkan pada perspektif
subsistensi dapat hidup dengan damai bersama alam, dan menjunjung tinggi perdamaian
antarnegara, generasi dan antara lakilaki dan perempuan. Kesepuluh, yang paling penting,
manusia harus menyadari bahwa agar setiap orang berkecukupan, tidak seorang pun harus
mendapatkan semuanya.

35
Vandana Shiva, Staying Alive…, hlm. 68-69.
36
Rosemarie Putnam Tong, Feminist…, hlm. 397-397.

13
BAB III

ANALISIS – REFLEKSI INKLUSIF

14
1. Ilmiah
1.1 Filsafat

Lingkungan hidup merupakan oikos yang berarti rumah atau tempat tinggal. Seiring
perkembangan waktu terminologi oikos tidak dipahami sekadar rumah tempat tinggal
manusia, melainkan sebagai keseluruhan alam semesta. Dalamnya terdapat interaksi saling di
antara makhluk hidup dan dengan keseluruhan ekosistem.37

Lingkungan hidup merupakan topik yang menarik minat dari pelbagai tokoh maupun
disiplin ilmu. Para filsuf pun berupaya menyorot masalah lingkungan hidup dari sudut
pandang filsafat. Menjadikan ekologi atau lingkungan hidup sebagai tema filsafat sebenarnya
merupakan satu perkembangan yang relatif baru. Filsafat barat ditentukan oleh dominasi
manusia sebagai penguasa atas alam ciptaan. Karena amat mengagungkan rasio, maka
predikat rationale pada definisi manusia sebagai animal rationale menempatkan manusia
pada posisi yang dominan. Akal budi yang kemudian menemukan perpanjangannya di dalam
teknik dan ilmu pengetahuan memungkinkan manusia untuk mengeksploitasi alam demi
pemenuhan kebutuhannya sendiri.38

Cara pandang manusia yang mengagungkan akal budi membawa manusia sampai
pada paham antropsentrisme. Paradigma antroposentrisme memandang manusia sebagai
pusat dari alam semesta, dimana manusia dipandang memiliki nilai, sementara alam dan
segala isinya sekadar alat bagi pemuas kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Cara
pandang ini menyebabkan sikap dan perilaku yang eksploitatif tanpa memedulikan alam dan
segala isinya yang dianggap tidak memiliki nilai. Manusia akhirnya tidak menyadari dirinya
bukan lagi sebagai peziarah bumi tetapi sebagai pencipta bumi yang berada di luar hukum
dan kerangka kerja alam. Dengan demikian manusia lebih dianggap memiliki kuasa atas
eksploitasi alam. Dengan kata lain, krisis lingkungan ini bersumber pada kesalahan
fundamental-filosofis dalam pemahaman atau cara pandang manusia mengenai dirinya, alam
dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem atau yang disebut perubahan paradigma.
Akibatnya manusia keliru memandang alam dan keliru menempatkan diri dalam konteks
alam semesta seluruhnya.39

37
A. Sonny Keraf, Filsafat Lingkungan …, hlm. 42.
38
Paul Budi Kleden, “Berfilsafat dan Berteologi di Indonesia” dalam LEDALERO, Vol. 18, No. 2
(Desember 2019), hlm. 171.
39
A. Sonny Keraf, Filsafat Lingkungan …, hlm. xiv-xxv

15
1.2 Teologi

Peran dominan manusia terhadap alam juga direfleksikan di dalam teologi. Walaupun
mengakui Tuhan sebagai pencipta alam semesta dan melihat alam sebagai pancaran
kebesaran dan keagungan Tuhan, tetapi di dalam kenyataan teologi membenarkan
penguasaan alam oleh manusia. Secara khusus di dalam teologi Kristen konsep ini bertolak
dari tafsiran yang keliru atas Kej 1:26 tentang manusia sebagai citra Allah dan ungkapan
Mazmur 8 tentang manusia sebagai makhota ciptaan. Hal ini dijadikan dasar untuk melihat
manusia sebagai puncak seluruh proses penciptaan dan dengan demikian tujuan final dari
penciptaan itu. Seluruh dunia dinilai diciptakan untuk dan demi manusia.40

Konsekuensi dari pandangan ini adalah bahwa manusia merasa berhak menguasai dan
memanfaatkan alam, demi kepentingannya sendiri. Jika tidak memanfaatkan alam, dia dinilai
bersalah. Pada dasarnya, konsep yang menempatkan manusia sebagai tujuan dan puncak
proses penciptaan merupakan ungkapan dari arogansi manusia terhadap ciptaan lain. Segala
sesuatu dinilai sejauh me mberikan sumbangan bagi kesejahteraan manusia. Tidak ada nilai
di dalam diri ciptaan itu sendiri. Karena nilai segala ciptaan merujuk pada manusia, maka
manusia berhak memanfaatkan apa saja yang berguna dan bernilai bagi dirinya.41

Perbaikan kondisi lingkungan yang telah rusak memerlukan perubahan pemahaman


teologis atas ciptaan dan teristimewa konsep mengenai kedudukan manusia dalam tata
ciptaan. Salah satu tonggak penting dalam refleksi teologi ini adalah ensiklik Laudato Si’ dari
Paus Fransiskus yang diterbitkan pada tahun 2015. Paus mengakui secara lugas kegagalan
teologi Kristen yang telah membawa akibat pada kehancuran alam lingkungan, dan mengajak
dialog ilmu dan iman untuk membangkitkan kesadaran baru yang disebut sebagai ekologi
integral. Sebuah perubahan radikal terhadap lingkungan perlu didasarkan pada dua tumpuan:
kepala dan hati, ilmu dan iman. Itulah sebabnya, Paus mempromosikan kembali sikap
Fransiskus dari Asisi yang melihat dan memperlakukan ciptaan lain sebagai saudara dan
saudari dan alam sebagai rumah bersama. Akar perubahan iklim ada di dalam diri manusia,
dalam pola pikir dan gaya hidup manusia. Masalah ekologis adalah masalah tentang manusia
yang harus dilihat secara utuh. Sebab itu, penyelesaian atas masalah ini hanya dapat
dilakukan dalam satu refleksi yang melibatkan berbagai pihak, termasuk para teolog.42

40
Paul Budi Kleden, “Berfilsafat dan Berteologi …, hlm. 171.
41
William Chang, Moral Lingkungan …, hlm. 42-43.
42
Paul Budi Kleden, “Berfilsafat dan Berteologi …, hlm. 172.

16
Evaluasi atas antroposentrisme yang destruktif mengingatkan kita bahwa kita tidak
boleh menjadikan sesuatu pun dari deretan ciptaan sebagai tujuan final dari ciptaan. Kita
harus beralih dari antroposentrisme kepada teosentrime. Allah adalah awal dan tujuan dari
seluruh ciptaan. Tradisi biblis berbicara mengenai hari ketujuh dalam penciptaan. Hari itu
adalah sabbat, yakni istirahat, kepenuhan dan berkat bagi semua ciptaan dalam Allah. Pada
hari ketujuh Tuhan tidak memberkati makhluk tertentu, tetapi memberikan seluruh diriNya
dalam persatuan dengan seluruh ciptaan. Itulah tujuan seluruh ciptaan. Konsekuensinya ialah
diantara ciptaan Tuhan harus ada rasa saling menghargai dan menghormati. Tidak ada
mahluk satupun, termasuk manusia yang dapat mengkalim dirinya sebagai penguasa atas
yang lain, sehingga dapat bertindak semena-mena.43

2. Nilai-Nilai Kearifan Lokal


2.1 Nilai Intrinsik Alam

Alam dan manusia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Alam
menjadi tempat tinggal sekaligus tempat manusia berkesistensi. Alam pada dasarnya
memiliki nilai kebaikan yang ada padanya. Kebaikan yang ada pada alam dan seluruh ciptaan
yang terdapat di dalamnya, pada dasarnya bukan terletak pada kesadaran dan pengetahuan
akan dirinya. Nilai kebaikan tersebut tampak melalui fungsinya. Oleh karena alam dan
seluruh ciptaan mempunyai kebaikan dalam dirinya, maka mereka juga perlu mendapat
pertimbangan moral. Alam tidak boleh diperlakukan secara tidak adil.44

2.2 Rasa Tanggung Jawab Terhadap Alam

Manusia adalah salah satu bagian kecil dari kehidupan di dunia. Manusia menemukan
dirinya disaat berelasi dengan alam maupun ciptaan-ciptaan lain. Ketidakterpisahan relasi
manusia dengan alam, menuntutnya untuk bertanggungjawab terhadap alam. Selain itu,
permasalahan lingkungan hidup yang kerap terjadi merupakan akibat dari perilaku manusia.
Konsekunsinya, manusia memiliki tanggungjawab moral dalam menjaga kelestarian alam.
Rasa tanggungjawab ini juga tidak sekedar disadari sebagai bentuk penghormatan terhadap
alam. Lebih jauh lagi, manusia juga harus bertanggungjawab terhadap generasi mendatang.45

43
A. Sunarko dan A. Eddy Kistiyanto (eds.), Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi. (Yogyakarta:
Kanisius 2008), hlm. 37-38.
44
William Chang, Moral Lingkungan …, hlm. 44.
45
William Chang, Moral Lingkungan …, hlm. 69-70.

17
BAB IV

ANALISIS – REFLEKSI DAN RELEVANSI TEOLOGIS MORAL SOSIAL

1. Analisis dan Refleksi

18
Dalam membuat analisis dan refleksi teologis moral sosial atas topik yang dibahas,
penulis menggunakan prinsip-prinsip ajaran sosial Katolik sebagai landasan. Prinsip-prinsip
tersebut merupakan inti ajaran sosial Katolik. Dalamnya diungkapan tentang seluruh
kebenaran mengenai manusia yang diketahui oleh akal budi dan iman. Prinsip-prinsip ini juga
merupakan perjumpaan antara perintah utama Injil mengasihi Allah dan sesama dalam
keadilan dengan masalah-masalah yang ada di dalam masyarakat.

1. Martabat Pribadi Manusia

Gereja melihat dalam diri setiap manusia citra Allah sendiri yang menemukan
kepenuhan dirinya di dalam Yesus Kristus, puncak wahyu Allah. Dengan demikian setiap
manusia mempunyai martabat yang harus dihormati. Seluruh ajaran sosial Gereja
menghormati martabat pribadi manusia. Masyarakat yang adil dapat tercapai apabila
didasarkan pada martabat pribadi manusia. Maka hak-hak asasi manusia harus dibela baik
secara pribadi maupun sebagai keseluruhan.46

Ungkapan yang menjadi ajaran Gereja ini senada dengan maksud dari pembahasan
tentang topik yang dibahas oleh penulis. Manusia dalam hidupnya di dunia adalah mahluk
yang bermartabat. Karena itu, ia mempunyai hak untuk dihormati. Penghormatan terhadap
martabat manusia dapat diwujudkan dengan menghargai setiap pribadi (laki-laki dan
perempuan) sebagai citra Allah yang harus diperlakukan secara adil tanpa adanya tindakan
penindasan terhadap kelompok atau golongan lain.

2. Prinsip Kesejahteraan Umum

Prinsip kesejahteraan umum berasal dari martabat, kesatuan dan kesetaraan semua
orang. Kesejahteraan umum merupakan “keseluruhan kondisi hidup kemasyarakatan yang
memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun anggota-anggota perorangan untuk secara
lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan mereka sendiri”.47

Setiap pribadi manusia tidak dapat terlepas dari pribadi yang lain. Ia berada
“bersama” yang lain dan “untuk” yang lain. Maka setiap orang bertanggung jawab untuk
menciptakan kesejahteraan umum. Kesejahteraan umum hanya dapat dicapai dan
ditingkatkan secara bersama-sama. Tuntutan-tuntutan menyangkut kesejahteraan umum

46
Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, Kompendium Ajaran Sosial Gereja (Maumere:
Penerbit Ledalero, 2009), no. 73-75, 89, 105. Selanjutnya akan disingkat ASG, diikuti nomor.
47
ASG No.112.

19
bergantung pada kondisi-kondisi sosial dan terkait dengan penghormatan terhadap pribadi
manusia dan hak-hak asasinya. Maka dari itu, setiap upaya yang menjadi proyek bersama
termasuk pengelolahan lingkungan hidup, mesti memperhatikan kebaikan bersama. Allah
menganugerahkan lingkungan alam yang menyediakan segala kebutuhan hidup bagi setiap
manusia. Maka dari itu, upaya untuk menuai hasil alam mesti dimaksudkan untuk kebaikan
bersama. Bukan untuk individu maupun golongan tertentu.

1.3. Tujuan Universal Harta Benda

Tujuan universal harta benda adalah untuk perkembangan pribadi sepenuhnya dan
untuk kesejahteraan umum. Allah menghendaki supaya bumi dan segala isinya digunakan
oleh semua orang. Allah menganugerahkan bumi kepada seluruh umat manusia sebagai
sumber kehidupan bagi semua orang. Maka setiap orang berhak memiliki akses kepada
kebutuhan yang mutlak diperlukan untuk hidup dan mencapai perkembangan sepenuhnya.48

Hak milik pribadi tetap mempunyai fungsi sosial karena kaitannya dengan
kesejahteraan umum. Maka setiap orang tidak boleh menggunakan sumber-sumber dayanya
tanpa memperhitungkan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh penggunaannya, tetapi
sebaliknya ia harus bertindak sedemikian rupa sehingga keuntungan-keuntungannya tidak
hanya untuk diri sendiri dan keluarganya, tetapi juga demi kesejahteraan umum.

Adanya tanggung jawab sosial itu mewajibkan orang untuk memperhatikan dan
mengutamakan kaum miskin dan tersingkir. Kalau kita memperhatikan kebutuhan-kebutuhan
kaum miskin, sebenarnya kita memberi apa yang menjadi hak mereka, bukan hak kita. Kita
sebenarnya membayar utang keadilan. Dalam hal ini, sungguh relevan apa yang coba dibahas
oleh penulis. Alam tidak boleh dieksploitasi secara tidak bertanggungjawab. Alam dapat
dikelola untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Namun manusia juga harus
mempertimbangkan akibat buruk dari cara mengelolah alam yang salah.

1.4. Prinsip Subsidiaritas

Prinsip subsidiaritas dimunculkan dalam Ensiklik Quadragesimo Anno yang


mengatakan bahwa apa yang dapat dikerjakan oleh individu atau kelompok kecil, masyarakat
tidak boleh mengambil alih. Setiap usaha kemasyarakatan bersifat subsidier, yaitu
mendukung anggota-anggota masyarakat, bukan menghancurkannya. Lembaga masyarakat

48
ASG No. 116-125.

20
hanya memberikan bantuan untuk memberdayakan individu agar dapat melakukan
tanggungjawabnya dengan baik.49

Dasar prinsip ini adalah pengakuan bahwa setiap orang bertanggung jawab terhadap
dirinya sendiri. Setiap orang memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Hal yang
sama juga berlaku untuk lembaga atau komunitas. Selama tanggung jawab mampu diemban
dengan baik oleh individu atau komunitas tersebut, individu lain dan lembaga lain tidak boleh
campur tangan atau pun mengambil alih tanggung jawab. Prinsip ini melindungi orang dari
penyalahgunaan wewenang oleh lembaga yang lebih tinggi dan meminta lembaga yang sama
untuk membantu individu dan komunitas di bawahnya agar dapat memenuhi kebutuhannya.
Relevansi bagi topik yang dibahas ialah rasa tanggungjawab orang Barat untuk masyarakat
Timur untuk membantu mereka pada kemajuan adalah baik adanya. Namun, mereka tidak
seharusnya memkasakan ideolgi dan prinsip hidup mereka kepada suku bangsa lain. Karena
setiap suku bangsa mempunyai keraifan lokal yang mana sesuai dengan konteks kehidupan
mereka.

5. Keterlibatan

Implikasi dari prinsip subsidiaritas adalah keterlibatan. Keterlibatan adalah tugas


setiap orang untuk ambil bagian di dalam kehidupan bermasyarakat secara bertanggung
jawab demi kesejahteraan umum. Prinsip ini mendorong keterlibatan orang-orang yang
paling tidak beruntung, sekaligus pergantian berkala para pemimpin politik dalam rangka
mencegah kemapanan dan privilese yang tersembunyi.50

Prinsip ini mendukung adanya demokrasi. Demokrasi mesti bercorak partisipatif.


Dalam upaya pemanfaatan sumber daya alam, setiap orang memiliki hak yang sama. Karena
itu, pentinglah untuk melibatkan setiap lapisan masyarakat dalam mengambil kebijakan
terutama untuk menggunakan sumber daya alam. Setiap orang maupun kelompok tidak
seharusnya bersifat egois dan meminggirkan yang lain.

6. Prinsip Solidaritas

Istilah “solidaritas” menunjuk pada ikatan-ikatan yang mempersatukan semua orang


dan kelompok-kelompok sosial satu sama lain, ruang yang diberikan kepada kebebasan
manusia bagi petumbuhan bersama, di mana semua orang berbagi dan berperan serta. Prinsip
49
ASG No. 126-127.
50
ASG No. 129-131

21
solidaritas menunjukkan sifat sosial dari pribadi manusia, kesetaraan semua orang dalam
martabat dan hak-haknya, serta jalan bersama individu-individu dan bangsa-bangsa menuju
kesatuan.51

Solidaritas merupakan kebajikan moral yang menjadi nyata dalam tekad untuk
mewujudkan kesejahteraan umum. Setiap orang bertanggung jawab atas semua orang. Ada
ikatan yang erat antara solidaritas dan kesejahteraan umum, antara solidaritas dan tujuan
universal harta benda, antara solidaritas dan kesetaraan di antara semua manusia dan bangsa,
antara solidaritas dan perdamaian dunia.

Pada kenyataannya terjadi jurang yang dalam antara golongan. Kaum perempuan
kerap dipandang sebagai kelompok yang rendah. Maka, muncullah anggapan bahwa hak
mereka tidak perlu dipertimbangkan. Alam serta organisme hidup lainnya juga tidak perlu
mendapat pertimbangan moral. Sikap semacam ini perlu diubah. Setiap mahluk dalam
hidupnya di dunia mempunyai hubungan yang saling terkait. Maka, setiap orang harus solider
terhadap mereka yang lain.

BAB V

TINDAKAN PASTORAL

1. Landasan dan Tujuan Tindakan Pastoral

Landasan tindakan pastoral: Masalah ekologis terus terjadi di pelbagai belahan bumi
dan berkembang menjadi krisis ekologi dan lingkungan hidup. Dewasa ini bahkan seluruh
dunia mengalami krisis ekologi dan lingkungan hidup dalam bentuk perubahan iklim atau
pemanasan global. Permasalahan lingkungan merupakan permasalah seluruh umat manusia.
Dalam hal ini, Gereja Katolik tidak menutup mata dan mengabaikan fenomena tersebut.
Gereja justru merasa ikut bertanggungjawab dalam upaya menyelesaikan persoalan tersebut.

51
ASG No. 131-135.

22
Tujuan Tindakan Pastoral: Melalu Ensiklik Laudato si, Paus Fransiskus menyerukan
agar Gereja terlibat secara aktif di dalam upaya memulihkan keadaan alam yang saat ini
sedang sakit. Rasa tanggungjawab Gereja terhadap lingkungan hidup didasari oleh
keberadaan manusia yang adalah mitra kerja Allah di dunia. Karena itu, sudah semestinya
manusia secara khusus umat kristiani menjadi pelaku utama dalam menciptakan kembali
relasi yang harmonis dengan alam. Selain itu, bumi adalah tempat manusia tinggal, maka
seharusnya manusia menjadi penggagas dalam memulihkan keutuhan ciptaan. Alam dan
segala organisme hidup yang terdapat di dalamnya, mesti dipandang sebagai saudara.

2. Program

Program yang dapat diupayakan untuk memulihkn keutuhan lingkungan hidup ialah
dengan menggugah kesadaran umat beriman akan pentingnya merawat dan menjaganya.
Seruan untuk kembali menyadarkan umat akan pentingnya melestarikan alam dapat
dilaksanakan dengan cara mengadakan katekese ekologi. Umat diberi pendasaran tentang
tanggungjawabnya sebagai seorang kristiani dalam memperlakukan alam secara bijaksana.
Alam dapat dimanfaatkan sumber dayanya, namun harus tetap memperhatikan
kelestariannya.

3. Sosialisasi

Proses sosialisasi dapat dilaksanakan dengan ajakan untuk mendalami tema-tema


kitab suci maupun ajaran-ajararan Gereja yang berbicara tentang lingkungan hidup. Dalam
hal ini, dipaparkan tentang bagaimana peran penting alam dalam menunjang kehidupan
manusia. Memberikan gambaran tentang keberadaan alam yang sudah mulai rusak.
Kemudian mengajak kembali umat untuk memiliki rasa tanggungjawab terhadap kelestarian
alam.

4. Gerakan

Gerakan yang dapat dilakukan ialah membentuk tim khusus di wilayah keuskupan
maupun paroki. Tim tersebut bertugas untuk mensosialisasikan tentang pentingnya merawat
lingkungan hidup. Mereka dapat melakukan sosialisasi berupa pemaparan teori-teori yang
berkaitan dengan lingkugan hidup.

Selain itu, kesadaran umat beriman juga dapat digugah dengan cara mengajak mereka
untuk terlibat langsung dalam upaya melestarikan alam. Misalanya dengan membuang

23
sampah pada tempatnya. Mengadakan pekan bersih, dimana semua umat secara gotong
royong memberishkan lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Selain itu juga dapat diadakan
upaya untuk mnghentikan penebangan, penambangan secara liar dan tidak
bertanggungjawab. Sebagai alterntif, diadakan gerakan untuk menanam pohon secara
bersama.

Bibliography

Borrong, R. P. Etika Bumi Akses Etika dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1990.
B. Munawar, “Manusia, Alam, dan Lingkungan Hidupnya” dalam FORUM, 14/1 (Januari –
Juni, 2011)
Budi Kleden, Paul. “Berfilsafat dan Berteologi di Indonesia” dalam LEDALERO, 18/2,
(Desember 2019)

24
Chang, W. Moral Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Candraninggrum, Dewi (ed.). Ekofeminisme: Dalam Tafsir Agama, Pendidikan, Ekonomi
dan Budaya. Yogyakarta: Jalasutra, 2013.
Keraf, A. S. Etika Lingkungan. Jakarta: Kompas, 2009.
Keraf, A. S.. Filsafat Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2014.
Keraf, A. S. Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global. Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Khaeroni, Cahaya. Konsep Ekofeminisme Vandana Shiva dan Implikasinya Pada
Pengembangan Paradigma Pendidikan Agama Islam Inklusif Gender. Yogyakarta:
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2009.
Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, Kompendium Ajaran Sosial Gereja
Maumere: Penerbit Ledalero, 2009.
Lim, Francis. Filsafat Teknologi: Don Idhe tentang Dunia, Manusia dan Alat. Yogyakarta:
Kanisius, 2008.
Muryani. Ekofeminisme : Perempuan dan Permasalahan Lingkungan. Sidoarjo: Indomedia
Pustaka, 2017.
Nurkamilah, Citra. “Etika Lingkungan dan Implementasinya Dalam Pemeliharaan
Lingkungan Alam pada Masyarakat Kampung Naga” dalam Religious, 2/2, (2018)
Shiva, V. Staying Alive: Women, Ecology, and Survival in India. India: Kali For Women,
1998.
Shiva, V., & Mies, M. (2003). Ecofeminism. New York: Zed Books.
Sunarko, A. dan Eddy Kistiyanto, A. (eds.), Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi.
Yogyakarta: Kanisius 2008.
Supriatna, J. Konservasi Biodiversitas: Teori dan Praktek di Indonesia. Jakarta: Obor, 2018.
Tong, R., & Botts, T. F. (2018). Feminist Thought : A More Comprehensive Introduction.
Yogyakarta: Jalasutra.
https://www.kompasiana.com/nagascorpio/54ff5dcfa33311934a510033/kontroversi-sri-
mulyani-jk-economic-sense-versus-common-sense

25

Anda mungkin juga menyukai