Anda di halaman 1dari 9

ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

Pengkajian pada klien striktur uretra sebenarnya hampir sama dengan klien gangguan
perkemihan pada umumnya. Pengkajian dilakukan secara head to toe atau per sistem
dengan penekanan pada pengkajian fokus sistem perkemihan. Berikut ini adalah
pengkajian keperawatan pada klien striktur uretra (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 151)

1. Biodata

Angkan kejadian striktur uretra lebih banyak pada pria dari pada wanita. Hal ini terkait
dengan anatomi uretra pria lebih panjang dari pada wanita, dan uretra pria lebih resiko
untuk terkena infeksi dan trauma. Usia tidak terlalu signifikan dalam kejadian struktur
uretra, namun kejadian pada masa anak-anak sering dipicu karena trauma yang kontinyu,
sedangkan pada masa lansia sering diakibatkan karena dampak pemakaian kateter jangka
panjang (iritabilitas mukosa meningkat dan tumbuhnya jaringan perut/ keloid). (Prabowo
& Pranata, 2014, hal. 151)

2. Status kesehatan saat ini

3. Keluhan Utama

Keluhan pada klien berbeda-beda antara klien yang satu dengan yang lain. Kemungkinan
keluhan yang bisa timbul pada klien adalah keluhan rasa tidak nyaman, nyeri karena
spasme kandung kemih atau karena adanyabekas insisi pada waktu pembedahan. Hal ini
ditunjukan dari ekspresi klien dan ungkapan dari klien sendiri. Antara lain seperti nyeri
akibat kelainan pada saluran perkemihan, keluhan miksi(keluhan iritasi dan keluhan
obstruksi), disfungsi seksual, retensi urin dan sebagainya. (Muttaqin, 2012, hal. 269)

4. Alasan Masuk Rumah Sakit

Keluhan muncul karena adanya rasa tidak nyaman, Adanya rasa nyeri: lokasi, karakter,
durasi, dan faktor yang memicunya. (Suharyanto, 2013, hal. 49)

5. Riwayat Penyakit Sekarang

6. Pada klien penyakit striktur uretra keluhan-keluhan yang ada adalah frekuensi, nokturia,
urgensi, disuria, pancaran melemah, kencing bercabang, rasa tidak puas sehabis miksi,
dan waktu miksi memanjang dan akhirnya menjadi retensio urine. (Muttaqin, 2012, hal.
273)
7. Riwayat penyakit dahulu

8. Riwayat penyakit sebelumnya

Perawat menanyakan tentang penyakit-penyakit yang dialami sebelumnya, terutama yang


mendukung atau memperberat kondisi gangguan sistem perkemihan pada klien saat ini
seperti pernahkah klien menderita kencing manis, hipertensi, kencing batu, diabetes
mellitus dan sebagainya (Muttaqin, 2012, hal. 273)

9. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat penyakit pada keluarga yang memicu terajadinya striktur misalnya batu ginjali.
(Suharyanto, 2013, hal. 50)

10. Riwayat pengobatan

Perawat perlu mengklarifikasi pengobatan masa lalu dan riwayat alergi, catat adanya efek
samping yang terjadi dimasa lalu. (Muttaqin, 2012, hal. 273)

2. Pemeriksaan fisik

Berikut ini pemeriksaan fisik keperawatan pada klien struktur uretra:

1. Keadaan Umum

2. Kesadaran

Pasien dalam keadaan stranguria yaitu nyeri sangat hebat seperti ditusuk-tusuk. Pasien
juga merasakaan keluhan pada saat miksi meliputi keluhan akibat suatu tanda adanya
iritasi, obstruksi, inkontenensia, dan enuresia. (Muttaqin, 2012, hal. 270).

3. Tanda-tanda vital

Adanya sensasi nyeri yang hebat menyebabkan pasien mengalami peningkatan tekanan
darah >120/80mmHg, suhu > 37,50C, peningkatan nadi >100x /menit, dan biasanya RR
normal. (Muttaqin, 2012, hal. 270)

Body System

4. Sistem pernapasan
Pada klien dengan striktura uretra, biasanya fungsi pernapasan normal kecuali disertai
oleh penyakit penyerta lainny. Namun, pada klien post operasi businasi/striktur uretra
pengkajian pernapasan harus dilakukan dengan optimal karena mempengaruhi proses
sistematik. (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 151-152)

5. Sistem Neurosensory

Tidak ada gangguan kecuali ada penyakit penyerta. Jika penyempitan lumen uretra
dikarenakan gangguan kontraksi otot-otot genetalia,bisa terjadi striktur karena
penyempitan saluran kemih,misalnya pria pismus. (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 152-
153)

6. Sistem kardiovaskuler

Tidak ada gangguan kecuali penyakit penyerta lainnya. Pada klien post op kaji warna
konjungtiva, warna bibir dan distensi/ kolaps vena jugularis. Selain itu, monitor nadi dan
tekanan darah secara periodik untuk memantau hemodinamika tubuh. (Prabowo &
Pranata, 2014, hal. 152)

7. Sistem pencernaan

Tidak ada gangguan kecuali ada penyakit penyerta lainnya. Palpasi abdomen regio vesika
urinaria (hipogastric) terjadi distensi karena bendungan urine pada bladder, nyeri (+), dan
perkusi menunjukan bunyi yang redup, ballotement (+). Jika berlanjut pada kondisi
hidronephrosis (komplikasi) biasanya ditemukan nyeri daerah pinggang dan nyeri ketok
(jika terjadi batu ginjal/ ureter). Gangguan sering diakibatkan karena dampak sekunder
dari penyakit, misalnya nyeri (disuria) sering menyebabkan anoreksia, sehingga HCL
meningkat dan terjadilah nausea dan vomiting. Pada klien post op struktur uretra kaji
peristiltik usus untuk tolok ukur normalisasi pasca operasi. (Prabowo & Pranata, 2014,
hal. 152)

8. Sistem perkemihan

Pengkajian fokus pada pola BAK (frekuensi, output, warna urine, gangguan eliminasi
urine). Untuk pola lainnya biasanya gangguan terjadi sebagai dampak sekunder gangguan
eliminasi urine. (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 153)

9. Sistem musculoskeletal

Secara fisiologi tidak ada gangguan, namun intoleransi sering terjadi karena klien
mengalami nyeri. Intoleransi akan meningkat jika distensivesika tidak segera diatasi.
(Prabowo & Pranata, 2014, hal. 152)

10. Sistem integument


Pada sistem integumen turgor kulit buruk, kering, bersisik, rambut kusam, kuku tidak
berwarna pink, serta suhu badan klien biasanya meningkat secara signifikan namun
hilang timbun. (Muttaqin, 2012, hal. 125)

11. Sistem Endokrin

Tidak terdapat pembesaran tiroid, nafas tidak berbau keton, tidak terdapat luka gangren.
(Muttaqin, 2012, hal. 125)

12. Sistem Reproduksi

Adanya atau riwayat lesi pada genital atau penyakit menular seksual. (Suharyanto, 2013,
hal. 50)

13. Sistem Imun

Tidak ada gangguan dalam sistem imun. (Muttaqin, 2012, hal. 125)

14. Sistem Penginderaan

Tidak ada gangguan dalam sistem penginderaan. (Muttaqin, 2012, hal. 125)

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan pada striktur uretra utamanya adalah pemeriksaan urine untuk melihat
adanya hematuria, infeksi dan bagaimana pola dari berkemih. Secara klinis pemeriksaan
yang membantu untuk menegakkan diagnosa adalah dengan radiology kontras dengan
teknik Retrograde Urethrogam(RUG) with Voiding Cystourethrogram (VCUG). Saat ini
pemeriksaan untuk urologi telah berkembang dan pemeriksaan terkini tidak memerlukan
invasi bedah, yaitu dengan sistoskopi. (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 149-150)

Dan pemeriksaan penunjang lainnya adalah sebagai berikut :

a. Urinalis : warna kuning, coklat gelap, merah gelap/terang, peznampilan keruh, pH 7 atau
lebih besar, bakteria

b. Kultur urin : adanya staphylococcus aureus, proteus, klebsiella, pseudomonas, e.coli

c. BUN atau kreatin :meningkat

d. Uretrografi : adanya penyempitan atau pembuntuan uretra. Untuk mengetahui panjangnya


penyempitan uretra dibuat foto iolar (sisto)uretrografi

e. Uroflowmetri : untuk mengetahui derasnya saat miksi


f. Uretroskopi :untuk mengetahui pembuntuan lumen uretra

(Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 160)

4. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada striktur uretra utamanya adalah menghilangkan obstruksi untuk


memperlancar aliran urine. Tindakan utama untuk mengatasi striktur uretra adalah
dengan pembedahan. Dilatasi uretra dzilakukan secara periodik untuk mengembalikan
fungsi uretra sebagai saluran kemih. Selain itu dengan menggunakan alat canggih,
pemotongan striktur (uretrotomi) bisa memberikan hasil maksimal dan prognosa pasien
lebih baik. Berikut ini penatalaksanaan secara rinci dari striktur uretra. (Prabowo &
Pranata, 2014, hal. 150-151)

1. Bougie (dilatasi)

Tindakan bougie ini merupakan upaya untuk melebarkan saluran uretra yang mengalami
striktur dengan bahan bougie yang terbuat dari logam. Pelaksanaan bougie harus
dilakukan dengan hati-hati, karena tindakan yang kasar akan mengakibatkan perlukaan
dan akan menimbulkan striktur baru terlebih pada klien dengan bakat keloid.Setelah
dilatasi dapat dilakukan rendam duduk menggunakan air panas dan analgesik non-
narkotik untuk mengendalikan nyeri.

2. Uretrotomi Interna

Tindakan ini dibantu dengan alat endoskopi dan optik untuk memotong jaringan sikatrik
uretra dengan pisau otis/sachse atau dengan kauter. Tindakan ini memiliki keuntungan
karena tidak memerlukan tindakan pembedahan terbuka, sehingga meminimalisir
perlukaan. Tindakan dengan elektrokauter akan meminimalisir perdarahan karena efek
koagulan dari kauter.

3. Uretrotomi Eksterna

Tindakan ini dilakukan dengan pembedahan terbuka. Tindakan awal adalah dengan
pemotongan jaringan striktur yang fibrosis dan dilanjutkan dengan tindakan anastomosis
(tidak bisa dilakukan jika daerah striktur lebih dari 1 cm)

4. Pemasangan Stent

Stent adalah benda kecil yang elastis yang dimasukkan pada daerah striktu. Stent
biasanya dipasang setelah dilatasi atau uretrotomi interna. (Nurarif & Kusuma, 2015, hal.
160)
5. Uretroplasti

Uretroplasti merupakan standar dalam penanganan striktur uretra, namun masih jarang
digunakan karena tidak banyak ahli medis menguasai teknik bedah ini. (Nurarif &
Kusuma, 2015, hal. 160)

6. Prosedur Rekonstruksi Multiple

Suatu tindakan bedah dengan membuat saluran uretra diparenium. Indikasi prosedur ini
adalah ketidakmampuan mencapai panjang uretra,bisa karena fibrosis hasil operasi
sebelumnya atau teknik substitusitidak bisa dikerjakan. (Nurarif & Kusuma, 2015, hal.
160)

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan pasien striktur uretra post op sebagai berikut :

1. Gangguan pola eliminasi BAK berhubungan dengan post op cystostomi.


2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan post op cystostomi.
3. Resiko volume cairan berlebih berhubungan dengan larutan irigasi kandung kemih
diabsorbsi.
4. Resiko infeksi, hemoragi berhubungan dengan pembedahan.
5. Inkontinen, stress atau mendesak berhubungan dengan pengangkatan kateter setelah
bedah.
6. Resiko disfungsi seksual berhubungan dengan penyakitnya (striktur).
7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi.
Diagnose Intervensi Rasional
1. Gangguan pola 1. Pemantauan output
eliminasi BAK urine dan karateristik.
berhubungan dengan
post op cystostomi. 2. Mempertahankan
irigasi kemih yang
Tujuan : Tidak terjadi konstan selama 24 jam.
gangguan pola eliminasi BAK. 3. Mempertahankan
kepatenan dauer
kateter dengan irigasi.
4. Mengusahakan intake
cairan (2500 – 3000).
5. Setelah kateter
diangkat, terus
memantau gejala-
gejala gangguan pola
eliminasi BAK.
2. Gangguan rasa nyaman 1. Penyuluhan kepada
nyeri berhubungan pasien agar tidak
dengan post op berkemih ke seputar
cystostomi. kateter.
Tujuan : Pasien mengatakan 2. Pemantauan pasien
perasaannya lebih nyaman. pada interval yang
teratur selama 24 jam,
untuk mengenal gejala-
gejala dini spasmus
kandung kemih.
3. Memberikan obat-
obatan yang
dipesankan (analgetik,
antispasmodik).
4. Katakan pada pasien
bahwa intensitas dan
frekuensi akan
berkurang dalam 24
jam sampai 28 jam.
3. Resiko volume cairan 1. Pemantauan pasien 1. Deteksi dini
berlebihan mengenai gejala-gejala kemungkinan
berhubungan dengan keracunan air dalam 24 pengobatan dini.
larutan irigasi kandung jam pertama : bingung,
kemih diabsorbsi. agitasi, kulit hangat,
lembab, anoreksia,
Tujuan : Gejala – gejala dini
mual dan muntah.
intoksikasi air secara dini
dikenal.
4. Resiko infeksi, 1. 1.
hemoragi berhubungan
dengan pembedahan.
5. Inkontinen, stress atau 2. Pengkajian terjadi 2. Katakan kepada pasien
mendesak tetesan urine setelah bahwa itu biasa dan
berhubungan dengan kateter diangkat. kontinen akan pulih.
pengangkatan kateter
3. Mendeteksi kontinen. 3. Penyuluhan latihan-
setelah bedah.
latihan perineal.
Tujuan : Pasien dapat 4. Pasien harus
dibesarkan harapannya 4. Bantuan untuk
mengendalikan berkemih.
bahwa ia itu normal. mengendalikan
kandung kemih

6 Resiko disfungsi 1. Memberi intervensi 1. Klien mengatakan


seksual berhubungan kepada pasien bahwa perubahan fungsi
dengan penyakitnya dalam berhubungan seksual.
(striktur). seksual, pengeluaran
2. Kurang pengetahuan
sperma akan melalui
Tujuan : Fungsi seksual dapat membangkitkan
lumen buatan.
dapat dipertahankan. cemas, dan berdampak
2. Memberikan informasi disfungsi seksual.
menurut kebutuhan.
Kemungkinan kembali
tingkat fungsi seperti
semula. Kejadian
ejakulasi retrograde
(air kemih seperti
susu). Mencegah
hubungan seksual 3
sampai 4 minggu
setelah operasi.

7 Kurang pengetahuan 1. Penyuluhan kepada


berhubungan dengan pasien. Mencegah
kurang informasi, aktivitas berat 3
salah interpretasi sampai 4 minggu
informasi setelah operasi.
2. Mencegah mengedan
Tujuan : Pasien menguraikan waktu BAB selama 4
pantangan kegiatan serta sampai 6 minggu,
kebutuhan berobat jalan. memakai pelunak tinja
laksatif sesuai
kebutuhan.
3. Anjurkan minum
sekurang-kurangnya
2500 sampai 3000
ml/hari.

Anda mungkin juga menyukai