Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH PEREKONOMIAN INDONESIA

PEMBANGUNAN INKLUSIF

DISUSUN OLEH :

Lifta Nis Ma’sumah

Valentino Dimietri Fansyuri

Yogyakarta

2020

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur dipanjatkan ke Hadirat Allah SWT, karena berkat Rahmat, Hidayah dan Karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah ini tanpa ada halangan apapun. Makalah ini membahas secara
singkat tentang “Pembangunan Inklusif”.

Penulisan makalah ini adalah merupakan salah satu tugas untuk mata kuliah “Perekonomian Indonesia”
yang diberikan oleh Ibu Dra. Ary Sutrichastini, M.Si.

Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam kelancaran penyusunan
makalah ini. Makalah yang penulis susun ini memang masih jauh dari kata sempurna baik dari bentuk
penyusunannya maupun materinya. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya dan penulis khususnya.
Yogyakarta, Mei 2020

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perekonomian Indonesia sedang menghadapi tantangan besar. Tantangan ini terkait upaya mengubah
pola pertumbuhan ekonomi yang sarat tergantung pada sumber daya alam yang berlimpah dan upah
tenaga kerja yang murah, menjadi pola pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif (inclusive growth)
serta ramah lingkungan dan berkelanjutan (green growth). Pertumbuhan yang inklusif didefinisikan
sebagai pertumbuhan yang tidak hanya menghasilkan peluang ekonomi, tetapi juga menjamin akses yang
adil bagi seluruh anggota masyarakat terhadap peluang ekonomi yang tercipta. Pertumbuhan yang
inklusif memungkinkan semua anggota masyarakat untuk berpartisipasi dan mengambil manfaat dari
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi atas dasar kesetaraan terlepas dari latar belakang sosial
ekonomi yang berbeda (Hill, Khan, Zhuang 2012: 2)
Pertumbuhan yang inklusif perlu disertai dengan pertumbuhan yang ramah lingkungan dan
berkelanjutan. Pertumbuhan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan didefinisikan sebagai strategi
pertumbuhan yang memperhatikan keseimbangan lingkungan dan ekosistem dalam jangka panjang.
Strategi pertumbuhan ini tidak hanya mengejar target pertumbuhan yang tinggi, tetapi lebih
menitikberatkan pada upaya mengurangi emisi karbon, mencapai ketahanan energi melalui
pengembangan renewable energy, mengelola sumber-sumber daya termasuk hutan, tanah dan air
secara cermat untuk menghindari kerusakan lingkungan dan menjaga ketersediaan sumber daya
bagi generasi yang akan datang sekaligus menciptakan kesempatan ekonomi dan meminimalisasi dampak
sosial yang negatif.

Indonesia dipandang cukup sukses membangun stabilitas politik dan ekonomi sejak diterpa krisis
keuangan dan ekonomi yang parah pada tahun 1997-98. Namun demikian, di samping
keberhasilan menciptakan stabilitas ekonomi, Indonesia juga dipandang belum berhasil menciptakan
pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas. Berkualitas dalam hal mengurangi angka kemiskinan,
mengurangi ketimpangan sosial, dan mengurangi kerusakan sumber-sumber daya alam dan
lingkungan. Dibalik pesatnya pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia
masih memiliki banyak tantangan untuk lebih meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi di masa
depan.

B. Rumusan masalah

Dari latar belakang tersebut dapat kita ambil rumusan masalahnya:

1. Pengertian dari pembangunan ekonomi inklusif


2. Konsep pembangunan inklusif
3. Strategi pembangunan inklusif

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui apa definisi dari pembangunan ekonomi inklusif


2. Medeskripsikan konsep pembangunan inklusif
3. Mengetahui strategi pembangunan inklusif
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pembangungan ekonomi inklusif

Apa makna dari pembangunan ekonomi inklusif? World Economic Forum (WEF) mendefinisikan
ekonomi inklusif sebagai suatu strategi untuk meningkatkan kinerja perekonomian dengan perluasan
kesempatan dan kemakmuran ekonomi, serta memberi akses yang luas pada seluruh lapisan masyarakat.
Pengertian dari WEF tersebut tidak serta merta bisa diaplikasikan di Indonesia karena faktor seperti
disparitas, serta kondisi sosial budaya.

Indonesia, melalui Bappenas, kemudian mendefinisikan pembangunan ekonomi inklusif sebagai


pertumbuhan ekonomi yang menciptakan akses dan kesempatan yang luas bagi seluruh lapisan
masyarakat secara berkeadilan, meningkatkan kesejahteraan, dan mengurangi kesenjangan antar
kelompok dan wilayah. Untuk itu pula, pemerintah Indonesia melalui Bappenas telah mengeluarkan
Indeks Pembangunan Ekonomi Inklusif Tingkat Nasional Tahun 2011-2017 yang dapat dimanfaatkan
untuk merumuskan kebijakan pembangunan yang fokus untuk mendorong pembangunan yang lebih
inklusif. Indeks Pembangunan Ekonomi Inklusif atau IPEI adalah instrumen yang telah dikembangkan
Kementerian PPN/Bappenas untuk mengukur, memantau, dan mengendalikan kualitas pembangunan
ekonomi dari tahun ke tahun, terutama terkait kemampuannya dalam menciptakan akses dan kesempatan
yang luas bagi seluruh lapisan masyarakat secara berkeadilan, meningkatkan kesejahteraan, serta
mengurangi kesenjangan baik antar kelompok maupun wilayah. Dengan terukurnya tingkat
perkembangan kualitas pembangunan ekonomi, saya harap intervensi kebijakan dalam menentukan
prioritas pembangunan ekonomi di tingkat nasional maupun daerah dapat menjadi lebih mudah,”

Indeks Pembangunan Ekonomi Inklusif memuat tiga pilar utama:

 pertumbuhan ekonomi tinggi


 pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan
 perluasan akses dan kesempatan.

Untuk pilar pertama, yaitu pertumbuhan ekonomi, DKI Jakarta mendapatkan indeks tertinggi sebesar
6,58, sedangkan provinsi dengan nilai indeks terendah pada pilar pertumbuhan ekonomi adalah Papua,
dengan capaian 2,99. Nilai indeks secara nasional untuk pilar ini sebesar 5,17.

Untuk pilar kedua, yaitu pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan, lagi-lagi DKI Jakarta
memperoleh capaian tertinggi dengan nilai 7,31. Sedangkan provinsi Papua memperoleh indeks terkecil
dengan nilai 5,81. Nilai indeks secara nasional untuk pilar kedua ini adalah sebesar 6,64.

Terakhir, pilar ketiga, yaitu perluasan akses dan kesempatan, menempatkan Daerah Istimewa Yogyakarta
sebagai provinsi dengan nilai tertinggi yaitu sebesar 6,69. Sedangkan provinsi yang paling tidak inklusif
dalam pilar ketiga ini adalah Banten dengan nilai 4,03. Nilai indeks secara nasional untuk pilar ketiga
adalah 5,05.

Tantangan difabel dalam sektor ketenagakerjaan dan perekonomian, jika melihat dari ketiga pilar ini,
memang terinternalisasi dari semua pilar. Namun, pilar kedua dan ketiga memang menjadi acuan penting
bagaimana difabel sebagai salah satu kelompok marjinal bisa terproteksi dari laju pertumbuhan ekonomi
yang mengeksklusi mereka.
Mari kita ambil pilar yang ketiga, misalnya. Pilar ini diturunkan dalam tiga sub pilar: kapabilitas manusia,
infrastruktur dasar dan keuangan inklusif. Dari sudut pandang isu difabel, ketiga sub pilar ini mewakili
tantangan difabel dalam ikut serta dan dilibatkan dalam pembangunan ekonomi inklusif.

Pilar pertama adalah kapabilitas manusia. Mengutip artikel dari Direktur Pusat Studi Islam dan
Kenegaraan Indonesia (PSIK), Dr. Sunaryo, yang berjudul Kapabilitas Pembangunan, ada masalah ketika
kualitas hidup manusia semata-mata hanya didasarkan pada Produk Domestik Bruto dan pendapatan per
kapita.

Sunaryo kemudian mengajukan konsep kapabilitas manusia yang dibuat oleh Amartya Sen dan Martha
Nussbaum. Mereka adalah dua pemikir yang gundah dengan ukuran kualitas hidup yang dibuat oleh para
ekonom arus utama. Sen sendiri sejatinya adalah seorang ekonom, namun ia melihat ada cara pandang
yang salah dalam ekonomi. Sementara Nussbaum adalah seorang filsuf dan feminis yang melihat manusia
dalam kerangka yang lebih luas. Keduanya memperkenalkan pendekatan yang lebih manusiawi dalam
memahami kualitas hidup (quality of life). Konsep ini pun relevan dan kontekstual dalam melihat realitas
difabel dalam isu pembangunan.

Menurut Sunaryo, pendekatan yang mereka ajukan adalah pendekatan kapabilitas (capability approach).
Melalui pendekatan ini, mereka memahami kualitas hidup pada sejauh mana seseorang memiliki
kemampuan untuk menjadi sesuatu atau melakukan sesuatu (ability to function) yang dianggap bernilai.

Bagi Sen dan Nussbaum, pendapatan bukan satu-satunya faktor penentu untuk melihat kualitas hidup
manusia. Mereka mengajukan hal lain yang juga perlu dilihat dalam pendekatan ini: keragaman kondisi
setiap orang, keragaman kondisi sosial-politik dan keragaman kondisi alam dan lingkungan.

Menurut Sunaryo, cara pandang dari Sen dan Nussbaum ingin memberitahukan bahwa kondisi setiap
orang tidak bisa digenerelalisasi. Salah satu contohnya adalah kondisi sosial orang. Kondisi sosial yang
berbeda-beda akan membuat kapabilitas orang menjadi berbeda-beda pula. Dalam isu difabel, realitas
difabel yang sering terdiskriminasi dan tidak mendapatkan kesempatan berkehidupan secara luas tidak
serta merta bisa menjadi alat ukur difabel dalam penentuan kapabilitas. Difabel yang tidak punya akses
yang luas saat masuk dalam seleksi jabatan-jabatan publik misalnya, tidak bisa dianggap tidak punya
kapabilitas dalam memimpin karena kondisi kedifabelan. Ada variabel lain bernama desain yang tidak
aksesibel dalam lingkungan dan regulasi. Variabel ini sering membuat kapabilitas difabel tidak dianggap
mampu dan setara dengan non difabel lainnya dalam setiap kesempatan.
Sub pilar kedua adalah infrastruktur dasar. Aksesibilitas dalam infrastruktur dasar mampu mempengaruhi
tingkat partisipasi difabel dalam pembangunan ekonomi yang inklusif. Misal, dalam sektor pendidikan
untuk mempersiapkan difabel dalam dunia kerja. Infrastruktur pendidikan yang tidak aksesibel akan
membuat difabel kesulitan dalam berpartisipasi secara penuh dalam segala jenis pendidikan. Dalam dunia
kerja, infrastruktur yang tidak aksesibel di tempat kerja juga membuat difabel kesulitan dalam
melaksanakan aktifitasnya. Kemudian, contoh lain dalam perkara difabel di sektor pertanian. Desain
irigiasi, misalnya, yang tidak aksesibel membuat sektor pertanian menjadi tidak terbuka bagi difabel.
Imbasnya, difabel menjadi tidak terserap dalam sektor informal pertanian dan negara kehilangan potensi
difabel di sektor pertanian.

Sub pilar yang ketiga tentang keuangan yang inklusif. Sub pilar ini dimulai dari level terkecil yaitu hak
difabel dalam mengelola uangnya sendiri. Banyak penelitian yang sudah menunjukkan bahwa difabel
yang mempu mengelola uangnya sendiri dan tidak tergantung kepada pengelolaan yang dilakukan orang
lain cenderung bisa hidup secara mandiri dan bisa memaksimalkan potensi perekonomian mereka.
Peningkatan perekonomian akan berimbas baik pada kualitas hidup, Produk Domestik Bruto serta
pertumbuhan pembangunan ekonomi yang inklusif.

Dalam lingkup yang lebih luas, persoalan keuangan yang inklusif juga berkenaan dengan peluang difabel,
terutama yang bekerja pada sektor informal, dianggap layak untuk mendapatkan pinjaman modal dari
penyedia layanan perbankan. Banyak penelitian yang sudah menunjuukan bahwa difabel terstigma tidak
mandiri secara ekonomi. Karena itu, banyak penyedia layanan perbankan yang tidak memasukkan difabel
ke dalam kategori nasabah yang potensial. Difabel kemudian tidak akan mendapatkan layanan keuangan
dan kemungkinan mereka untuk mendapatkan bantuan modal menjadi lebih kecil.

Hal ini akan semakin memberatkan difabel karena mereka sudah cukup tereksklusi dari sektor formal.
Pada sektor informal, sebagian besar hal yang mereka butuhkan adalah sektor terhadap permodalan yang
aksesibel.

Pembangunan inklusif yang juga mengurangi tingkat kemiskinan hanya bisa terwujud jika semua pihak
berkontribusi untuk menciptakan peluang yang setara, berbagi manfaat pembangunan dan memberikan
ruang partisipasi seluas-luasnya dalam pengambilan keputusan; seluruhnya didasarkan pada
penghormatan atas nilai dan prinsip-prinsip hak asasi manusia, partisipatif, non-diskriminatif dan
akuntabel.

Mengapa Indonesia Perlu Menyusun Indeks Pembangunan Ekonomi Inklusif Tersendiri?


Cerminan untuk Tujuan Pembangunan Indonesia yang lebihspesifik

Indeks Pembangunan/Pertumbuhan Inklusif yang telah dikeluarkan berbagai institusi internasional, dirasa
kurang mencerminkan tujuan pembangunan Indonesia secara spesifik. Contoh:

 Tidak adanya fokus kepada isu ketimpangan (gender, wilayah, dan pendapatan)
 Beberapa indikator tidak selaras dengan indikator pembangunan Indonesia

Indeks Pembangunan EkonomiInklusif-Indonesia:

Dapat membandingkan tingkat inklusivitas antar propinsi/kabupaten/kota sehingga dapat ditentukan arah
kebijakan yang tepat untuk tiap provinsi dan keselarasannya dengan tingkat nasional.

Contoh Indikator: Pendapatan Bersih Gini, Tabungan Bersihyang disesuaikan, Intensitas Karbon terhadap
PDB, Utang Publik dan Rasio Ketergantungan (data tidak ada di level provinsi)

B. Konsep Pembangunan Ekonomi Inklusif Untuk Indonesia


C. Strategi Pembangunan Inklusif

Dalam rangka mendorong pembangunan ekonomi inklusif, Kementerian Perindustrian telah menetapkan
4 fokus trategi yang diharapkan dapat memberikan hasil signifikan.

Keempat strategi tersebut tersebut adalah

 pembangunan sumber daya manusia (SDM) industri,


 pembangunan industri ke luar pulau Jawa,
 kebijakan e-smart industri kecil dan menengah (IKM), dan
 kebijakan penerapan revolusi Industri 4.0.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian Ngakan Timur
Antara menjelaskan pelaku usaha dapat memberikan kontribusi dari sisi pengembangan SDM dengan
penyelenggaraan pendidikan vokasi.

“Kebijakan pembangunan SDM ini dalam rangka mencapai tujuan penyerapan lapangan kerja. Untuk itu,
dilakukan melalui penyelenggaraan pendidikan vokasi industri berbasis kompetensi, program link and
match SMK dan industri, serta program pelatihan industri dengan sistem 3 in 1 [pelatihan, sertifikasi dan
penempatan].” Kemenperin menargetkan lebih dari satu juta tenaga kerja industri kompeten yang
dihasilkan dan tersertifikasi hingga tahun 2019. Periode 2013-2017 terjadi peningkatan signifikan
terhadap jumlah tenaga kerja sektor industri dari 14.9 juta orang pada tahun 2013 menjadi lebih dari
17juta orang pada 2017, rata-rata naik 512 ribu orang pertahun.

Selanjutnya, strategi pembangunan industri ke luar Pulau Jawa dimaksudkan untuk mengurangi
ketimpangan ekonomi antar daerah di Tanah Air. Kebijakan ini dilakukan dengan rencana pembangunan
16 kawasan industri hingga 2019 yang mayoritas berlokasi di luar pulau Jawa. Saat ini, sebanyak 10
kawasan industri baru sudah beroprasi, dan ada tiga kawasan industri yang menyusul selesai
pembangunannya pada tahun ini, serta ditargetkan lima kawasan industri baru pada tahun 2019. Dengan
demikian sampai 2019 terdapat 18 kawasan industri baru, melebihi target program nawacita 10 kawasan
industri

Adapun terkait kebijakan e-smart IKM, bahwa hal tersebut ditujukan dalam rangka peningkatan
kesempatan IKM nasional dalam memasarkan produk secara lebih masif melalui platform digital. Hal ini
sejalan dengan arah kebijakan pembangunan Industry 4.0 yang saat ini tengah dikembangkan. Pada tahun
2017, sebanyak 1730 IKM telah mengikuti workshop e-Smart IKM. Tahun 2018 ditargetkan bertambah
sebanyak 4000 IKM dan tahun 2019 membidik hingga 5000 IKM. Peserta workshop mendapat pelatihan
untuk meningkatkan daya saring dan produktivitas usahanya serta cara berjualan di marketplace.

Dalam pengembangan industry 4.0, kemenperin telah menyusun roadmap yang difokuskan pada lima
sektor manufaktur , yakni indutri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian jadi, otomotif, elektronik,
dan kimia.

“Pengusaha memiliki peranan penting sebagai aktor utama penggerak ekonomi nasional. Jika dunia usaha
semakin meningkat, maka potensi penumbuhan menumbuhkan usaha-usaha baru di sektor produktif akan
mampu menciptakan peluang kerja yang lebih banyak lagi,”

Strategi utama pembangunan inklusif adalah penciptaan lapangan kerja produktif dan menguntungkan,
penyediaan jaring pengaman sosial yang efektif dan efisien untuk melindungi mereka yang tidak mampu
bekerja atau yang terlalu sedikit mendapatkan manfaat pembangunan, peningkatan pelayanan publik
dasar dan dukungan kebijakan publik yang memadai.

Program diimplementasikan sebagai pengembangan model pembangunan ekonomi lokal, dengan


pelibatan penuh peran pemerintah, sektor bisnis dan masyarakat sipil. Model ini diterjemahkan dalam
bentuk intervensi program antara lain: kajian strategis potensi ekonomi daerah, pengembangan dokumen
dan kesepakatan perencanaan secara partisipatif, pengembangan forum multipihak, advokasi kebijakan
publik yang dibutuhkan untuk membangun iklim pembangunan inklusif dan dukungan bagi usaha kecil
dan menengah (terutama yang berbasis pemanfaatan sumber daya alam).
KESIMPULAN

1. Ekonomi inklusif adalah suatu strategi untuk meningkatkan kinerja perekonomian dengan
perluasan kesempatan dan kemakmuran ekonomi, serta memberi akses yang luas pada seluruh
lapisan masyarakat.
2. Indeks Pembangunan Ekonomi Inklusif atau IPEI adalah instrumen yang telah dikembangkan
Kementerian PPN/Bappenas untuk mengukur, memantau, dan mengendalikan kualitas
pembangunan ekonomi dari tahun ke tahun, terutama terkait kemampuannya dalam menciptakan
akses dan kesempatan yang luas bagi seluruh lapisan masyarakat secara berkeadilan,
meningkatkan kesejahteraan, serta mengurangi kesenjangan baik antar kelompok maupun
wilayah. Dengan terukurnya tingkat perkembangan kualitas pembangunan ekonomi, saya harap
intervensi kebijakan dalam menentukan prioritas pembangunan ekonomi di tingkat nasional
maupun daerah dapat menjadi lebih mudah,”
3. Indeks Pembangunan Ekonomi Inklusif memuat tiga pilar utama:
 pertumbuhan ekonomi tinggi
 pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan
 perluasan akses dan kesempatan.

4. strategi pembangunan ekonomi inklusif

 pembangunan sumber daya manusia (SDM) industri,


 pembangunan industri ke luar pulau Jawa,
 kebijakan e-smart industri kecil dan menengah (IKM), dan
 kebijakan penerapan revolusi Industri 4.0.

DAFTAR PUSTAKA

www.solider.id

inkluisf.bappenas.go.id
H. Hill,M.E. Khan and J. Zhuang (eds). 2012. Diagnosing the Indonesian Economy: Toward Inclusiv and
Green Growth. London: Anthem Press for the Asian Development Bank

Anda mungkin juga menyukai