DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 2
1. Deni Jumade
2. Novtira Fidya Anggraini
3. Nurun Nisa
4. Wahyu Saputra
SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)
A. Latar Belakang
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau
mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut
(Purba dkk, 2008). Menurut Stuart dan Laraia (1998), perilaku kekerasan dapat
dimanifestasikan secara fisik (mencederai diri sendiri, peningkatan mobilitas tubuh),
psikologis (emosional, marah, mudah tersinggung, dan menentang), spiritual (merasa
dirinya sangat berkuasa, tidak bermoral). Perilaku kekerasan merupakan suatu tanda dan
gejala dari gangguan skizofrenia akut yang tidak lebih dari satu persen (Purba dkk, 2008).
Perilaku kekerasan merupakan salah satu jenis gangguan jiwa. WHO (2001)
menyatakan, paling tidak ada satu dari empat orang di dunia mengalami masalah mental.
WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia mengalami gangguan kesehatan
jiwa. Pada masyarakat umum terdapat 0,2 – 0,8 % penderita skizofrenia dan dari 120 juta
penduduk di Negara Indonesia terdapat kira-kira 2.400.000 orang anak yang mengalami
gangguan jiwa (Maramis, 2004 dalam Carolina, 2008). Data WHO tahun 2006
mengungkapkan bahwa 26 juta penduduk Indonesia atau kira-kira 12-16 persen mengalami
gangguan jiwa. Berdasarkan data Departemen Kesehatan, jumlah penderita gangguan jiwa
di Indonesia mencapai 2,5 juta orang (WHO,2006)
Keperawatan jiwa merupakan bentuk pelayanan profesional yang didasarkan pada ilmu
keperawatan jiwa bentuk pelayanan Bio-Psiko-Sosio-Spritual yang komperhensif. Klien
dapat berupa individu, keluarga dan komunitas baik dalam keadaan sakit maupun sehat.
Bentuk Asuhan keperawatan jiwa meluputi pencegahan primer adalah pendidikan
kesehatan, pengubahan lingkungan dan dukungan sistem sosial.
Keluarga sebagai orang terdekat dengan klien merupakan sistem pendukung utama
dalam memberikan pelayanan langsung pada saat klien berada dirumah. Oleh karena itu
keluarga memiliki peran penting didalam upaya pencegahan kekambuhan penyakit pada
klien jiwa. Melihat fenomena diatas, maka keluarga perlu mempunyai pemahaman
mengenai cara perawatan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Salah satu
upaya yang dilakukan adalah perawat dapat melaksanakan penyuluhan guna memberikan
pendidikan kesehatan kepada keluarga.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Setelah mengikuti kegiatan penyuluhan diharapkan klien dan keluarga dapat
memahami informasi yang diberikan dalam penyuluhan dan dapat berguna dalam
kehidupan sehari hari.
2. Tujuan Khusus
Setelah mengikuti penyuluhan selama 1 x 30 menit diharapkan klien & keluarga
mampu:
1) Menyebutkan definisi (pengertian) dari Perilaku Kekerasan
2) Menjelaskan penyebab dari Perilaku Kekerasan
3) Menyebutkan rentang respon marah dari Perilaku Kekerasan
4) Menjelaskan tanda dan gejala dari Perilaku Kekerasan
5) Menyebutkan akibat dari Perilaku Kekerasan
6) Menyebutkan hal-hal yang dapat di lakukan keluarga yang mempunyai keluarga
Perilaku Kekerasan
7) Menyebutkan peran keluarga dalam penanganan Perilaku Kekerasan
C. Pengorganisasian
1) Presentator : Deni Jumade
2) Moderator : Novtira Fidya Anggraini
3) Observer : Nurun Nisa
4) Notulen : Wahyu Saputra
G. Setting tempat :
Klien dan keluarga duduk dikursi menghadap penyaji, penyaji di depan.
H. Rencana Kegiatan
2. Kegiatan Inti
Menjawab
1) Melakukan apersepsi
2) Menyebutkan pengertian dari
Mendengarkan
Perilaku Kekerasan
3) Menjelaskan penyebab dari
Mendengarkan
Perilaku Kekerasan
4) Menyebutkan rentang respon
Mendengarkan
marah dari Perilaku Kekerasan
5) Menjelaskan tanda dan gejala
Mendengarkan
dari Perilaku Kekerasan
6) Menyebutkan akibat dari
20 menit Mendengarkan
Perilaku Kekerasan
7) Menyebutkan hal-hal yang
Mendengarkan
dapat di lakukan keluarga yang
mempunyai keluarga Perilaku
Kekerasan
8) Menyebutkan peran keluarga
Mendengarkan
dalam penanganan Perilaku
Kekerasan
Bertanya
9) Memberikan kesempatan klien
atau keluarga untuk bertanya
3. Penutup
1) Melakukan evaluasi Menjawab
2) Memberikan Mendengarkan
5 menit
reinforcement
3) Menyimpulkan kegiatan Menyimpulkan bersama
4) Salam penutup Menjawab salam
I. Evaluasi
Struktur
Kegiatan berlangsung dengan baik sesuai jadwal yang telah ditentukan, tempat
pelaksana tersusun rapi dan bersih, proses penyuluhan berjalan dengan lancar tanpa
hambatan. Pelaksana terdiri dari moderator, penyaji, observer dan notulen.
Proses
Diharapkan kehadiran peserta penyuluhan 100%. Diharapkan keantusiasan peserta
mendengarkan dan memahami KIE Perilaku Kekerasan mencapai 75% terlihat dari
keaktifan bertanya dan dapat menyimpulkan penyakit hipertensi tersebut. Kegitan
dilaksanakan tepat waktu dan sesuai jadwal.
Hasil
Kehadiran peserta penyuluhan yakni 70%, terdiri dari keluarga pasien dan pasien itu
sendiri. Pasien dan keluarga pasien telah memahami tentang Perilaku Kekerasan,
terlihat dari mereka aktif dalam menyimpulkan hasil dari penyuluhan yang telah
dilakukan. Kegitan dilakukan pada pukul 14.30 dan berlangsung ± 30 menit.
J. Daftar Pustaka
– Anonim. 2011. Cegah dan hindari kekerasan, diakses tanggal 14 April 2015. Jam
14.30 dari http://www.orangtua.org/cegahdanhidarikekerasan=804
– Dadang Hawari. 2001. Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Schizofrenia.
FKUI: Jakarta.
– Keliat Budi Ana.1999. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Edisi I. Jakarta : EGC
– Keliat Budi Ana.1999. Gangguan Konsep Diri. Edisi I. Jakarta : EGC
– Keliat, Budi Anna, Akemat, dkk. 2010. Model Praktik Keperawatan Profesional
Jiwa. Jakarta: EGC
K. Lampiran Materi
1. DEFINISI PERILAKU KEKERASAN
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang, baik secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan definisi ini perilaku
kekerasaan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan. Perilaku kekerasaan dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu perilaku
kekerasaan saat sedang berlangsung atau perilaku kekerasaan terdahulu (riwayat
perilaku kekerasaan). (Keliat, Budi Anna, Akemat, dkk. 2010, 126)
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah
yang tidak konstruktif (Stuart dan Sundeen, 1995).
Perilaku kekerasan adalah perilaku individu yang dapat membahayakan orang,
diri sendiri baik secar fisik, emosional, dan atau seksualitas (Nanda, 2005).
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan
untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, 1993 dalam
Depkes, 2000).
2. PENYEBAB PERILAKU KEKERASAN
Menurut Stearen, kemarahan adalah kombinasi dari segala sesuatu yang tidak
enak, cemas, tegang, dendam, sakit hati, dan frustasi. Beberapa faktor yang
mempengaruhi terjadinya kemarahan terbagi atas faktor predisposisi dan faktor
presipitasi.
Faktor Predisposisi
Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan faktor
predisposisi, artinya mungkin terjadi/mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan jika
faktor berikut dialami oleh individu :
1) Psikologis
Kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang kemudian dapat timbul
agresif atau amuk. Masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan yaitu perasaan ditolak,
dihina, dianiayaan atau saksi penganiayaan juga berpengaruh. Sesorang yang
mengalami hambatan dalam mencapai tujuan/keinginan yang diharapkannya
menyebabkan ia menjadi frustasi. Ia merasa terancam dan cemas. Jika ia tidak mampu
menghadapi rasa frustasi itu dengan cara lain tanpa mengendalikan orang lain dan
keadaan sekitarnya maka dia menghadapinya dengan kekerasan.
2) Perilaku
Reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan, sering
mengobservasi kekerasan dirumah atau di luar rumah, semua aspek ini menstimulasi
individu mengadopsi perilaku kekerasan. Manusia pada umumnya mempunyai
keinginan untuk mengaktualisasikan dirinya, ingin dihargai dan diakui statusnya.
Sehingga Kebutuhan akan status dan prestise juga mempengaruhi perilaku seseorang
untuk melakukan kekerasan.
3) Sosial budaya
Budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif) dan kontrol sosial yang
tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku
kekerasan diterima (permisive).
4) Bioneurologis
Banyak pendapat bahwa kerusakan sistem limbik, lobus frontal, lobus temporal
dan ketidakseimbangan neurotransmiter turut berperan dalam terjadinya perilaku
kekerasan.
Faktor presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari klien, lingkungan atau interaksi dengan
orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fisik (penyakit fisik), keputusasaan,
ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi penyebab perilaku
kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang
mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang dicintai/pekerjaan dan kekerasan
merupakan faktor penyebab yang lain. Interaksi sosial yang provokatif dan konflik
dapat pula memicu perilaku kekerasan.
Hilangnya harga diri juga berpengaruh pada dasarnya manusia itu mempunyai
kebutuhan yang sama untuk dihargai. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi akibatnya
individu tersebut mungkin akan merasa rendah diri, tidak berani bertindak, lekas
tersinggung, lekas marah, dan sebagainya. Harga diri adalah penilaian individu tentang
pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri.
Dimana gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri
sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan.