Grebeg
Grebeg
Daftar isi
Pelaksanaan
Persembahan
Pemaknaan
Referensi
Daftar pustaka
Pelaksanaan
Keraton Yogyakarta menyelenggarakan Grebeg sebanyak tiga kali dalam setahun. Ketiganya yaitu Grebeg
Syawal, Grebeg Maulud, dan Grebeg Besar. Grebeg Syawal dilakukan pada awal bulan Syawal untuk
memperingati berakhirnya puasa pada bulan Ramadan. Grebeg Maulud dilaksanakan untuk memperingati
Maulid Nabi Muhammad. Grebeg Besar dilaksanakan untuk memperingati bulan Zulhijah. Grebeg dianggap
sebagai lambang kedermawanan dan perlindungan Sultan Yogyakarta terhadap masyarakatnya. Persembahan
yang diberikan berupa gunungan yang dibawa berkeliling dengan 10 pasukan yang mengawalnya.[3] Grebeg
di Keraton Yogyakarta diadakan dengan mengenakan pakaian dengan bentuk menyerupai pasukan kerajaan.
Selain itu, anggota keluarga dan para abdi dalem Keraton mengenakan pakaian adat Yogyakarta.[4]
Penyelnggaraan Grebeg di Keraton Surakarta dilakukan oleh para keturunan Sunan Kalijaga. Mereka akan
berkumpul di Kadilangu Demak untuk mempersiapkan acara Grebeg. Sesajen untuk Grebeg dipersiapkan
sejak tanggal 9 Zulhijah oleh utusan Keraton Surakarta yang dipimpin oleh putra mahkota. Penyerahannya
dilakukan dengan menggunakan Bahasa Jawa krama inggil.[5]
Persembahan
Dalam Grebeg di Keraton Yogyakarta, persembahan utamanya adalah gunungan yang terdiri dari enam
macam. Satu gunungan diberikan ke Pura Pakualaman dan lima gunungan dibawa ke Masjid Besar Kauman
untuk diperebutkan oleh warga.[6] Gunungan Grebeg merupakan hadiah dari sultan yogyakarta kepada orang-
orang yang datang ke Keraton Yogyakarta agar dimakan bersama. Masyarakat Jawa meyakini adanaya berkah
sultan dalam gunungan grebeg.[7]
Keraton Surakarta juga mempersembahkan gunungan dalam perayaan Grebeg, Gunungan ini berawal dari
dakwah Wali Songo di Pulau Jawa yang berlandaskan pada Al-Qur'an surah An-Nahl ayat 16. Salah satu
metode dakwah yang digunakan adalah menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan masyarakat termausk
kesenian dan budayanya.[8] Gunungan Grebeg dianggap sebagai bentuk kermawanan dan berkah raja kepada
masyarakatnya sekaligus sebagai media dakwah Islam. Makna yang dimilikinya adalah kesederhanaan,
kesatuan, keseimbangan, dan keselarasan. Jumlah gunungan yang diperebutkan antar tujuh hingga dua belas
pasang.[9]
Pemaknaan
Tradisi Grebeg dimaknai sebagai bagian dari dakwah Islam yang mengandung nilai-nilai pelestarian
lingkungan. Konsep keselarasan lingkungan di dalamnya merupakan warisan dari Sunan Kalijaga, sehingga
ziarah ke makamnya menjadi salah satu bagian dari acara Grebeg. Masyarakat Jawa juga melakukan Grebeg
sebagai kesadaran tentang alam semesta dalam pandangan Islam dan identitas bangsa.[10]
Referensi
1. ^ Soelarto, Bambang (1993). Garebeg di Kasultanan Yogyakarta. Yogyakarta: Kanisius.
ISBN 979-413-830-4.
2. ^ Brata 2009, hlm. 60.
3. ^ Hasan 2013, hlm. 162.
4. ^ Hasan 2013, hlm. 164.
5. ^ Purwadi 2012, hlm. 67.
6. ^ Brata 2009, hlm. 62.
7. ^ Brata 2009, hlm. 67.
8. ^ Adib dan Suddhono 2018, hlm. 291-292.
9. ^ Adib dan Suddhono 2018, hlm. 292.
10. ^ Purwadi 2012, hlm. 75.
Daftar pustaka
Adib, A., dan Suddhono, K. (2018). "Paradigma Budaya Islam-Jawa dalam Gerebeg Maulud
Keraton Surakarta". Alqalam. 35 (2): 271–296. doi:10.32678/alqalam.v35i2.1081. ISSN 2620-
598X.
Brata, Nugroho Trisnu (Desember 2009). "Religi Jawa dan Remaking Tradisi Grebeg Kraton,
Sebuah Kajian Antropologi". Sejarah dan Budaya. 2 (2): 59–68.
Hasan, Renta Vulkanita (2013). "Grebeg Maulud dalam Representasi Busana dan Motif Batik
di Keraton Yogyakarta". Corak. 1 (2): 161–166. doi:10.24821/corak.v1i2.2321. ISSN 2685-
4708.
Purwadi (2012). "Kesadaran Lingkungan dan Upacara Grebeg di Makam Sunan Kalijaga".
Ibda': Jurnal Kebudayaan Islam. 10 (1): 65–76.
Teks tersedia di bawah Lisensi Atribusi-BerbagiSerupa Creative Commons; ketentuan tambahan mungkin berlaku. Lihat
Ketentuan Penggunaan untuk lebih jelasnya.