Anda di halaman 1dari 14

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA 2017

ISBN 978-602-19411-2-6

PENINGKATAN LITERASI POLITIK PEMILIH PEMULA MELALUI


PENDEKATAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

Agus Sutisna
Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik,
Universitas Muhammadiyah Tangerang
tisna_1965@ymail.com

Abstrak
Tulisan ini merupakan kajian literatur yang membahas isu peningkatan political literacy
(melekpolitik) sebagai salah satu prasyarat penting untuk menghasilkan pemilu yang
berkualitas dengan partisipasi yang juga berkualitas dalam konteks agenda besar
mengkonsolidasikan dan mengembangkan kehidupan demokrasi, khususnya di kalangan pemilih
pemula (pelajar danmahasiswa) melalui pendekatan pembelajaran kontekstual (contextual teaching
and learning). Kajian dimaksudkan untuk mendeskripsikan secara kritis urgensi literasi politik
dalam kontekspemilu dan demokratisasi, serta mempromosikan gagasan-gagasan konseptual
model pembelajaran kontekstual untuk meningkatkan derajat kualitasnya terutama di
kalangan pemilih pemula. Metode kajian yang digunakan dalam tulisan ini adalah analisis
kepustakaan.Melalui metode ini rujukan konseptual, data dan informasi dihimpun dari pelbagai
sumberliteratur seperti jurnal ilmiah, buku, laporan penelitian dan dokumen literatur
lainnya; kemudian dianalisis dengan pendekatan kualitatif. Hasil kajian menunjukkan
bahwa pendekatan pembelajaran kontekstual memiliki potensi sangat efektif untuk digunakan
sebagai instrumen pendidikan kewarganegaraan dalam rangka meningkatkan literasi politik
para pemilih pemula.
Kata Kunci: literacy, pembelajaran kontekstual, demokratisasi, pemilih pemula

Abstract
This paper is a literature study that addresses the issue of increasing political literacy as oneof the
important prerequisites to produce good quality of the elections through the qualified participation
in the context of the major agenda of consolidating and developing the life of democracy,
especially among first-time voters (students) through the contextual learning approach.
The study is intended to describe the critical importance of political literacy in the context of
elections and democratization, as well as promoting the conceptual ideas of contextual
learning model for increasing its quality, especially among first-time voters. The method used in
this paper is an analysis of the literature. Through conceptual reference method, the data
and information gathered from various sources of literature such as scholarly journals, books,
research reports, and other literature documents; which is then analyzed by using a qualitative
approach. The results showed that the contextual learning approach has highly effective potential
to be used as an instrument of civic education in order to improve political literacy of the first-time
voters.
Keywords: political literacy, contextual learning, democratization, first-time voters

PENDAHULUAN yang tinggi, tetapi juga menghasilkan mutu


Sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan partisipasi yang berkualitas. Untuk
rakyat, idealnya Pemilu (termasuk Pilkada) tidak menghasilkan pemilu yang berkulitas dengan
hanya diikuti oleh jumlah pemilih yang banyak partisipasi yang juga berkualitas ini diperlukan
(kuantitas) sehingga angka partisipasi menjadi prakondisi tertentu yang, salah satunya adalah
tinggi, melainkan juga berlangsung dalam performance para pemilih (voters) yang melek,
suasana yang kompetitif, transparan, adil dan cerdas dan kritis secara politik, sehingga
akuntabel (kualitas), serta dapat menghasilkan preferensi politiknya bersifat rasional (rational
pilihan-pilihan pemimpin politik yang kompeten choice).
dan berintegritas. Dengan kata lain, pemilu Pemilih rasional (cerdas dan kritis) secara
bukan hanya menghasilkan tingkat partisipasi sederhana dapat digambarkan sebagai pemilih

257
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA 2017
ISBN 978-602-19411-2-6

yang bukan saja memiliki pengetahuan dan kali perhelatan pemilu digelar, partai-partai
kesadaran elektoral (kepemiluan), melainkan politik dan para kandidatnya menjadikan para
juga bebas dari berbagai bentuk intimidasi; pemilih pemula ini sebagai salah satu sasaran
memiliki daya tahan terhadap serangan atau bidik yang penting dalam sosialisasi dan
bujukan transaksional yang tidak sehat dan kampanye mereka. Oleh karena itu pula, para
melanggar aturan seperti money politics; serta pemilih pemula ini penting mendapat perhatian
memahami betul arti penting suara yang mereka untuk ditingkatkan kecerdasan dan daya
miliki dan konsekuensi politik dari pilihannya di kritisnya sebagai pemilih sehingga pilihan-
kemudian hari. pilihan politik (voting behavior) mereka masuk
Terkait performansi pemilih, Affan Gafar kedalam kategori sebagai pemilih rasional yang
(1994:34) memetakan dua tipologi pembentukan dengan sendirinya akan berkontribusi positif
perferensi pemilih dalam pemilu; 1) pada dihasil pemilu yang berkualitas dengan
kecenderunan munculnya pemilih patronase, performa partisipasi yang juga berkualitas.
yakni pemilih yang mendasarkan pilihannya Untuk meningkatkan kecerdasan dan daya
pada ketokohan dan figur tertentu, yang kritis para pemilih pemula, berbagai pihak
dianggap dapat mencitrakan dirinya sebagai utamanya KPU dan Bawaslu sebagai
pemimpin; 2) munculnya fenomena pemilih penyelenggara pemilu, pemerintah maupun
ABS (Asal Bapak Senang), yakni pemilih yang peserta pemilu (khususnya partai politik) telah
tidak memiliki rasionalitas dan hanya menjadi melakukan berbagai upaya pendidikan pemilih
pemilih follower yang mengikuti suara-suara (voter education) terutama melalui kegiatan-
mayoritas. kegiatan sosialisasi. Hanya saja, oleh karena
Secara hipotetis para pemilih irrasional atau keterbatasan ruang waktu, media dan
pemilih yang “buta politik” (political illiteracy) metodenya, kegiatan-kegiatan sosialisasi ini
ini memberikan kontribusi (berdampak) praktis kurang memberikan dampak yang berarti
terhadap pelaksanaan dan hasil pemilu yang untuk menumbuhkan kecerdasan dan daya kritis
tidak berkualitas; pemilu yang diwarnai oleh (literasi politik) pemilih pemula.
praktik-praktik transaksional seperti money Secara umum sosialisasi pemilu hanya
politics dan mobilisasi; pemilu yang melahirkan berhasil meningkatkan pengetahuan dan
lebih banyak para kandidat terpilih (baik pemilu kesadaran teknis elektoral seperti kapan, dimana
legislatif maupun pemilu eksekutif) yang nir- dan bagaimana cara memberikan suara pada hari
integritas dan jauh dari komepeten. dan tanggal pemungutan suara dilakukan.
Para pemilih irrasional yang masih jauh dari Sementara aspek-aspek substantif elektoral
kategori cerdas dan kritis secara umum tersebar seperti arti penting setiap suara yang diberikan;
pada segmen pemilih pemula. Yakni warga pentingnya membangun otonomi dan
masyarakat yang terdaftar dan akan kemandirian politik; dampak buruk dari praktik-
menggunakan hak pilih untuk pertama kalinya praktik transaksi politik yang tidak sehat seperti
sebagai pemilih pada suatu pemilu. Secara money politics; dan dampak atau konsekuensi
demografis segmen pemilih pemula ini pilihan politik di kemudian hari, cenderung
mayoritas terdiri dari para pelajar, mahasiswa terabaikan dan gagal ditumbuhkan secara masif
dan/atau pemuda yang berusia antara 17-22 sebagai bentuk kesadaran substantif di kalangan
tahun pada saat suatu pemilu atau pilkada pemilih pemula.
diselenggarakan. Bertolak dari pemikiran dan fakta-fakta
Dalam konteks pemilu nasional, jumlah fenomenal itulah penting dicarikan dan
pemilih pemula diperkirakan berada dalam diupayakan terus menerus model kegiatan
kisaran angka konstan antara 20-30 persen dari sosialisasi sebagai bagian dari pendidikan politik
pemilu ke pemilu. Pada Pemilu 2004 jumlah yang dapat menumbuhkan dan memperkuat
pemilih pemula mencapai 27 juta orang; Pemilu kecerdasarn dan daya kritis para pemilih pemula
2009 jumlah pemilih pemula sekitar 36 juta secara lebih luas, mendalam dan berarti. Dalam
orang (Kumoro, 2013); dan Pemilu 2014 sekitar konteks kebutuhan inilah penulis menawarkan
18 juta orang (Suwanti, 2014). Angka ini tentu penerapan konsep pembelajaran kontekstual
merupakan jumlah yang signfikan dalam peta (contextual teahing and learning) sebagai
kontestasi perebutan suara oleh para kontestan instrumen pembelajaran untuk meningkatkan
partai politik dan kandidat. Itu sebabnya setiap literasi politik (melek politik) para pemilih

258
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA 2017
ISBN 978-602-19411-2-6

pemula, yang diharapkan dapat memberikan kemudian lazim dikategorikan sebagai pemilih
dampak positif dan konstruktif terhadap yang literate (melek) secara politik.
pengetahuan-pengetahuan elektoral sekaligus Menurut Denver dan Hands (1990) dalam
kesadaran-kesadaran politik yang lebih Karim dkk (2015:5), Literasi Politik (political
substantif di kalangan pemilih pemula, literacy) merupakan pengetahuan dan
khsususnya pada segmen para pelajar tingkat pemahaman tentang proses politik dan isu-isu
SMA/MA/SMK . politik, suatu pengetahuan dan pemahaman yang
Berlatar uraian tersebut di atas, fokus kajian memungkinkan setiap warga negara dapat secara
ini dapat dirumuskan dalam dua pertanyaan efektif melaksanakan perannya (berperan serta,
penting sebagai berikut : (1) Bagaimana urgensi partisipasi) sebagai warga negara. Pengetahuan
literasi politik (melek politik), khususnya pada dan pemahaman ini oleh Cassel dan Lo (1997)
segmen pemilih pemula, dalam rangka sebagaimana dikutip Karim dkk (2015:5)
kebutuhan menghasilkan pemilu yang disebut sebagai political expertise dan political
berkualitas dengan derajat partisipasi yang juga awareness, yang intinya merujuk pada maksud
berkualitas ? (2) Bagaimana konsep model sejauhmana seorang individu warga negara
pembelajaran kontekstual (contextual teaching memberi perhatian dan memahami isu-isu
and learning) digunakan untuk meningkatkan politik.
literasi politik para pemilih pemula ? Rumusan yang tidak jauh berbeda
Tujuan kajian literatur ini adalah : (1) Untuk dikemukakan oleh Bernard Crick (2000) dalam
memahami dan mendeskripsikan secara kritis Putri (2015:79), yang mendefinisikan literasi
dan komprehensif urgensi literasi politik pada politik sebagai pemahaman praktis tentang
segmen pemilih pemula dalam kerangka konsep-konsep yang diambil dari kehidupan
menghasilkan pemilu dan partisipasi yang sehari-hari, dan bahasa merupakan upaya
berkualitas, yang secara umum berarti juga memahami seputar isu politik, keyakinan para
mengkonsolidasikan dan megembangkan kontestan, bagaimana kecenderungan mereka
kehidupan demokrasi; (2) Untuk memahami dan mempengaruhi diri sendiri dan orang lain.
mendeskripsikan konsep model pembelajaran Ringkasnya, literasi politik pada dasarnya
kontekstual sebagai instrumen pembelajaran merupakan senyawa yang utuh dari pengetahuan
untuk meningkatkan literasi politik pemilih (kognisi), keterampilan (psikomotor) dan sikap
pemula. (afeksi). Sementara itu, dalam frasa yang simpel
dan assertif, Westholm et al. (1990) dalam
HASIL DAN PEMBAHASAN Karim dkk (2015:5) menyatakan, bahwa literasi
Kajian Konsep politik pada dasarnya adalah kompetensi warga
Literasi Politik negara, suatu kompetensi yang dibentuk agar
Dalam konteks sejarah perkembangan seorang warga negara siap menjalankan
kepolitikan mutakhir Indonesia, studi tentang perannya dalam kehidupan demokrasi.
literasi politik mendapatkan perhatian yang lebih Berbasis pemahaman tersebut di atas,
serius terutama sejak reformasi bergulir tahun literasi politik dengan demikian meniscayakan
1998 yang telah mengubah tatakelola kekuasaan adanya elemen-elemen yang dapat diidentifikasi
dari model demokrasi sentralistik ke demokrasi dan diukur. Dalam kaitan ini, Mudhok (2005)
desentralistik, yang kemudian diikuti oleh sebagaimana dikutip Karim (2015 :6)
keniscayaan diselenggarakannya perhelatan menawarkan setidaknya 4 (empat) elemen
demokrasi elektoral di berbagai tingkatan. literasi politik. Yaitu : (1) kehirauan dan
Merujuk pada pendekatan kelembagaan baru kesadaran pentingnya aktivitas dan insitutsi
(new institusionalism) dalam kajian ilmu politik, politik, kewenangan, dan perannya; (2)
nalar argumentasi penguatan kajian ini dapat kemampuan untuk membuat opini dan otonomi
dirumuskan, bahwa untuk mengonsolidasikan posisi dalam proses politik dalam rangka
demokrasi maka diperlukan pemilu yang menghasilkan suatu outcome politik; (3)
berkualitas; sementara pemilu yang berkualitas pengetahuan mengenai kebijakan, perencanan
membutuhkan prasyarat atau prakondisi para dan anggaran pemerintah untuk pembangunan
pemilih (voters) yang cerdas, kritis, rasional dan dan pelayanan ublik; (4) partisipasi dalam
bertanggungjawab dengan pilihannya. Pemilih kegiatan politik.
dengan antara lain karakteristik inilah yang

259
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA 2017
ISBN 978-602-19411-2-6

Pemilih Pemula Para ahli pendidikan secara umum memiliki


Pemilih pemula (first-time voters) adalah pandangan yang relatif sama dan sepakat
warga negara yang berdasarkan ketentuan mengenai pembelajaran kontekstual ini. Elaine
perundang-undangan telah memenuhi syarat B. Johnson (2011:64) misalnya, mengemukakan
sebagai pemilih, yang untuk pertama kalinya bahwa “The CTL system is an educational
menggunakan hak pilih pada suatu pemilihan process that aims to help student’s see meaning
umum (pemilu nasional atau pilkada). in the academic material they are studying by
Berdasarkan definisi ini, cakupan warga negara connecting academic subjects with the context of
yang dapat menjadi pemilih pemula bisa luas their daily lives, that is, with the context of their
dan beragam. Selain potensinya terdiri dari personal, social, and cultural circumstance.”.
kalangan pelajar dan mahasiswa yang berada Intinya, bahwa pendekatan kontekstual adalah
dalam rentang usia antara 17-22 tahun (dihitung pembelajaran yang bertujuan menolong siswa
berdasarkan pelaksanaan pemilu 5 tahunan), melihat makna di dalam materi akademik
juga termasuk kalangan muda yang berada dengan konteks kehidupan keseharian mereka,
dalam rentang usia tersebut; warga negara yang yaitu dengan konteks keadaan pribadi, sosial,
sudah/pernah menikah meski usianya belum dan budaya mereka. Hal ini berarti, bahwa
mencapai 17 tahun, dan para pensiunan pembelajaran kontekstual memungkinkan siswa
TNI/Polri. Dalam kajian ini yang dimaksud menghubungkan isi materi dengan konteks
pemilih pemula dibatasi pada kalangan pelajar kehidupan sehari-hari untuk menemukan makna.
SMA/MA/SMK yang untuk pertama kalinya Pandangan yang sama dikemukakan oleh
menggunakan hak pilih dalam suatu pemilu, Suprijono (2009:79), bahwa pendekatan
baik pemilu nasional maupan pilkada. pembelajaran kontekstual merupakan konsep
Secara umum pemilih pemula pada kategori yang membantu guru mengaitkan antara materi
pelajar SMA/MA/SMK ini dicirikan oleh yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata,
beberapa karakteristik sebagai berikut : (1) dan mendorong peserta didik membuat
berusia antara 17-19 tahun; (2) tingkat literasi hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
politik (melek politik) yang relatif masih rendah; dengan penerapannya dalam kehidupan mereka
dan (3) orientasi dan preferensi politiknya masih sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
sangat kuat dipengaruhi oleh orang-orang yang Pendekatan pembelajaran kontekstual
menjadi rujukan pengetahuan, sikap dan merupakan prosedur pendidikan yang bertujuan
perilaku seperti guru dan orang tua; sebagian membantu peserta didik memahami makna
dipengaruhi oleh peer group (kelompok sebaya, bahan pelajaran yang mereka pelajari, dengan
kelompok sepermainan); (4) perilaku politik cara menghubungkannya dengan konteks
sebagai pemilih (voting behavior) cenderung kehidupan mereka sendiri dalam lingkungan
labil dan emosional. sosial dan budaya masyarakat.
Pendekatan pembelajaran kontekstual
Pembelajaran Kontekstual didasari oleh beberapa teori berikut (Suryanti
Istilah kontekstual berasal dari bahasa dkk, 2008:2) : (1) Konstruktivisme Berbasis
Inggeris, contextual, yang artinya : hubungan, Pengetahuan (Knowledge- Based
konteks, suasana, dan keadaan (John. M Echolis Constructivism). Teori ini menekankan
dan Hassan Shadily, 2000: 307). Dengan pentingnya mengembangkan kemampuan siswa
demikian secara harfiah, pembelajaran membangun sendiri pengetahuan mereka
kontekstual (contextual teaching and learning) melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar
dapat dimaknai sebagai pembelajaran yang mengajar; (2) Pembelajaran Berbasis
berhubungan dengan konteks tertentu. Usaha/Teori Pertumbuhan Kecerdasan (Effort-
Pembelajaran kontekstual ini merupakan Based Learning/Incremental Theory of
alternatif dari model pembelajaran konvensional Intellegence). Teori menekankan pentingnya
atau tradisional (Komalasari, 2010: 54). Di upaya keras untuk mencapai tujuan belajar yang
negara-negara maju pendekatan kontekstual ini akan memotivasi seseorang untuk terlibat dalam
sudah lama digunakan dalam proses-proses kegiatan yang berkaitan dengan komitmen untuk
pembelajaran di kelas-kelas sekolah (Suryanti belajar; (3) Sosialisasi (Socialization). Teori ini
dkk, 2008: 2). ini memandang, bahwa belajar merupakan
proses sosial yang menentukan tujuan belajar,

260
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA 2017
ISBN 978-602-19411-2-6

oleh karenanya faktor sosial dan budaya perlu terus dibangun dan dikembangkan untuk
diperhatikan selama perencanaan pengajaran; menghasilkan pemilu sekaligus demokrasi yang
(4) Pembelajaran Situasi (Situated Learning). berkualitas.
Teori ini menekankan bahwa pengetahuan dan Sebagaimana telah disinggung di depan,
pembelajaran harus dikondisikan dalam fisik partisipasi pemilu yang bekualitas mensyaratkan
tertentu dan dalam konteks sosial (masyarakat, suatu kondisi tertentu, yang salah satunya adalah
rumah, dsb) dalam mencapai tujuan belajar; (5) adanya pemilih yang cerdas dan kritis. Dan hal
Pembelajaran Distribusi (Distributed Learning). ini akan terpenuhi jika pemilih literate (melek)
Teori ini menekankan bahwa manusia secara politik. Pada titik inilah secara umum
merupakan bagian terintegrasi dari proses urgensi literasi politik menemukan ruang
pembelajaran, oleh karenanya harus berbagi konfirmasinya. Dalam konteks ini substansi
pengetahuan dan tugas-tugas pada individu lain kekuatan literasi politik ada pada partisipasi
serta lingkungan sekitar. politik warganegara yang kritis dan
memberdayakan terkait dengan konsep-konsep
Urgensi Literasi Politik bagi Pemilih Pemula pokok politik yang akan berdampak pada
Jika demokrasi, sesuai dengan muasal makna kehidupan warga. Dengan demikian seperti
harfiahnya, difahami sebagai “rakyat yang dikemukakan Heryanto (2012) dalam Bakti
berdaulat” (demos = rakyat, cratie = (2012:109), literasi politik bukanlah semata
kekuasaan/kedaultana) baik dalam sistem politik konsep normatif, melainkan bauran antara
maupun sistem pemerintahan, maka aspek pengetahuan, skill dan sikap politik
paling penting dan niscaya adalah partisipasi Meminjam argumentasi Stoker (2005),
warga. Yakni keterlibatan atau peran serta warga bahwa sifat mendasar dari politik dalam sistem
di dalam proses pengambilan keputusan- demokrasi sungguh rumit. Tanpa direcoki
keputusan politik, atau secara umum di dalam dengan korupsi dan kolusi sekalipun, upaya
kehidupan politik. Seperti dikemukakan Herbert untuk mengagregasi kepentingan, mengelola
McClosky (1972:252), partisipasi politik adalah negosiasi, lalu mengartikulasikannya sebagai
kegiatan-kegiatan sukarela dari warga satu keputusan yang disetujui bersama
masyarakat melalui mana mereka mengambil merupakan hal yang sangat sulit. Mengingat
bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan kompleksnya sistem, institusi serta mekanisme
secara langsung atau tidak langsung dalam yang ada maka ia pun menyebut warga negara
proses pembentukan kebijakan umum. Senada sebagai political amateurs, para amatir dalam
dengan apa yang dikemukakan Samuel P. politik. Yakni pihak yang berpartisipasi dalam
Huntington dan Joan M. Nelson (1977:3), politik secara sporadis, piece meal, dengan
partisipasi politik adalah kegiatan warga yang kapasitas relatif lebih rendah dibanding para
bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang profesional politik atau aktor-aktor politik
dimaksud untuk memengaruhi pembuatan seperti lobbiest, aktivis, kader parpol, dan
keputusan oleh pemerintah. anggota dewan (Karim dkk, 2015:6). Para
Partisipasi politik warga yang utama dan pemilih pemula secara sosio-demografi berada
mendasar, serta “mendahului” semua tahapan di antara political amateurs yang tentu saja lebih
dan bentuk partisipasi dalam konteks tatakelola rendah lagi kapasitas dan kompetensinya.
kekuasaan, daily governing dan policymaking Padahal para amatir inilah justru pihak
diwujudkan di dalam setiap perhelatan pemilu. mayoritas yang sesungguhnya pemilik
Itu sebabnya dalam terma perundangan- kedaulatan.
undangan pemilu di negeri ini, pemilu Dalam situasi kontradiksi sekaligus ironika
dinyatakan sebagai sarana pelaksanaan yang demikian itu; situasi absennya literasi
kedaulatan rakyat. Kemudian lebih dari sebagai politik (political illiteracy) pada mayoritas
bentuk perwujudan makna sejati kedaulatan warga negara, khususnya kalangan pemilih
rakyat, partisipasi politik warga di dalam pemilu pemula berbagai problematika sosio-politik
juga menjadi penting karena ia akan berikut ini bisa muncul. Pertama, rentan
menentukan kualitas pemilu yang dihasilkannya, terhadap propaganda politik yang dilakukan oleh
serta corak kepemimpinan politik dan tatakelola kelompok-kelompok anti-demokrasi di dalam
pemerintahan terpilih di kemudian hari. Dalam masyarakat. Kedua, dapat melahirkan perilaku
konteks inilah kualitas partisipasi politik perlu politik yang merusak (defecting) seperti dengan

261
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA 2017
ISBN 978-602-19411-2-6

sengaja menjual suara pada suatu perhelatan Implementasi Pembelajaran Kontekstual


pemilihan umum Ketiga, tanpa literasi politik untuk Meningkatkan Literasi Politik
yang cukup mengenai praktik daily governing Komponen dan karakteristik pembelajaran
dan policymaking, potensial dapat meningkatkan kontesktual
resiko menjauhnya politik dari kepentingan Di depan telah disinggung, bahwa
publik. Dengan demikian maka pembelajaran kontekstual adalah model
pertanggungjawaban dari atas (supply-side pembelajaran yang berusaha menghubungkan
accountability) menjadi lemah (Karim dkk, materi belajar dengan situasi, konteks atau
2015:6). keadaan yang relevan. Dalam upaya
Selain itu, situasi absennya literasi politik mengkontekstualisasikan materi belajar itu,
pada segmen pemilih pemula secara hipotetis secara teoritik, para pakar kontekstual sepakat,
juga dapat menyuburkan apatisme politik (sikap bahwa dalam pembelajaran kontekstual
tak acuh, tidak peduli), bahkan hingga level sedikitnya terdapat 7 (tujuh) komponen yang
sinisme terhadap politik. Aktifitas, bahkan harus dilakukan (Suryanti dkk, 2008; Zainal,
sekedar peduli terhadap isu-isu politik dianggap 2013).
sebagai sesuatu yang sia-sia belaka. Di sisi lain Ketujuh komponen itu adalah sbb : (1)
lagi, para pemilih pemula dengan literasi politik Konstruktivisme, meliputi pengertian : a)
yang rendah juga potensial mudah dikooptasi membangun pengetahuan mereka sendiri dari
dan dimobilisasi oleh rezim otoriter untuk pengalaman baru berdasarkan pada pengetahuan
kepentingan semata-mata mempertahankan awal; dan b) pembelajaran harus dikemas
status quo kekuasaan. Pada titik serupa situasi menjadi proses “mengkonstruksi” bukan
ini, para pemilih pemula yang secara kuantitas menerima pengetahuan; (2) Inquiry, meliputi
signifikan dari pemilu ke pemilu praktis tidak pengertian : a) proses perpindahan dari
akan memberi kontribusi positif terhadap pengamatan menjadi pemahaman; dan b) peserta
penguatan dan pengembangan demokrasi. didik belajar menggunakan keterampilan
Berdasar nalar dan argumentasi itulah berfikir kritis; (3) Questioning, meliputi
peningkatan literasi politik pada segmen pemilih pengertian : a) kegiatan guru untuk mendorong,
pemula menjadi sangat urgent diikhtiarkan membimbing dan menilai kemampuan berfikir
sepanjang waktu dan, idealnya dilakukan oleh peserta didik; dan b) bagi peserta didik yang
berbagai pihak yang kompeten dan memiliki merupakan bagian penting dalam pembelajaran
akses otoritas pendidikan, pengembangan dan yang berbasis inquiry; (4) Learning Community,
pemberdayaan terhadap kelompok ini, misalnya meliputi pengertian : a) sekelompok orang yang
sekolah, kampus, pesantren, organisasi terikat dalam kegiatan belajar; b) bekerjasama
kemahasiswaan, ormas kepemudaan serta dengan orang lain lebih baik daripada belajar
kelembagaan negara yang relevan seperti sendiri; c) tukar pengalaman; d) berbagi ide; (5)
Kementerian Pendidikan, Kementerian Pemuda, Modeling, meliputi pengertian : a) proses
Kementerian Dalam Negeri serta perangkat penampilan suatu contoh agar orang lain
kelembagaan hierarkinya di daerah. berfikir, bekerja dan belajar; b) mengerjakan apa
Penting dikemukakan di sini, ikhtiar yang guru inginkan agar peserta didik
peningkatan literasi politik para pemilih pemula, mengerjakannya; (6) Reflection, meliputi : a)
apapun nama kegiatannya, harus dilakukan cara berfikir tentang apa yang telah kita pelajari;
dengan cara-cara yang sehat secara politik b) mencatat apa yang yang telah dipelajari; dan
(antara lain mengedepankan independensi, c) membuat jurnal, karya seni, dan diskusi
integritas, dan idealisme) dan bercorak edukasi kelompok; dan (7) Authentic Assessment,
(mengembangkan potensi nalar dan daya kritis). meliputi pengertian : a) mengukur pengetahuan
Cara ini akan menjauhkan diri dari model-model dan keterampilan peserta didik; b) penilaian
doktrinasi yang mengerangkeng kebebasan atau produk (kinerja); dan c) tugas-tugas yang
propaganda yang akan mematikan potensi, relevan dan kontekstual.
kreatifitas, nalar dan daya kritis mereka. Dalam Sementara itu di dalam buku yang diterbitkan
studi ini cara-cara yang dimaksud itu tidak lain Depdiknas (2011: 11) dirumuskan beberapa
adalah model pembelajaran kontekstual yang karakteristik pendekatan kontekstual sebagai
akan diuraikan kemudian. berikut : (a) kerjasama, (b) saling menunjang,
(c) menyenangkan, (d) tidak membosankan, (e)

262
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA 2017
ISBN 978-602-19411-2-6

belajar dengan gairah, (f) pembelajaran dasar dan menengah, yang secara umum
terintegrasi, (g) siswa aktif, (h) sharing dengan meliputi aspek-aspek sebagai berikut :
teman, (i) menggunakan berbagai sumber, (j) (a) Persatuan dan Kesatuan Bangsa,
siswa kritis dan guru kreatif, (k) dinding kelas meliputi hidup rukun dalam perbedaan, cinta
dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya lingkungan, kebanggaan sebagai bangsa
siswa, dan (l) laporan kepada orang tua bukan Indonesia, sumpah pemuda, keutuhan negara
rapor, melainkan hasil karya siswa. kesatuan republik Indonesia, partisipasi dalam
pembelaan negara, sikap positif terhadap megara
Pendidikan kewarganegaraan sebagai “pintu Kesatuan republik Indonesia, keterbukaan dan
masuk” jaminan keadilan; (b) Norma, Hukum dan
Dalam ruang lingkup tema dan obyek kajian Peraturan, yang meliputi tertib dalam
ini (yakni : peningkatan literasi politik pemilih kehidupan keluarga, tata tertib di sekolah, norma
pemula dengan segmen pelajar yang berlaku di masyarakat, peraturan-peraturan
SMA/MA/SMK), salah satu “pintu masuk” yang daerah, norma-norma dalam kehidupan
paling relevan untuk mengimplementasikan berbangsa dan bernegara, sistem hukum dan
pembelajaran kontekstual adalah proses peradilan internasional; (c) Hak Asasi Manusia,
pembelajaran dalam mata pelajaran Pendidikan meliputi hak dan kewajiban anak, hak dan
Kewarganegaraan (civic education). Pendidikan kewajiban anggota masyarakat, instrument
Kewarganegaraan merupakan salah satu mata nasional dan internasional HAM, pemajuan,
pelajaran yang termasuk dalam kelompok wajib. penghormatan dan perlindungan HAM; (d)
Pelajaran ini diberikan kepada peserta didik Kebutuhan Warga Negara, meliputi hidup
sejak pendidikan dasar, menengah hingga gotong royong, harga diri sebagai warga
perguruan tinggi (umumnya diberikan di masyarakat, kebebesan berorganisasi,
semester satu) pada semua program kebebasanmengeluarkan pendapat, menghargai
studi/jurusan. Pada tingkat pendidikan dasar dan keputusan bersama, prestasi diri, persamaan
menengah, mata pelajaran ini dapat dikatakan kedudukan warga negara; (e) Konstitusi Negara,
sebagai satu-satunya pelajaran yang memuat meliputi proklamasi kemerdekaan dan konstitusi
secara khas mater-materi pembelajaran yang pertama, konstitusi-konstitusi yang pernah
berhubungan langsung dengan isu-isu politik, digunakan di Indonesia, hubungan dasar negara
kenegaraan dan pemerintahan, termasuk di dengan konstitusi-konstitusi yang pernah
dalamnya kajian mengenai ideologi, konstitusi, digunakan di Indonesia, hubungan dasar negara
dan demokrasi. dengan konstitusi; (f) Kekuasaan dan Politik,
Secara akademik, pendidikan meliputi pemerintahan desa dan kecamatan,
kewarganegaraan adalah program pendidikan pemerintahan daerah dan otonomi pemerintah
yang berfungsi untuk membina kesadaran warga pusat, demokrasi dan sistem politik, budaya
negara dalam melaksanakan hak dan politik, budaya demokrasi menuju masyarakat
kewajibannya sesuai dengan jiwa dan nilai madani, sistem pemerintahan, pers dalam
konstitusi yang berlaku (UUD 1945) (Al Hakim masyarakat demokrasi; (g) Pancasila, meliputi
dkk, 2012: 8). Tesis tersebut secara substantif kedudukan pancasila sebagai dasar negara dan
sama dengan rumusan yang terdapat di dalam ideologi negara, proses perumusan pancasila
lampiran Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 sebagai dasar negara, pengamalan nilai-nilai
tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan pancasila dalam kehidupan sehari-hari, pancasila
Dasar dan Menengah, bahwa Mata Pelajaran sebagai ideologi terbuka; dan (h) Globalisasi,
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata meliputi globalisasi di lingkungannya, politik
pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan luar negeri Indonesia di era globalisasi, dampak
warga negara yang memahami dan mampu globalisasi, hubungan internasionl dan
melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk organisasi internasional, dan mengevaluasi
menjadi warga negara yang cerdas, terampil, globalisasi.
dan berkarakter yang diamanatkan oleh Garis besar aspek-aspek tersebut kemudian
Pancasila dan UUD 1945. dielaborasi dan diperluas lebih kongkret di
Di dalam Permendiknas tersebut juga dalam materi buku ajar sebagai berikut : (1)
dirumuskan ruang lingkup mata pelajaran Materi Kelas X meliputi tema-tema : Hakikat
Pendidikan Kewarganegaraan untuk pendidikan Bangsa dan Negara; Sistim Hukum dan

263
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA 2017
ISBN 978-602-19411-2-6

Peradilan Nasional; Pemajuan, Penghormatan,


Constructivism (Konstruktivisme).
dan Perlindungan Hak Azasi Manusia;
Kontrukstivisme merupakan landasan berpikir
Hubungan Dasar Negara dengan Konstitusi;
pendekatan kontekstual, dimana pengetahuan
Persamaan Kedudukan Warga Negara; dan
dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit,
Sistem Politik Indonesia; (2) Materi Kelas XI
yang hasilnya diperkuat melalui konteks yang
meliputi tema-tema : Budaya Politik Indonesia;
terbatas (sempit) dan tidak tiba-tiba (Suryanti
Budaya Demokrasi menuju Masyarakat Madani;
dkk, 2008:7). Gagasan konstruktivisme sebagai
Keterbukaan dan Keadilan dalam Kehidupan
komponen pertama pembelajaran kontekstual
Berbangsa dan Bernegara; Hubungan
lebih menekankan pada aktivitas siswa dalam
Internasional dan Organisasi Internasional, dan;
menemukan dan membangun (mengkonstruksi)
Sistim Hukum dan Peradilan Internasional; (3)
pemahaman sendiri daripada kemampuan
Materi Kelas XII meliputi tema-tema : Pancasila
menghafal teori-teori yang ada dalam buku
sebagai Ideologi Terbuka; Sistem Pemerintahan;
pelajaran. Karenanya siswa perlu dikondisikan
Peranan Pers dalam Masyarakat Demokrasi,
untuk terbiasa mengidentifikasi masalah dan
dan; Dampak Globalisasi (Budiyanto, 2007).
belajar mencarikan/memikirkan sendiri
Dengan memahami ruang lingkup serta
solusinya; menemukan hal-hal yang berguna
rincian materi tersebut secara utuh dan memadai
bagi dirinya; dan bergelut dengan gagasan-
(sesuai level pendidikan menengah tingkat atas),
gagasan kreatif dan inovatif. Siswa harus
dan diberikan dengan pendekatan kontekstual
mengkonstruksi pengetahuan di benak mereka
secara hipotetis para pelajar SMA/MA/SMK
sendiri, karena guru yang bertugas untuk
sebagai kelompok pemilih pemula
mentransfer ilmu tidak akan mungkin mampu
sesungguhnya sangat potensial untuk menjadi
memberikan semua pengetahuan pada siswa.
pemilih yang literate (melek) secara politik;
Dengan dasar tersebut, pembelajaran harus
cerdas, kritis, rasional dan bertanggungjawab.
dikemas menjadi proses “mengkonstruksi”
Jika sejauh ini hipotesa sekaligus harapan itu
pengetahuan dan bukan hanya sekedar
belum terbukti, penulis menduga salah satunya
“menerima” pengetahuan (Ya’cub: 2005, 178).
karena berbagai materi yang sangat penting dan
Dalam konteks isu pemilu atau pilkada,
strategis itu disampaikan dengan pendekatan
prinsip kontsruktivisme ini misalnya dapat
pembelajaran konvensional yang masih jauh dari
dipraktikkan oleh para guru pendidikan civic
kemampuan membuat para siswa menjadi cerdas
cukup dengan cara (sebagai pengantar)
dan kritis sebagai pemilih. Suatu pembelajaran
menjelaskan secara ringkas dan padat hakikat
yang hanya fokus pada peningkatan kemampuan
pemilu/pilkada dalam negara demokrasi (bahwa
kognisi dan gagal membangun kecerdasan serta
rakyat yang berdaulat); arti pentingnya bagi
mengembangkan daya kritis sosio-politik
kehidupan bermasyarakat dan bernegara; dan
peserta didik.
konsekuensi setiap pilihan warga. Uraian ini
kemudian dilengkapi dengan beberapa contoh
Implementasi pembelajaran kontekstual :
kasus faktual yang para siswa sendiri dengan
kasus pemilu
mudah dapat mengamatinya dalam kehidupan
Berikut ini adalah implementasi pendekatan
keseharian. Selanjutnya para siswa didorong,
pembelajaran konteksual untuk meningkatkan
dipancing dan dirangsang untuk memikirkan,
literasi politik para pemilih pemula pada segmen
mengidentifikasi, dan membangun sendiri
pelajar SMA/MA/SMK dalam kegiatan pemilu.
pengetahuannya secara kreatif dalam lanskap
Perlu segera dikemukakan, bahwa implementasi
pelaksanaan kegiatan kepemiluan.
pembelajaran kontekstual melalui “pintu masuk”
Inquiry (Menemukan). Menemukan
mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan ini
merupakan bagian inti dari pembelajaran
diproyeksikan untuk semua siswa
berbasis kontekstual, artinya proses
SMA/MA/SMK mulai dari Kelas X. Artinya
pembelajaran didasarkan pada pencapaian dan
model pembelajaran kontekstual ini
penemuan melalui proses berpikir secara
dipraktikkan 2 (dua) tahun lebih awal sebelum
sistematis (Ya’cub, 2005:78). Sebagai sebuah
mereka masuk ke dalam kategori atau terdaftar
proses, prinsip inkuiri dalam pembelajaran
sebagai pemilih pemula, dengan asumsi pemilu
kontekstual secara umum memiliki siklus
pertama yang akan mereka ikuti adalah ketika
sebagai berikut: observasi (observation),
berada di Kelas XII.

264
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA 2017
ISBN 978-602-19411-2-6

bertanya (questioning), mengajukan dugaan belajar, karena dengan kegiatan bertanya guru
(hypothesis), pengumpulan data (collecting dapat memotivasi bahkan bisa menilai sejauh
data), dan penyimpulan (conclusion). Artinya mana keberanian dan kemampuan berpikir
pembelajaran dimulai dengan observasi, seorang siswa dalam mengkonstruk pengetahuan
kemudian mengajukan pertanyaan, merumuskan dan pemahaman yang ingin didapatkannya
hipotes, mengumpulkan data/informasi, hingga (Rudiyanto, 2009: 233).
berujung pada pengambilan kesimpulan. Siklus Kegiatan bertanya merupakan interaksi
kegiatan inkuiri ini tentu saja dilakukan oleh majemuk (multiple interactions) antara guru
para siswa dengan materi atau isu dan aspek- dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan
aspek teknis metodologisnya dipersiapkan oleh siswa, dan antara siswa dengan orang
guru. Dengan demikian dalam konteks ini guru berpengetahuan lainnya. Aktivitas-aktivitas
dituntut untuk lebih menyiapkan teknik dan tesebut dapat terlihat jelas pada saat diskusi,
proses pembelajaran daripada materi pelajaran kegiatan dalam komunitas/masyarakat belajar,
itu sendiri, apalagi yang sifatnya materi-materi bekerja secara berpasangan (work in pairs or in
hafalan. group), dan lain sebagainya. Dharma Kesuma
Dalam konteks kepemiluan, komponen dkk (2010: 65) memetakan kegunaan kegiatan
inkuiri ini dapat diimplementasikan misalnya questioning dalam proses pembelajaran sbb : 1)
dengan mengambil suatu isu penting dan menggali informasi, baik yang bersifat
populer untuk dijadikan materi pembelajaran. administrasi maupun akademis 2) mengecek
Guru tentu dapat menginisiasi atau menawarkan tingkat pemahaman siswa 3) membangkitkan
misalnya isu money politics, cukup menawarkan respon siswa 4) mengukur sejauh mana rasa
dan memberikan sedikit uraian apa yang keingintahuan siswa 5) mengetahui hal-hal yang
dimaksud dengan kosakata ini. Proses belum diketahui siswa 6) memfokuskan
pembelajaran selanjutnya dilakukan bersama- perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki
sama dengan para siswa, dimana posisi guru guru 7) memberikan stimulus agar siswa bisa
cukuplah mendampingi dan memfasilitasi secara memiliki pertanyaan-pertanyaan yang kreatif,
terbatas. Mengikuti siklus inkuiri, mula-mula menarik dan menantang 8) menyegarkan
para siswa ditugaskan melakukan observasi kembali pengetahuan siswa. Sementara bagi
(pengamatan). Observasi ini dilakukan para siswa kegiatan bertanya adalah hal penting
sedemikian rupa oleh para siswa hingga yang perlu dilakukan dalam pembelajaran
melahirkan berbagai kemungkinan pertanyaan berbasis kontekstual, yakni untuk menggali
dalam benak mereka : mengapa terjadi money informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah
politics ? faktor-faktor apa yang telah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada
mengakibatkan terjadinya money politics ? apa aspek yang belum diketahuinya (Suryanti dkk,
saja dampak yang bisa terjadi sebagai akibat 2008:9).
money politics, dst. Berdasarkan hasil observasi Dalam konteks isu-isu kepemiluan,
itu para siswa diajak untuk merumuskan komponen questioning ini tentu mudah
jawaban sementara (hipotesa) masing-masing dilakukan dan memiliki bahan/materi yang
sesuai dengan pertanyaan yang muncul. sangat kaya. Mulai dari konsep-konsep terkait
Tahapan selanjutnya para siswa ditugaskan demokrasi, pemilu dan pemerintahan; hingga ke
untuk mengumpulkan sebanyak mungkin isu-isu kontemporer elektorasi seperti isu money
data/informasi menyangkut isu money politics politics, dinasti politik, pemilu yang
sesuai dengan pilihan aspeknya. Tahap akhir berintegritas dll. Tetapi hal terpenting dalam
guru memfasilitasi para siswa untuk penerapan komponen bertanya ini adalah
mengemukakan kesimpulan masing-masing. bagaimana guru mampu menstimulus rasa ingin
Kesimpulan inilah penemuan mereka; hasil tahu para siswa sehingga mendorong mereka
proses inkuiri para siswa. Kegiatan ini tentu saja untuk bertanya secara cerdas dan kritis
dapat dilakukan secara berkelompok. menyangkut berbagai isu penting kepemiluan.
Questioning (Bertanya). Bertanya Learning Community/Society (Kelompok/
merupakan kegiatan yang sangat mendasar bagi Masyarakat Belajar). Pentingnya penerapan
guru maupun siswa dalam pembelajaran konsep Learning Community atau Learning
berbasis kontekstual. Bahkan bertanya Ssociety dalam pembelajaran didasarkan pada
merupakan kegiatan utama dari semua aktivitas gagasan bahwa hasil capaian pembelajaran yang

265
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA 2017
ISBN 978-602-19411-2-6

dilakukan secara kelompok atau komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU)


kerjasama/teamwork akan lebih baik sebagai model sekaligus menjadi narasumber
dibandingkan dengan hasil capaian untuk membedah dan mendiskusikan secara
pembelajaran individual. Konsep ini diadopsi terbuka dan kritis aspek-aspek tertentu dari isu-
dan menjadi bagian penting dari komponen isu elektorasi sesuai penjadualan materi
pembelajaran kontekstual. Hasil belajar dalam pembelajaran.
proses learning community dapat diperoleh Reflection (Refleksi). Refleksi pada
dengan cara sharing antar teman, antar dasarnya merupakan kegiatan berpikir mengenai
kelompok; yang sudah tahu memberi tahu apa yang sudah dilakukan/sudah terjadi/masa
kepada yang belum tahu, yang pernah memiliki lalu; merenungkannya secara jernih, kemudian
pengalaman membagikan pengalamannya pada mengkontekstualisasikannya dengan masa kini
orang lain, juga melalui informasi yang didapat untuk kepentingan masa mendatang. Dalam
di ruang kelas, luar kelas, keluarga, serta konteks pembelajaran, reflection berarti upaya
masyarakat di lingkungan sekitar yang think back (berpikir ke belakang) tentang apa
merupakan bagian dari komponen masyarakat yang sudah dilakukan di masa lalu, dan berpikir
belajar (Suryanti dkk, 2008:9). tentang apa yang baru dipelajari dalam sebuah
Dalam konteks materi pemilu atau pilkada, pembelajaran oleh siswa. Dalam hal ini siswa
sebagaiman telah disinggung dalam pembahasan mengendapkan apa yang baru dipelajarinya
komponen inquiry di atas, penerapan komponen sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang
learning community atau learning society dapat merupakan pengayaan atau revisi dari
dilakukan untuk membahas dan mendiskusikan pengetahuan sebelumnya (Ya;cub, 2005:68).
semua isu kepemiluan, terutama menyangkut Dalam konteks pengetahuan dan pengalaman
berbagai problematika mutakhir (aktual) seperti kepemiluan, salah satu hal penting dengan
proses kandidasi yang kerap didominasi oleh penerapan komponen ini adalah untuk
figur-figur yang kaya raya atau isu mahar memastikan bahwa pengetahuan dan
politik, selain problematika money politcs dan pengalaman pembelajaran para siswa mengenai
dinasti. isu-isu demokrasi, elektorasi dan
Modelling (Pemodelan). Modelling atau penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan
pemodelan adalah sebuah pembelajaran berkesinambungan. Karena setiap konsep dan
keterampilan atau pengetahuan tertentu, dengan isu yang didiskusikan pada dasarnya memiliki
menyediakan model (contoh) yang bisa diamati keterkaitan dengan isu-isu lainnya. Dengan cara
dan ditiru oleh setiap siswa. Dalam kelas demikian para siswa akan merasakan bahwa
pembelajaran kontekstual, kegiatan modelling pengetahuan dan pengalaman pembelajaran
tidak menjadikan guru sebagai satu satunya yang telah dilaluinya bersifat utuh dan
model dalam belajar, tetapi dapat juga karenanya menjadi sangat bermakna bagi
memanfaatkan siswa yang dianggap memiliki pribadinya sebagai warga negara dan secara
kemampuan untuk khusus sebagai calon pemilih pada suatu pemilu
memperagakan/mendemonstrasikan sesuatu di di masa mendatang.
depan kelas kepada teman-temannya, seorang Authentic Assessment (Penilaian
ahli yang didatangkan di kelas, media belajar Sebenarnya). Komponen terakhir dalam
dan lain-lain (Kesuma dkk, 2010:67). Menurut pembelajaran kontekstual adalah Authentic
Ya’cub (2005:179), belajar dengan cara seperti Assessment, yakni proses pengumpulan berbagai
ini akan membuat hasil pengetahuan yang data otentik yang bisa memberikan gambaran
diperoleh siswa lebih melekat dalam diri siswa, pengetahuan perkembangan belajar siswa.
dan mereka akan lebih mudah menerapkannya Gambaran perkembangan belajar siswa perlu
dalam kehidupan sehari-hari, karena mereka diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa
telah melihat dan bisa mengamati suatu siswa mengalami proses pembelajaran dengan
contoh/model konkrit dari pengetahuan yang benar (Kesuma dkk, 2010:69). Dalam
ingi mereka dapatkan. pembelajaran kontekstual assesment idealnya
Dalam konteks kegiatan kepemiluan, dilakukan sepanjang dan terintegrasi dalam
implementasi komponen modelling ini misalnya proses pembelajaran, tidak hanya dilakukan
dilakukan dengan cara guru mengundang pada akhir semester. Dengan demikian data
anggota DPRD atau politisi, atau mungkin penilain yang terkumpul diperoleh dari kegiatan

266
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA 2017
ISBN 978-602-19411-2-6

nyata yang dikerjakan siswa pada saat politik untuk bisa sampai pada level sebagai
melakukan proses pembelajaran. Ini artinya pemilih dengan tingkat literasi minimal
dalam pembelajaran kontekstual para guru memadai. Oleh karena itu diperlukan ikhtiar-
dituntut melaksanakan penilaian dengan ikhtiar kongkret dan berkesinambungan untuk
dukungan data yang valid, reliable, dan meningkatkan literasi politik mereka.
menyeluruh sehingga hasil yang diperoleh dari Jalan untuk meningkatkan literasi politik
penilaian kelas kontekstual dapat memenuhi warga negara, khususnya para pemilih pemula
sasaran untuk mencapai tujuan pendidikan secara umum dilakukan melalui pendidikan
dengan sebaik-baiknya (Ya’cub, 2005:180). politik atau pendidikan kewarganegeraan.
Dalam konteks kajian peningkatan literasi Dalam konteks tahapan elektorasi upaya ini
politik pemilih pemula ini, tujuan pendidikan dilakukan melalui sosialisasi atau pendidikan
kewarganegaraan, selain tentu saja tercapainya pemilih (voter education) yang terbatas dari sisi
berbagai kompetensi normatif sebagaimana waktu, cakupan keluasan peserta, maupun
telah dirumuskan dalam perundang-undangan, materinya. Itulah sebabnya program-program
adalah juga meningkatnya secara signifikan sosialisasi atau pendidikan pemilih yang
literasi politik para siswa sebagai calon pemilih dilakukan oleh penyelenggara pemilu maupun
pemula. Melalui perangkat dan model authentic peserta pemilu (partai atau kandidat) secara
assesment ini perkembangan literasi politik para hipotetis sejauh ini belum berhasil membangun
siswa dapat diukur dari waktu ke waktu secara dan menumbuhkan literasi politik yang ideal
lebih akurat, karena pengukurannya dilakukan terutama pada segmen pemilih pemula,
secara terintegrasi dalam proses pembelajaran khususnya para pelajar SMA/MA/SMK.
keseharian, yang karenanya juga dapat dipantau Beberapa indikasi belum hadirnya literasi politik
perkembangannya setiap pekan dan bulan. yang baik adalah masih maraknya praktik-
praktik money politics setiap kali pemilu dihelat;
PENUTUP kecenderungan orientasi dan preferensi pilihan
Simpulan politik yang masih emosional; dan masih cukup
Pemilu berkulitas yang menjadi salah satu tingginya angka golput, bahkan yang sama
prasyarat hadirnya kehidupan politik yang sekali tidak peduli dengan kegiatan pemilu.
demokratis membutuhkan prakondisi adanya Salah satu jalan alternatif untuk
para pemilih yang literate (melek) secara politik, meningkatkan literasi politik yang lebih efektif
yang memungkinkan partisipasi pemilih bukan dan produktif dibandingkan dengan kegiatan-
saja tingi secara kuantitas, melainkan juga kegiatan sosialisasi dan pendidikan pemilih,
bermutu derajat kualitasnya. Pemilih yang khususnya bagi kalangan pemilih pemula pada
literate secara politik adalah pemilih yang segmen pelajar SMA/MA/SMK adalah melalui
memahami, selain aspek-aspek pengetahuan pendekatan pembelajaran kontekstual
teknis elektorasi, juga memahami aspek-aspek (contextual teaching and learning), dengan
yang bersifat substantif dari isu-isu politik mengambil materi pelajaran Pendidikan
jangka panjang dan bersifat keseharian (daily Kewarganegaraan (civic education) sebagai
governing) seperti isu policymaking, dampak “pintu masuk”. Pembelajaran kontekstual adalah
suatu kebijakan politik terhadap kehidupan suatu model pembelajaran yang
warga negara dll. Selain itu, pemilih yang melek menghubungkan materi belajar dengan konteks
politik diharapkan juga akan memiliki integritas atau situasi ril (nyata). Model pembelajaran ini
tinggi, kecerdasan dan daya kritis, serta lebih efektif dan produktif karena, selain
rasionalitas dan tanggungjawab politik sebagai dilakukan dengan ragam metode yang
warga negara. memberdayakan, mendorong kemandirian,
Pemilih literate tidak dapat hadir dengan memicu daya kritis dan menumbuhkan
sendirinya dalam kegiatan-kegiatan politik yang kreatifitas peserta didik, juga berlangsung dalam
kompleks. Mereka, terutama para pemilih kurun waktu yang relatif panjang (selama
pemula yang untuk pertama kalinya menjadi siswa). Melalui model pembelajaran
menggunakan hak pilih dalam suatu pemilu kontekstual ini mereka dipersiapkan secara lebih
adalah para amatir dalalm politik (political matang untuk menjadi pemilih pemula yang
amateurs), yang perlu mendapatkan pendidikan cerdas, kritis, rasional dan bertanggungjawab.

267
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA 2017
ISBN 978-602-19411-2-6

Saran Tentu akan sangat baik jika ikhtiar ini


Berdasarkan telaah literatur dan diskusi di ditindaklanjuti dengan riset-riset lapangan yang
atas, tulisan ini merekomendasikan beberapa lebih komprehensif dan tuntas.
saran berikut.
Pertama, pendidikan politik atau voter DAFTAR PUSTAKA
education sebagai upaya untuk meningkatkan Al Hakim, Suparlan dkk., 2012. Pendidikan
literasi politik pemilih pemula hendaknya Kewarganegaraan dalam Konteks Indonesia,
dilakukan lebih dini dan dalam durasi waktu Malang : Universitas Negeri Malang.
yang relatif panjang, sekurang-kurangnya sejak Aqib, Zainal, 2013. Model-model, Media, dan
kelas X dan selama masa belajar di tingkat Strategi Pembelajaran Kontekstual
sekolah menengah atas (SMA/MA/SMK), (Inovatif), Bandung: Yrama Widya.
dengan menggunakan model pembelajaran Bakti, Andi Faisal, 2012. Literasi Politik dan
kontekstual dan mengintegrasikannya dengan Kondolidasi Demokrasi. Jakarta: Churia
mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Press.
(civic education). Dengan demikian para pelajar Budiyanto, 2007. Pendidikan Kewarganegaraan
sebagai calon pemilih pemula memiliki Untuk SMA Kelas X, XI, XII, Jakarta :
kesempatan yang lebih lama, bahkan juga lebih Penerbit Erlangga.
intens dari sisi penyerapan dan penghayatan Cassel, C. A., & Lo, C. C., 1997. “Theories of
pengetahuan, sikap dan perilaku politik- Political Literacy” dalam jurnal Political
kenegaraan, untuk mempersiapkan diri menjadi Behavior, Volume 19, Nomor 4 Tahun 1997.
pemilih pemula yang cerdas, kritis, rasional dan Crick, Bernard, 2000. Essays on Citizenship,
bertanggungjawab di kemudia hari. Dalam London : Bloomsbury Publishing.
kaitan ini semua tema materi pembelajaran di Echols, John. M dan Hassan S, 1989. Kamus
dalam buku pendidikan kewarganegaraan dapat Indonesia Inggris, Jakarta: PT Gramedia.
dihubungkan sedemikian rupa dengan Gafar, Affan, 1994. “Javanese Voters: A Case
kebutuhan peningkatan literasi politik para Study of Election Under A Hegemonic Party
siswa. System’, dalam The Journal of Asian Studies.
Kedua, terkait dengan poin pertama, Huntington, Samuel P. dan Joan M. Nelson,
ketersediaan guru-guru pengampu mata 1972. No Easy Choice : Political
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang Participation in Developing Countries,
memahami secara lebih mendalam, luas, dan Cambridge : Harvard University Press.
komprehensif isu-isu politik (khususnya tema Johnson, Elaine B., 2011. CTL, Contextual
demokrasi dan elektorasi), kenegaraan dan Teaching and Learning: Menjadikan
pemerintahan menjadi suatu keniscayaan. Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikkan
Karena itu penting untuk diprogram dan dan Bermakna, Bandung: Kaifa.
diupayakan langkah-langkah kongkret untuk Karim, Abdul Gaffar dkk, 2015. “Memahami
memperkuat dan mengembangkan literasi Tingkat Melek Politik Warga di Kabupaten
politik para guru mata pelajaran ini secara Sleman”, Laporan Penelitian, Sleman : JPP
simultan misalnya melalui pelatihan dan FISIPOL UGM dan KPU Kabupaten Sleman.
pendidikan khusus demokrasi, kepemiluan dan Kesuma, Dharma dkk. 2010. Contextual
kepemerintahan untuk para guru pengampu mata Teaching and Learning, Garut: Rahayasa
pelajaran pendidikan kewarganegaraan. Research & Training.
Ketiga, akan sangat baik jika gagasan ini Komalasari, Kokom, 2010. Pembelajaran
disinergikan dalam bentuk program pendidikan Kontekstual, Konsep dan Aplikasi, Bandung:
kewarganegaraan bersama yang terintegrasi di PT Refika Aditama.
antara para pemangku kepentingan Kumoro, Bawono, 2013. “Pemilih Pemula”,
(stakeholders), khususnya institusi-institusi dalam Kolom http://www.tempo.co. Diakses
penyelenggara kepemiluan, kependidikan, tanggal 15 April 2017.
kepemudaan dan pemerintah daerah Madhok, S., 2005. “Autonomy, Political
(Kesbangpol). Literacy and the "Social Woman": Towards a
Keempat, secara akademik kajian literatur ini Politics of Inclusion”, dalam C. Bates, & S.
barulah merupakan suatu ikhtiar pendahuluan. Basu (Eds.), Rethinking Indian Political
Institutions, London: Anthem.

268
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA 2017
ISBN 978-602-19411-2-6

Marijan, Kacung, 2011. Sistem Politik Indonesia Learning in Englsih Class”, dalam Jurnal
: Konsolildasi Demokrasi Pasca-Orde Baru, Okara, Vol.II No.4, November 2009.
Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Suprijono, Agus, 2009. Cooperative Learning,
McClosky, Herbert, 1972. “Political Teori & Aplikasi PAIKEM. Surabaya:
Participation”, dalam International Pustaka Pelajar
Encyclopedia of the Social Sciences, New Suryanti, dkk., 2008. Model-model
York : The Macmillan Company. Pembelajaran Inovatif, Surabaya: UNESA
Nivada, Aryos dkk, 2015. “Tingkat Melek University Press.
Politik (Political Literacy) Warga Kota Suwanti, Ninuk Cucu, 2014. “Peta Pemilih
Banda Aceh”, Laporan Penelitian, Banda Pemula Pemilu 2014”, dalam
Aceh : Jaringan Survey Inisiatif dan KIP http://www.sinarharapan.co. Diakses tanggal
Kota Banda Aceh. 15 April 2017.
Putri, Nora Eka, 2015. “Peningkatan Literasi Ya’cub, Mihmidaty, 2005. Penerapan CTL
Politik Melalui Kebijakan Berbasis Gender dalam Pembelajaran Ilmu Agama dan Umum
Di Kabupaten Solok”, dalam Kafa’ah : di Pesantren Hidayatullah Surabaya”, dalam
Jurnal Ilmiah Kajian Gender, Volume V Jurnal Nizamia, Vol.8, No.2, Desember
Nomor 1 Tahun 2015. 2005.
Rudiyanto, Mohammad, 2009. “The
Implementation of Contextual Teaching and

269
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA 2017
ISBN 978-602-19411-2-6

270

Anda mungkin juga menyukai