Anda di halaman 1dari 24

Nama: Rafti Safira

NPM : 200405010005
Kelas: Hukum, 2020A

Soal:
Didalam proses penyelidikan terhadap obyeknya, ilmu negara sebagai
Ilmu mempunyai metode penyelidikan, sebut dan jelaskan metode-
metode yang digunakan dalam penyelidikan ilmu negara.?

1. Ilmu negara  
              Kelahiran dan keberadaan Ilmu Negara tidak dapat lepas dari jasa George
Jellinek, seorang pakar hukum dari Jerman yang kemudian dikenal sebagai bapak
Ilmu Negara, pada tahun 1882 ia telah menerbitkan buku dengan judul Allgemeine
Staatslehre (Ilmu Negara Umum), buku ini kemudian menjadi cikal bakal lahirnya
Ilmu Negara. Istilah Ilmu Negara dikenal dengan beberapa istilah, antara lain:
1. di Belanda dikenal dengan istilah Staatsleer,
2. di Jerman dikenal dengan istilah Staatslehre,
3. di Perancis dikenal dengan istilah Theorie d’ etat, sedangkan
4. di Inggris dikenal dengan istilah Theory of State, The General Theory of
State, Political Science, atau Politics.
             Dalam menyusun bukunya Allgeimeine Staaslehre George Jellinek
menggunakan methode van systematesering (metode sistematika), dengan cara
mengumpulkan semua bahan tentang ilmu negara yang ada mulai zaman kebudayaan
Yunani sampai pada masanya sendiri (sesudah akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20
dan bahan-bahan itu kemudian disusunnya dalam suatu sistem.
            Berkaitan dengan perbedaan penyelidikan objek antara Ilmu Negara dengan
Ilmu Lain yang pembahasan sama, yaitu Negara, bahwa Hukum Tata Negara RI dan
Ilmu Politik Kenegaraan memandang objeknya, yaitu negara dari sifatnya atau
pengertiannya yang konkret, artinya objeknya itu sudah terikat pada tempat, keadaan
dan waktu, jadi telah mempunyai objek yang pasti, misalnya negara Republik
Indonesia, negara Inggris, negara Jepang dan seterusnya. Kemudian, dari negara
dalam pengertiannya yang konkret itu diselidiki atau dibicarakan lebih lanjut
susunannya, alat-alat perlengkapannya. Wewenang serta kewajiban daripada alat-alat
perlengkapan tersebut dan seterusnya.
           Sedangkan Ilmu Negara memandang objeknya itu, yaitu Negara, dari sifat atau
pengertiannya yang abstrak, artinya objeknya itu dalam keadaan terlepas dari tempat,
keadaan dan waktu, belum mempunyai ajektif tertentu, bersifat abstrak-umum-
universal.

1.Pengertian Negara dan Unsur-unsurnya
Istilah negara sudah dikenal sejak zaman Renaissance, yaitu pada abad ke-15. Pada
masa itu telah mulai digunakan istilah Lo Stato yang berasal dari bahasa Italia, yang
kemudian menjelma menjadi L’etat’ dalam bahasa Perancis, The State dalam bahasa
Inggris atau Deer Staat dalam bahasa Jerman dan De Staat dalam bahasa Belanda.
Ada beberapa pendapat mengenai pengertian negara seperti dikemukakan oleh
Aristoteles, Agustinus, Machiavelli dan Rousseau.
Sifat khusus daripada suatu negara ada tiga, yaitu sebagai berikut.
1 Memaksa
Sifat memaksa perlu dimiliki oleh suatu negara, supaya peraturan perundang-
undangan ditaati sehingga penertiban dalam masyarakat dapat dicapai, serta
timbulnya anarkhi bisa dicegah. Sarana yang digunakan untuk itu adalah polisi,
tentara. Unsur paksa ini dapat dilihat pada ketentuan tentang pajak, di mana setiap
warga negara harus membayar pajak dan bagi yang melanggarnya atau tidak
melakukan kewajiban tersebut dapat dikenakan denda atau disita miliknya.
2 Monopoli
Negara mempunyai monopoli dalam menetapkan tujuan bersama dari masyarakat.
Negara berhak melarang suatu aliran kepercayaan atau aliran politik tertentu hidup
dan disebarluaskan karena dianggap bertentangan dengan tujuan masyarakat.
3 Mencakup semua
Semua peraturan perundang-undangan berlaku untuk semua orang tanpa, kecuali
untuk mendukung usaha negara dalam mencapai masyarakat yang dicita-citakan.
Misalnya, keharusan membayar pajak.
Hal yang dimaksud unsur-unsur negara adalah bagian-bagian yang menjadikan
negara itu ada. Unsur-unsur negara terdiri dari:
1. Wilayah, yaitu batas wilayah di mana kekuasan itu berlaku. Adapun wilayah
terbagi menjadi tiga, yaitu darat, laut, dan udara.
2. Rakyat, adalah semua orang yang berada di wilayah negara itu dan yang
tunduk pada kekuasaan negara tersebut.
3. Pemerintah, adalah alat negara dalam menyelenggarakan segala kepentingan
rakyatnya dan merupakan alat dalam mencapai tujuan.
4. Pengakuan dari negara lain. Unsur ini tidak merupakan syarat mutlak adanya
suatu negara karena unsur tersebut tidak merupakan unsur pembentuk bagi
badan negara melainkan hanya bersifat menerangkan saja tentang adanya
negara. Jadi, hanya bersifat deklaratif bukan konstitutif. Pengakuan dari
negara lain dapat dibedakan dua macam, yaitu pengakuan secara de facto dan
pengakuan secara de jure.
2.Teori Tujuan Negara dan Teori Asal Mula Negara
               Setiap negara mempunyai tujuan yang berbeda-beda. Tujuan negara
merupakan masalah yang penting sebab tujuan inilah yang bakal menjadi pedoman
negara disusun dan dikendalikan sesuai dengan tujuan itu. Mengenai tujuan negara itu
ada beberapa teori, yaitu menurut Lord Shang, Nicollo Machiavelli, Dante, Immanuel
Kant, menurut kaum sosialis dan menurut kaum kapitalis.
              Ada beberapa paham tentang teori tujuan negara, yaitu teori fasisme,
individualisme, sosialisme dan teori integralistik.
Kemudian, mengenai teori asal mula terjadinya negara selain dapat dilihat
berdasarkan pendekatan teoretis, juga dapat dilihat berdasarkan proses
pertumbuhannya.
Asal mula terjadinya negara dilihat berdasarkan pendekatan teoretis ada beberapa
macam, yaitu sebagai berikut.
1 Teori Ketuhanan
Menurut teori ini negara terbentuk atas kehendak Tuhan.
2 Teori Perjanjian
Teori ini berpendapat, bahwa negara terbentuk karena antara sekelompok manusia
yang tadinya masing-masing hidup sendiri-sendiri, diadakan suatu perjanjian untuk
mengadakan suatu organisasi yang dapat menyelenggarakan kehidupan bersama.
3 Teori Kekuasaan
Kekuasaan adalah ciptaan mereka-mereka yang paling kuat dan berkuasa
4 Teori Kedaulatan
Setelah asal usul negara itu jelas maka orang-orang tertentu didaulat menjadi
penguasa (pemerintah). Teori kedaulatan ini meliputi:

a Teori Kedaulatan Tuhan


Menurut teori ini kekuasaan tertinggi dalam negara itu adalah berasal dari Tuhan.
b Teori Kedaulatan Hukum
Menurut teori ini bahwa hukum adalah pernyataan penilaian yang terbit dari
kesadaran hukum manusia dan bahwa hukum merupakan sumber kedaulatan.
c Teori Kedaulatan Rakyat
Teori ini berpendapat bahwa rakyatlah yang berdaulat dan mewakili kekuasaannya
kepada suatu badan, yaitu pemerintah.
d Teori Kedaulatan negara
Teori ini berpendapat bahwa negara merupakan sumber kedaulatan dalam negara.
Kemudian, teori asal mula terjadinya negara, juga dapat dilihat berdasarkan proses
pertumbuhannya yang dibedakan menjadi dua, yaitu terjadinya negara secara primer
dan teori terjadinya negara secara sekunder.
3.Fungsi Negara dan Tipe-tipe Negara
                 Hal yang dimaksud fungsi negara adalah tugas daripada organisasi negara
untuk di mana negara itu diadakan. Mengenai fungsi negara ini ada bermacam-
macam pendapat, seperti Montesquieu, Van Vallenhoven, dan Goodnow. Negara
terlepas dari ideologinya itu menyelenggarakan beberapa minimum fungsi yang
mutlak perlu, yaitu sebagai berikut.
1 Melaksanakan penertiban
Negara dalam mencapai tujuan bersama dan untuk mencegah bentrokan-bentrokan
dalam masyarakat harus melaksanakan penertiban. Jadi, dalam hal ini negara
bertindak sebagai stabilitator.
2 Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.
Setiap negara selalu berusaha untuk mempertinggi kehidupan rakyatnya dan
mengusahakan supaya kemakmuran dapat dinikmati oleh masyarakatnya secara adil
dan merata.
3 Pertahanan
Pertahanan negara merupakan soal yang sangat penting bagi kelangsungan hidup
suatu negara. Untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar diperlukan pertahanan
maka dari itu negara perlu dilengkapi dengan alat-alat pertahanan.
4 Menegakkan keadilan
Keadilan bukanlah suatu status melainkan merupakan suatu proses. Keadilan
dilaksanakan melalui badan-badan pengadilan.
Tipe negara dibagi menjadi dua golongan, yaitu tipe negara menurut sejarahnya dan
tipe negara ditinjau dari sisi hukum.
Tipe negara menurut sejarahnya, dibagi menjadi berikut ini.
1. Tipe negara Timur Purba.
2. Tipe negara Yunani Kuno/Purba.
3. Tipe negara Romawi Kuno/Purba.
4. Tipe negara abad pertengahan.
5. Tipe negara modern.
Sedangkan tipe negara ditinjau dari sisi hukum dibedakan menjadi berikut ini.
1. Tipe negara Polisi (Polizei Staat)
2. Tipe negara hukum, yang dibagi 3 macam, yaitu sebagai berikut.
a. Tipe negara hukum liberal.
b. Tipe negara hukum formil.
c. Tipe negara hukum materiel.
3. Tipe negara Kemakmuran

Konsep Negara
             Konsep merupakan kemponen terpenting untuk tercapainya suatu teori.
Konsep lahir dalam pikiran (mind) manusia sehingga bersifat abstak.
Berikut ini akan diuraikan sejumlah konsep negara dari para ilmuan, filosof, dan
teolog tempo dulu.
1.  Organisasi kebiasaan bersama (public good)
Socrates (469-399 S.M.)
Socrates menjedi kiblat pemikiran karena sering di sebut olah plato dalam karya-
karyanya. Ada pun pemikiran socrates tentang negara adalah bahwa negara bukanlah
organisasi yang dapat dibuat oleh manusia untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi
merupakan jalan susunan objektif berdasarkan pada hakikat manusia sehingga
bertugas menjalankan peraturan-peraturan yang objektif mengandung keadilan dan
kebaikan umum, tidak hanya melayani kebutuhan penguasa yang berganti-ganti
orangnya.
Plato (429-347 S.M.)
Plato adalah murid setia socrates yng banyak memperoleh tradisi keilmuan filsafat
gurunya. Sebagai pemikir reputasi plato barangkali melebihi reputasi gurunya.
Reputasi pemikiran Plato dapat diketahui dari hasil karyanya yaitu :
-          Politeia ( Negara)
-          Politicos ( ahli Negara)
-          Nomea (undang-undang)
Menurut Plato Negara itu adalah merupakan lembaga atau organisasi yang
mementingkan kebajikan (pengetahuan) umum atau kebaikan bersama.
Aristoteles (384-322 S M)
Walaupun Aristoteles merupakan murid dari Plato tapi dalam pemikirannya mengenai
Negara sangatlah berbeda. Aristoteles membahas konsep-konsep dasar ilmu politik,
melalui asal mula Negara, Negara ideal, warga Negara ideal, pembagian kekuasaan
politik, keadilan dan kedaulatan, dan lain sebagainya. Aristoteles mengatakn bahwa
Negara adalah lembaga politik yang paling berdaulat meskipun bukan berarti Negara
tidak memiliki batas kekuasaan. Negara memiliki kekuasaan tertinggi hanya karena ia
merupakan lembaga politik yang memiliki tujuan yang paling tinggi dan mulia.
Tujuan dibentuknya Negara adalah yejahtrakan seluruh warga Negara, atau hamper
sama dengan tujuan hidup manusia. Ini artinya, Negara merupalan organisasi politik
yang bertujuan menggapai kebahagiaan bersama, berbentuk kebahagiaan dengan
jumlah yang besar dengan itu kebahagiaan individu akan tercapai dengan
tersendirinya.

2. Organisasi teokrasi
Santo Agustinus
Pemikiran Agustinus tentang Negara, pertama Negara terdiri dari dua bentuk  yaitu :
Negara Tuhan dan Negara Iblis atau Negara keduniawian.
Dalam Negara tuhan (the city of Good daalm bhs inggris) terdapat kejujuran,
keadilan, keluhuran, dan kesejatraan. Sedangkan Negara Iblis (civitas terena
(yunani) ) diliputi nafsu, penghianatan, kemaksiatan, kejahatan, dan kebobrokan.
Dalam Negara Tuhan tidak dikenal kekuasaan politik, yang ada hanyalah kepatuhan
terhadap Tuhan sebagai implpomentasi langsung dari kedaulatan Tuhan. Keadilan
adalah nilai fundamental dalam Negara Tuhan.
Negara Tuhan ditandain oleh Imam, ketaatan, dan kasih Tuhan, menjunjung tinggi
nilai moralitas terpuji seperti : kejujuran, keadialan, keluhuran budi, keindahan dan
lain-lain. Negara tuhan diciptakan sebelum adanya manusia, bahkan telah ada
sebelum semesta diciptakan.

Ibn Abu Rabi


Berdasarkn interprensi terhadap pemikiran dan gagasan Ibn Abu Rabi mengenai
proses terbentuknya Negara, cara pemilihan kepala Negara, dan pemberhentian
kepala Negara. Disini dijelaskan bahwa manusia adalah jenis mahluk yang saling
memerlukan satu sama lainnya untuk mencapai segala kebutuhannya. Keinginan
mencukupi kebutuhan agar bertahan hidup, dan untuk memperolehnya diperlukan
kerjasama, mendorong mereka berkumpul disuatu tempat, agar mereka bisa saling
menolong dan memberi. Proses inilah yang menyebabkan terbentuknya kota-kota dan
ahirnya menjadi Negara.
Untuk mendirikan Negara diperlukan 5 unsur dan dandi yaitu :
1.      wilayah yang terdiri dari sumberdaya alam seperti air bersih, tanah yang subur,
tempat mata pencarian, terhindar dari serangan musuh, jalan-jalan raya, tempat shalat
ditengah kota, pagar yang menelilingi kota dan pasar-pasar.
2.      Raja atau penguasa sebagai pengeloela Negara yang akan menyelenggarakan urusan
Negara dan rakyat. Penguasa bertugas melindungi rakyatnya dari tindakan aniaya dan
kejahatan yang tibul dari mereka sendiri dan dari luar.
3.      Rakyat, dibagi dalam tujuh kelompok yaitu :
1.      Orang-orang zuhud, yaitu kelompok rakyat atau masyarakat yang lebih
mementingkan ibadah,
2.      hukama 9 golongan candikiawan), yaitu mereka yang mengambil profesi sebagai
ilmuan di bidang ilmu pengetahuan umum,
3.      ulama, yaitu mereka yang berpengetahuan agama,
4.      keluarga raja,
5.      mil;iter sebagai pengawal Negara,
6.      para pedagang,
7.      penduduk desa.
4.      keadilan, merupakan unsur yang penting dari suatu Negara. Keadilan merupakan
hukum Allah di muka bumi dan mencakup pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang
diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
5.      pengelolaan Negara, penjelmaan dan perwujudan hubungan kuat antara raja dan
massa rakyat, raja tidak mungkin mampu sendirian mengelola urusan kerajaan. Ia
membutuhkan orang-orang untuk membantunya, seperti menteri yang berkemampuan
dan berpengalamamn, sekretaris yang arif bijaksana, qadi yang warak, hakim yang
adil, pegawai yang professional, harta yang banyak, militer yang kuat, dan
candikiawan yang berpengalaman.

Al-Ghazali (1058-1111 M.)


Menurut Al-Ghazali manusia adalah mahluk sosial. Manusia diciptakan oleh Allah
tidak bisa hidup sendiri, ia butuh berkumpul bersama yang lain dengan mahluk
sejenisnya. Ada dua factor yang membuat manusia tidak bisa hiidup sendiri yaitu:
1.      Faktor kebutuhan akan keturunan demi kelangsungan hidup  manusia. Hal itu hanya
mungkin melalui pergaulan antara laki-laki dan perempuan serta keluarga.
2.      Faktor saling membantu dalam penyediaan bahan makanan, pakian, dan pendidikan
anak.
          Bagi Al-Ghazali dunia adalah ladang untuk mengumpulkan perbekalan bagi
kehidupan di ahirat nanti, dunia ialah wahana untuk mencari rida Tuhan bagi mereka
yang menganggap sebagai wahana serta jabatan, dan bukan tempat tinggal tetap dan
terakhir. Sedangkan pemanfaatan dunia untuk tujuan ukarawi itu hanya mungkin
kalau terdapat ketertiban, keamanan, dan kesejahtraan yang merata didunia.
Kewajiban mengangkat seorang kepala Negara atau pemimpin Negara tidak
berdasarkan rasio, tetapi berdasarkan keharusan agama. Hal ini disebabkan persiapan
untuk kesejahtraan ukhrawi harus dilakukan melalui pengalaman dan penghayatan
ajaran agama secara benar. Hal itu baru nyata dalam suatu dunia yang tertib, aman,
dan tentram. Untuk itu, diperlukan pemimpin atau kepala Negara yang ditaati. Dalam
hal ini Al-Ghazali menganalogikan agama dan raja sebagai dua anak kembar. Agama
adalah suatu pendasi, sedangkan raja adalah penjaganya. Sesuatu tanpa pondasi akan
mudah runtuh dan suatu pondasi tanpa penjaga akan hilang. Keberadaan
                Dalam memenuhi berbagai kehidupan rakyat, seperti keamanan, ketertiban,
dan kesejahtraan, Negara memerlukan sejumlah unsur yang menjamin tegaknya
Negara, yaitu pertanian, untuk menghasilkan bahan makanan; pengembalaan, untuk
menghasilkan binatang ternak, perburuan dan pertambangan, untuk menghasilkan
binatang buruan dan barabg tambang yang tersimpan di dalam perut
bumi, pemintalan untuk menghasilkan pakaian; pembangunan, untuk menghasilkan
tempat tinggal, politik yang berkaitan dengan pengelolaan Negara, pengaturan kerja
sama antar warga Negara untuk menjamin kepentingan bersama.
                Dalam bidang politik Negara memerlukan pertama ahli pengukur tanah,
untuk mengetahui ukutan tanah milik rakyat dan pembagian secara adil, kedua,
militer untuk memelihara keamanan dan pertahanan Negara; ketiga, kehakiman untuk
menyelesaikan perselisihan dan pertikaian antara warga Negara; keempat, hukum,
yakni undang-undang yang memelihara moral yang harus mereka patuhi agar tidak
terjadi perselisihan dan pelanggaran hak.
              Kekuasaan kepala Negara sultan atau raja tidak datang atau berasal dari
rakyat, tetapi dari Allah, yang diberikan hanya kepada sejumlah kecil hamba pilihan
oleh karena itu kekuasaaan kepada Negara adalah suci (muqaddas), juga sebagai
bayangan dari Allah di muka bumi.
Syarat untuk menjadi kepala Negara adalah :
1.      Dewasa atau aqil balik
2.      Otak yang sehat
3.      Merdeka dan bukan budak
4.      Laki-laki
5.      Keturunan quraisy
6.      Pendengaran dan pengelihatah yang sehat
7.      Kekuasaan yang nyata
8.      Hidayah
9.      Ilmu pengetahuan
10.  wara (kehiidupan yang bersih degan kemampuan mengendalikan diri, tidak
berbuat hal-hal yang bterlarang dan tercela.

3. Organisasi Kekuasaan
Niccolo Machiavelli (1469-1527 M)
Pemikiran Machiavelli mengenai hubungan Negara sebagai organisasi kekuasaan
yaitu :
1.      kekuasaan dan Negara hendaknya dipisahkan dari moralitas dan Tuhan
2.      kekuasaan sebagai tujuan, bukan instrunen untuk mempertahankan nilai-nilai
moralitas dan agama
3.      penguasan yang baik harus mengejar kejayaan dan kekayaan karena keduanya
merupakan nasib mujur yang dimiliki oleh penguasa
4.      kekuasaan merupakan raison d,entre Negara. Negara merupakan simbolis kekuasaan
politik tertinggi yang bersipat mencakup bersama.
5.      dalam mempertahankan kekuasaan setelah merebutnya dibagi menjadi dua yaitu :
-          memusnahkan, membumianguskan seluruh Negara, dan membunuh seluruh 
keluarga penguasa lama.
-          Melakukan kolonisasi dan menjalin baik dengan Negara tetangga dekat
6.      kekuasaan yang didapat secara keji dan jahat bukan merupakan nasib baik. Jika ia
melakukan kekejamann hendaknya mengiringinya dengan tindakan simpati, kasi
sayang kepada rakyat, dan menciptakan kebergantungan rakyat kepadanya untuk
menghindari pembrontakan.
7.      seorang penguasa perlu mempelajari sifat yang terpuji maupun yang tidak terpuji. Ia
harus berani melakukan tindakan yang kejam, bengis, kikir, dan khianat asalkan baik
bagi Negara dan kekuasaan. Untuk mencapai tujuan, cara apapun dapat dilakukan.
Penguasa tidak perlu takut untuk dicintai asalkan ia tidak di bencu rakyat.
8.      penguasa Negara dapat menggunakan cara binatang dalam menghadapi lawan-lawan
politiknya. Seorang penguasa dapat mencontoh peringai singa yang menggretak di
suatu saat dan perangai ruba yang tidak bisa dijebak di saat lain.
9.      sseorng penguasa yang mempunyai sikap yang jelas apakah sembagai musuh atau
kawan akan lebih dihargai daripada bersikap netral.

Thomas Hobbes 91588-1645 M.)


Hobbes mengibaratkan Negara sebagai leviathan, yaitu sejenis moster yang ganas,
menakutkan dan bengis yang terdapat dalam kisah perjanjian lama. Pertama  asumsi
Hobbes adalah :
1.      manusia cendrung mempunyai insting hewani yang kuat;
2.     untuk mencapai tujuannya, manusia cendrung menggunakan instinghewaninya
(leviathan);
3.      manusia akan menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus);
4.      semua manusia akan berperang melawan semua (bellum omnium contra omnes);
dalam keadaan alamiah manusia sering membunuh, sesuatu yang sebenarnya tidak
dikehendaki oleh manusia;
5.      nalar manusia untuk berdamai.
Kontrak Sosial,
            Bahwa terbentuknya suatu Negara atau kedaulatan pada hakekatnya
merupakan sebuah kontrak atau perjanjian sosial. Hanya saja perjanjian itu bukan
antara individu atau antara manusia dengan Negara, melainkan antarindividu saja.
Oleh karena itu, Negara berdiri bebas dan tidak terikat oleh perjanjian. Negara berada
diatas individu. Negara bebas melakukan apa saja yang dikehendakinya, terlepas
apakan sesuai atau tidak dengan kehendak individu.

Ketiga asumsi Negara dan kekuasaan.


Negara perlu kekuatan mutlak untuk mengatur individu atau manusia. Oleh karena
itu, bentuk Negara yang monarki absolut adalah yang terbaik dan niscaya. Untuk
menjunjung kekuasaannya, seorang penguasa monarki memiliki hak-hak istimewa.
Di antaranya, hak menetapakan seorang pengganti, kelak jika sang penguasa
beralangan atau meninggal dunia. Penguasa boleh menunjuk seseorang untuk menjadi
penguasa yang berasal dari kalangan mana pun termasuk anggota keluarganya
sendiri, yang penting adalah apakah penguasa penggantinyaitu melakukan
kewajibannya sebagai penguasa atau tidak.

4.Organisasi Hukum
Thomas Aquineas (1226-1274 M.)
Kekuasaan dan Negara menurut Thomas tidak terlepas dari huum kodrat atau hukum
alam. Hukum abadi adalah kebijaksanaan dan akal budi abadi Tuhan. Bertitik tolak 
dari hukum kodrat tersebut, Thomas berpendapat bahwa eksitensi Negara bersumber
dari sifat alamiah manusia. Salah satu sifat alamiah manusia adalah wataknya yang
bersifat sosial dan politis.hukum kodrat ialah yang mendasari prilaku dan aspirasi
manusia membentuk Negara. Beberapa argument mengapa manusia membutuhkan
Negara :
1.      manusia adalah bagian integral dari alami. Karena itu manusia tidak hanya
bergantung dan membutuhkan manusia lain, melainkan berbagai subtansi alam-
hewan, tumbuhan, mineral, lautan, udara, dan lain-lain.yang berada diatas bumu ini.
2.      sisi lain watak alamiah manusia adalah manusia bertindak sesuai dengan
intelegensinya karena manusia adalah mahluk yang berpikir.
3.      seorang manusia sederajat dengan manusia lainnya. Posisi derajat itu diterima
manusia sejak pertama kalinya manusia dilahirkan ke dunia.

John Locke (1632-1704 M.)


            John Locke percaya bahwa akal senantiasa membuat manusia berperilaku
rasional dan tidak merugikan orang lain. Ini karena akal budi merupakan hukum yang
memiliki sifai-sifat sebagai “suara Tuhan”.
           Prinsip pemikiran Locke yaitu :
1.manusia memiliki kemampuan yang sama untuk mengetahui hukum moral
2. percaya dalam kompetisi kebajikan merupakan gagasan yang radikal.
Dua macam perjanjian tentang penegakan HAM dan kekuasaan hukum masyarakat
yaitu : pactum unions dan pactum subjektionis. Pada tahap pertama diadakan pactum
unions yaitu prjanjin antarindinidu untuk membentuk bodypolitik yaitu Negara.
Kemudian, pada bagian keduan para individu yang membentuk body politik bersama-
sama menyerahkan hak untuk mempertahankan kehidupan dan hak untuk
menghukum yang bersumber dari hukum alam.
Jhon Locke membagi kekuasaan menjadi tiga bentuk yaitu :
1.      kekuasaan pembuat undang-undang atau kekuasaan legislatif (legislative power)
2.      kekuasaan pelaksanaan undang-undang atau kekuasaan eksekutif (executive
power)
3.      kekuasaan federatif (federative power)

Montesquieu (1688-1755 M.)


Montesquieu terkenal dengan karya-karyanya, salah satunay adalah menjadi
penyebab kehanycuran bangsa, yaitu 1) kebijakan konstutisional pokok pemerintahan
yang silih berganti, dan 2) semamngat rakyat untuk melakukan perubahan.
Karyanya yang paling menonjol juga adalah semangat hukum. Dalam bukunya ini
banyak memberikan barbagai alternatif politik yang masuk akal. Seperti halnya buku
teori tentang politik, teori buku ini mempunyai tiga tujuan, antara lain filosofis,
histories, dan polemik. Tujuan filosofis buku ini adalah  pemikiran Montesquieu
dalam karya ini adalah :
1.      Hukum dan bentuk pemerintahan yang ditentukan oleh banyaknya orang yang
berkuasa dan prinsip nilai yang digunakan. Pemerintah dibagi menjadi tiga yaitu :
republik, monarki, dan despotis.republik biasanya berupa demokrasi, atau aristokrasi.
2.     kondisi diatas mempengaruhi gagasan tentang trias politica yang memisakkan
kekuasaan Negara dalam tiga bentuk kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).
Ide ini muncul karena demi terjaminnya kebebasan politik rakyat, perlu diadakan
pemisahan kekuasaan Negara. Ini bertujuan membatasi kekuasaan raja dan
menghindari kekuasaan mutlak yang sewenang-wenang.
3.      Dua factor utama yang membentuk watak masyarakat, yaitu secara geografis yang
mengkibatkan munculnya mental tertentu. Factor moral juga berpengaruh penting
terhadap agama, hukum, kebiasaan,
4.      Masalah undang-undang ekonomi, yang ia khususkan pada perniagaan, memperbaiki
sekaligus merusak tata karma dan nilai moral. Selain itu, ada hubungan antara
perdagangan dan pemerintah. Bahkan kemiskinan diklasifikasikan dalam dua hal ;
karena kekejaman pemerintah dan karena diri sendiri yang menganggap bahwa
kemiskinan merupakan bagian kebebasan mereka.
5.     Organisasi Kedaulatan Rakyat

Al-mawardi (975-1059 M.)


          Manusia menurut mawardi adalah mahluk lemah dan paling banyak
kebutuhannya. Untuk itu manusia memerlukan kerja sama. Allah menciptakan
manusia dengan keadaan lemah dan paling banyak kebutuhan, menurut mawardi,
bertujuan membuat mereka sadar bahwa Dia adalah pencipta dan pemberi rezeki. Dan
yang terpenting dari semua itu adalah agar manusia tidak sombong dan tekabur.
Namun begitu Allah tidak pernah membiarkan manusia menjadfi lemah Dia
membimbing manusia untuk mendaapat kebahagiaan dunia dan akhirat. Kelemahan
manusia yang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebuthan hidupnya
sendiri, dan adanya keragaman dan perbedaan bakat, pembawaan, serta kemampuan,
semua itu mendorong manusia untuk bersatu dan saling membantu, dan akhirnya
sepakat untuk mendirikan Negara.
Menurut mawardi, dari segi politik, Negara itu memerlukan enam sandi utama, yaitu :
1.      Agama yang dihayati,
2.      Penguasa yang berwibawa,
3.      Keadilan yang menyeluruh,
4.      Keamanan yang merata,
5.      Kesuburan tanah yang berkesinambungan,
6.      Harapan keberlangsungan hidup.
Mawardi berpandangan bahwa kepala Negara dibentuk untuk menggantikan fungsi
kenabian guna memelihara agama dan memgatur dunia. Ini artinya seorng kepala
Negara adalah pemimpin agama di satu pihak dan pemimpin politik di pihak lain.
Untuk mengangkat kepala Negara terdapat beberapa cara. Salah satunya adalah cara
pemilihan oleh mereka yang berwenang mengikat dan melepas, yaitu para ulama,
candikiawan, dan pemunka masyarakat. Tugas terpenting anggota lembaga pemilih
adalah mengadakan penilaian lebih dahulu terhadap kandidat kepala Negara apakah
dia memenuhi persyaratan. Jika memenuhu persyaratan, si kandidat diminta
kesediaannya lalu ditetapkan sebagai kepala Negara dengan ijtihad atas dasar rida dan
pemilihan yang diikuti dengan pembaitan.
Dalam pembaitan tidak ada paksaan. Rakyat yang telah membait harus menaatinya.
Namun bila ada diantara pemilih yang tidak stuju kepada kepala Negara terpilih,
karena pengangkatannya atas dasar persetujuan dan tujuan  pemilihan, jabatan kepala
Negara harus diserahkan kepada orang yang dipandang lebih berhak memegang
jabatan terhormat itu. Pengangkatan kepala Negara merupakan persetujuan kedua
belah pihak, antara pemilih dan yang dipilihsebagai suatu hubungan dua pihak dalam
mengadakan perjanjian atas dasar
sukarela. Kesekwensinya, kedua belah pihak mempunyai kewajiban dan hak secara
timbale balik.

J.J Rousseau (1712-1778 M.)


Negara adalah sebuah produk perjanjian sosial. Individu-individu dalam masyarakat
sepakat untuk menyerahkan sebnagian hak, kebebasan, dan kekuasaan yang
dimilikinya kepada suatu kekuasaan bersama.
Negara berdaulat karena karena adanya mandat dari rakyat. Negara diberi mandat
oleh rakyat untuk mengatur, mengayomi, dan menjaga keamanan maupun harta
benda mereka. Kedaulatan negara akan tetap absah selama negara tetap menjalankan
fungsi-fungsinya sesuai dengan kehendak rakyat. Negara harus selalu berusaha
mewujudkan kehendak umum dari segi ini, konsep negara berdasarkan kontrak sosial
merupakan antitensi terhadap hak-hak ketuhanan, raja dan kekuasaan negara.

6. Organisasi Integralistik
George F. Hegel (1770-1831 M.)
Hegel berpendapat bahwa negara bersifat unik karena ia memiliki logika, nalar,
sistem berpikir, dan berperilaku tersendiri yang berbeda dengan organ politik apa
pun. Karena itu bisa saja umpamanya negara menegasi kebebasan atau kemerdekaan
individu dengan asumsi bahwa individu tidak memiliki makna dalam totalitas negara.
Ia harus labur dalam kesatuan negara. Dalam persefektip semacam ini, individu tidak
mungkin bisa menjadi kekuatan oposisi berhadapan dengan negara.
Negara juga bertujuan untuk memberikan kebebasan yang sempurna kepada manusia.
Manusia sebagai individu, terkatung-katung dan diperbudak oleh nalirinya. Dengan
dmikian, maka hidup akan tercipta jika individu menyerahkan diri kpada negara.
Prof. Soepomo
Negara integralistik didasarkan pada premis bahwa kwhidupan kebengsaan dan
kenegaraan terpatri dalam suatu totalitas. Negara tidak boleh berpihak pada kelompok
tertentu atau mayoritas dan menindas kolompok yang lemah dan minoritas, apalagi
hanya membela kepentingan segelinir orang. Tidak ada diskriminasi sedikit pun dala
bentuk apa pun dalam kehidupan bernegara.
Dua model negaran integralistik yaitu : Negara Dai Noippon  ( jepang), dan Negara
Nazi Jerman. Keduanya dinilai memiliki corak ketimiran yng cocok dengan kondisi
Indonesia.
Konsep negara dapat ditarik dalam empat persepetif atau sudut pandang utama yaitu :
1.       Sudut pandang politis. Titik tolak pandangan ini adalah kekuasaan. Artinya, negara
dilihat sebagai organisasi kekuasaan. Operasional konsep kekuasaan adalah
kemungkinan untuk melaksanakan kehendak sendiri dalam kerangkan suatu
hubungan sosial.
2.      Sudut pandang sosiologi. Titik tolak pandangan ini adalah masyarakat. Negara
dipahami sebagai organisasi tertinggi yang dipengruhi kuat oleh keberadaan
masyarakat. Operasional konsep masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti
seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.
3.       sudut pandang yuridis. Titik tolak pandangan ini adalah hukum. negara diartikan
sebagai bagian dari tata hukum dan organisasi besar yang harus tunduk pada hukum.
Oprasional konsep hukum adalah segala peraturan yang dibuat untuk mengatur
tatatertib kehidupan bersama.
4.       Sudut pandang religi. Titik tolak pandangan ini adalah agama atau Tuhan. Artinya
negara dinyatakan sebagai fasilitas atau tempat bersemayam Tuhan di bumi. Dalam
konsep operasional agama dimaksudkan sebagai sesuatu kepercayaan yang dianut
olae umat manusia untuk menemukan hakikat hidup dan hubungan denagn Tuhan

KONSEP NEGARA DALAM EMPAT PERSEPEKTIF UTAMA


No. Perspektif Titik tolak Oprasional konsep
1. Politis Kekuasaan: NegaraKemungkinan untuk melaksanakan
sebagai organisasikehendak sendiori dalam kerangka suatu
kekuasaan hubungan sosial
2. Sosiologis Masyarakat: NegaraSejarah manusia dalam arti selua-
sebagai kenyataanluasnya dan terikat oleh suatu
masyarakat kebudayaan yang mereka anggap sama.
3. Yuridis Hukum: negara sebagaiSegala peraturan yang di buat untuk
organisasi hukum mengatur tata tertib kehidupan manusia.
4. Religis Tuhan: Negara sebagaiSuatu kepercayaan yang dianut oleh
implementasi umat manusia untuk menemukan
kedaulatan Tuhan dihakekat hidup dan hubungannya dengan
bumi. Tuhan.

Tiga Pendekatan (Metoda) Ilmu Hukum


Ilmu hukum mencakup dan membicarakan segala hal yang berhubungan dengan
hukum. Demikian luasnya masalah yang dicakup oleh ilmu ini, sehingga sempat
memancing pendapat orang untuk mengatakan bahwa “batas-batasnya tidak bisa
ditentukan” (Curzon, 1979).[1] Dalam bahasa inggris ia disebut jurisprudence”
Prof. Satjipto Rahardjo mengemukakan sebagai berikut:[2]
“sebagaimana halnya dengan setiap cabang ilmu, maka ilmu hukum ini jg
mempunyai obyeknya sendiri, yaitu : hukum. Persoalannya sekarang apa yang ingin
kita lakukan terhadap oyek ini. Pertanyaan ini sudah mencakup tujuan dari ilmu ini
sendiri. Apabila jawabannya untuk mengetahui segala hal dan seluk beluk mengenai
hukum ini, maka ruang lingkup dari ilmu ini menjadi sangat luas.”
Berikutnya Prof Tjip menjabarkan 10 daftar masalah yang dimasukkan ke dalam
tujuan mempelajari hukum, sebagai berikut:
1. Mempelajari asas-asas hukum yang pokok.
2. Mempelajari sistem formal hukum.
3. Mempelajari konsepsi-konsepsi hukum dan arti fungsionalnya dalam
masyarakat.
4. Mempelajari kepentingan-kepentingan sosial apa saja yang dilindungi oleh
hukum.
5. Ingin mengetahui apa tentang apa sesungguhnya hukum itu, dari mana ia
datang/muncul, apa yang dilakukannya dengan cara-cara/sarana-sarana apa ia
melakukan hal itu.
6. Mempelajari apa keadilan itu, dan bagaimana ia diwujudkan melalui hukum.
7. Mempelajari tentang perkembangan hukum. Apakah hukum itu  sejak dahulu
sama dengan yang kita kenal sekarang? Bagaimana sesungguhnya hukum itu
berkembang dari masa ke masa.
8. Mempelajari pemikiran- pemikiran orang tentang hukum sepanjang masa.
9. Mempelajari bagaimana sesungguhnya kedudukan hukum itu dalam
masyarakat. Bagaimana keterkaitan antara hukum dengan sub-sub sistem lain
dalam masyarakat, seperti politik, ekonomi dan sebagainya.
10. Apakah ilmu hukum itu memang bisa disebut sebagai ilmu, bagaimana sifat-
sifat atau karakteristik keilmuannya itu?
Daftar diatas menunjukkan betapa luasnya permasalahan yang bisa dibicarakan dalam
ilmu hukum itu. Dari gambaran tersebut, tentunya adalah suatu hal yang picik,
apabila kita berpendapat bahwa ilmu hukum itu hanya berurusan dengan peraturan
perundang-undangan belaka. Ia ternyata juga mengajukan pertanyaan-
pertanyaan filsafati, seperti tercermin pada usahanya untuk menukik ke dalam
pembicaraan mengenai hubungan antara hukum dengan kekuasaan, hukum dengan
keadilan, dan sebagainya.
Ilmu hukum tidak mempersoalkan suatu tatanan hukum tertentu yang kebetulan
berlaku di suatu negara. Perhatiannya jauh menjangkau melebihi batas-batas hukum
yang berlaku di suatu negara atau suatu waktu tertentu. Obyeknya disini adalah
hukum sebagai suatu fenomena dalam kehidupan manusia di manapun di dunia ini
dan dari masa kapan pun. Singkatnya hukum disini dilihat sebagai fenomena
universal, bukan lokal ataupun regional.
Sesudah membicarakan obyek serta tujuan dari ilmu hukum, selanjutnya Prof. Tjip
mengemukan tentang metode yang dipakai yang menurut beliau merupakan
kebebasan untuk memilih, asal pilihan itu diterapkan secara konsekuen, dengan
uraian sebagai berikut:
Apabila kita memilih untuk melihat hukum sebagai perwujudan dari nilai-nilai
tertentu, maka pilihan tersebut akan membawa kita kepada yang
bersifat idealis. Metode ini akan senantiasa berusaha untuk menguji hukum yang
harus mewujudkan nilai-nilai tertentu.dalah satu pemikiran utama dalam hukum yang
sudah berjalan sejak berabad-abad lalu, yang berusaha untuk memahami arti keadilan.
Pemikiran ini membahas apa saja yang menjadi tuntutan dari nilai tersebut dan apa
yang seharusnya dilakukan oleh hukum untuk mewujudkan nilai itu. Inilah salah satu
contoh dari metoda ideologis itu.
Bagi seseorang yang memilih untuk melihat hukum sebagai suatu sistem peraturan
yang abstra, maka perhatiaanya selalu terpusat pada hukum sebagai suatu lembaga
yang benar-benar otonom, yaitu yang bisa sebagai subyek teersendiri terlepas dari
kaitan-kaitannya dengan hal-hal diluar peraturan- peraturan tersebut. Pemusatan
perhatian yang sedemikian itu akan membawa seseorang kepada penggunaan metode
yang normatif  dalam menggarap hukum. Sesuai dengan cara pembahasan yang
bersifat analitis, maka metoda ini disebut juga sebagai metoda normatif
analitis. Dalam hubungan dengan metoda yang demikian itu, perlu dicatat bahwa ia
tidak menghiraukan apakah hukum itu mewujudkan nilai-nilai tertentu, atau apakah
hukum itu dituntut untuk mencapai tujuan serta sasaran tertentu.
Selanjutnya, bagi seseorang yang memahami hukum sebagai alat untuk mengatur
masyarakat, maka pilihannya akan jatuh pada metoda sosiologis. Berbeda dengan
kedua penglihatan tersebut dimuka, maka paham yang ketiga ini mengkaitkan hukum
kepada usaha untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu serta memenuhi kebutuhan-
kebutuhan konkret dari masyarakat. Oleh karena itu, metode ini memusatkan
perhatian pada pengamatan mengenai efektifitas dari hukum.
Dalam buku Sosiologi hukum Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, Prof. Achmad
Ali mengemukakan adanya tiga jenis kajian dalam ilmu hukum, yaitu:[3]
1. Beggriffenwissenchaft: ilmu tentang asas-asas yang fundamental dibidang
hukum. Termasuk didalamnya Pengantar Ilmu Hukum, filsafat Hukum,
Logika Hukum, dan Teori Hukum (untuk pasca sarjana)
2. Normwiseenchaft: ilmu tentang norma. Termasuk di dalamnya sebagian besar
mata kuliah yang diajarkan di fakultas-fakulta hukum di Indonesia, spt hukum
pidana, hukum perdata, hukum tata negara, dan lain-lain.
3. Tatsachenwissenhaft: ilmu tentang kenyataan, termasuk di dalamnya sosiologi
hukum, hukum dan masyarakat, anthroplogi hukum, Psikologi Hukum, dan
lain-lain.
Klasifikasi tentang pendekatan terhadap hukum dikemukakan oleh Gerald Turkel
(1996:10)[4]
“Max weber provide a typology of three general approaches that have been used to
study law and society. This typology is useful for analyzing the study of law that
enables us to see how different concerns about the role of the law in society yied
different frameworks that raise different issues and questions. These frameworks
construct law and legal institutions differently for the purpose of studying them.
… these three approaches are (1) a moral approach to law. (2) an approach from the
standpoint of jurispridence, and (3) a sociological approach to law. Each of these
three approach has a distinct focus on the relations among law and society and the
ways in which law should be studied.”
(Max weber memberikan tipologi tiga pendekatan umum yang telah digunakan
untuk studi hukum dan masyarakat. Tipologi ini berguna untuk menganalisis studi
hukum yang memungkinkan kita untuk melihat bagaimana perhatian yang berbeda
tentang peran hukum dalam masyarakat menghasilkan kerangka kerja yang berbeda
yang mengangkat isu-isu yang berbeda dan pertanyaan. Kerangka kerja ini
mengkonstruksi hukum dan pranata hukum berbeda-beda bagi tujuan studi hukum
mereka.
… ketiga pendekatan itu adalah: (1) pendekatan moral hukum. (2) pendekatan dari
sudut ilmu hukum, dan (3) pendekatan sosiologis hukum. Masing-masing dari tiga
pendekatan ini memiliki fokus yang berbeda pada hubungan antara hukum dan
masyarakat dan juga berbeda cara yang digunakan dala, mempelajari hukum)
Juga dapat dikatakan bahwa secara garis besar ada 3 pendekatan ilmu hukum, yaitu:
1. Ius constituendum: the law as what ougt to be, atau filsafat hukum.
2. Ius constitutum: the law as what it is in the book(s) atau hukum positif.
3. ius operatum: the law as what it is in society atau sosiologi hukum dan
kajian empiris lainnya.
Ketika  kalangan filosofis memandang hukum sebagai sesuatu yang seharusnya
ada, dan kalangan sosilogis memandang hukum sebagai apa yang bekerja dalam
kenyataannya masyarakat,  maka tentu saja kaum positivisis enggan untuk
menerima keduanya, karena mereka lebih memandang hukum seperti yang ada dalam
perundang-undangan, seperti yang pernah dikemukakan oleh salah satu eksponen
positivisme, John Austin  (1790-1859):[5]
“The study of the nature of law should be a study of law as it actually exists in a legal
system, and not of law as it ouhgt to be on moral ground”
(studi tentang sifat hukum seharusnya merupakan studi tentang hukum yang benar-
benar terdapat dalam sistem hukum, dan bukan hukum yang seharusnya ada dalam
norma-norma moral.)
Selaras dengan itu Lawrence M. Friedman (1975: vii) mengemukakan bahwa
hukum yang normatif adalah cara pandang para pengacara yang memandang dari
dalam sistem hukum itu sendiri:[6]
“The lawyers looks at it mostly from  the inside. He judges law in its own terms; he
has learned certain standards againts which he measures legal practices and rules.
Or he writes about practical affairs; how to use the law; how to work with it”
Jadi, Friedman memandang bahwa para pengacara memandang hukum umumnya
dari dalam hukum itu sendiri. Para pengacara menilai hukum dalam terminologi
hukum itu sendiri. Para pengacara telah mempelajari standar-standar tertentu untuk
mengukur aturan-aturan hukum dan praktik hukum. Atau untuk digunakannya dalam
menulis peristiwa-peristiwa praktis, bagaimana menggunakan hukum, serta
bagaimana bekerja dengan hukum itu.
Berbeda dengan cara pandang kajian sosiologi hukum yang menurut Lawrence M.
Friedman (1975: vii) sebagai berikut:
“it looks at law from  the out side. It tries to deal with the legal system from the point
of view of social science. Basically, it argues that law is only one of many social
systems and that other social systems in society give it meaning and effect.”
Jadi sosiologi hukum memandang hukum dari luar hukum. Sosiologi hukum
mencoba untuk memperlakukan sistem hukum dari sudut pandang ilmu sosial. Pada
dasarnya, sosiologi hukum berpendapat bahwa hukum hanya salah satu dari banyak
sistem sosial dan justeru sistem sosial lain dalam masyarakat memberikan arti dan
dan pengaruh terhadap hukum.
Lebih lanjut, menurut Friedman (1975: vii), sosiologi hukum beranjak dari asumsi
dasar sebagai berikut:
“the people who make, apply, or use the law are human beings. Their behavior is
social behavior. Yet, the study of law has proceeded in relative isolation from other
studies in the social sciences”
Asumsi dasar tersebut menganggap bahwa orang yang membuat, menerapkan, atau
menggunakan hukum adalah manusia. Perilaku mereka adalah perilaku sosial.
Namun, studi hukum secara relatif telah memisahkan diri dari studi-studi lain dalam
ilmu sosial.
Dengan menggunakan pandangan sosiologis terhadap hukum, maka kita akan
menghilangkan kecenderungan untuk senantiasa mengidentikkan hukum sebagai
Undang-undang belaka, seperti yang dianut oleh kalangan positivis atau legalistis.
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Sanusi,.(1998 ), Filsafah Ilmu, Teori Keilmuan, dan Metode Penelitian :


Memungut dan Meramu Mutiara-Mutiara yang Tercecer, Makalah, Bandung :PPS-
IKIP Bandung.
Achmad Sanusi, (1999), Titik Balik Paradigma Wacana Ilmu : Implikasinya Bagi
Pendidikan,Makalah, Jakarta : MajelisPendidikan Tinggi Muhammadiyah.
Agraha Suhandi, Drs., SHm.,(1992), Filsafat Sebagai Seni untuk Bertanya, (Diktat
Kuliah), Bandung : Fakultas Sastra Unpad Bandung.
Filsafat_Ilmu, members.tripod.com/aljawad/artikel/filsafat_ilmu.htm.
Ismaun, (2001), Filsafat Ilmu, (Diktat Kuliah), Bandung : UPI Bandung.
Jujun S. Suriasumantri, (1982), Filsafah Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta :
Sinar Harapan.
Mantiq, media.isnet.org./islam/etc/mantiq.htm.
Moh. Nazir, (1983), Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia
Muhammad Imaduddin Abdulrahim, (1988 ), Kuliah Tawhid, Bandung : Yayasan
Pembina Sari Insa

[1] Curzon, L.B. 1979, Jurisprudence. M & E Handbook


[2] Satjipto Rahardjo. 2012. Ilmu Hukum. Bandung. Penerbit PT Citra Aditya Bakti
[3] Achmad Ali. 2004. Sosiologi hukum Kajian Empiris Terhadap
Pengadilan. Jakarta: BP IBLAM
[4] Turkel, Gerald. Law and Society: Critical Aproaches. Allyn & Bacon, 1996.
[5] John Austin, Lectures on Jurisprudence and the Philosophy of Positive Law (St.
Clair Shores, MI: Scholarly Press, 1977)
[6] Lawrence Friedman 1975. The Legal System: A Social Science Perspective
MOTODE YANG DIGUNAKAN DALAM PENYELIDIKAN ILMU NEGARA

1. Metode Ilmu Negara


Beberapa metode keilmuan untuk menjelaskan imu negara, antara lain :
 Metode Observatif
Bekerja dengan memperhatikan, menanggapi, dan memperdalam sesuatunya baik
pertumbuhan negara, wilayah, umat, dan pemerintahannya.
 Metode Komparatif
Bekerja dengan studi perbandingan antara negara yang satu dengan negara lainnya.
 Metode Dialektis
Bekerja dengan cara mengkonfrontasi dan menguji fakta-fakta atau fenomena yang
satu dengan yang lain. Terdapat dua kerangka untuk menentukan pola ilmu negara,
yaitu:
1. Kerangka Struktural/Sistemik, yaitu menyusun data rencana kerja yang
lengkap dengan bahan yang ada, merangkum data dan fenomena, serta
persoalannya;
2. Kerangka Susunan Fungsional/Metodik, yaitu taktik kerja yang
menentukan cara melakukan tugas.
 Metode Psikologis
JJ Van Schmid mengemukan dua alasan metode psikologis dapat digunakan untuk
mengkaji ilmu negara, antara lain:
1. Psikologi mempelajari pengaruh pikiran dan perasaan serta naluri manusia
dalam hidup bernegara.
2. Psikologi menentukan gejala sosial yang sama sekali baru dalam konteks
moralitas susunan negara dan masyarakat.
 Metode Hukum Positif
Melalui metode ini, para penganut teori kedaulatan negara memberikan gambaran
mengenai negara hukum yang menyebabkan timbulnya pemikiran mengenai negara
dari sudut pandang yuridis. Sehingga metode untuk mengkaji ilmu negara sama
dengan metode yang dipakai untuk mempelajari peraturan perundang-undangan.
 Metode Mac Iver
Negara menurut Mac Iver adalah alat masyarakat. Metode yang digunakan bersandar
pada sejarah dan perbandingan.
2. Hubungan Ilmu Negara dengan Disiplin Ilmu Lain
Ilmu negara memiliki hubungan dan keterkaitan yang erat dengan beberapa disiplin
ilmu lain, antara lain sebagai berikut:
 Hubungan Ilmu Negara dengan Hukum Tata Negara
Persamaan Ilmu Negara dengan Hukum Tata Negara antara lain: keduanya
mempelajari tentang objek yang sama, yaitu negara; keduanya termasuk ilmu sosial
dan memiliki objek penelitian yang sama, yaitu manusia yang berkeinginan hidup dan
berkembang dalam tata kehidupan bernegara; dan keduanya memiliki dalil-dalil dan
rumusan/definisi yang bersifat nisbi (relatif) berbeda sesuai dengan sudut pandang
ahli yang mengemukakannya.[1]
Karakteristik Ilmu Negara, yaitu : aspek atau objek yang dipelajari dalam Ilmu
Negara adalah mengenai negara secara umum, seperti asal-usul, unsur-unsur, timbul
dan lenyapnya, tujuan, jenis-jenis dan bentuk-bentuk negara secara umum; kajian
dalam  Ilmu Negara bersifat teoritis/abstrak; dan mempelajari ketentuan umum
negara tanpa menguraikan pelaksanaannya.
Adapun HTN menurut Van Vollenhoven merupakan rangkaian peraturan-peraturan
hukum yang mendirikan badan-badan sebagai alat/organ suatu negara dengan
memberikan wewenang dan membagi pekerjaan pemerintahan kepada alat-alat atau
organ-organ negara, baik yang tinggi maupun yang rendah kedudukannya. Selain itu,
peraturan HTN juga berperan sebagai kerangka landasan bagi berdirinya suatu
negara, atau mengenai status “sedang beristirahat” atau “tidak bergerak”nya suatu
negara. Sehingga dalam hal ini, hasil yang diperoleh oleh Ilmu Negara akan
digunakan oleh HTN sebagai bahan penyelidikan untuk menjelaskan bagaimana
bentuk suatu negara, sehingga dapat diimplementasikan ketentuan-ketentuan dalam
HTN.
 Hubungan Ilmu Negara dengan HTUN
HTUN berbicara mengenai hubungan ketatausahaan negara, yaitu mengenai
hubungan kekuasaan satu sama lain, hubungan pribadi/pejabat dengan hukum
lainnya, khususnya mengenai susunan tugas dan wewenang negara.[2] HTUN
merupakan cara untuk menjalankan alat-alat perlengkapan negara, khususnya negara-
negara yang “sedang bergerak”.
 Hubungan Ilmu Negara dengan Hukum Publik Internasional
Dalam Ilmu Negara, hukum berperan sebagai rangkaian kaidah-kaidah yang bersifat
tidak mutlak. Sedangkan dalam Hukum Publik Internasional, unsure kaidah dalam
hukum merupakan kaidah yang bersifat mutlak. Hukum Publik Internasional pada
prinsipnya berperan untuk mengatur hubungan antar berbagai negara di dunia dengan
tujuan untuk menjaga keselamatan dan ketertiban dunia.
 Hubungan Ilmu Negara dengan Ilmu Politik
Ilmu Negara dan Ilmu Politik adalah dua ilmu yang saling berkaitan satu sama lain.
Konsep Ilmu Politik secara umum berlaku di Belanda, sebagai salah satu ilmu
kenegaraan yang mempelajari pengaruh faktor-faktor kekuasaan yang riil didalam
masyarakat terhadap pelaksanaan tugas-tugas mereka. Adapun perbedaan antara Ilmu
Negara dengan Ilmu Politik dilihat dari berbagai segi sebagai berikut:[3]
Tabel 1. Perbedaan Ilmu Negara dengan Ilmu Politik

Ilmu Negara Ilmu Politik

Objek Negara Negara

Metode Normatif/legal/klasik Empirik/behavioral

Lembaga-lembaga Hal-hal kekuasaan/perilaku politik yang mencakup hal-hal sepe


Ruang lingkup
resmi negara cara menjalankan, memperoleh, dan mempertahankan kekuasaa

Keadaan Statis, diam, kering Dinamis, proses, bergerak

Eropa Kontinental.
Lahir di Jerman-
Asal Anglo Saxon, Amerika Serikat, Inggris, Malaysia.
Belanda-Perancis-
Indonesia

Dari segi objek kajian, Ilmu Negara dan Ilmu Politik sama-sama mempelajari
mengenai negara. Namun dalam Ilmu Negara, fokus utamanya adalah mempelajari
mengenai susunan, bentuk-bentuk, sifat umum negara, dan lembaga-lembaga
kenegaraan. Sedangkan dalam Ilmu Politik, pembahasan lebih ditekankan pada hal-
hal kehiduapan kenegaraan dalam praktik.
Dari segi metode atau pendekatan, Ilmu Negara membahas mengenai hal-hal
kenegaraan dari segi yuridis konstitusional. Sedangkan Ilmu Politik dalam
menemukan kajiannya melalui cara-cara empiris dan sosiologis. Dengan demikian,
keadaan dari pembahasan Ilmu Negara cenderung statis, diam, dan kering
dikarenakan mempelajari teori atau hal-hal yang bersifat teoretis, seperti lembaga-
lembaga kenegaraan. Sedangkan Ilmu Politik cenderung berkeadaan dinamis,
berproses dan bergerak dikarenakan pembahasannya lebih ditekankan pada hal-hal
yang bersifat praktis atau merupakan penerapan dari berbagai teori-teori Ilmu Negara.
Penerapan berbagai teori tersebut akan menimbulkan penilaian-penilaian atau analisis
terhadap aktivitas-aktivitas yang mempengaruhi tindakan-tindakan kenegaraan dan
kekuasaan (political action).
[1] http://adzata.blogspot.co.id/2012/11/semua-tentang-materi-ilmu-negara.html diaks
es pada tanggal 16 Oktober 2015.
[2] http://bemfakum.blogspot.co.id/2010/09/materi-mata-kuliah-ilmu-negara.html dia
kses pada tanggal 18 Oktober 2015.
[3] Materi Kuliah Ilmu Negara oleh Prof. Arief Hidayat, Fakultas Hukum Universitas
DIponegoro, 19 September 2011.

Anda mungkin juga menyukai