UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS ILMU BUDAYA
JATINANGOR
2020
A. PENDAHULUAN
Bangsa Jepang dipandang sebagai masyarakat homogen (tan’itsu minzoku),
dimana mereka membentuk sebuah bangsa yang secara ras sama (tan’itsu minzoku
kokka). Menurut KBBI, definisi ‘homogen’ terbagi menjadi tiga, antara lain: (1) dari
tipe (jenis, macam, sifat, watak, dan sebagainya) yang sama; (2) serba sama;
(3) utuh (tidak terpecah-pecah). Dikutip dari sumber yang sama, define
‘homogenitas’ antara lain: (1) persamaan macam; (2) persamaan jenis; (3) keadaan
atau sifat homogen; (4) kehomogenan.
Mulai abad 18 hingga abad 20, penyebaran konsep homogenitas bangsa Jepang
melibatkan tokoh-tokoh terkemuka Jepang, dari para sarjana (kokugakusha) hingga
Perdana Menteri Nakasone Yasuhiro (1982-1987). Mereka berpendapat bahwa
Jepang–secara alamiah–merupakan masyarakat bersifat homogen, karena:
(1) bangsa Jepang yang tidak seperti Amerika Serikat–terbentuk atas dasar kontrak
atau kesepakatan;
(2) ras Yamato telah hidup di Jepang setidaknya 2000 tahun, tanpa ada suku bangsa
lain;
(3) letak geografis Jepang yang terpisahkan oleh laut dan berada di ujung timur benua
Eurasia.
Maka saat mengenal budaya asing, tentu mereka akan mengalami culture shock,
karena budaya asing jelas berbeda dari budaya bangsa Jepang. Salah satunya adalah
bangsa Indonesia dengan budayanya yang beranekaragam, dari Sabang sampai
Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Memang di masing-masing negara ada
persamaan dan perbedaan budaya. Akan tetapi, agar masyarakat Jepang bisa bergaul
dengan masyarakat Indonesia–dan sebaliknya–mereka perlu memahami sekaligus
mempelajari budaya-budaya yang ada.
Dalam penelitian ini, penulis akan mengambil topik maxim sebagai sumber
informasi budaya. Baik masyarakat Jepang maupun Indonesia, mereka sudah
menjalankan budayanya masing-masing secara tidak sadar, karena budaya tersebut
sudah mendarah daging. Jika melanggar salah satunya, maka akan menimbulkan
keanehan atau keganjilan yang menyebabkan citra negatif di mata masyarakat.
Penulis mengambil contoh etika saat makan, baik di Jepang maupun Indonesia.
Walau etika antar kedua negara ini sangat jauh, tetapi masing-masing etika
mengandung nilai-nilai yang mencerminkan karakteristik masing-masing bangsa
dengan jelas.
B. PEMBAHASAN
B.1.Etika saat Makan (Jepang)
Makanan di Jepang memiliki dua jenis, washoku dan yōshoku. Secara
harafiah, washoku diartikan sebagai makanan Jepang. Washoku sendiri masuk
dalam UNESCO Intangible Cultural Heritage List pada Desember 2013, dimana
kunci utama dalam washoku adalah penggunaan bahan-bahan yang segar serta
mengikuti keempat musim yang terjadi di Jepang –musim semi, musim panas,
musim gugur, dan musim dingin. Washoku diciptakan untuk menghargai serta
mengapresiasi keempat musim Jepang serta bahan -bahan yang siap dipanen
pada musim tertentu. Selain penggunaan bahan-bahannya, washoku juga
mengutamakan untuk mengeluarkan rasa asli dari bahan -bahan yang digunakan
dalam makanan tersebut.
Kunci lain yang tidak kalah penting dalam washoku adalah penggunaan
dashi, yaitu kaldu yang terbuat dari bonito, daun kelp, atau ikan kering yang
direbus. Kaldu ini mengeluarkan rasa umami yang akan mengikat rasa manis,
asam, asin, dan pahit, sehingga membuat washoku kaya rasa.
Dalam washoku, biasanya ada lima unsur makanan. Pertama adalah satu
mangkuk nasi putih yang hangat. Kedua adalah satu mangkuk sup. Sup yang
disajikan bisa sup bening dengan ikan/ayam, atau miso–menggunakan kacang
kedelai yang difermentasi sebagai bahan utama. Sisanya adalah makanan
pendamping, dimana makanan yang disajikan segar dan bervariasi sesuai musim
pada saat itu.
Tidak hanya itu, ada juga etika penggunaan sumpit yang harus semua
orang ingat, yaitu tidak menancapkan sumpit pada mangkuk nasi secara
vertikal, secara cara ini dilakukan oleh masyarakat Jepang sebagai salah satu
ritual untuk orang yang sudah meninggal. Dan, tidak mengoper makanan dari
sumpit ke sumpit, karena cara ini mengingatkan masyarakat Jepang pada tradisi
mengoper tulang yang sudah dikremasi dari sumpit ke sumpit.
Saat makan dari mangkuk berukuran kecil, seperti nasi dan sup,
sebaiknya mangkuk diangkat dan didekatkan ke mulut. Apabila makan dari
mangkuk berukuran besar, seperti ramen, sebaiknya mangkuk diletakkan pada
posisi semula, dan hanya makanannya saja yang diangkat dan didekatkan ke
mulut. Selain itu, saat menyantap potongan makanan yang berukuran besar,
seperti tempura dan korokke, sebaiknya belah makanan tersebut menjadi
beberapa potong kecil–bisa dimakan dalam sekali suap–dengan sumpit. Atau,
bisa juga digigit sedikit dan letakkan sisanya pada piring.
Saat makan pun ada beberapa hal yang perlu diingat oleh semua orang,
antara lain:
• Hindari menuangkan kecap asin secara langsung di atas makanan, terutama
nasi
• Habiskan makanan dan/atau saus yang telah disajikan–tanpa sisa
➔ Jika tidak suka atau tidak bisa makan, bisa memberitahu ke pelayan
restoran atau tidak perlu memakannya sama sekali
• Hindari menyantap hidangan secara langsung dari piring bersama
• Hindari meniup hidung, bersendawa, dan batuk di meja makan
• Hindari meletakkan siku di atas meja makan
Tidak semua rumah atau restoran menyediakan kursi dan meja makan,
tetapi jika duduk di kursi, biasakan untuk tidak bersender, karena hal tersebut
dianggap tidak sopan. Jika duduk di lantai, biasakan untuk duduk bersila atau
jangan sampai telapak kaki terlihat saat makan, karena hal tersebut akan
membuat orang lain tidak nyaman. Selain itu, hindari melipat tangan saat berada
di meja makan.
Saat makan, hindari membuat suara dan makan dengan mulut tertutup
sebagai tanda menghormati orang lain. Jika ingin berbicara, biasakan untuk
menguyah makanan terlebih dahulu hingga habis dan berbicara dengan suara
kecil saja. Selain itu, hindari mengambil serta meminta makanan dari piring
orang lain. Semua hal harus dilakukan secara mandiri. Jika di tengah -tengah
menikmati makanan ada panggilan telepon, minta izin terlebih dahulu ke orang
tertua untuk menerima panggilan dan pergi keluar dari meja makan. Dan,
usahakan untuk menutup mulut saat batuk dan/atau bersin, agar orang lain tidak
merasa terganggu.
C. KESIMPULAN
Secara garis besar, etika saat makan di Jepang dan Indonesia memiliki
kemiripan. Tidak semua restoran dan/atau rumah memiliki kursi dan meja makan,
sehingga mengharuskan duduk di lantai. Kalau di Jepang harus melakukan seiza, di
Indonesia harus duduk bersila atau jangan sampai memperlihatkan telapak kaki
kepada orang lain. Sebelum menyantap hidangan juga diharuskan untuk mencuci
tangan. Di Jepang, mencuci tangan dilakukan dengan oshibori, sementara di
Indonesia, mencuci tangan bisa dilakukan dengan menggunakan sabun dibawah air
mengalir atau kobokan.
Selain itu, jika ingin memotong makanan berukuran besar, di Jepang, tinggal
menggunakan sumpit. Atau, menggigit sedikit dan meletakkan sisanya di piring
pribadi. Di Indonesia, tinggal menggunakan sendok dan garpu. Garpu digunakan
sebagai titik tumpuan, dan sendok (bagian sisi samping) digunakan sebagai “pisau
makan” untuk memotong. Juga, tidak boleh makan secara langsung dari piring
bersama, sehingga dihimbau untuk mengambil beberapa dan meletakkannya di
piring pribadi.
Saat berada di meja makan, hindari melipat tangan atau meletakkan siku di atas
meja makan. Juga, tidak meniup hidung, bersin, batuk, dan/atau bersendawa di meja
makan.
Meski memiliki kemiripan, ada banyak perbedaan etika saat makan di Jepang dan
Indonesia. Di Jepang, ada frasa “itadakimasu” yang diucapkan sebelum makan dan
“gochisousama deshita” yang diucapkan setelah makan. Sementara di Indonesia,
kedua frasa tersebut tidak ada dan biasanya mengucapkan doa sebelum makan.
Selain itu, di Indonesia bisa menyantap makanan dengan tangan. Sementara, di
Jepang tidak ada.