Anda di halaman 1dari 13

I PENDAHULUAN

Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang Penelitian,

(1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5)

Kerangka Penelitian, (1.6) Hipotesis Penelitian, dan (1.7) Waktu dan Tempat

Penelitian.

1.1 Latar Belakang Penelitian

Buah naga atau dragon fruit merupakan buah dari tanaman Hylocereus

polyrhizus dan saat ini termasuk buah yang cukup diminati oleh masyarakat.

Penampilan buah yang unik, rasanya asam manis menyegarkan dan memiliki

beragam manfaat untuk kesehatan.

Buah naga atau dragon fruit merupakan buah dari tanam Hylocereus

polyrhizus dan termasuk buah yang cukup popular saat ini. Penampilan buahnya

eksotik, rasanya asam manis menyegarkan dan memiliki beragam manfaat untuk

kesehatan. Saat ini buah naga telah dibudidayakan di Indonesia dan ternyata

bukan hanya buahnya unik, bentuknya pohonya juga bagus dengan bunganya

harum dan cocok juga sebagai tanaman hias di taman. Akan tetapi sampai saat ini

belum ada data produksi buah naga dalam negeri.

Buah naga sendiri di pasar lokal saat ini dibanjiri produk impor berdasarkan

catatan dari importir buah di Indonesia, buah naga ini masuk ke tanah air antara

200 – 400 ton/tahun asal Thailand dan Vietnam (Rizal, 2015).

Di masyarakat pemanfaatan buah naga masih belum banyak dilakukan, hal

tersebut karena belum banyak masyarakat yang mampu mengelola buah naga

menjadi makanan ataupun minuman. Pengolahan buah naga dilakukan untuk

1
2

memperpanjang umur simpan, karena pada umumnya buah naga merah yang

dikonsumsi oleh masyarakat adalah dalam bentuk segar. Pengolahan buah naga

merah yang sudah dilakukan adalah mengolah buah naga menjadi kripik buah

naga, dodol buah naga, dan sirup buah naga.

Adapun buah naga yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah naga

merah karena jumlah produksinya yang cukup banyak di Indonesia, mempunyai

rasa yang asam bercampur dengan manis, mudah didapat jika dibandingkan

dengan buah naga yang lainnya. Buah naga juga mengandung zat besi untuk

(menambah darah), vitamin B1 (meningkatkan fungsi otak), vitamin B2

(membantu produksi sel darah merah), vitamin B3 (membantu agar fungsi otak

berjalan dengan baik) (Kristanto, 2003).

Minuman jeli merupakan minuman fungsional modern yang saat ini

sedang dikembangkan, salah satunya adalah minuman jelly yang bermanfaat bagi

saluran pencernaan yang juga mengandung dietary fiber. Minuman jeli

merupakan salah satu alternatif panganan ringan yang banyak disukai oleh anak-

anak, remaja bahkan dewasa. Minuman jeli atau jelly drink dapat menjadi

minuman fungsional yang berfungsi sebagai pelepas dahaga serta mempunyai

potensi pasar yang besar untuk dikembangkan karena saat ini di kota–kota besar

terjadi perpindahan pola konsumsi pangan yang cenderung ke arah pola konsumsi

instan atau cepat saji. Untuk itu diperlukan pola konsumsi yang sehat namun

harus disesuaikan dengan selera masyarakat yang saat ini cenderung

menginginkan segalanya serba gampang dan praktis salah satunya yaitu jelly drink

(Widiyanto dkk, 2007 dalam Hapsari, 2011).


3

Minuman jeli yang saat ini beredar di pasaran umumnya dibuat dari air dan

sari buah-buahan atau sayuran serta hanya mengedepankan kandungan serat

pangan dan vitamin C. Pada penelitian ini akan dibuat produk diversifikasi

minuman jeli yaitu minuman jeli buah naga merah.

Umur simpan produk minuman jeli buah naga merah perlu ditetapkan agar

masyarakat atau konsumen dapat mengetahui masa simpan produk tersebut

selama penyimpanan. Informasi tentang umur simpan ini merupakan hak

konsumen seperti yang tertera dalam PP No. 69 Tahun 1999 tentang label pangan

pada bab II Pasal 2 dan 3 yang berisi bahwa setiap orang atau pihak yang

memproduksi pangan untuk diperdagangkan wajib mencantumkan masa

kadaluarsa produk, menjadi salah satu persyaratan paling utama dalam industri

atau usaha kecil menengah untuk ditetapkan (Wahyuningrum, 2010).

Umur simpan merupakan selang waktu antara bahan pangan mulai

diproduksi hingga tidak dapat diterima lagi olah konsumen akibat adanya

penyimpangan mutu (Histifarina,2004). Adanya perubahan selama penyimpanan

akan mempengaruhi mutu makanan. Stabilitas produk pangan berhubungan

dengan mudah tidaknya produk pangan mengalami kerusakan akibat terjadinya

perubahan kimia, fisik dan mikrobiologi. Kerusakan yang dapat terjadi adalah

reaksi oksidasi baik selama proses pengolahan maupun penyimpanan. Hal ini

ditandai olah adanya perubahan warna aroma flavour dan nilai gizi (Hadziyev dan

Steele, 1979 dalam Histifarina, 2004). Umur simpan dapat diukur anatara lain

dengan pH karena indikator perubahan enzim adalah pH. Enzim yang ada pada

bahan pangan dapat berasal dari mikroba atau memang ada pada bahan pangan
4

tersebut secara normal. Enzim ini memungkinkan terjadinya reaksi kimia dengan

lebih cepat tergantung dari enzim yang ada dan dapat mengakibatkan bermacam –

macam perubahan komposisi bahan pangan dan mikroorganisme karena cemaran

mikroorganisme merupakan indikator suatu pangan itu layak dikonsumsi atau

tidak. Kerusakan mikrobiologis merupakan bentuk kerusakan yang merugikan

serta kadang – kadang berbahaya terhadap kesehatan manusia, karena racun yang

diproduksi, penularan serta penjalaran kersusakan yang cepat ( Muchtadi, 2010).

Kerusakan pada minuman buah pada umumnya selain disebabkan oleh uap

air, cahaya, mikroorganisme dan oksigen. Udara khusunya oksigen yang

terkandung didalamnya merupakan penyebab ketengikan bahan pangan berlemak.

Oksigen juga dapat merusak vitamin A dan C dan menimbulkan kerusakan warna

sehingga produk pangan jadi pucat. Oksigen adalah komponen penting bagi

hidupnya mikroba aerobik khusunya kapang karena itu sering ditemukan

dipermukaan bahan pangan.

Kandungan oksigen sendiri dipengaruhi oleh jumlah volume pengisi yang

terdapat pada wadah atau kemasan yang akan digunakan untuk pembuatan

minuman jeli. Semakin tinggi volume yang terdapat pada kemasan atau wadah

maka semakin panjang pula umur simpan minuman, begitu pula sebaliknya

apabila semakin sedikit volume pengisi pada wadah maka semakin pendek pula

umur simpanya.

Kendala yang sering dihadapi oleh industri pangan dalam penentuan umur

simpan suatu produk adalah masalah waktu, oleh karena itu diperlukan metode

pendugaan umur simpan yang sebenarnya (Herawati, 2008).


5

Hasil akhir dari produk minuman jeli buah naga putih terdapat beberapa

masalah yang cukup sering dihadapi, seperti kerusakan akibat proses oksidasi

yang akan menyebabkan ketengikan, perubahan warna, dan mempengaruhi umur

simpan produk. Melalui penelitian ini dapat diketahui volume pengisi yang tepat

untuk produk minuman jeli buah naga merah.

1.2 Identifikasi Masalah

Permasalahan yang dapat dirumuskan berdasarkan latar belakang

penelitian diatas yaitu bagaimana umur simpan minuman jeli buah naga merah

dalam gelas polietilen dengan headspace yang berbeda ?

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana cara

membuat minuman jeli dari buah naga merah, serta menentukan umur simpan

dengan headspace yang berbeda.

Sedangkan tujuan dari penelitian adalah untuk menentukan headspace

terbaik dan menentukan umur simpan terbaik terhadap produk minuman jeli buah

naga merah.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengembangkan produk hasil olahan buah naga merah yang memiliki

kandungan antioksidan dan bermanfaat untuk kesehatan.

2. Meningkatkan nilai ekonomis dari daging buah buah naga merah.

3. Mengetahui umur simpan dari minuman jeli buah naga merah.


6

1.5 Kerangka Pemikiran

Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI, 1994) jeli adalah makanan

ringan berbentuk gel yang dapat dibuat dari hidrokoloid, pektin, agar,

karagenan, gelatin, atau yang lainnya dengan menambahkan gula asam dengan

atau tanpa penambahan bahan tambahan yang diizinkan. Syarat mutu jeli dapat

dilihat pada Tabel 2.

Minuman jeli buah naga putih dibuat dari daging buah naga, bahan

pembentuk gel, gula dan bahan tambahan pangan lainnya sesuai dengan

kebutuhan dan peraturan yang berlaku.Tahapan yang paling penting dalam

pembuatan minuman jeli buah naga adalah pembentukan gel. Pembentukan gel

adalah suatu fenomena penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai

polimer sehingga terbentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan. Selanjutnya

jala ini menangkap atau mengimobilisasikan air di dalamnya dan membentuk

struktur yang kuat dan kaku (Fardiaz, 1992), sehingga konsentrasi air dapat

mempengaruhi proses pembentukan gel. Bahan pembentuk gel yang digunakan

dalam penelitian ini adalah karagenan.

Menurut Hilvina (2012). Minuman jeli buah naga putih dengan mutu

terbaik ditetapkan berdasarkan nilai effesiensi tertinggi dari uji tekstur dan uji

ranking yaitu dengan jenis hidrokoloid karagenan dengan konsentrasi 0,7%

yang memiliki ciri-ciri mutu hedonik warna putih kekuningan, rasa asam

manis, aroma agak kuat dan tekstur sulit disedot dengan nilai viskositas 405,95

cP, pH 3.75 dan total padatan terlarut 3,31oBrix. Dengan kadar vitamin C 5,75

mg dan kadar serat kasar 0.098 g.


7

Komposisi minuman jeli rosella yang paling disukai adalah dengan

konsentrasi ekstrak rosella 1% dan konsentrasi karagenan 0,5% dengan nilai

pH 2,73, kadar vitamin C 6,16 mg per 100 ml dan kadar gula total 14,51%

(Yuliani dkk, 2007). Sedangkan menurut Lestari (2012), minuman jeli bunga

rosela terbaik ditunjukkan oleh minuman jeli dengan penambahan konsentrasi

karagenan 0,8% dengan nilai viskositas 263,68 cP, nilai kadar air 87,96%, total

padatan 53,06% dan nilai pH 3,01.

Banyak volume udara dalam kemasan yang tinggi dapat memberikan efek

pengaruh dari oksigen, bahan yang memiliki kandungan antioksidan dan

senyawa-senyawa reduktor seperti vitamin C maka pengaruh udara tersebut

dapat lebih ternetralisir.

Menurut Yana (2009). Headspace ruang hampa udara antara permukaan

minuman dengan tutup botol, fungsi headspace sendiri adalah mempertahankan

flavor dan komponen nutrisi yang peka terhadap oksidasi, menyediakan ruang

untuk membebaskan gas-gas yang terbentuk selama pemanasan, menghindari

atau meminimalkan korosi akibat adanya oksigen.

Menurut Rizka (2015). Setelah kaleng melewati kran pengisi saus, aliran

kaleng diatas conveyor diatur kemiringannya sehingga saus akan tumpah dan

memperoleh headspace yang diinginkan. Headspace yang dihasilkan dari

kemiringan tersebut adalah 6-10% dari tinggi kaleng.

Menutrut Veronika (2015). Saus yang ditambahkan harus panas sehingga

mendapatkan didapatkan kondisi vaccum ketika kaleng ditutup. Saus yang

tekah dimasak kemudian dialirkan melalui pipa-pipa saluran menuju tempat


8

pengisian saus dalam kaleng. Kemiringan coveyor diatur sehingga

menyebabkan tumpahnya sedikit saus dalam kaleng sampai terbentuk head

space 3-4 mm dari mulut kaleng, dengan meminimalisir headspace yang

terdapat pada prodak makan semakin menambah umur simpan dari produk

tersebut.

Menurut Desy (2007). Parameter tingkat ketengikan minyak ikan yang

disimpan selama 8 delapan minggu, pada setiap minggunya. Minyak ikan

disimpan dalam wadah botol gelas yang diberi headspace 3%, 6%, dan 9% dari

volume botol dan ditambahkan antioksidan dengan konsentrasi 250 ppm, 500

ppm, 750 ppm. Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat diketahui bahwa

jumlah antioksidan dan volume headspace yang diberikan pada proses

pengemasan minyak ikan, berpengaruh terhadap %FFA, angka peroksida, dan

angka iodine. Perlakuan paling baik pada minyak ikan dalam menghambat

terjadinya proses oksidasi lipid adalah perlakuan antioksidan 750 ppm dan

headspace 3% dalam botol. Hal ini disebabkan pada perlakuan tersebut,

konsentrasi antioksidan yang ditambahkan paling efektif dalam menghambat

terjadinya reaksi lipid pada minyak ikan, dan volume yang paling baik dalam

meminimalkan ketersedian oksigen yang digunakan dalam proses oksidasi

lipid.

Menurut Erawati (2006). Tepung ubi jalar yang dihasilkan memiliki kadar

trans beta karoten pada kisaran 103,94 – 207, 39 μg/g. Faktor yang paling

berpengaruh terhadap stabilitas beta karoten selama penyimpanan adalah

adanya oksigen dalam headspace kemasan. Oleh karena itu, tepung ubi jalar
9

kaya beta karoten perlu pengemasan vakum untuk mempertahan beta

karotennya. Faktor yang paling berpengaruh terhadap stabilitas beta karoten

selama penyimpanan adalah oksigen pada headspace kemasan. Penyimpanan

tepung pada bulan ke 1 sudah menunjukan bahwa tepung ubi jalar yang

dikemas secara non vakum mengalami kehilangan beta karoten sekitar 79%

bila dibandingkan dengan ubi jalar yang dikemas vakum. Selanjutnya pada

bulan ke 2, tepung ubi jalar yang dikemas secara non vakum mengalami

kehilangan beta karoten sekitar 74% jika dibandingkan dengan tepung ubi jalar

yang dikemas vakum.

Menurut Heny (2008). Terdapat enam faktor utama yang mengakibatkan

terjadinya penurunan mutu atau kerusakan produk pangan, yaitu massa

oksigen, uap air, cahaya, mikroorganisme, kompresi, atau bantingan, dan bahan

kimia toksik atau off-flavor. Faktor- faktor tersebut mengakibatkan terjadinya

penurunan mutu lebih lanjut, seperti oksidasi lipida, kerusakan vitamin,

kerusakan protein, perubahan bau, reaksi pecoklatan, perubahan unsur

organoleptik, dan kemunkinan terbentuknya racun.

Menurut Muchtadi (2010). Udara dan oksigen selain dapat merusak

vitamin A dan C, warna bahan pangan, flavor, dan juga penting untuk

pertumbuhan kapang. Umumnya kapang anerobik, karena itu sering ditemukan

tumbuh pada permukaan bahan pangan. Oksigen dapat menyebabkan tengik

pada bahan pangan yang mengandung lemak. Oksigen dapat dikurangin

dengan cara menghisap udara keluar secara vakum atau penambahan gas inert
10

selama pengolahan, mengganti udara dengan N2, CO2 atau menangkap oksigen

dengan perekasi kimia.

Menurut Heny (2008). Kerusakan akan terjadi pada hasil pertanian selama

penyimpanan apabila terdapat oksigen, terutama apabila proses anaerobik

masih berjalan. Kebanyakan buah-buahan akan rusak apabila oksigen dalam

udara lebih dari 5%, sedangkan buah jeruk sudah rusak pada kadar oksigen

dibawah 1%.

Menurut Widya Puspasari Dkk (2008). Vitamin C bersifat sensitif

terhadap pengaruh-pengaruh luar yang menyebabkan kerusakan suhu,

konsentrasi gula, garam, oksigen, enzim, dan katalisator logam. Pada proses

pemotongan dan pengirisan buah-buahan atau sayur-sayuran sel-selnya akan

rusak terpotong. Keadaan ini menyebabkan pengaruh udara yang mengandung

oksigen dan sinar matahari yang mengandung sinar ultraviolet akan masuk

kedalam buah-buahan dan sayuran sehingga terjadi proses oksidasi.

Menurut Heny (2008). Kandungan mikroba, selain mempengaruhi mutu

produk pangan juga menentukan keamanan produk tersebut dikonsumsi.

Pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor

intrinsik mencakup keasaman (pH), aktivitas air (aw), equilibrium humidity

(Eh), kandungan nutrisi, struktur biologis, dan kandungan antimikroba. Faktor

ekstrinsik meluputi suhu penyimpanan, kelembaban relatif, serta jenis dan

jumlah gas pada lingkungan. Untuk menentukan tingkat keamanan produk

minuman jeli berdasarkan kandungan mikroba, digunakan parameter beberapa


11

jenis mikroba yang terkandung pada minuman jeli sebagaimana tertera pada

Tabel 2.

Menurut Yanti (2009). Kebutuhan oksigen tidak mutlak diperlukan

mikroorganisme karena ada kelompok yang tidak memerlukan oksigen bahkan

oksigen menjadi racun bagi pertumbuhan. Mikroorganisme terbagi atas empat

kelompok bersdasarkan kebutuhan akan organisme, yaitu mikroorganisme

aerob yang membutuhkan oksigen sebagai akseptor elektron dalam respirasi.

Mikroorganisme anaerob adalah mikroorganisme yang tidak membutuhkan

oksigen karena oksigen akan membentuk H2O2 yang bersifat toksik

menyebabkan kematian. Mikroorganisme anaerob tidak memiliki enzim

katalase yang dapat menguraikan H2O2 menjadi air dan oksigen.

Mikroorganisme fakultatif anaerob adalah mikroorganisme yang tumbuh dalam

lingkungan fakultatif anaerob. Mikroorganisme aerofilik adalah

mikroorganisme yang memerlukan oksigen dalam jumlah terbatas karena

jumlah oksigen yang berlebih akan menghambat kerja enzim oksidatif dan

menimbulkan kematian.

Menurut Nur (2009). Bahwa penyimpangan bau dan aroma yang terjadi

pada produk pangan perikanan disebabkan oleh adanya enzim dan

mikroorganisme. Bau busuk terjadi akibat aktivitas bakteri proteolitik yang

memecah protein menjadi senyawa-senyawa sederhana seperti polipeptida,

asam amino, H2S, indol, dan skatol. Sedangkan bau tengik disebabkan oleh

enzim proteolitik dan oksigen.


12

Menurut Syarief dan Halid (1993). Suhu merupakan faktor yang

berpengaruh terhadap perubahan mutu makanan. Semakin tinggi suhu

penyimpanan maka laju reaksi berbagai senyawa kimia akan semakin cepat.

Untuk jenis makanan kering dan semi basa, suhu percobaan penyimpanan yang

dianjurkan untuk menguji masa kadaluarsa makanan adalah 0 oC (kontrol), suhu

kamar, 30oC, 35oC, 40oC, 45oC jika diperlukan, sedangkan untuk makanan

yang diolah secara thermal adalah 5oC (kontrol), suhu kamar, 30oC, 35oC, dan

40oC. Untuk jenis makanan beku dapat menggunakan suhu -40oC (kontrol), -

15oC, -10oC, atau -5oC.

Mikroba merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan mutu

makanan. semakin sedikit volume headspace pada volume minuman jeli

makan semakin rendah kadar oksigen, maka semakin rendah pula pertumbuhan

mikroba yang terdapat pada produk, karena semakin sedikitnya jumlah media

penumbuh mikroba pada produk. Maka dari itu diperlukan penelitian untuk

melihat pengaruh headspace terhadap pertumbuhan mikroba dengan perlakuan

perbedaan volume yang berbeda.

1.6 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka dapat diambil hipotesis:

diduga bahwa semakin tinggi permukaan atau semakin rendah prodak minuman

jeli pada kemasan maka semakin panjang umur simpan.


13

1.7 Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Pangan,

Universitas Pasundan dan akan dimulai pada bulan November 2017 sampai

dengan selesai.

Anda mungkin juga menyukai