NIM : 180610091
MODUL 5
Ny.Oni 40 tahun, ibu rumah tangga, datang ke poliklinik obstetri dan ginekologi karena
post coital bleeding sejak 6 bulan lalu. Siklus menstruasi normal. Dokter kemudian melakukan
pemeriksaan ginekologi dan pap’s smear. Dari hasil pemeriksaan pap’s smear dokter
menyimpulkan sel cervix Tina mengalami dysplasia ringan. Dokter menjelaskan bahwa
dysplasia ini dapat berkembang menjadi kanker cervix jika tidak ditangani dengan baik. Dokter
juga menyarankan Ny.Oni untuk melakukan pemeriksaan pap’s smear secara berkala. Dari
anamnesia lebih lanjut dokter mendapatkan informasi bahwa Ny.Oni tidak memiliki banyak
pasangan, belum pernah mendapatkan imunisasi HPV, memiliki 6 anak dan pernah mengalami
abortus satu kali dan ternyata saudara Ny.Oni juga ada yang menderita kanker ovarium.
JUMP 1:
1. Post coital bleeding: adalah pendarahan pasca senggama / pendarahan yg terjadi setelah
berhubungan seksual diluar siklus haid.
2. Pap’s smear: Tes skrining untuk mendeteksi dini perubahan/abnormalitas dalam serviks
sebelum sel-sel tersebut menjadi kanker.
3. Imunisasi Hpv : Vaksin HPV adalah vaksin yang mencegah infeksi yang disebabkan oleh
Virus Papiloma Manusia tipe tertentu. Vaksin yang tersedia biasanya memproteksi
manusia terhadap dua, empat, atau sembilan jenis infeksi HPV.
4. Mastektomi radikal : Mastektomi radikal adalah prosedur bedah yang melibatkan
pengangkatan payudara, otot dada, dan kelenjar getah bening aksila sebagai pengobatan
untuk kanker payudara.
JUMP 2&3:
1. Apakah terdapat Hubungan antara Usia Ny.Oni (40 Tahun) dengan keluhanya berupa
post coital bleeding ?
Jawab :
Terdapat Hubungan antara Usia Ny.Oni tersebut yang sudah berusia 40 Tahun
dengan Post Coital bleeding yang di alaminya ,dimana usia 40 tahun sudah terjadi
penurunan hormone estrogen yang ada di dalam tubuh seseorang wanita sehingga
dengan menurunnya produksi hormone estrogen menyebabkan jaringan yang
membentuk struktur vagina menjadi lebih kering dan tipis serta kehilangan
elastisitas,dengan adanya hal tersebut apabila terjadi penetrasi ke dalam vagina dan
gesekan yang terjadi dengan intensitas yang tinggi lebih rentan menyebabkan
timbulnya perdarahan pada vagina tersebut ketika setelah melakukan hubungan
seksual
2. Mengapa Ny. Oni mengeluhkan post coital bleeding sejak 6 bln lalu?
Jawab :
pada keadaan ini dimana seorang wanita mengalami perdarahan baik sedikit ataupun
banyak diluar siklus haidnya dikarenakan adanya suatu benda asing yang masuk ke
dalam alat reproduksi wanita yang menimbulkan suatu trauma seperti lecet atau
perdarahan yang terjadi setelah melakukan hubungan seksual.
Dan Bedasarkan Dari hasil pemeriksaan pap’s smear, dokter menyimpulkan sel cervix
Tina mengalami dysplasia ringan. yg mana pada keadaan ini merupakan perubahan pra-
kanker pada leher rahim. Beberapateori menyebutkan hal ini disebabkan oleh Human
Papilloma Virus (HPV). Risiko meningkat dengan beberapa mitra seksual, hubungan
seks sebelum usia 18, melahirkan sebelum usia 16, atau sejarah masa lalu dari PMS.
Faktor penyebab lainya :
a. Eksfoliasi jaringan kanker
b. Terbukanya pembuluh darah
c. Dysplasia serviks : merupakan perubahan pra kanker pada leher Rahim
d. Infeksi di vagina atau serviks
e. Polip serviks massa bertangkai pada serviks
f. Kanker leher Rahim
g. Endometriosis terutama adenomiosis
h. Polip Rahim
i. Mioma uteri yaitu tumor jinak yang berasal dari dinding otot Rahim.
5. Bagaimana kaitan Ny Oni yang tidak memiliki banyak pasangan dan blm pernah
imunisasi HPV?
Jawab :
tidak memiliki banyak pasangan : menyangkal bahwa infeksi disebabkan oleh
berganti ganti pasangan.
tidak imunisasi HPV : tidak memiliki pertahanan terhadap infeksi HPV , sehingga
hpv sangat mudah menginveksi n yoni
anak yang banyak : salah satu factor resiko kanker servik
FAKTOR RISIKO Penyebab kanker serviks diketahui adalah virus HPV (Human
Papilloma Virus) sub tipe onkogenik, terutama sub tipe 16 dan 18. Adapun faktor risiko
terjadinya kanker serviks antara lain: aktivitas seksual pada usia muda, berhubungan
seksual dengan multipartner, merokok, mempunyai anak banyak, sosial ekonomi rendah,
pemakaian pil KB (dengan HPV negatif atau positif), penyakit menular seksual, dan
gangguan imunitas.
6. Bagaimana keterkaitan antara abortus yg dialami Ny oni dan anaknya yang banyak dan
saudaranya yang mengalami kanker ovarium?
Jawab :
Abortus : Terdapat Hubungan antara Riwayat Abortus yang di alami oleh Ny.Oni
tersebut dengan keluhanya saat ini,dimana Abortus yang di alami pada masa lalu
menyebabkan struktur Cervix nya mengalami proses pengerusakan sehingga dengan
rusaknya servix yang sudah terjadi dalam waktu yang cukup lama akan memudahkan
suatu Virus HPV untuk Melakukan Infeksi.
Anak yang banyak: semakin sering wanita melahirkan, semakin tinggi risiko ca
cervix Riwayat saudara mengalami kanker ovarium: menjadi factor predisposisi
7. Apa yang menyebabkan teman Ny. Oni memiliki payudara seperti kulit jeruk dan agak
tertarik ke dalam dan disertai keluarnya darah?
Jawab :
Kulit yang tertarik ke bagian dalam payudara dan tampak kulit seperti kulit jeruk
pada teman Ny.Oni yang terdiagnosis mengalami kanker payudara tersebut di
sebabkan oleh terdapatnya suatu penyumbatan pada pembuluh getah bening yang
mengarah ke bagian kulit yang ada di sekitar payudara tersebut hingga timbul
gambaran seperti kulit jeruk,sedangkan retraksi putting terjadi di sebabkan karena
adanya pembentukan dari jaringan parut yang terbentuk di dalam payudara.
Darah dari puting : Keluarnya darah dan cairan dari putting payudara teman Ny.Oni
tersebut menandakan sudah masuknya ke dalam tahapan stadium III , pada stadium
III ini metastasis dan invasive sudah mengenai bagian dari kulit yang ada pada
bagian atas dari saluran air susu sehingga akan menyebabkan darah keluar melalui
puting pada teman Ny.Oni tersebut.
8. Mengapa setelah dilakukan mastektomi radikal dan kemoterapi teman Ny. Oni menjadi
lemah?
Jawab :
pada pasien post mastektomi radikal dapat terjadi limfadema yaitu peradangan pada
pembuluh darah limfe hal ini biasa terjadi pada pasien mastektomi radikal sedangkan
kemoterapi juga bisa menurunkan hb penderita yg menyebabkan lesu dan lemahnya
penderita tersebut
Tingkat Penatalaksanaan
0 - Biopsy kerucut
- Histeroktomi transvaginal
Ia - Biopsy kerucut
- Histeroktomi transvaginal
Jump 5 : skema
neoplasma sistem
reproduksi dan
mammae
histopatologi
fisik & penunjang
pemeriksaan
penunjang
tataklaksana (pap'smear dan iva)
(farmako & non
farmako)
prognosis &
komplikasi
rujukan
Jump 6 : LO
1. Neoplasma sistem reproduksi :
Polip cervix
ca cervix
ovarium
Mioma dan ca endometrium
2. Neoplasma mammae :
fibroadenoma mammae
Ca payudara
Meringkup :
Pemeriksaan pap’s smear dan IVA
Pemeriksaan histopatologi
1. Polip Servix
a. Pengertian
Polyp adalah tumor jinak yang tumbuh menonjol dan bertangkai dari selaput lendir
dibagian tubuh manusia, seperti hidung, telinga, usus dan selaput lendir lainnya.
Cervix adalah leher rahim. Polyp Cervix atau polip rahim adalah massa atau jaringan
lunak yang umbuh pada lapisan dinding bagian dalam rahim dan menonjol ke dalam
rongga rahim.
1. Polip ektoserviks
Polip ektoserviks dapat tumbuh dari lapisan permukaan luar serviks. Polip
ektoserviks sering diderita oleh wanita yang telah memasuki periode paska-
menopause, meskipun dapat pula diderita oleh wanita usia produktif. Prevalensi
kasus polip serviks berkisar antara 2 hingga 5% wanita. Polip ektoserviks berwarna
agak pucat atau merah daging, lunak, dan tumbuh melingkar atau memanjang dari
pedikel. Polip ini tumbuh di area porsio dan jarang sekali menimbulkan perdarahan
sebagaimana polip endoserviks atau degenerasi polipoid maligna.
2.polip endoservix
Pertumbuhan polip berasal dari bagian dalam serviks. Biasanya Pada wanita
premenopause (di atas usia 20 tahun) dan telah memiliki setidaknya satu anak.
Meskipun pembagian polip serviks menjadi polip ektoserviks dan endoserviks cukup
praktis untuk menentukan lokasi lesi berdasarkan usia, namun hal itu bukan
merupakan ukuran absolut untuk menetapkan letak polip secara pasti.
c. Etiologi
Penyebab timbulnya polip serviks belum diketahui dengan pasti. Namun sering
dihubungkan dengan radang yang kronis, respon terhadap hormone estrogen dan
pelebaran pembuluh darah serviks. Penampilan polip serviks menggambarkan respon
epitel endoservik terhadap proses peradangan. Polip servik dapat menimbulkan
perdarahan pervaginam, perdarahan kontak, pasca coitus merupakan gejala yang
tersering dijumpai. Polip servik yang terjadi sebagai akibat stroma local yang
menutupi daerah antara kedua celah pada kanalis servik. Epitellium silinder yang
menutupi polip dapat mengalami ulserasi polip serviks pada dasarnya adalah suatu
reaksi radang, penyebabnya sebagian besar belum diketahui.
d. Patofisiologi
Polip servik dapat menyerang lapisan permukaan luar servik (ektoservik) dan bagian
dalam servik (endoservik). Normalnya servik uteri pada nullipara dalam keadaan
normal kanalis servikalis bebas kuman, pada multipara dengan ostium uteri
eksternum lebih terbuka, batas ke atas ostium uteri internum bebas kuman.Radang
pada servik uteri, bisa terdapat pada porsio uteri diluar ostium uteri eksternum dan /
pada endoservik. Penyakit gonorea, sifilis, ulkus molle dan granuloma inguinale dan
TBC dapat ditemukan peradangan kronis pada servik.Karena adanya peradangan
yang kronis / virus memicu endoservik merespon dengan timbulnya Adenoma-
Adenoma fibroma (hiperplasia pada epitel endoservik).Setelah epitel endoservik
tumbuh menonjol dan / bertangkai dan dapat panjang hingga keluar dari vulva,
ujungnya mengalami nekrosis serta mudah berdarah. (Prawirohardjo,Sarwono. 2009.
Ilmu Kandungan. Jakarta : YBPSP, hal: 263, 336).
e.Manifestasi klinis
Biasanya, tidak akan ada gejala untuk polip serviks tetapi pada waktu penyakit
a; Menstruasi.
b; setelah menopause.
Gejala utamanya adalah terjadinya perdarahan diluar haid yang warnanya lebih
terang dari darah haid. Terutama timbul setelah melakukan senggama (Perdarahan
Paska Senggama = Post Coital Bleeding = PCB). Perlu dipertimbangkan juga adanya
kanker leher rahim jika ditemukan PCB. Walaupun kadang – kadang polip cervix
dapat berulang, namun 99% polip cervix bersifat jinak. Banyak polip serviks tidak
memberikan gejala tetapi ada gejala utama adalah dasar diagnosa perdarahan
intermitten dan gejala gejala umum ke-3 bentuk abnormal tersebut:
a; Jaringan bertambah
b; Mudah berdarah
F. Pemeriksaan Penunjang
1;Pemeriksaan Radiologi
2; Pemeriksaan Laboratorium
Sitologi vagina dapat menunjukkan adanya tanda infeksi dan sering kaliditemukan
sel-sel atipik. Pemeriksaan darah dan urin tidak terlalu banyak membantu
menegakkan diagnosis.
3; Pemeriksaan Khusus
Polip yang terletak jauh di kanal endoserviks tidak dapat dinilai melalui inspeculo
biasa, tetapi dapat dilakukan pemeriksaan khusus menggunakan spekulum
endoserviks atau histeroskopi. Seringkali polip endoserviks ditemukan secara tidak
sengaja pada saat dilakukan pemeriksaan perdarahan abnormal. Pemeriksaan
ultrasonografi dilakukan untuk menyingkirkan adanya massa atau polip yang tumbuh
dari uterus.
G.Pemeriksaan Histopatologi
Makroskopis dapat tunggal atau multipel dengan ukuran beberapa centimeter, warna
kemerah – merahan dan rapuh. Kadang – kadang tangkainya jadi panjang sampai
menonjol dari introitus. Kalau asalnya dari portio konsistensinya lebih keras dan
pucat dengan tangkai yang tebal.Histologi Berasal dari mukosa yang dilapisi oleh 1
lapis epitel yang terdiri dari sel – sel silindris yang tinggi, yang khas berasal dari
endocervix, dengan kelenjar cervix dan stroma dari jaringan ikat yang halus disertai
oedem dan infiltrasi sel bulat. Sering pula disertai ulserasi pada ujungnya yang
menyebabkan terjadinya perdarahan. Banyak polip servic yang menunjukkan
metaplasia yang luas, disertai infeksi, menyerupai permulaan dari carcinum, Ca
epidermoid kadang – kadang berasal dari polip.
H.Pencegahan
1; Pakai celana katun atau stoking dengan selangkangan kapas. Ini membantu
mencegah akumulasi kelebihan panas dan kelembaban. Panas dan kelembaban
membuat seorang wanita rentan terhadap infeksi vagina dan leher rahim.
1;Konservatif.
Yakni bila ukuran polip kecil, tidak mengganggu, dan tidak menimbulkan keluhan
(misal sering bleeding, sering keputihan). dokter akan membiarkan dan
mengobservasi perkembangan polip secara berkala.
2;Agresif.
Yakni bila ukuran polip besar, ukuran membesar, mengganggu aktifitas, atau
menimbulkan keluhan. tindakan agresif ini berupa tindakan curettage atau
pemotongan tangkai polip. tindakan kauter ini bisa dilakukan dengan rawat jalan,
biasanya tidak perlu rawat inap. untuk tindakan pengobatan selain curettage untuk
saat ini belum ada. tapi untuk polip-polip yang
ukurannya kecil (beberapa milimeter) bisa dicoba pemberian obat yang dimasukkan
melalui vagina, untuk mengurangi reaksi radang. Setelah pemberiannya tuntas,
diperiksa lagi apakah pengobatan tersebut ada efeknya pada polip atau tidak. jika
tidak, maka untuk pengobatannya dengan kauterisasi.Bila polip mempunyai tangkai
kurus, tangkainya digenggam dengan forsep polip dan diputar beberapa kali sampai
dasar polipnya terlepas dari jaringan servik dasarnya. Bila terdapat perdarahan
pervaginam abnormal, maka diperlukan curettage di RS untuk menyingkirkan
keganasan servik dan endometrium.
Polip yang mudah terlihat dengan tangkai yang tipis dapat disekam dengan klem
arteri atau forcep kasa dan dipluntir putus. Dianjurkan mengkauterisasi dasarnya
untuk mencegah perdarahan dan rekurensi. Pasien yang mempunyai banyak polip
mungkin terbaik diterapi dengan cara konisasi sehingga setiap polip yang tidak
terlihat didalam kanalis tidak akan diabaikan. Biasanya, polipektomi cervix harus
dilakukan bersama dengan suatu kuretase.
a. Krioterapi
b. Elektrokauter
c. Diatermi Elektrokoagulasi
Diatermi elektrokoagulasi dapat memusnahkan jaringan lebih luas dan efektif jika
dibandingkan dengan elektrokauter, tetapi harus dilakukan dengan anestesi umum.
Tindakan ini memungkinkan untuk memusnahkan jaringan serviks sampai
kedalaman 1 cm, tetapi fisiologi serviks dapat dipengaruhi, terutama jika lesi
tersebut sangat luas.
d. Laser
J.Komplikasi
Polip serviks dapat terinfeksi, biasanya oleh kelompok Staphylococcus,
Streptococcus, dan jenis patogen lainnya. Infeksi serius biasanya terjadi setelah
dilakukan instrumentasi medik untuk menegakkan diagnosis atau setelah membuang
polip. Antibiotik spektrum luas perlu diberikan bila tanda awal infeksi telah tampak.
Inisiasi atau eksaserbasi salfingitis akut dapat terjadi sebagai konsekuensi
polipektomi.
K.Prognosis
2.CARCINOMA SERVIX
a. Pengertian
Kanker serviks merupakan keganasan yang berasal dari serviks. Serviks merupakan
sepertiga bagian bawah uterus, berbentuk silindris, menonjol dan berhubungan
dengan vagina melalui ostium uteri eksternum.
b. Epidemiologi
Pada tahun 2010 estimasi jumlah insiden kanker serviks adalah 454.000 kasus1.
Data ini didapatkan dari registrasi kanker berdasarkan populasi, registrasi data vital,
dan data otopsi verbal dari 187 negara dari tahun 1980 sampai 2010. Per tahun
insiden dari kanker serviks meningkat 3.1% dari 378.000 kasus pada tahun 1980.
Ditemukan sekitar 200.000 kematian terkait kanker serviks, dan 46.000 diantaranya
adalah wanita usia 15-49 tahun yang hidup di negara sedang berkembang.
c.Faktor risiko
Penyebab kanker serviks diketahui adalah virus HPV (Human Papilloma Virus) sub
tipe onkogenik, terutama sub tipe 16 dan 18. Adapun faktor risiko terjadinya kanker
serviks antara lain: aktivitas seksual pada usia muda, berhubungan seksual dengan
multipartner, merokok, mempunyai anak banyak, sosial ekonomi rendah, pemakaian
pil KB (dengan HPV negatif atau positif), penyakit menular seksual, dan gangguan
imunitas.
d. Patofisiologi
Sel kanker serviks pada awalnya berasal dari sel epitel pada serviks yang mengalami
mutasi sehingga terjadi perubahan prilaku yang abnormal. Keadaan sel yang tumbuh
tidak terkendali dan keadaan abnormal sel yang tidak dapat diperbaiki inilah yang
menyebabkan pertumbuhan menjadi kanker. Ada beberapa kejadian yang erat
hubungannya dengan kejadian kanker serviks yaitu insiden kanker sering terjadi
pada mereka yang sudah menikah dibanding dengan yang belum menikah, dapat
juga dialami pada wanita pada coitus pertama yang dialami pada usia sangat muda,
kejadian meningkat dengan tingginya paritas dan jarak persalianan yang terlalu
dekat, selain itu pada golongan dengan sosial ekonomi rendah yang berhubungan
dengan masalah higienis seksual yang kurang bersih, pada mereka yang sering
berganti-ganti pasangan (promiskuitas), perokok dan pada wanita yang terinfeksi
Human Papilloma Virus (HPV) tipe 16 atau 18.
e.Diagnosis
Diagnosis ditegakkan atas atas dasar anamnesis, pemeriksaan klinik.
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Pada umumnya, lesi prakanker belum memberikan gejala. Bila telah menjadi kanker
invasif, gejalan yang paling umum adalah perdarahan (contact bleeding, perdarahan
saat berhubungan intim) dan keputihan. Pada stadium lanjut, gejala dapat
berkembang mejladi nyeri pinggang atau perut bagian bawah karena desakan tumor
di daerah pelvik ke arah lateral sampai obstruksi ureter, bahkan sampai oligo atau
anuria. Gejala lanjutan bisa terjadi sesuai dengan infiltrasi tumor ke organ yang
terkena, misalnya: fistula vesikovaginal, fistula rektovaginal, edema tungkai.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan klinik ini meliputi inspeksi, kolposkopi, biopsi serviks, sistoskopi,
rektoskopi, USG, BNO -IVP, foto toraks dan bone scan , CT scan atau MRI, PET
scan. Kecurigaan metastasis ke kandung kemih atau rektum harus dikonfirmasi
dengan biopsi dan histologik. Konisasi dan amputasi serviks dianggap sebagai
pemeriksaan klinik. Khusus pemeriksaan sistoskopi dan rektoskopi dilakukan hanya
pada kasus dengan stadium IB2 atau lebih.
a. Pengertian
Pap smear adalah pemeriksaan sitologi dari serviks dan porsio untuk melihat adanya
perubahan atau keganasan pada epitel serviks atau porsio. Untuk mengetahui adanya
tanda-tanda awal keganasan serviks (prakanker) yang ditandai dengan adanya
perubahan pada lapisan epitel serviks (displasia) (Rasjidi, 2008). Tes pap dapat
mendeteksi perubahan awal sel leher rahim (displasia) sebelum berubah menjadi
kanker. Pap Smear juga dapat mendeteksi sebagian besar kanker serviks pada tahap
awal (Emellia, et all, 2010).
c. Menentukan maturitas suatu kehamilan, apakah masih dalam masih dalam masa
evolusi, mendekati aterem, atau sudah postmatur
d. Menilai ada/tidaknya stimulasi esterogen pada wanita yang telah dilakukan
ooforektomi atau mereka yang mendapat terapi estrogen per oral.
2. Mendiagnosis peradangan
Peradangan pada vagina dan serviks pada umumnya dapat didiagnosis dengan
pemeriksaan sitologi apusan pap. Baik peradangan akut maupun kronis, sebagian
besar akan memberi gambaran perubahan sel yang khas pada sediaan apusan pap
sesuai dengan organisme yang tidak menimbulkan reaksi yang khas pada sediaan
apusan pap
4. Mendiagnosa kelainan prakanker (displansia) serviks dan kanker serviks dini atau
lanjut (karsinoma insitu/invasif). Manfaat sitologi apusan pap yang paling banyak
dikenal dan digunakan adalah sebagai pemeriksaan untuk mendiagnosis lesi
prakanker (displasia) atau kanker (karsinoma) serviks. Dengan kemajuan penelitian
mutakhir di bidang sitologi apusan pap, Sitologi ginekologik yang semula
dinyatakan hanya sebagai alat skrining deteksi kanker mulut rahim, kini telah diakui
sebagai alat skrining deteksi kanker mulut rahim, kini telah diakui sebagai alat
diagnostik prakanker dan kanker serviks yang ampuh dengan ketepatan diagnostik
yang tinggi. Walaupun ketepatan diagnostik sitologi ginekologik apusan pap sangat
tinggi, yaitu 96%, tetapi diagnostic sitologi tidak dapat menggantikan diagnostic
histopatologik sebagai alat pemasti diagnosis. Hal itu berarti setiap diagnostic
sitologi kanker serviks harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologi
jaringan biopsy serviks, sebelum dilakukan tidakan berikutnya.
a. Memantau hasil terapi hormonal, misalnya pada kasus infertilitas atau gangguan
endokrin. Memantau hasil terapi radiasi pada kasus kanker serviks yang telah diobati
dengan radiasi
c. Memantau hasil terapi lesi prakanker atau kanker serviks yang telah diobati
dengan elektrokuater, kriosurgeri, atau konisasi
2. Grade II ada sitologi atipik tapi tak ada bukti adanya keganasan
3. Grade III ada perubahan sitologi yang jelas tapi tak dapat disimpulkan ada
keganasan
5. Keganasan
b. Klasifikasi WHO
1. Negatif
2. Inkonklusif
4. Keganasan
2. CIN II
3. CIN III
d. Klasifikasi Bathesda
Sel skuamosa
a) Atypical sguamous cells
. Sel Glandular
a). Atipikal
(1) Sel-sel endoserviks (yang tidak dapat diklasifikasikan atau sebutkan dengan
penjelasan)
(2) Sel-sel endometrial (yang tidak dapat diklasifikasikan atau sebutkan dengan
penjelasan
(3) Sel-sel glandular (yang tidak dapat diklasifikasikan atau sebutkan dengan
penjelasan
b). Atipikal
(1) Sel-sel endoserviks, mengarah pada neoplastik
(2) Sel-sel glandular, mengarah pada neoplastik
c). Adenokarsinoma Endoserviks in situ
d). Adenokarsinoma
e. Endoserviksi
f. Endometrial
g. Akstrauterin
b. Bahan fiksasi basah berupa cairan fiksasi alcohol 95% dalam tabung atau bahan
fiksasi kering berupa cytotrep, dryfix, atau hair spray
2. Pengambilan secret harus dilaksanakan pada keadaan vagina normal tanpa infeksi
dan tanda pengobatan local, paling sedikit dalam waktu 48 jam terakhir.
3. Memasukan instrumen metal atau plastic yang disebut spekulum ke dalam vagina.
Tujuannya agar mulut rahim dapat leluasa terlihat
4. Dengan swab atau spatula kayu, atau semacam sikat, operator mengambil sel pada
seluruh saluran mulut rahim, pada puncak mulut rahim, dan pada daerah peralihan
mulut rahim dan vagina
5. Operator akan meletakan sel-sel tersebut pada kaca obyek yang kemudian akan
dikirim ke laboratorium untuk di periksa
IVA merupakan tes visual menggunakan larutan asam cuka (asam asetat 2%) dan
larutan iodium lugol pada serviks dan melihat perubahan warna yang terjadi setelah
dilakukan olesan. IVA adalah suatu pemeriksaan serviks secara langsung (dengan
mata telanjang) setelah pemberian asam asetat (cuka) 3-5%. Pemberian asam asetat
akan mempengaruhi epitel abnormal dimana akan terjadi peningkatan osmolaritas
cairan ekstra celuler, yang bersifat hipertonik ini akan menarik cairan dari intra
celuler sehingga membran sel akan kolaps dan jarak antar sel akan semakin dekat.
Akibatnya bayangan kemerahan dari pembuluh darah di dalam stroma akan tertutup
dan serviks akan tampak berwarna lebih putih. (Dewi, 2013).
b. Tujuan
c. Syarat
d. Jadwal
Program skinning yang direkkomendasikan WHO adalah :
1. Skrining pada setiap wanita minimal satu kali pada usia 35-40 tahun, jika fasilitas
memungkinkan lakukan setiap sepuluh tahun pada usia 35-55 tahun, namun jika
fasilitas tersedia lebih lakukan lima tahun pada usia 35-55 tahun.
2. Ideal dan optimal pemeriksaan dilakukan setiap tiga tahun pada wanita usia 25-60
tahun.
3. Skrining yang dilakukan sekali dalam sepuluh tahun atau sekali seumur hidup
memiliki dampak yang signifikan. Di Indonesia anjuran untuk melakukan
pemeriksaan IVA bila hasil positif (+) adakah satu tahun dan apabila hasil negative
(-) adalah lima tahun. (Sukaca, 2009)
1. IVA negative
Tidak ada tanda atau gejala kanker serviks atau serviks normal berbentuk licin,
merah muda, bentuk porsio normal.
2. IVA radang
Serviks dengan radang (servisitis), atau kelainan jinak lainnya seperti polip serviks.
3. IVA positif
Ditemukan bercak putih (aceto white epithelium).
Pertumbuhan seperti bunga kol, dan pertumbuhan mudah berdarah. Ini masih
memberikan harapan hidup bagi penderitanya jika masih pada stadium invasive dini
(Stadium IB-IIA). (Sukaca, 2009).
f. Manfaat IVA
1. Mendeteksi adanya warna putih (acetowhite) pada serviks yang merupakan tanda
pra kanker sejak dini.
2. Jika pra kanker atau kanker dapat diketahui maka dapat dilakukan upaya
pengobatan sejak dini.
3. Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pada wanita akibat kanker serviks.
3.CARCINOMA OVARIUM
a. Pengertian
Kanker ovarium adalah terjadinya pertumbuhan sel-sel tidak lazim (kanker) pada
satu atau dua bagian indung telur.
b. Insidensi
Kanker ovarium di Indonesia menduduki urutan ke enam terbanyak dari keganasan
pada wanita setelah karsinoma serviks uteri, payudara, kolorektal, kulit dan limfoma
(Andi, et al., 2011). Berdasarkan laporan dari Badan Registrasi Kanker (BRK)
Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2005 yang diperoleh dari 13
laboratorium pusat patologik anatomik di seluruh Indonesia menunjukkan bahwa
frekuensi relatif kanker ovarium menempati urutan ke-4 diantara 10 tumor tersering
menurut tumor primer yang terjadi pada pria dan wanita (4401 kasus) dan
menempati urutan ke 6 tumor tersering menurut tumor primer yang terjadi pada
wanita di Jakarta (871 kasus) (Andi, et al., 2011).
c. Etiologi
Menurut Hidayat (2009) Ovarium terletak di kedalaman rongga pelvis. Bila timbul
kanker, biasanya tanpa gejala pada awalnya sehingga sulit ditemukan, membuat
diagnosis tertunda. Ketika lesi berkembang dan timbul gejala, sering kali sudah
bukan stadium dini. Maka terdapat 60-70% pasien kanker ovarium saat didiagnosis
sudah terdapat metastasis di luar ovarium. Penyebab kanker ovarium hingga kini
belum jelas, tapi faktor lingkungan dan hormonal berperan penting dalam
patogenesisnya. Akan tetapi banyak teori yang menjelaskan tentang etiologi kanker
ovarium, diantaranya:
1. Hipotesis incessant ovulation, Teori menyatakan bahwa terjadi kerusakan pada
sel-sel epitel ovarium untuk penyembuhan luka pada saat terjadi ovulasi. Proses
penyembuhan sel-sel epitel yang terganggu dapat menimbulkan proses transformasi
menjadi sel-sel tumor.
2. Hipotesis androgen, Androgen mempunyai peran penting dalam terbentuknya
kanker ovarium. Hal ini didasarkan pada hasil percobaan bahwa epitel ovarium
mengandung reseptor androgen. Dalam percobaan in-vitro, androgen dapat
menstimulasi pertumbuhan epitel ovarium normal dan sel-sel kanker ovarium.
c.Patofisiologi
Banyak tumor ovarium tidak menunjukkan tanda dan gejala, terutama tumor
ovarium kecil. Sebagian tanda dan gejala akibat dari pertumbuhan, aktivitas
hormonal dan komplikasi tumor-tumor tersebut.
1. Akibat Pertumbuhan
Adanya tumor di dalam perut bagian bawah bisa menyebabkan pembesaran perut,
tekanan terhadap alat sekitarnya, disebabkan oleh besarnya tumor atau posisinya
dalam perut. Selain gangguan miksi, tekanan tumor dapat mengakibatkan konstipasi,
edema, tumor yang besar dapat mengakibatkan tidak nafsu makan dan rasa sakit.
2. Akibat aktivitas hormonal
Pada umumnya tumor ovarium tidak menganggu pola haid kecuali jika tumor itu
sendiri mengeluarkan hormon.
3. Akibat Komplikasi
a. Perdarahan ke dalam kista : Perdarahan biasanya sedikit, kalau tidak sekonyong-
konyong dalam jumlah banyak akan terjadi distensi dan menimbulkan nyeri perut.
b. Torsi : Torsi atau putaran tangkai menyebabkan tarikan melalui ligamentum
infundibulo pelvikum terhadap peritonium parietal dan menimbulkan rasa sakit.
c. Infeksi pada tumor
Infeksi pada tumor dapat terjadi bila di dekat tumor ada tumor kuman patogen
seperti appendicitis, divertikalitis, atau salpingitis akut
d. Robekan dinding kista Robekan pada kista disertai hemoragi yang timbul secara
akut, maka perdarahan dapat sampai ke rongga peritonium dan menimbulkan rasa
nyeri terus menerus.
e. Perubahan keganasan
Dapat terjadi pada beberapa kista jinak, sehingga setelah tumor diangkat perlu
dilakukan pemeriksaan mikroskopis yang seksama terhadap kemungkinan perubahan
keganasan (Wiknjosastro,1999). Tumor ganas merupakan kumpulan tumor dan
histiogenesis yang beraneka ragam, dapat berasal dari ketiga (3) dermoblast
(ektodermal, endodermal, mesodermal) dengan sifat histiologis maupun biologis
yang beraneka ragam, kira-kira 60% terdapat pada usia peri menopause 30% dalam
masa reproduksi dan 10% usia jauh lebih muda. Tumor ovarium yang ganas,
menyebar secara limfogen ke kelenjar para aorta, medistinal dan supraclavikular.
Untuk selanjutnya menyebar ke alat-alat yang jauh terutama paru-paru, hati dan otak,
obstruksi usus dan ureter merupakan masalah yang sering menyertai penderita tumor
ganas ovarium (Harahap, 2003).
d. Manifestasi klinis
Kanker ovarium tidak menimbulkan gejala pada waktu yang lama. Gejala umumnya
sangat bervariasi dan tidak spesifik.
1. Stadium Awal
a. Gangguan haid
b. Konstipasi (pembesaran tumor ovarium menekan rectum)
c. Sering berkemih (tumor menekan vesika urinaria)
d. Nyeri spontan panggul (pembesaran ovarium)
e. Nyeri saat bersenggama (penekanan / peradangan daerah panggul)
f. Melepaskan hormon yang menyebabkan pertumbuhan berlebihan pada lapisan
rahim, pembesaran payudara atau peningkatan pertumbuhan rambut)
2. Stadium Lanjut
a. Asites
b. Penyebaran ke omentum (lemak perut)
c. Perut membuncit
d. Kembung dan mual
e. Gangguan nafsu makan
f. Gangguan BAB dan BAK
g. Sesak nafas
h. Dyspepsia
e. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat, pemeriksaan fisik ginekologi,
serta pemeriksaan penunjang. Kanker ovarium pada stadium dini tidak memberikan
keluhan. Keluhan yang timbul berhubungan dengan peningkatan massa tumor,
penyebaran tumor pada permukaan serosa dari kolon dan asites. Rasa tidak nyaman
dan rasa penuh diperut, serta cepat merasa kenyang sering berhubungan dengan
kanker ovarium. Gejala lain yang sering timbul adalah mudah lelah, perut
membuncit, sering kencing, dan nafas pendek akibat efusi pleura dan asites yang
masif (Gibbs, et al., 2008; Schorge, et al., 2008). Dalam melakukan anamnesis pada
kasus tumor adneksa perlu diperhatikan umur penderita dan faktor risiko terjadinya
kanker ovarium. Pada bayi yang baru lahir dapat ditemukan adanya kista fungsional
yang kecil (kurang dari 1-2 cm) akibat pengaruh dari hormon ibu. Kista ini akan
menghilang setelah bayi berumur beberapa bulan. Apabila menetap akan terjadi
peningkatan insiden tumor sel germinal ovarium dengan jenis yang tersering adalah
kista dermoid dan disgerminoma. Dengan meningkatnya usia kemungkinan
keganasan akan meningkat pula. Secara umum akan terjadi peningkatan risiko
keganasan mencapai 13% pada premenopause dan 45% setelah menopause.
Keganasan yang terjadi bisa bersifat primer dan bisa berupa metastasis dari uterus,
payudara, dan traktus gastrointestinal (Gibbs, et al., 2008).
Pemeriksaan Ginekologi
Dengan melakukan pemeriksaan bimanual akan membantu dalam memperkirakan
ukuran, lokasi, konsistensi, dan mobilitas dari massa tumor. Pada pemeriksaan
rektovaginal untuk mengevaluasi permukaan bagian posterior, ligamentum
sakrouterina, parametrium, kavum Douglas dan rektum. (Gibbs, et al., 2008).
Pemeriksaan Penunjang
Ultrasonografi merupakan pemeriksaan penunjang utama dalam menegakkan
diagnosis suatu tumor adneksa ganas atau jinak. Pada keganasan akan memberikan
gambaran dengan septa internal, padat, berpapil, dan dapat ditemukan adanya asites.
Walaupun ada pemeriksaan yang lebih canggih seperti CT scan, MRI (magnetic
resonance imaging), dan positron tomografi akan memberikan gambaran yang lebih
mengesankan. Namun pada penelitian tidak menunjukan tingkat sensitifitas dan
spesifisitas yang lebih baik dari ultrasonografi (Ingegerd, et al., 2010; Kim, et al.,
2012). Serum CA-125 saat ini merupakan petanda tumor yang paling sering
digunakan dalam penapisan kanker ovarium jenis epitelial, walaupun sering disertai
keterbatasan. Perhatian telah pula diarahkan pada adanya petanda tumor untuk jenis
sel germinal, antara lain alpha-fetoprotein (AFP), lactic acid dehidrogenase (LDH),
human placental lactogen (HPL), plasental-like alkaline phosphatase (PLAP) dan
human chorionic gonadotrophin (HCG).
f. Tata Laksana
Saat ini penatalaksanaan kanker ovarium meliputi staging laparotomy menyeluruh
sebagai mana yang dilakukan terhadap karsinoma ovarium jenis epitelial. Enam
puluh sampai tujuh puluh persen penderita didiagnosis dengan stadium I karena
kebanyakan berada pada usia reproduksi. Penyakit dengan stadium awal dapat
dilakukan hanya salfingoooferektomi unilateral dengan mempertahankan uterus dan
ovarium kontralateral. Prosedur ini terdiri atas insisi mediana, pembilasan
peritoneum, eksplorasi, sitologi dan biopsi, omentektomi dan limfadenektomi.
Semua daerah yang dicurigai harus dilakukan biopsi. Ovarium kontralateral
diperhatian secara cermat, dan tidak perlu dilakukan biopsy bila ukuran, bentuk dan
konsistensinya normal (Zanetta, et al., 2001; Yongjung, et al., 2011). Pada penderita
dengan stadium lanjut dianjurkan untuk dilakukan sesuai dengan prinsip
pembedahan sitoreduksi. Dukungan terhadap konsep pembedahan sitoreduksi pada
tumor ganas sesuai dengan penelitian oleh Gynecologic Oncology Group (GOG),
dengan menggunakan regimen kombinasi vinkristin, aktinomisin D, dan
siklofosfamid (VAC). Slayton, et al. mendapatkan kegagalan kemoterapi 28% pada
penderita dengan reseksi komplet di bandingkan dengan 68% pada reseksi
inkomplet. Dan dilaporkan pula pada semua penderita stadium II dan III yang
dilakukan reseksi dengan pemberian kemoterapi mencapai 75-95% (Zanetta, et al.,
2001; Yongjung, et al., 2011).
b. Epidemiologi
Angka kejadian mioma uteri di Amerika Serikat sebesar 8 orang per 1000 wanita
tiap tahunnya, sedangkan di Indonesia kasus mioma uteri ditemukan sebesar 2,39% -
11,70% dari semua penderita ginekologi yang dirawat. Berdasarkan temuan otopsi,
Novak menemukan 27% wanita berumur 25 tahun mempunyai sarang mioma, dan
ditemukan lebih banyak pada wanita yang berkulit hitam. Jarang sekali mioma uteri
ditemukan pada wanita umur 20 tahun, paling banyak pada umur 35 – 45 tahun (±
25%).
d. Patogenesis
Mioma uteri merupakan neoplasma jinak yang muncul dari otot polos uterus.
Penyebab pasti mioma uteri sampai saat ini masih belum ditemukan. Meyer dan De
Snoo mengajukan teori Cell Nest atau teori genitoblas. Menurut Meyer asal mioma
uteri adalah sel matur, bukan dari selaput otot yang matur. Mioma uteri dipercaya
berasal dari mutasi somatik pada sel miometrium, hasil dari kegagalan proses
pertumbuhan. Beberapa penelitian Glucose-6-phospate dehydrogenase menunjukkan
bahwa mioma uteri berasal dari monoklonal. Tumor tumbuh sebagai klon abnormal
secara genetik muncul dari sel progenitor tunggal (tempat asal mulanya proses
mutasi). Perbedaan kecepatan pertumbuhan dapat menunjukkan perbedaan sitogenetik
yang muncul pada masing-masing tumor. Mioma uteri multiple dalam satu uterus
tidak berkaitan secara klonal satu dengan yang lainnya, masing – masing mioma
tumbuh secara individualis. Kehadiran mioma uteri multipel (dimana memiliki tingkat
kekambuhan yang lebih tinggi dibandingkan yang tunggal) dianggap merupakan
predisposisi genetik terhadap pembentukan mioma uteri. Namun, warisan mioma uteri
dalam keluarga masih masih belum diteliti dengan baik. Tidak pasti apakah mioma
uteri tumbuh secara individu atau berasal dari mioma yang lain.
e. Gejala Klinis
1. Pendarahan abnormal : hipermenore, menoragia, metroragia.
Sebabnya :
a. Pengaruhnya ovarium sehingga terjadi hiperplasi endometrium
b. Permukaan endometrium yang lebih luar dari biasanya
c. Atrofi endometrium di atas mioma submukosum
d. Miometrium tidak dapat berkontraksi optimal karena adanya sarang mioma di
antara serabut miometrum sehingga tidak dapat menjepit pembuluh darah yang
melaluinya dengan baik.
2. Nyeri : dapat timbul karena gangguan sirkulasi yang disertai nekrotis setempat dan
peradangan. Pada mioma submukosum yang dilahirkan dapat menyempit canalis
servikalis sehingga menimbulkan dismenore.
3. Gejala penekanan : penekanan pada vesika urianaria menyebabkan poliuri, pada
uretra menyebabkan retensio urine, pada ureter menyebabkan hidroureter dan
hidronefrosis, pada rectum menyebabkan obstipasi dan tenesmia, pada pembuluh
darah dan limfe menyebabkan edema tungkai dan nyeri panggul.
f. Pemeriksaan Penunjang
Hampir kebanyakan mioma uteri dapat didiagnosa melalui pemeriksaan bimanual
rutin maupun dari palpasi abdomen bila ukuran mioma yang besar. Diagnos
semakin jelas bila pada pemeriksaan bimanual diraba permukaan uterus ya berbenjol
akibat penonjolan massa maupun adanya pembesaran uterus. Pemeriksaan sonografi
pelvik dan magnetic resonance imaging (MRI) dapat mendeteksi mioma uteri.
g. Pemeriksaan Histopatologi
Gambaran histopatologi mioma uteri adalah seperti berikut: Pada gambaran
makroskopik menunjukkan suatu tumor berbatas jelas, bersimpati, pada penampang
menunjukkan massa putih dengan susunan lingkaran-lingkaran konsentrik di
dalamnya. Tumor ini bisa terjadi secara tunggal tetapi kebiasaanya terjadi secara
multipel dan bertaburan pada uterus dengan saiz yang berbeda-beda.
Perubahan-perubahan sekunder yang terjadi pada mioma uteri adalah:
1. Degenerasi jinak:
a. Atrofi:
Ditandai dengan pengecilan tumor yang umumnya terjadi setelah persalinan dan
menopause.
b. Degenerasi Hialin:
Perubahan ini sering terjadi terutama pada penderita berusia lanjut. Tumor
kehilangan struktur aslinya menjadi homogen. Terjadi pada mioma yang matang
dimana bagian yang semula aktif tumbuh kemudian terhenti akibat kehilangan
pasokan nutrisi dan berubah warnanya menjadi kekuningan, melunak atau melebur
menjadi cairan gelatin sebagai tanda degenerasi hialin.
c. Degenerasi Kistik:
Setelah mengalami hialinisasi, hal tersebut berlanjut dengan cairnya gelatine
sehingga mioma konsistensinya menjadi kistik. Adanya kompresi atau tekana fisik
pada bagian tersebut dapat menyebabkan keluarnya cairan kista kavum uteri, kavum
peritoneum atau retroperitoneum.
d. Degenerasi membatu (Calcireous Degeneration):
Terutama terjadi pada wanita berusia lanjut oleh karena adanya gangguan dalam
sirkulasi. Dengan adanya pengendapan kalsium karbonat dan fosfat pada sarang
mioma maka mioma menjadi keras dan memberikan bayangan pada foto rontgen.
e. Degenerasi Septik:
Defisit sirkulasi dapat menyebabkan mioma mengalami nekrosis di bagian tengah
tumor yang berlanjut dengan infeksi yang ditandai dengan nyeri, kaku dinding perut
dan demam akut.
f. Degenerasi merah (Carneous Degeneration):
Perubahan ini biasanya terjadi pada kehamilan dan nifas. Patogenesis terjadinya
diperkirakan kerana suatu nekrosis subakut sebagai gangguan vaskularisasi. Pada
pembelahan dapat dilihat sarang mioma seperti daging mentah bewarna merah
disebabkan oleh pigmen hemosiderin dan hemofusin. Degenerasi merah tampak khas
apabila pada kehamilan muda disertai emesis, haus, sedikit demam, kesakitan, tumor
pada uterus membesar dan nyeri pada perabaan.
g. Degenerasi Miksomatosa:
Terjadi setelah proses degenerasi hialin dan kistik. Degenerasi ini sangat jarang dan
umumnya asimtomatik (Nucci, 2009).
2. Degenerasi ganas:
a. Transformasi ke arah keganasan (menjadi miosarkoma) terjadi pada 0,1% - 0,5%
penderita mioma uteri (Anwar, 2011).
h. Tata Laksana
Penanganan yang dapat dilakukan ada dua macam yaitu penanganan secara
konservatif dan penanganan secara operatif.
1. Penanganan konservatif sebagai berikut :
a). Observasi dengan pemeriksaan pelvis secara periodik setiap 3-6 bulan.
b). Bila anemia, Hb < 8 g% transfusi PRC.
c). Pemberian zat besi
2. Penanganan operatif, bila :
a) Ukuran tumor lebih besar dari ukuran uterus 12-14 minggu.
b) Pertumbuhan tumor cepat.
c) Mioma subserosa bertangkai dan torsi.
d) Bila dapat menjadi penyulit pada kehamilan berikutnya.
e) Hipermenorea pada mioma submukosa.
f) Penekanan pada organ sekitarnya.
Jenis operasi yang dilakukan dapat berupa :
a). Enukleasi Mioma
Dilakukan pada penderita infertil atau yang masih menginginkan anak atau
mempertahankan uterus demi kelangsungan fertilitas. Sejauh ini tampaknya aman,
efektif, dan masih menjadi pilihan terbaik. Enukleasi sebaiknya tidak dilakukan bila
ada kemungkinan terjadinya karsinoma endometrium atau sarkoma uterus, juga
dihindari pada masa kehamilan. Tindakan ini seharusnya dibatasi pada tumor dengan
tangkai dan jelas yang dengan mudah dapat dijepit dan diikat. Bila miomektomi
menyebabkan cacat yang menembus atau sangat berdekatan dengan
endometrium, kehamilan berikutnya harus dilahirkan dengan seksio sesarea.
b). Histerektomi
Dilakukan bila pasien tidak menginginkan anak lagi, dan pada penderita yang
memiliki leiomioma yang simptomatik atau yang sudah bergejala.
c). Miomektomi
Miomektomi adalah pengambilan mioma saja tanpa pengangkatan uterus. Apabila
wanita sudah dilakukan miomektomi kemungkinan dapat hamil sekitar 30 – 50%.
Dan perlu disadari oleh penderita bahwa setelah dilakukan miomektomi harus
dilanjutkan histerektomi.
B.CARCINOMA ENDOMETRIUM
a. Pengertian
Kanker endometrium adalah keganasan yang berasal dari sel-sel epitel yang meliputi
rongga rahim (endometrium). Kanker ini terjadi pada endometrium, lapisan paling
dalam dari dinding uterus, dimana sel-sel endometrium tumbuh secara tidak
terkontrol, menginvasi dan merusak jaringan di sekitarnya. Kanker endometrium
dalam perjalanan etiologinya di dahului oleh proses prakanker yaitu hiperplasia
endometrium. Hiperlasia endometrium yang atipik merupakan lesi prakanker dari
kanker endometrium, sedangkan hiperlasia yang nonapitik saat ini dianggap bukan
merupakan lesi prakanker endometrium (American Cancer Society, 2012).
b. Insidensi
Umumnya karsinoma endometrium dijumpai pada wanita yang berusia 50-65 tahun
dengan usia rata-rata 61 tahun. Kira-kira 5% dapat dijumpai pada usia sebelum 40
tahun dan sebesar 20-25% pada usia sebelum menopause. Di Amerika diperkirakan
34.000 kasus baru denganangka kematian sebesar 6000.
d. Faktor risiko
Kebanyakan faktor risiko kanker endometrium dipengaruhi oleh kadar hormon
estrogen dan obesitas. Dimana kadar hormon estrogen ini dipengaruhi oleh adanya
terapi sulih hormon yang biasa dilakukan pada usia menopause (Doung, et al, 2011).
Sebelum menopause, ovarium merupakan sumber utama 2 tipe hormon wanita –
estrogen dan progesteron. Keseimbangan antara kedua hormon berubah selama siklus
menstruasi wanita tiap bulan. Hal ini menghasilkan periode bulanan wanita dan
menjaga endometrium tetap sehat. Adanya ketidakseimbangan pada kedua hormon,
dimana meningkatnya estrogen dapat meningkatkan risiko kanker endometrium pada
wanita. Setelah menopause, ovarium berhenti membuat hormon, tetapi jumlah kecil
estrogen tetap dibuat secara alami pada jaringan lemak. Estrogen memiliki pengaruh
yang besar setelah menopause dibanding sebelum menopause. Hormon wanita juga
terdapat (sebagai obat) pada pil pengontrol kehamilan untuk mencegah kehamilan dan
sebagai terapi hormon untuk mengobati gejala menopause (American Cancer Society,
2012).
e. Patogenesis
Patogenesis dari kanker endometrium dibedakan berdasarkan tipe kanker. Kanker
endometrium tipe patogenik 1 terjadi karena hiperplasia sebagai akibat dari
hiperstimulasi estrogen / estrogen tinggi dalam jangka waktu panjang. Tumor
endometrium dengan estrogen berlebih, mencapai sekitar 80 persen dari kanker
endometrium. Mereka mengikuti jalur perkembangan yang jelas, mulai dengan
hiperplasia endometrium (peningkatan jumlah sel), dan relatif berdiferensiasi dengan
baik. Umumnya kanker endometrium terjadi saat perimenopause, nuli para, obesitas,
diabetes mellitus dan hipertensi. Untuk kanker endometrium tipe patogenik 2, tidak
berhubungan dengan rangsangan hormon estrogen. Penderita biasanya kurus dan
multipara, dan biasanya dialami setelah (post) menopause. Terjadinya tumor
endometrium tipe 2 kurang umum, jumlahnya sekitar 10 persen dari kanker
endometrium. Kebanyakan berhubungan dengan atrofi endometrium (wasting),
cenderung metastasis, tidak berdiferensiasi dengan baik dan memiliki prognosis yang
kurang menguntungkan (American Institute for Cancer Research, 2013). Banyak
kasus kanker endometrium dilaporkan pada wanita yang tidak diketahui faktor
risikonya - seperti yang dapat mengganggu proses endokrin (hormon). Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa sindrom ovarian dan resistensi insulin, yang
keduanya merupakan komponen sindrom metabolik, memainkan peran dalam
patogenesis kanker endometrium, mungkin melalui gangguan hormonal. Gen penekan
tumor (tumour-suppressor gene) PTEN juga terlibat dalam perkembangan kanker
endometrium (American Institute
f. Gejala Klinis
Tidak ada tes rekomendasi khusus untuk menemukan kanker ini sebelum ada gejala
yang berkembang, kecuali untuk wanita dengan risiko tinggi. Penderita kanker
endometrium biasanya wanita dengan rata-rata umur 60 tahun. Kebanyakan wanita
didiagnosis karena adanya gejala yang dialami (American Cancer Society, 2012).
Penyakit kanker endometrium ini biasanya tersembunyi dan membahayakan. Dalam
banyak kasus, gejala dikaitkan dengan adanya getah vagina yang kemerahan saat
menopause atau setelah menopause (perimenopause). Adanya rasa sakit dan kontraksi
pada rahim cukup sering dikeluhkan. Dengan berlanjutnya proses terjadinya kanker,
berbagai keluhan tekanan akibat membesarnya korpus uterus dapat ditemukan.
Sedangkan pembesaran dan fiksasi uterus akibat infiltrasi sel ganas ke dalam
parametrium baru terjadi pada tahap lanjut (Mardjikoen, 2005). Hampir 90% pasien
yang didiagnosis kanker endometrium mengalami pendarahan vaginal yang abnormal,
seperti perubahan pada periode atau pendarahan antara periode atau setelah
menopause. Adanya cairan non-darah pada vaginal juga merupakan tanda dari kanker
endometrium. Sekitar 10% dari kasus yang ada, adanya cairan non-darah ini
dihubungkan dengan kanker endometrium (American Cancer Society, 2012). Pasien
juga sering mengeluh adanya rasa nyeri dan bengkak pada pelvis, terasa ada massa
(tumor), dan kehilangan berat badan tanpa sebab. Gejala ini lebih sering terasa pada
tahap lanjut dari penyakit (Farrer, 2010).
g. Pemeriksaan Penunjang
pemeriksaan penunjang kanker endometrium, dapat dilakukan dengan beberapa cara.
Apabila ditemukan adanya hiperplasia atau kanker endometrium, sebaiknya diambil
beberapa jaringan untuk dilihat dibawah mikroskop. Jaringan endometrium dapat
diketahui dengan cara biopsi atau dilatasi dan kuretase (D&C) dengan atau tanpa
histeroskopi (American Cancer Society, 2012).
1) Biopsi Endometrium merupakan tes yang paling sering dilakukan untuk kanker
endometrium dan yang paling akurat pada wanita setelah menopausal. Dalam prosedur
ini, tabung fleksibel yang sangat tipis di masukkan ke uterus melalui serviks. Lalu
dengan menggunakan pengisap, sejumlah kecil endometrium diangkat melalui tabung.
Prosedur ini berlangsung selama kurang dari semenit. Ketidaknyaman yang terasa
mirip dengan nyeri saat menstruasi dan dapat dibantu dengan obat anti inflamasi non
steroid seperti ibuprofen sebelum prosedur dilakukan.
3) Histeroskopi
biasanya dilakukan dengan memasukkan teleskop sangat kecil (diameter 1/6 inci) ke
dalam uterus melalu serviks. Untukmendapatkan gambaran yang baik, uterus diisi
dengan air garam (saline). Dapat mengetahui apakah ada yang abnormal seperti
kanker atau polip.
Pemeriksaan radiologi yang biasanya dilakukan untuk pemeriksaan kanker
endometrium antara lain (American Cancer Society, 2012) :
1) Ultrasonografi transvaginal yang memberikan gelombang suara yang akan
memberikan gambar dari uterus dan organ pelvis lainnya. Gambar ini sering
membantu dalam menentukan apakah endometrium lebih tebal dari biasanya dan
melihat pertumbuhan kanker ke lapisan otot uterus, yang merupakan tanda dari kanker
endometrium.
2) Sistoskopi dan proktoskopi dilakukan apabila kanker telah menyebar ke bladder
atau rektum, bagian dalam organ dapat dilihat melalui tabung. Untuk sistoskopi,
tabung ditempatkan di bladder melalui uretra, sedangkan untuk proktoskopi, tabung
ditempatkan di rektum.
3) Computed tomography scan
(CT Scan) merupakan prosedur yang menggambarkan detail secara cross-sectional
tubuh. CT Scan tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis kanker endometrium.
Namun, CT Scan ini dapat membantu dalam mengetahui penyebaran kanker ke organ
lainnya dan dapat melihat apakah kanker terjadi lagi setelah pengobatan.
4) Magnetic resonance imaging
(MRI) menggunakan gelombang radio dan magnet yang kuat dibanding sinar x. MRI
dapat digunakan untuk mengetahui seberapa jauh pertumbuhan kanker endometrium
ke badan uterus dan membantu menemukan pembesaran kelenjar limfa. Selain
pemeriksaan biopsi dan radiografi, pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan
darah lengkap, CA 125, CEA, reseptor estrogen dan lainnya juga dapat dilakukan
sesuai dengan keperluan. Pemeriksaan darah lengkap biasanya dilakukan untuk
mengukur perbedaan sel di darah, seperti sel darah merah, sel darah putih, dan
platelet. Apabila sering terjadi kehilangan darah pada uterus akan dapat menurunkan
jumlah sel darah merah (anemia). CA 125 merupakan zat yang dilepas ke aliran darah
pada kanker endometrium. Pada penderita kanker endometrium, kadar CA 125 yang
sangat tinggi menunjukkan kanker yang menyebar ke uterus. Oleh karena itu
pemeriksaan darah CA 125 juga dilakukan untuk mengetahui kanker endometrium
(America Cancer Society, 2012).
h. Pemeriksaan Histopatologi
Kanker endometrium dimulai dari sel pada lapisan uterus dan menjadi satu kelompok
kanker yang disebut karsinoma. Kebanyakan karsinoma adalah kanker dari sel yang
membentuk kelenjar pada endometrium, yang disebut adenokarsinoma (American
Cancer Society, 2012). Sel pada saluran Mullerri dapat berdiferensiasi menjadi
berbagai jenis jaringan yang sangat bervariasi. Hal ini terlihat dari berbagai subtipe
histologi pada kanker endometrium. Mayoritas utama merupakan adenokarsinoma
endometrioid (Heffner dan Schust, 2005). Lebih dari 80% kanker endometrium adalah
adenokarsinoma tipikal, yang juga dikenal sebagai endometrioid. Kanker
endometrioid terdiri dari selsel dalam kelenjar yang terlihat sangat mirip dengan
lapisan rahim normal (endometrium). Beberapa kanker ini mengandung sel-sel
skuamosa (sel skuamosa yang datar, sel tipis yang dapat ditemukan pada permukaan
luar serviks), seperti sel kelenjar. Kanker dengan kedua tipe sel yang disebut
adenokarsinoma dengan diferensiasi skuamosa. Jika dilihat di bawah mikroskop, sel-
sel kelenjar kanker terlihat tetapi sel skuamosa tidak, tumor dapat disebut
adenoakanthoma. Jika sel skuamosa yang terlihat dan sel-sel kelenjar terlihat ganas
(kanker), tumor ini bisa disebut karsinoma adenoskuamosa (American Cancer Society,
2012). Subtipe histologi yang lebih jarang antara lain adenokarsinoma musinosa,
adenokarsinoma serosa, adenokarsinoma sel jernih, karsinoma sel skuamosa, dan
berbagai tumor campuran dan tidak berdiferensiasi yang jarang ditemukan (Heffner
dan Schust, 2005). Seperti diketahui, kanker endometrium dibagi menjadi 2 tipe
berdasarkan penampakan dan penyebabnya (tipe patogenik). Kanker tipe 1 disebabkan
karena kelebihan estrogen yang tidak terlalu agresif dan lambat menyebar ke jaringan
lainnya. Biasanya terjadi pada wanita perimenopause yang lebih muda yang masuk ke
dalam kategori klasik yaitu obesitas, hyperlipidemia, dan adanya tanda hiperestrogen
seperti anovulatory uterine bleeding, infertilitas, onset lambat menopause dan
hyperplasia ovarian dan stroma endometrium. Keadaan ini cenderung pada wanita
kulit putih, obesitas nullipara dengan well differentiated superficially invasive cancer
yang sangat sensitif terhadap progesteron. Kanker tipe 2 tidak berhubungan dengan
estrogen yang cepat tumbuh dan menyebar keluar uterus. Terjadi pada wanita kurus,
multipara dan kebanyakan kulit hitam. Disini cenderung ditemukan poorly
differentiated tumor, deep myometial invasive high degree of metastasis in lymphnode.
Pada tipe ini kurang sensitif terhadap progesteron, sehingga prognosisnya tidak terlalu
baik (Heffner dan Schust, 2005). Adenokarsinoma endometrioid pertama kali
meginvasi stroma jaringan uterus dibawahnya dengan merusak membran basal
kelenjar. Tumor ini kemudian menginvasi miometrium dan serviks. Adenokarsinoma
endometrioid biasanya menyebar melalui saluran limfatik pelvis dan periaorta
dibandingkan secara hematogen. Invasi vaskular biasanya hanya terlihat pada lesi
derajat tinggi dan tidak bergantung estrogen (Heffner dan Schust, 2005).
i. Tata Laksana
Kanker endometrium awalnya digolongkan menurut stadium dan dirawat dengan
operasi. Pengobatan standar untuk kanker ini di Amerika Serikat terdiri dari
pengangkatan rahim, leher rahim, baik saluran tuba dan ovarium, serta selektif
limfadenektomi panggul dan para-aorta (Leslie, et al, 2005). Jenis operasi yang
paling sering dilakukan pada kanker endometrium adalah histerektomi. Operasi yang
dilakukan untuk mengangkat rahim dan leher rahim disebut histerektomi total.
Ketika rahim tersebut diangkat melalui sayatan di perut, itu adalah disebut
histerektomi abdominal total (TAH). Jika rahim akan diangkat melalui Vagina, itu
dikenal sebagai histerektomi vaginal. Suatu histerektomi radikal dilakukan ketika
kanker endometrium telah menyebar ke leher rahim atau daerah sekitar leher
rahim (parametrium). Dalam operasi ini, seluruh rahim, jaringan di samping uterus
(parametrium dan ligamentum uterosakrum), dan bagian atas vagina (sebelah
serviks) semua diangkat (American Cancer Society, 2012). Bagi pasien yang telah
memiliki stadium yang tepat melalui pengobatan bedah, adjuvant RT (brachytherapy
vagina atau sinar eksternal), kemoterapi atau terapi hormonal mungkin dianjurkan
tergantung pada faktor-faktor risiko. Pasien dikategorikan berdasarkan stratifikasi
risiko pada periode pasca operasi. Pasien dengan risiko rendah mungkin tidak
memerlukan terapi pasca-operasi (Leslie et al, 2012).
Kemoterapi adalah pengobatan pilihan untuk penyakit metastasis. Pemilihan rejimen
telah berkembang selama dekade terakhir. Obat-obatan yang paling aktif adalah
anthracyclines, senyawa platinum dan taxanes. Sebagai obat tunggal, obat ini
menghasilkan tingkat respons yang lebih besar dari 20%. Obat kemoterapi tunggal
merupakan pilihan bagi pasien yang cenderung memiliki efek samping yang tidak
dapat diterima dengan beberapa obat.
LO 2. NEOPLASMA MAMMAE
1. Fibroadenoma Mammae
a. Pengertian
Fibroadenoma mammae atau sering disingkat dengan FAM adalah tumor jinak
dengan karakter tidak nyeri, dapat digerakkan, berbatas tegas dan berkonsistensi
padat kenyal (Kumar, 2007; Price, 2005).
b. Epidemiologi
Kejadian FAM merupakan sepertiga dari semua kejadian tumor jinak payudara
(TJP) (Bewtra, 2009). Tumor ini merupakan TJP yang paling sering ditemui pada
wanita muda dan dewasa, yaitu pada wanita 3 dekade pertama kehidupan. Frekuensi
FAM yang paling tinggi adalah pada wanita yang berumur 20-25 tahun (Sarwono,
2005). Tumor ini ditemukan 2 kali lebih sering pada orang kulit hitam, pasien
dengan kadar hormon tinggi (remaja dan wanita hamil), dan pasien yang
mendapatkan terapi hormon estrogen (Strauss & Barbieri, 2014). Penderita FAM
memiliki risiko 2 kali lebih besar untuk menderita kanker payudara dikemudian hari
dibandingkan wanita yang tidak menderita FAM (Mansel, et.al., 2009).
c. Etiologi dan faktor risiko
Sampai saat ini penyebab FAM masih belum diketahui secara pasti, namun
berdasarkan hasil penelitian ada beberapa faktor risiko yang mempengaruhi
timbulnya tumor ini antara lain:
a. Umur
Umur merupakan faktor penting yang menentukan insiden atau frekuensi terjadinya
FAM. Fibroadenoma biasanya terjadi pada wanita usia muda < 30 tahun. terutama
terjadi pada wanita dengan usia antara 15-25 tahun.Berdasarkan data dari penelitian
di Depatemen Patologi Rumah Sakit Komofo Anyoke Teaching di Ghana (Bewtra,
2009) dilaporkan bahwa rata-rata umur pasien yang menderita fibroadenoma adalah
23 tahun dengan rentang usia 14-49 tahun.
b. Riwayat Perkawinan
Riwayat perkawinan dihubungkan dengan status perkawinan dan usia perkawinan,
paritas dan riwayat menyusui anak. Berdasarkan penelitian Bidgoli, et all (2011) di
Iran menyatakan bahwa tidak menikah meningkatkan risiko kejadian FAM
(OR=6.64, CI 95% 2.56-16.31) artinya penderita FAM kemungkinan 6,64 kali
adalah wanita yang tidak menikah. Hasil penelitian tersebut juga menyatakan bahwa
menikah < 21 tahun meningkatkan risiko kejadian FAM (OR=2.84, CI 95% 1.23-
6.53) artinya penderita FAM kemungkinan 2,84 kali adalah wanita yang menikah
pada usia < 21 tahun.
c. Paritas dan Riwayat Menyusui Anak
Penurunan paritas meningkatkan insiden terjadinya FAM, terutama meningkat pada
kelompok wanita nullipara. Pengalaman menyusui memiliki peran yang penting
dalam perlindungan terhadap risiko kejadian FAM.
d. Penggunaan Hormon
Diperkirakan bahwa fibroadenoma mammae terjadi karena kepekaan terhadap
peningkatan hormon estrogen. Penggunaan kontrasepsi yang komponen utamanya
adalah estrogen merupakan faktor risiko yang meningkatkan kejadian FAM
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Department of Surgery, University of
Oklahoma Health Sciences Center (Organ, 1983), dilaporkan proporsi penderita
FAM yang menggunakan kontrasepsi dengan komponen utama estrogen adalah
sekitar 60%.
e. Obesitas
Berat badan yang berlebihan (obesitas) dan IMT yang lebih dari normal merupakan
faktor risiko terjadinya FAM. Berdasarkan penelitian Bidgoli, et all diketahui bahwa
IMT > 30 kg/m2 meningkatkan risiko kejadian FAM (OR=2.45,CI 95% 1.04-3.03)
artinya wanita dengan IMT > 30 kg/m2 memiliki risiko 2,45 kali menderita FAM
dibandingkan wanita dengan IMT < 30 kg/m2.
f. Riwayat Keluarga
Tidak ada faktor genetik diketahui mempengaruhi risiko fibroadenoma. Namun,
riwayat keluarga kanker payudara pada keluarga tingkat pertama dilaporkan oleh
beberapa peneliti berhubungan dengan peningkatan risiko tumor ini.Dari beberapa
penelitian menunjukkan adanya risiko menderita FAM pada wanita yang ibu dan
saudara perempuan mengalami penyakit payudara. Dilaporkan 27 % dari penderita
FAM
memiliki riwayat keluarga menderita penyakit pada payudara (Organ, 1983). Tidak
seperti penderita dengan fibroadenoma tunggal, penderita multiple fibroadenoma
memiliki riwayat penyakit keluarga yang kuat menderita penyakit pada payudara.
g. Stress
Stress berat dapat meningkatkan produksi hormon endogen estrogen yang juga akan
meningkatkan insiden FAM. Berdasarkan penelitian Bidgoli, et all diketahui orang
yang mengalami stress memiliki risiko lebih tinggi menderita FAM (OR=1.43 CI
95%1.16-1.76) artinya orang yang mengalami stress memiliki risiko 1,43 kali
menderita FAM dibandingkan dengan orang yang tidak stress.
h. Faktor Lingkungan
Tinggal di dekat pabrik yang memproduksi Polycyclic aromatic hydrocarbons
(PAHs) juga dapat menjadi faktor risiko terjadinya FAM. Berdasarkan penelitian
Bidgoli, et all pada tahun 2011 di Iran dilaporkan 38% dari penderita FAM memiliki
riwayat tinggal di dekat pabrik yang memproduksi PAHs.
d. Gejala Klinis
Gejala klinis yang sering terjadi pada fibroadenoma mammae adalah adanya bagian
yang menonjol pada permukaan payudara, benjolan memiliki batas yang tegas
dengan konsistensi padat dan kenyal. Ukuran diameter benjolan yang sering terjadi
sekitar 1-4 cm, namun kadang dapat tumbuh dan berkembang dengan cepat dengan
ukuran benjolan berdiameter lebih dari 5 cm.Benjolan yang tumbuh dapat diraba dan
digerakkan dengan bebas. Umumnya fibroadenoma tidak menimbulkan rasa nyeri
atau tidak sakit.
e. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik penderita diperiksa dengan sikap tubuh duduk tegak atau
berbaring atau kedua-duanya. Kemudian diperhatikan bentuk kedua payudara, warna
kulit, tonjolan, lekukan, adanya kulit berbintik, seperti kulit jeruk, ulkus, dan
benjolan. Kemudian dilakukan palpasi dengan telapak jari tangan yang digerakkan
perlahan-lahan tanpa tekanan pada setiap kuadran payudara.Palpasi dilakukan untuk
mengetahui ukuran, jumlah, dapat bergerak-gerak, kenyal atau keras dari benjolan
yang ditemukan.Dilakukan pemijatan halus pada puting susu untuk mengetahui
pengeluaran cairan, darah atau nanah dari kedua puting susu. Cairan yang keluar dari
puting susu harus dibandingkan. Pengeluaran cairan diluar masa laktasi dapat
disebabkan oleh berbagai kelainan seperti fibroadenoma atau bahkan karsinoma.
f. Pemeriksaan Penunjang
a. Mammografi
Pemeriksaan mammografi terutama berperan pada payudara yang mempunyai
jaringan lemak yang dominan serta jaringan fibroglanduler yang relatif sedikit. Pada
mammografi, keganasan dapat memberikan tanda-tanda primer dan sekunder. Tanda
primer berupa fibrosis reaktif, comet sign (Stelata), adanya perbedaan yang nyata
antara ukuran klinis dan radiologis, adanya mikroklasifikasi, adanya spikulae, dan
ditensi pada struktur payudara. Tanda sekunder berupa retraksi, penebalan kulit,
bertambahnya vaskularisasi, keadaan daerah tumor dan jaringan fibroglandular tidak
teratur, infiltrasi dalam jaringan lunak di belakang mamma dan adanya metastatis ke
kelenjar (gambaran ini tidak khas). Mammografi digunakan untuk mendiagnosa
wanita dengan usia tua sekitar 60-70 tahun.
b.USG
Untuk mendeteksi luka-luka pada daerah padat payudara usia muda karena
fibroadenoma pada wanita muda tebal, sehingga tidak terlihat dengan baik jika
menggunakan mammografi. Pemeriksaan ini hanya membedakan antara lesi atau
tumor yang solid dan kistik. Pemeriksaan gabungan antara USG dan mammografi
memberikan ketepatan diagnosa yang tinggi.
g. Tata Laksana
Terapi untuk fibroadenoma tergantung dari beberapa hal sebagai berikut:
1. Ukuran
2. Terdapat rasa nyeri atau tidak
3. Usia pasien
4. Hasil biopsi
Karena fibroadenoma mammae adalah tumor jinak maka pengobatan yang dilakukan
tidak perlu dengan pengangkatan mammae. Yang perlu diperhatikan adalah bentuk
dan ukurannya saja. Pengangkatan mammae harus memperhatikan beberapa faktor
yaitu faktor fisik dan psikologi pasien. Apabila ukuran dan lokasi tumor tersebut
menyebabkan rasa sakit dan tidak nyaman pada pasien maka diperluka
pengangkatan. Terapi pengangkatan tumor ini disebut dengan biopsi eksisi yaitu
pembedahan dengan mengangkat seluruh jaringan tumor beserta sedikit jaringan
sehat disekitarnya Terapi dengan operasi pengangkatan tumor ini tidak akan
merubah bentuk payudara tetapi hanya akan meninggalkan jaringan parut yang akan
digantikan jaringan normal secara perlahan.
B. CARCINOMA MAMMAE
a. Pengertian
Karsinoma payudara merupakan suatu kelompok tumor ganas epithelial dengan
karakteristik invasif ke jaringan sekitarnya dan memiliki kecenderungan untuk
bermetastasis jauh.
b. Epidemiologi
c. Klasifikasi
Terdapat berbagai tipe histologik karsinoma payudara yang memiliki
karakteristik morfologi yang bervariasi. Berikut ini adalah berbagai tipe
karsinoma invasif payudara menurut klasifikasi WHO (Lakhani et al., 2012):
1. Invasive carcinoma of no special type
2. Invasive lobular carcinoma
3. Tubular carcinoma
4. Cribriform carcinoma
5. Mucinous carcinoma
6. Carcinoma of medullary features
7. Carcinoma with apocrine differentiation
8. Carcinoma with signet ring cell differentiation
9. Invasive micropapillary carcinoma
10. Metaplastic carcinoma of no special type
11. Carcinoma with neuroendocrine features
12. Secretory carcinoma
13. Invasive papillary carcinoma
14. Acinic cell carcinoma
15. Mucoepidermoid carcinoma
16. Polymorphous carcinoma
17. Oncocytic carcinoma
18. Lipid rich carcinoma
19. Glicogen rich clear cell carcinoma
20. Sebaceous carcinoma
21. Skin adnexal type tumour
d. Faktor risiko
Penyebab spesifik ca mammae masih belum diketahui, tetapi terdapat banyak faktor
yang diperkirakan mempunyai pengaruh terhadap terjadinya ca mammae antara lain :
1. Faktor Reproduksi
Karakteristik reproduktif yang berhubungan dengan risiko terjadinya ca mammae
adalah nuliparitas, menarche pada umur muda, menopause pada umur lebih tua, dan
kehamilan pertama pada umur tua. Risiko utama kanker payudara adalah
bertambahnya umur. Diperkirakan, periode antara terjadinya haid pertama dengan
umur saat kehamilan pertama merupakan window of initiation perkembangan kanker
payudara. Secara anatomi dan fungsional, payudara akan mengalami atrofi dengan
bertambahnya umur. Kurang dari 25% ca mammae terjadi pada masa sebelum
menopause sehingga diperkirakan awal terjadinya tumor terjadi jauh sebelum
terjadinya perubahan klinis (Harianto, 2005).
2. Penggunaan Hormon
Hormon estrogen berhubungan dengan terjadinya ca mammae. Peningkatan ca
mammae yang signifikan terdapat pada pengguna terapi estrogen replacement. Suatu
meta analisis menyatakan bahwa walaupun tidak terdapat risiko ca mammae pada
pengguna kontrasepsi oral, wanita yang menggunakan obat ini untuk waktu yang
lama mempunyai risiko tinggi untuk mengalami ca mammae sebelum menopause.
Sel-sel yang sensitif terhadap rangsangan hormonal mungkin mengalami perubahan
degenerasi jinak atau menjadi ganas (Harianto, 2005).
3. Riwayat Keluarga dan Faktor Genetik.
Riwayat keluarga merupakan komponen yang penting dalam riwayat penderita yang
akan dilaksanakan skrining kanker payudara. Terdapat peningkatan risiko keganasan
pada wanita yang keluarganya menderita kanker payudara, ditemukan bahwa kanker
payudara berhubungan dengan gen tertentu. Apabila terdapat BRCA 1, yaitu suatu
gen kerentanan terhadap kanker payudara, probabilitas untuk terjadi kanker payudara
60% pada umur 50 tahun dan 85% pada umur 70 tahun.
4. Faktor Umur. Semakin bertambahnya umur meningkatkan risiko kanker payudara.
Wanita yang paling sering terserang kanker payudara adalah usia di atas 40 tahun,
meski wanita berumur di bawah 40 tahun juga dapat terserang kanker payudara,
namun risikonya lebih rendah dibandingkan wanita di atas 40 tahun (Depkes, 2009).
e. Gejala Klinis
Gejala yang dapat diamati atau dirasakan oleh orang yang terkena penyakit kanker
payudara ini antara lain adanya semacam benjolan yang tumbuh pada payudara, yang
lama kelamaan bisa menimbulkan rasa nyeri dan mendenyut-denyut (Savitri, Astrid,
dkk, 2015). Gejala penyakit ini sering tidak diperhatikan:
f. Diagnosis
Diagnosis dilakukan dengan serangkaian pemeriksaan, meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, tumor marker, dan pencitraan
mamografi. Keluhan utama penderita antara lain benjolan di payudara, kecepatan
tumbuh dengan/tanpa rasa sakit, nipple discharge, retraksi puting susu, dan krusta,
kelainan kulit, dimpling, peau d’orange, ulserasi, venektasi, dan benjolan ketiak dan
edema lengan. Keluhan tambahan nyeri tulang (vertebra, femur), sesak dan lain
sebagainya (Kemenkes, 2013).
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan status lokalis, regionalis, dan sistemik.
Pemeriksaan fisik dimulai dengan menilai status generalis (tanda vital-pemeriksaan
menyeluruh tubuh) untuk mencari kemungkinan adanya metastase dan atau kelainan
medis sekunder. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan untuk menilai status lokalis dan
regionalis. Pemeriksaan dilakukan secara sistematis, inspeksi dan palpasi (Khasanah,
2013).
Pemeriksaan laboratorium dianjurkan pemeriksaan darah rutin dan kimia darah
sesuai dengan perkiraan metastasis. Pemeriksaan tumor marker apabila hasil tinggi,
perlu diulang untuk follow up. Pemeriksaan pencitraan mamografi adalah pencitraan
menggunakan sinar X pada jaringan payudara yang dikompresi (Kemenkes, 2013).
g. Tata Laksana
Menurut Desen (2008), kemoterapi merupakan terapi modalitas kanker yang paling
sering digunakan pada kanker stadium lanjut lokal, maupun metastatis dan sering
menjadi satu-satunya pilihan metode terapi yang efektif. Kemoterapi dapat diberikan
sebagai terapi utama, adjuvant (tambahan), dan neoadjuvant, yaitu kemoterapi
adjuvant yang diberikan pada saat pra-operasi atau pra-radiasi (Sukardja, 2000).
Terapi adjuvant mengacu pada perawatan pasien kanker setelah operasi
pengangkatan tumor (Johnson, 2014). Toksisitas kemoterapi sebagai salah satu
modalitas terapi kanker telah terbukti memperbaiki hasil pengobatan kanker, baik
untuk meningkatkan angka kesembuhan, ketahanan hidup, dan kualitas hidup
penderita, namun kemoterapi membawa berbagai efek samping dan komplikasi
(Susanto, 2006).
h. Prognosis
Berdasarkan data PERABOI ( Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia) dalam
Rasjidi (2009) didapatkan data rata-rata prognosis harapan hidup (survival rate)
penderita kanker payudara per stadium sebagai berikut :
a) Stadium 0 (kanker in situ ) : 10 tahun dengan harapan hidup 98%
b) Stadium I : 5 tahun dengan harapan hidup 85%
a. Perbanyak konsumsi buah dan sayuran yang banyak mengandung serat dan
vitamin C, mineral, klorofil yang bersifat antikarsinogenik dan radioprotektif, serta
antioksidan yang dapat menangkal radikal bebas, berbagai zat kimia dan logam berat
serta melindungi tubuh dari bahaya radiasi.
d. Pengontrolan berat badan dengan berolah raga dan diet seimbang dapat
mengurangi risiko terjadinya kanker payudara.
f. Hindari keterpaparan radiasi yang berlebihan. Wanita dan pria yang bekerja di
bagian radiasi diusahakan menggunakan alat pelindung diri.
SADARI
Deteksi dini dengan SADARI dapat menekan angka kematian sebesar 25 – 30 %.
SADARI sangat penting dianjurkan kepada masyarakat untuk menerapkannya.
Sekitar 90% kanker payudara ditemukan sendiri oleh pasien dan sekitar 5%
ditemukan selama pemeriksaan fisik untuk alasan lain.
Pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) adalah pemeriksaan payudara sendiri
untuk dapat menemukan adanya benjolan abnormal. Pemeriksaan ini dapat dilakukan
sendiri tanpa harus pergi ke petugas kesehatan dan tanpa harus mengeluarkan biaya.
Pemeriksaan optimum dilakukan pada sekitar 7-14 hari setelah awal siklus
menstruasi karena pada masa itu retensi cairan minimal dan payudara dalam keadaan
lembut, tidak keras, jika membengkak akan mudah dikenali. Wanita yang
dianjurkan untuk melakukan SADARI adalah pada saat wanita sejak pertama yaitu
haid.