Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Anak Usia Toddler
1. Pengertian Anak Usia Toddler
Anak usia toddler merupakan anak yang berada antara rentang
usia 12-36 bulan (Soetjiningsih dan Gde Ranuh, 2013). Masa ini juga
merupakan masa golden age/masa keemasan untuk kecerdasan dan
perkembangan anak (Loeziana Uce, 2015).
Toddler dalam kamus bahasa Inggris Indonesia berarti anak kecil
yang baru belajar berjalan. Anak usia toddler merupakan masa antara
rentang usia 12 sampai dengan 36 bulan. Masa ini merupakan masa
eksplorasi lingkungan yang intensif karena anak berusaha mencari tahu
bagaimana semua terjadi dan bagaimana mengontrol perilaku orang lain
melalui perilaku negativism dank eras kepala (Hidayatul, 2015).
Masa toddler berada pada rentang masa kanak-kanak mulai
berjalan sendiri hingga anak dapat berjalan dan berlari dengan mudah,
yaitu mendekati usia 12 bulan sampai 36 bulan. Toddler adalah usia anak
1-3 tahun yang secara psikologis membutuhkan cinta dan kasih sayang,
rasa aman atau bebas dari ancaman. Perkembangan anak sangat di
pengaruhi oleh lingkungan eksternal yang mampu memberikan rasa
aman, peduli, dan penuh kasih sayang (Rahma, 2013).
2. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia Toddler
a. Pengertian Pertumbuhan
Definisi pertumbuhan (growth) menurut (Soetjiningsih dan Ranuh,
2015) adalah perubahan yang bersifat kuantitatif, yaitu bertambahnya
jumlah, ukuran, dimensi pada tingkat sel, organ, maupun individu.
Sebagai contoh, anak bertambah besar bukan saja secara fisik,
melainkan juga ukuran dan struktur organ-organ tubuh dan otak. Otak
anak semakin tumbuh terlihat dari kapasitasnya untuk belajar lebih besar,
mengingat, dan mempergunakan akalnya semakin meningkat. Anak
tumbuh baik secara fisik maupun mental.
Pertumbuhan merupakan perubahan yang bersifat kuantitatif
(dapat diukur) perubahan ukuran tubuh dan bagiannya seperti
peningkatan jumlah sel, jaringan, struktur, dan sistem. Sebagai contoh
pertumbuhan fisik seseorang dengan bertambahnya tinggi badan, berat
badan, kepadatan tulang, dan struktur gigi dan polanya dapat
diprediksikan. Tahap pertumbuhan yang paling cepat terjadi pada usia
prenatal, bayi dan usia remaja (DeLaune & Ladner dalam Arif Rohman ,
2019 ).
Istilah pertumbuhan menurut Sobur (2013), khusus dimaksudkan
bagi pertumbuhan dalam ukuran badan dan fungsi fisik dan murni.
Pertumbuhan pada umumnya dibatasi pada perubahan-perubahan
struktural dan fisiologis dalam pembentukan seseorang secara jasmaniah
dari saat masih berbentuk janin melalui periode-periode prenatal (dalam
kandungan), dan postnatal (setelah lahir), sampai pada kedewasaannya.
Kartono dalam Sobur (2013), mendefinisikan pertumbuhan
sebagai perubahan secara fisiologis sebagai hasil dari proses
pematangan fungsifungsi fisik, yang berlangsung secara normal pada diri
anak yang sehat, dalam peredaran waktu tertentu. Pertumbuhan sifatnya
sementara, hanya terjadi sampai manusia mencapai kematangan fisik.
Artinya, individu tidak 10 akan bertambah tinggi atau besar, jika batas
pertumbuhan tubuhnya telah mencapai tingkat kematangan. Jadi, yang
dimaksud dengan pertumbuhan adalah berkembangnya ukuran fisik dan
struktur tubuh yang dapat diukur dengan satuan panjang ataupun satuan
berat.
b. Ciri-Ciri Pertumbuhan Anak Usia 12 – 36 Bulan (1 – 3 Tahun) Menurut
Potter & Perry (2010) ciri-ciri pertumbuhan yaitu
1) Pertumbuhan akan terjadi perubahan ukuran dalam hal
bertambahnya ukuran fisik, seperti berat badan, tinggi badan,
lingkar kepala, lingkar lengan, lingkar dada, dan lain- lain.
2) Pertumbuhan dapat terjadi perubahan proporsi yang dapat terlihat
pada proporsi fisik atau organ manusia yang muncul mulai dari
masa konsepsi hingga dewasa.
Dari uraian ciri-ciri pertumbuhan di atas, dapat dijelaskan
bahwa pertumbuhan merupakan proses perubahan ukuran baik fisik
seperti berat badan, tinggi badan, lingkar kepala, lingkar lengan,
lingkar dada mengikuti proses kematangan menuju dewasa,
contohnya tumbuhnya rambut di daerah tertentu, lepasnya gigi
susu, dan lain sebagainya.
c. Pengertian Perkembangan
Perkembangan berkaitan dengan bertambahnya struktur fungsi
tubuh yang meliputi kemampuan gerak kasar, gerak halus, bicara, dan
bahasa serta sosialisasi dan kemandirian (Soetjiningsih dan Ranuh,
2015). Perkembangan merupakan perubahan yang progresif dan terus
menerus dalam diri organisme sejak lahir hingga mati (Sobur, 2013).
Menurut Yusuf (2011), perkembangan adalah perubahan-perubahan yang
dialami individu atau organisme menuju tingkat kedewasaannya atau
kematangannya (maturation) yang berlangsung secara sistematis,
progresif, dan berkesinambungan, baik menyangkut fisik (jasmaniah)
maupun psikis (rohaniah). Perkembangan diartikan sebagai perubahan
bentuk yang dimulai saat konsepsi dan terus berlanjut sepanjang satu
masa kehidupan (Soetjiningsih dan Ranuh, 2015). Perubahan bentuk
meliputi perubahan biologis, kognitif dan sosioemosional yang terjadi
selama masa kehidupan individu.
Perkembangan (development) merupakan bertambahnya
kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks
dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, jaringan tubuh, organ-
organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga
masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Perkembangan emosi,
intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya
(Cahyaningsih, 2011). Perkembangan atau development adalah
bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang
lebih kompleks dalam pola yang teratur sebagai hasil pematangan
(Sulistyawati, 2015)
d. Ciri-Ciri Perkembangan
Menurut Yusuf (2011), ciri-ciri perkembangan yaitu:
1) Terjadinya perubahan dalam
a) aspek fisik: perubahan tinggi dan berat badan serta organ-organ
tubuh lainnya.
b) aspek psikis: semakin bertambahnya perbendaharaan kata dan
matangnya kemampuan berpikir, mengingat, serta menggunakan
imajinasi kreatifnya.
2) Terjadinya perubahan dalam proporsi:
a) aspek fisik: proporsi tubuh anak berubah sesuai dengan fase
perkembangannya.
3) Tahapan perkembangan berurutan mulai dari kemampuan
melakukan gerakan sederhana berlanjut menjadi melakukan hal
yang sempurna.
e. Perkembangan Anak Usia Toddler
Perkembangan yang sudah mampu dicapai oleh anak usia toddler
diantaranya sebagai berikut.
1) Perkembangan motorik kasar anak usia toddler
a) Usia 12-18 bulan anak mampu berdiri sendiri tanpa
berpegangan, membungkuk untuk memungut permainannya
kemudian berdiri tegak kembali secara mandiri, berjalan mundur
lima langkah.
b) Usia 18-24 bulan anak mampu berdiri sendiri tanpa berpegangan
selama 30 detik, anak mampu berjalan tanpa terhuyung-huyung.
c) Usia 24-36 bulan anak mampu menaiki tangga secara mandiri,
anak dapat bermain dan menendang bola kecil.
2) Perkembangan motorik halus anak usia toddler
a) Usia 12-18 bulan anak mampu menumpuk dua buah kubus,
memasukkan kubus ke dalam kotak.
b) Usia 18-24 bulan anak mampu melakukan tepuk tangan,
melambaikan tangan, menumpuk empat buah kubus, memungut
benda kecil dengan ibu jari dan telunjuk, anak bisa
menggelindingkan bola ke sasaran.
c) Usia 24-36 bulan anak mampu mencoret-coretkan pensil diatas
kertas (Soetjiningsih dan Gde Ranuh, 2013).
3) Perkembangan Bahasa
Tahapan perkembangan bahasa pada anak yaitu Reflective
vocalization, Bubbling, Lalling, Echolalia, dan True speech. Usia 10-
16 bulan anak mampu memproduksi kata-kata sendiri, menunjuk
bagian tubuh atau mampu memahami kata-kata tunggal; usia 18-24
bulan anak mampu memahami kalimat sederhana, perbendaharaan
kata meningkat pesat, menucapkan kalimat yang terdiri dari dua
kata atau lebih ; usia 24-36 bulan pengertian anak sudah bagus
terhadap percakapan yang sudah sering dilakukan di keluarga,
anak mampu melakukan percakapan melalui kegiatan tanya-jawab
(Soetjiningsih dan Gde Ranuh, 2013).
4) Perkembangan personal-sosial
Teori Erick Erickson menyatakan perkembangan psikososial
seseorang dipengaruhi oleh masyarakat dibagi menjadi lma tahap
yaitu trust >< mistrust (usia 0-1 tahun), otonomi/mandiri ><
malu/ragu-ragu (usia 2-3 tahun), inisiatif >< rasa bersalah (usia 3-6
tahun), keaaktifan >< rendah diri (usia 6-12 tahun), identitas >< fusi
identitas (usia 12-20 tahun).
Perkembangan personal-sosial anak pada usia toddler sebagai
berikut.
a) Usia 12-18 bulan anak mampu bermain sendiri di dekat orang
dewasa yang sudah dikenal, mampu menunjuk apa yang
diinginkan tanpa menangis, anak mampu mengeluarkan suara
yang menyenangkan atau menarik tangan ibu, memeluk orang
tua, memperlihatkan rasa cemburu atau bersaing.
b) Usia 18-24 bulan anak mampu minum dari cangkir dengan dua
tangan, belajar makan sendiri, mampu melepas sepatu dan kaos
kaki serta mampu melepas pakaian tanpa kancing, belajar
bernyanyi, meniru aktifitas di rumah, anak mampu mencari
pertolongan apabila ada kesulitan atau masalah, dapat mengeluh
bila basah atau kotor, frekuensi buang air kecil dan besar sesuai,
muncul kontrol buang air kecil biasanya tidak kencing pada siang
hari, mampu mengontrol buang air besar, mulai berbagi mainan
dan bekerja bersama-sama dengan anak-anak lain, anak bisa
mencium orang tua.
c) Usia 24-36 bulan anak mampu menunjukkan kemarahan jika
keinginannya terhalang, mampu makan dengan sendook dan
garpu secara tepat, mampu dengan baik minum dari cangkir,
makan nasi sendiri tanpa banyak yang tumpah, mampu melepas
pakaian sendiri, sering menceritakan pengalaman baru,
mendengarkan cerita dengan gambar, mampu bermain pura-
pura, mulai membentuk hubungan sosial dan mampu bermain
dengan anak-anak lain, menggunakan bahasa untuk
berkomunikasi dengan ditambahkan gerakan isyarat
(Soetjiningsih dan Gde Ranuh, 2013).
5) Perkembangan seksualitas
Teori psikoseksual oleh Sigmund Freud menjelaskan bahwa tahap
perkembangan anak memiliki ciri dan waktu tertentu serta
diharapkan berjalan secara kontinyu. Berikut perkembangan
psikoseksual anak usia 12-36 bulan menurut Freud.
a) Fase oral (umur 0-1 tahun)
Tahap ini anak akan selalu memasukkan segala sesuatu yang
berada di genggamannya ke dalam mulut. Peran dan tugas ibu
disini adalah memberikan pengertian bahwa tidak semua
makanan dapat dimakan.
b) Fase anal (umur 2-3 tahun)
Fungsi tubuh yang memberikan kepuasan terhadap anus.
c) Fase phallic/oedipal (3-6 tahun)
Anak senang memegang genetalia, anak cenderung akan dekat
dengan orang tua yang berlawanan jenis kelamin (anak
perempuan akan lebih dekat dengan bapak) dan mempunyai
rasa persaingan ketat dengan orang tua sesama jenis (merasa
tersaingi oleh bapak dalam mendapatkan kasih sayang ibu).
d) Fase Laten (6-12 tahun)
Anak mulai megeksplor dunia luar, mulai mencari teman sebaya
untuk diajak bermain.
e) Fase Genital
Pemusatan seksual pada genetalia, anak belajar menentukan
identitas dirinya, belajar untuk tidak tergantung dengan orang
tua, bertanggung jawab pada dirinya sendiri, mulai ada perasaan
senang dengan lawan jenis (Ridha, 2014).
6) Perkembangan kognitif anak usia toddler
Perkembangan kognitif anak meliputi semua aspek perkembangan
anak yang berkaitan dengan pengertian mengenai proses
bagaimana anak belajar dan memikirkan lingkungan. Kognisi
meliputi persepsi (penerimaan indra dan makna yang diindra),
imajinasi, menangkap makna, menilai dan menalar. Semua bentuk
mengenal, melihat, mengamati, memperhatikan, membayangkan,
memperkirakan, menduga dan menilai adalah kognisi (Sulistyawati,
2015).
Menurut Piaget, perkembangan kognitif anak dibagi dalam empat
tahap, yaitu sebagai berikut.
a) Sensori motor (0-2 tahun)
Tahap ini perkembangan panca indra sangat berpengaruh dalam
diri anak. Keinginan terbesar anak adalah menyentuh atau
memegang karena didorong oleh keinginan untuk mengetahui
reaksi dari perbuatannya.
b) Pra-operasional (usia 2-7 tahun)
Anak menjadi egosentris, sehingga terkesan pelit karena tidak
bisa melihat dari sudut pandang orang lain. Anak memiliki
kecenderungan meniru orang disekitarnya. Usia 6-7 tahun anak
sudah mulai mengerti motivasi, tetapi mereka tidak mengerti cara
berpikir yang sistematis.
c) Operasional konkret (7-11 tahun)
Anak mulai berpikir logis tentang kejadian-kejadian konkrit,
proses berpikir menjadi lebih rasional.
d) Operasional formal (mulai umur 11 tahun)
Perkembangan kemampuan nalar abstrak dan imajinasi lebih baik,
pengertian terhadap ilmu dan teori lebih mendalam (Sulistyawati,
2015).
Perkembangan kognitif anak toddler dijabarkan sebagai berikut.
a) Usia 12-18 bulan anak dapat menemukan objek yang
disembunyikan, membedakan bentuk dan warna, memberikan
respon terhadap perintah sederhana, menggunakan trial dan
error untuk mempelajari tentang objek.
b) Usia 18-24 bulan anak mampu menggelindingkan bola kearah
sasaran, membantu atau meniru pekerjaan rumah tangga, dapat
memulai permainan pura-pura, memegang cangkir sendiri,
belajar makan dan minum sendiri, menikmati gambar sederhana,
mengeksplorasi lingkungan, mengetahui bagianbagian dari
tubuhnya.
c) Usia 24-36 bulan anak dapat menunjuk satu atau lebih bagian
tubuhnya ketika diminta, melihat gambar dan dapat menyebut
nama benda dua atau lebih, dapat bercerita menggunakan
paragraf sederhana, menggabungkan dua sampai tiga kata
menjadi kalimat, menggunakan nama sendiri untuk menyebutkan
dirinya. (Soetjiningsih dan Gde Ranuh, 2013)
7) Perkembangan moral anak usia toddler
Teori Kohlberg menyatakan perkembangan moral anak sudah harus
dibentuk pada usia toddler. Tahap orientasi hukuman dan
kepatuhan (sekitar usia 2-4 tahun) anak mampu menilai suatu
tindakan apakah baik atau buruk bergantung dari hasilnya berupa
hukuman atau penghargaan. Usia 4-7 tahun anak berada pada
tahap orientasi instrumental naif dimana segala tindakan ditujukan
ke arah pemuasan kebutuhan mereka dan lebih jarang ditujukan
pada kebutuhan orang lain, rasa keadilan konkret. Timbal balik atau
keadilan menjadi landasan mereka (misalkan, jika kamu memukul
tanganku, aku akan memukul tanganmu juga) tanpa berpikir
mengenai loyalitas atau rasa terima kasih (Wong, 2008).
3. Tahap dan Faktor yang Mempengaruhi Tumbuh Kembang Anak
Tumbuh kembang pada masa anak menurut Nursalam (2013) sudah
dimulai sejak dalam kandungan hingga usia 18 tahun.
a. Tahapan Tumbuh Kembang Anak Menurut Soetjiningsih (2012),
tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Masa Pranatal (konsep lahir), meliputi: Masa embrio (mudigah)
yaitu masa konsepsi-8 minggu dan masa janin (fetus) yaitu 9
minggu-kelahiran.
2) Masa pascanatal, meliputi: Masa neonatal usia 0-28 hari, neonatal
dini (perinatal) 0-7 hari, dan neonatal lanjut 8-28 hari
3) Masa bayi yaitu meliputi masa bayi dini 1-12 bulan, masa bayi akhir
1-2 tahun.
4) Masa prasekolah (usia 2-6 tahun), terbagi atas: Prasekolah awal
(masa balita) mulai 2-3 tahun, dan prasekolah akhir mulai 4-6 tahun.
5) Masa sekolah atau masa prapubertas, terbagi atas: Wanita 6-10
tahun, dan laki-laki 8-12 tahun.
6) Masa adolesensi atau masa remaja, terbagi atas: Wanita 10-18
tahun, dan laki-laki 12-20 tahun
4. Faktor yang Mempengaruhi Tumbuh Kembang Anak
Faktor tumbuh kembang meliputi:
a. Faktor Internal Faktor internal misalnya faktor genetik yang merupakan
modal dasar dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang
balita. Anak dapat berinteraksi dengan lingkungan secara positif
diperoleh hasil akhir yang optimal (Soetjiningsih, 2012).
b. Faktor eksternal atau peranan lingkungan adalah faktor prenatal ibu
yang termasuk status gizi ibu pada saat hamil. Toksin atau obat-
obatan yang bias menyebabkan kelainan kongenital seperti
thalidomide. Paparan terhadap sinar radiasi seperti X-ray dapat
mengakibatkan kelainan pada janin seperti mikrosefali, spina bifida,
retardasi mental dan deformitas anggota gerak, kelainan kongenital
mata dan jantung. Ibu yang mengalami infeksi pada trimester pertama
dan kedua, misalnya TORCH (toksoplasma, rubella, sitomegalo virus,
herpes simpleks) dan penyakit menular seksual dapat berakibat janin
tidak berkembang normal, dan mengalami gangguan seperti katarak,
bisu, tuli, retardasi mental dan kelainan jantung kongenital. Jika ibu
memiliki golongan darah yang berbeda antara dirinya dan janin, maka
ada kemungkinan terjadi Eritroblastosis fetalis (Tanuwidjaya, 2013).
Faktor eksternal yang lainnya adalah faktor pascanatal, yaitu bila gizi
yang diperlukan bayi untuk bertumbuh dan berkembang mencukupi.
Jika anak atau bayi mengalami penyakit kronis atau kelainan
kongenital, serta lingkungan fisik dan kimia. Psikologis sang anak,
caranya berhubungan dan berinteraksi dengan orang sekitarnya.
Sosio-ekonomi keluarga sang anak, apakah kebutuhannya terpenuhi,
serta apakah ia tumbuh pada lingkungan yang mendukung atau tidak
(Tanuwidjaya, 2013).

B. Konsep Dasar Temper Tantrum


1. Pengertian temper tantrum
Sriyanti (2014) mengemukakan bahwa temper tantrum merupakan suatu
luapan emosi yang meledak-ledak dan tidak terkontrol. Temper tantrum
seringkali muncul pada anak usia 15 bulan sampai 6 tahun.
Temper tantrum juga didefinisikan sebagai perilaku tidak terkontrol,
termasuk menjerit, menginjak-injak kaki, memukul, membentur-benturkan
kepala, menjatuhkan diri, dan perilaku unjuk frustasi lain yang mengandung
kekerasan. Dalam bentuk ekstremnya, tantrum dapat disertai dengan
menahan nafas, muntah dan agresi serius, termasuk menggigit. Perilaku
seperti ini sering dijumpai bila anak merasa frustasi, marah, atau bahkan
hanya karena tidak dapat menerima suatu keadaan. Temper tantrum
dianggap normal pada usia 1-3 tahun, jika periode temper tantrum hanya
berlangsung singkat dan tantrum tidak bersifat manipulatif (Marcdante,
2013).
Mashar (2011) mengemukakan bahwa temper tantrum adalah suatu
letupan kemarahan anak yang sering terjadi pada saat menunjukan sikap
negative atau penolakan. Perilaku ini sering diikuti tingkah laku seperti
menangis dengan keras, berguling-guling dilantai, menjerit, melempar
barang, memukul-mukul, menendang, dan berbagai kegiatan lainnya.
2. Bentuk Perilaku Temper Tantrum
Bentuk perilaku temper tantrum beberapa contoh perilaku temper
tantrum menurut Sriyanti (2014) berdasarkan tingkatan usia, yaitu:
a. Di bawah usia 3 tahun Perilakunya berupa menangis dengan keras,
menggigit, memukul, menendang, melempar badan ke lantai,
memukul-mukulkan tangan, membentur-benturkan kepala, dan
melempar-lempar barang.
b. Usia 3-4 tahun Menunjukkan perilaku-perilaku tersebut di atas dengan
ditambah menghentak-hentakan kaki, berteriak-teriak, meninju,
membanting pintu, mengkritik, dan merengek.
c. Usia 5 tahun ke atas menunjukan perilaku tersebut pada 2 kategori
usia diatas dengan ditambah memaki, menyumpah, memukul
kakak/adik atau temannya, mengkritik diri sendiri, memecahkan atau
merusak barang dengan sengaja, dan mengancam.
Menurut Syamsuddin (2013) yang dikutip oleh Lusiana (2015)
perilaku temper tantrum dapat dilihat berdasarkan arah agresivitasnya,
yaitu:
1) Agresivitas yang diarahkan keluar perilaku agresivitas yang di
arahkan keluar, misalnya anak menampilkan agresi dengan
merusak objek disekitarnya seperti mainan, perabot rumah tangga,
dan benda-benda elekotronik. Selain pada benda juga ditujukan
dalam bentuk kekerasan pada orang tua, saudara, kawan, maupun
orang lain dengan cara mengumpat, meludahi, memukul, mencakar,
menendang serta tindakan lain yang bermaksud menyakiti orang
lain.
2) Agresivitas yang diarahkan ke dalam perilaku agresi yang ditujukan
pada diri sendiri, misalnya menggaruk kulit sampai berdarah,
membenturkan kepala ke tembok, membantingkan badan ke lantai,
mencakar muka, memaksakan diri untuk muntah, batuk, dan
sebagainya. Menurut Indanah (2017) perilaku temper tantrum
menurut jenis kelamin anak, lebih cenderung dialami oleh anak laki-
laki dibandingkan dengan anak perempuan. Bentuk perilaku temper
tantrum pada anak laki-laki cenderung berupa respon emosi secara
fisik sedangkan pada anak perempuan menunjukkan perilaku
temper tantrum bentuk verbal ketika sedang marah. Anak laki-laki
lebih membutuhkan perhatian yang banyak dibandingkan dengan
anak perempuan untuk mencapai suatu kemandirian. Hal ini
menunjukkan bahwa apabila seorang anak laki-laki dan perempuan
diberikan perintah yang sama belum tentu anak laki-laki dapat
melakukannya secara mandiri karena itu anak laki-laki harus lebih
banyak memperoleh perhatian. Hal ini terjadi karena pada anak laki-
laki di bagian otak depan yang berfungsi untuk mengenali
rangsangan-rangsangan penting sebagai pengendalian diri lebih
lambat dari pada anak perempuan.
3. Perilaku Temper Tantrum Adaptif dan Maladaptif
a. Perilaku adaptif (adaptive behavior)
Perilaku adaptif diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam
memikul tanggung jawab sosial menurut ukuran norma sosial tertentu
yang bersifat relatif, sejalan dengan perkembangan usia.
Menurut Mashar (2011) perilaku temper tantrum adaptif (emosi
anak yang dapat dikendalikan) diantaranya:
1) Anak menginginkan jajan, memintanya tanpa merengek
2) Anak memilih untuk menghindari ketika dijahili oleh temannya
3) Anak memiliki masalah dengan bicara atau berkomunikasi dengan
orang tua atau orang lain
4) Anak diam atau tidak memukul ketika mainannya direbut oleh
temannya
b. Perilaku maladaptif (maladaptive behavior)
Perilaku temper tantrum maladaptif (emosi anak yang tidak dapat
dikendalikan) adalah ketidakmampuan dalam penyesuaian
mengimplikasikan seseorang yang tidak memiliki kemampuan untuk
memenuhi tuntutan-tuntutan perilaku yang dikehendaki masyarakat.
Menurut Mashar (2011) perilaku temper tantrum maladaptif antara lain:
1) Anak mengekspresikan marah dengan menangis, merengek dan
berteriak
2) Anak marah lebih dari 15 menit atau lebih dari 3 kali sehari
3) Anak menghentakkan kaki sampai berguling di lantai saat
mengamuk
4) Anak membenturkan kepalanya ke dinding ketika sedang marah
5) Anak membanting pintu ketika keinginannya ditolak orang tua
6) Anak melempar mainannya ketika merasa bosan
4. Faktor Penyebab Temper Tantrum
Sriyanti (2014) berpendapat bahwa ada beberapa faktor yang
dapat menyebabkan terjadinya temper tantrum. Diantaranya adalah
sebagai berikut:
a. Terhalangnya keinginan anak mendapatkan sesuatu, setelah tidak
berhasil meminta sesuatu dan tetap menginginkanya, anak bisa
berperilaku tantrum.
b. Ketidakmampuan anak mengungkapkan diri. Anak punya keterbatasan
bahasa, ada saatnya ia ingin mengungkapkan sesuatu tapi tidak bisa,
dan orang tuapun tidak bisa mengerti apa yang diinginkan anak.
kondisi anak dapat memicu frustrasi dan terungkap dalam bentuk
tantrum.
c. Tidak terpenuhinya kebutuhan. Anak yang aktif membutuhkan ruang
dan waktu yang cukup untuk selalu bergerak dan tidak bisa diam
dalam waktu yang lama. Jika suatu saat anak harus menempuh
perjalanan panjang dengan mobil, dia akan merasa stres. Salah satu
kemungkinan cara pelepasan stresnya adalah dengan tantrum.
d. Anak juga mempunyai rasa ingin tahu yang besar. Ia ingin selalu
mencoba hal baru, tetapi adakalanya kemampuan anak masih
terbatas, kondisi ini bisa menyebabkan anak frustrasi kemudian
tantrum.
e. Pola asuh orang tua. Cara orang tua mengasuh anaknya juga
berperan untuk menyebabkan tantrum. Anak yang terlalu dimanjakan
dan selalu mendapatkan apa yang diinginkan, bisa tantrum ketika
suatu kali permintaannya ditolak. Orang tua yang mengasuh anak
dengan tidak konsisten juga bisa menyebabkan anak tantrum.
f. Anak merasa lelah, lapar, atau dalam keadaan sakit. Rasa lelah dan
badan yang tidak nyaman dapat menjadi pemicu terjadinya tantrum
pada anak.
g. Anak sedang stres. Pada saat jiwa anak tertekan karena suatu
masalah maka dapat menyebabkan anak menjadi tantrum.
5. Ciri – Ciri Anak Yang Mudah Mengalami Temper Tantrum
Menurut Hasan (2011) yang dikutip oleh Kirana (2013), tantrum
terjadi pada anak yang aktif dengan energi yang berlimpah. Tantrum juga
lebih mudah pada anak-anak yang dianggap lebih sulit, dengan ciri-ciri
sebagai berikut:
a. Memiliki kebiasaan tidur, makan, dan buang air besar tidak teratur
b. Sulit menyukai situasi, makanan, dan orang baru
c. Lambat beradaptasi dengan perubahan
d. Suasana hati lebih sering negatif
e. Mudah terprovokasi, gampang merasa marah, dan kesal
f. Sulit dialihkan perhatiannya
6. Frekuensi Temper Tantrum
Menurut Potegal dan Davidson (2003) dalam Syamsuddin (2013)
frekuensi tantrum yang terjadi pada anak per minggu antara lain:
a. 8 kali per minggu pada anak usia 1 tahun
b. 9 kali per minggu pada anak usia 2 tahun
c. 6 kali per minggu pada anak usia 3 tahun
d. 5 kali per minggu pada anak usia 4 tahun
7. Penatalaksanaan Temper Tantrum
Soetjiningsih (2016) berpendapat bahwa ada beberapa cara yang
dapat dilakukan orang tua untuk mengontrol perilaku tantrum pada anak,
yaitu:
a. Orang tua tetap tenang. Tantrum merupakan suatu hal yang alami
terjadi pada anak. Jika orang tua marah, anak akan menjadi bingung
dan frustasi sehingga membuat intensitas tantrum semakin tinggi.
b. Tidak mengubah keputusan yang telah dibuat hanya untuk
menghentikan perilaku tantrum pada anak. Dasar dalam membesarkan
anak adalah bersungguh-sungguh, bersikap hangat, dan konsisten
agar anak tahu siapa yang memegang kendali di dalam keluarga.
c. Memindahkan anak. Jika anak mengalami tantrum di tempat ramai
pindahkan anak ke tempat yang lebih tenang.
d. Meninggalkan anak. Ketika anak telah berada di tempat yang aman,
tinggalkan anak selama beberapa menit. Anak akan lebih mudah
berhenti ketika perilaku tantrum yang ditunjukan tidak dilihat oleh orang
tua.
e. Menenangkan anak ketika perilaku tantrum mulai menyakiti diri anak
dengan memeluk anak, serta menunjukkan bahwa ayah dan ibu
mencintainya.
f. Tidak membicarakan kesalahan anak ketika anak sedang marah.
Diskusikan cara mengendalikan rasa marah dan frustasi kepada anak
ketika episode tantrum telah berlalu.
g. Tidak mengancam dan memeberi hukuman pada anak.
Penatalaksanaan dengan bantuan tenaga kesehatan berupa konseling
pada orang tua dengan fokus utama adalah anak melalui perbaikan
pola asuh pada anak balita dengan tantrum. Cara efektif untuk
mengurangi frekuensi tantrum adalah dengan tidak menghiraukan
anak yang sedang melakukan tantrum, serta meningkatkan perhatian
kepada anak disaat berperilaku baik (Depkes RI, 2006) yang dikutip
oleh (Fitri, 2018).

C. Aplikasi Spiritual Pola Asuh Orang Tua


1. Pengertian aplikasi spiritual pola asuh orang tua
Menurut Ary Ginanjar dalam Ahmad Fahrisi (2020) pengaplikasian
total dalam kecerdasan spiritual merupakan landasan untuk
mengaplikasikan ilmu yang kita peroleh dalam dunia pendidikan islam,
sehingga dapat bermanfaat bagi umat manusia terlebih umat islam itu
sendiri. Maka dalam hal ini, kecerdasan spiritual perlu untuk diterapkan
dalam pendidikan islam, dimana tujuan diantara keduanya itu sama, yaitu
untuk membentuk manusia yang baik dan selalu berpegang teguh pada
ajaran Allah SWT. Disini pengetahuan bukan hanya untuk diketahui dan
dikembangkan, melainkan sekaligus dipratekkan dalam kehidupan nyata.
Dengan demikian terdapat konsistensi antara apa-apa yang diketahui
dengan pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari. Didalam islam,
mengetahui suatu ilmu pengetahuan sama pentingnya dengan
pengalamannya secara konkret sehinnga dapat terwujud kemaslahatan
bagi umat
Pola asuh merupakan pola interaksi antara orang tua dan anak
yaitu bagimana cara, sikap, atau perilaku orang tua saat berinteraksi
dengan anak termasuk cara penerapan aturan, mengajarkan nilai/norma,
memberikan pehatian dan kasih sayang seta menunjukan sikap dan
perilaku baik sehingga dijadikan panutan/contoh bagi anaknya. Wood dan
Zoo (2013) dalam Madyawati (2016).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan
bahwa aplikasi spiritual pola asuh orang tua merupakan pola interaksi
antara orang tua dengan anak, dimana orang tua menggunakan ilmu atau
pengetahuan yang telah di pelajari pada situasi dan kondisi nyata yaitu
bagaimana cara, sikap, atau perilaku orang tua saat berinteraksi dengan
anak termasuk cara penerapan aturan , mengajarkan nilai/norma,
memberikan pehatian dan kasih sayang serta menunjukan sikap dan
perilaku baik sehingga dijadikan panutan/contoh bagi anaknya dengan
tujuan untuk mendekatkan diri pada Allah SWT.
Konsep spiritual parenting yang dimaksud pada pembahasan ini
adalah parenting (pengasuhan orang tua) dengan menggunakan
pendekatan spiritualitas. Berkaitan dengan parenting dengan pendekatan
spiritual tersebut, orang tua harus yakin bahwa anak adalah titipan dari
Allah yang dengan semestinya ia bertanggung jawab atas pendidikan dan
moral anak tersebut. Hal ini merujuk pada sebuah hadits Nabi
Muhammad Saw (Kurniawan, 2013), “setiap kalian adalah pemimpin dan
setiap kalian adalah orang yang dimintai tanggung jawab tentang orang-
orang yang dipimpinnya. Laki-laki adalah pemimpin pada kelarganya. Dia
akan dimintai tanggung jawab tentang orang-orang yang dipimpinnya.
Seorang perempuan adalah pemimpin dirumah suaminya. Dia akan
dimintai tanggung jawab tentang orang-orang yang dimintainya. Seorang
pelayan adalah pemimpin pada harta tuannya. Dia akan dimintai
tanggung jawab atas harta yang dia urus. (Hadis shahih, diriwayatkan
oleh Bukhari dan muslim).
2. Penerapan Pola Asuh Islami
Berdasarkan hadist tersebut, jelas sekali bahwa sebagai orang tua
harus dengan teliti dalam memberikan pendidikan terhadap anak,
terutama pendidikan spirituallitasnya. Sebagai mana di ketahui
sebelumnya bahwa dengan spirituallitas yang bagus, maka akan tercipta
moral yang baik dengan demikian anak akan memiliki kecerdasan yang
komplek, artinya anak mendapat bekal moral, etik, estetik, sosial dan
emosional, yang baik. Sehingga anak tumbuh dengan memiliki
interpessonal yang baik. Oleh karena itu, orang tua wajib memberika hak
seorang anak, karena sesuai dengan janji Allah, setiap perbuatan akan
dimintai pertanggung jawabannya (Rika Widya, Bachtiar Siregar, Salma
Rosana, 2020).
Pendekatan Islamic Parenting yang dapat diterapkan pada
pendidikan Anak Usia Dini dengan metode Nabi menurut Syaikh Jamal
Abdurrahman (2011) adalah sebagai berikut:
a. Menasihati dan mengajari saat berjalan bersama
b. Menarik perhatian anak dengan ungkapan yang lembut
c. Bahaya melarang anak-anak dari mainan
d. Tidak membubarkan anak yang sedang bermain
e. Tidak memisahkan anak dari keluarganya
f. Mengajarkan akhlak mulia
g. Mendoakan kebaikan, menghindari doa keburukan
h. Meminta izin berkenaan dengan hak mereka
i. Mengajari anak menyimpan rahasia
j. Makan bersama anak-anak sembari memberikan pengarahan dan
meluruskan kekeliruan mereka.
Selanjutnya banyak metode islam yang membuat para orang tua dan
pendidik dapat menerapkan dalam setiap aspek kehidupan anak, baikdari
sisi akal maupun kejiwaannya. Karena dengan metode ala- Nabi Saw
mampu menerangi jalan mereka.
Metode-metode tersebut diantaranya seperti:
a. Menampilkan suri tauladan yang baik
b. Mencari waktu yang tepat untuk memberi nasihat
c. Bersikap adil dan menyamakan pemberian untuk anak
d. Menunaikan hak anak
e. Mendoakannya
f. Membelikan makanan
g. Membantu anak berbakti dan mengajarkan ketaatan
h. Membantu anak berbakti
i. Tidak suka marah dan mencela
(Rika Widya, Bachtiar Siregar, Salma Rosana, 2020).
3. Prinsip Spiritual Parenting
Menurut Mimi Doe, dan warsha walch, (2001) dalam Rika Widya, Bachtiar
Siregar, Salma Rosana, (2020) menjelaskan tentang 10 prinsip spiritual
parenting dalam mendidik anak. Diantara 10 prinsip tersebut adalah:
a. Ketahuilah bahwa tuhan ada dan sedang memerhatikan kita
b. Percaya dan ajarkan bahwa semua kehidupan saling berhubungan
dan memiliki tujuan
c. Selalu dengarkan anak anda (Menjadi seorang pendengar yang baik
untuk anaknya
d. Katakan itu penting, maka gunakan dengan hati-hati
e. Izinkan serta doronglah impian, keinginan dan harapan anak anda
f. Beri sentuhan keajaiban pada hal-hal yang menurutnya biasa
g. Ciptakan struktur kekeluargaan yang luwes
h. Jadilah cermin positif bagi anak anda
i. Lepaskan pergaulan yang menekan anak
j. Jadikan setiap hari suatu awal baru
4. Aspek-Aspek Pola Asuh Islami
Dalam menelusuri aspek-aspek parenting islami setidaknya ditemukan
beberapa hal diantaranya sebagai berikut
a. Pendidikan psikologis dan mental
1) Menanamkan kegembiraan, bermain, dan bercanda pada anak
2) Memenuhi rasa kasih sayang pada anak
3) Memiliki budi pekerti
b. Pendidikan keimanan dan syariat islam
1) Menamnamkan dasar keimanan dan syariat islam
2) Mengawasi sholat lima waktu
3) Mengajarkan anak untuk sedekah
4) Memotivasi anak gemar berzikir
c. Pendidikan akhlak dan sosial
1) Mengajarkan anak melalui etika teladan
2) Menanamkan anak untuk menjauhi sifat iri dengki
3) Menanamkan anak memiliki adab
4) Membiasakan anak mengucap salam
(Rika Widya, Bachtiar Siregar, Salma Rosana, 2020).
5. Pengertian Pola Asuh Anak
Pola asuh menurut agama ialah cara memerlakukan anak sesuai
dengan ajaran agama berarti memahami anak dan belajar berbagai aspek
dan memahami anak denganmemberikan pola asuh yang baik, menjaga
anak dan harta anak yatim, menerima, memberi perlindungan,
pemeliharaan, perawatan dan kasih sayang sebaik-baiknya. (QS. al-
Baqarah (2):220) dalam Madyawati (2016)
Pola asuh merupakan pola interaksi antara orang tua dan anak
yaitu bagimana cara, sikap, atau perilaku orang tua saat berinteraksi
dengan anak termasuk cara penerapan aturan, mengajarkan nilai/norma,
memberikan pehatian dan kasih sayang seta menunjukan sikap dan
perilaku baik sehingga dijadikan panutan/contoh bagi anaknya. Wood dan
Zoo (2013) dalam Madyawati (2016).
Dapat dimaknai bahwa pola asuh yaitu cara orang tua bertindak
sebagai suatu aktivitas kompleks yang melibatkan banyak perilaku
spesifik secara individu atau bersama-sama sebagai serangkainan usaha
aktif untuk mengarahkan anaknya.
6. Bentuk-Bentuk Pola Asuh Orang Tua
Pola asuh orang tua pada dasarnya merupakan implementasi dari
sikap dan perilaku orang tua terhadap anaknya, yang akan mewujudkan
suasana hubungan orang tua dengan anak. Karena sikap dan perilaku
orang tua itu akan menentukan perkembangan kepribadiannya.
Banyak para ahli mendefinisikan pola asuh. Pengasuhan berasal
dari kata asuh yang mempunyai makna menjaga, merawat, dan mendidik
anak yang masih kecil. Pola asuh merupakan pola interaksi antara orang
tua dengan anak, termasuk cara penerapan aturan, mengajarkan
nilai/norma, memberikan perhatikan dan kasih sayang, serta menunjukan
sikap, dan perilaku baik, kemampuan keluarga untuk menyediakan waktu,
perhatian, dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang
dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial (Suparyanto, 2010:
Jus’at, 2000; Amin, 2008) dalam Tri Sunarsih (2018).
Pola asuh orang tua meliputi perawatan, perlindungan, penyiapan
makanan, kebersihan diri dan sanitasi lingkungan, praktik kesehatan dan
pola pencarian pelayanan kesehatan (Soetjiningsih, 2017),
menumbuhkan kelekatan emosional, menghindari hukuman fisik,
mengajarkan disiplin, memahami anak secara menyeluruh (Sears),
mendidik (Kemdiknas,2011), perhatihan/dukungan ibu terhadap anak,
pemberian ASI atau makanan pendamping kepada anak, rangsangan
psikososial terhadap anak, persiapan dan penyimpangan makanan,
praktik keberhasilan atau hygiene dan sanitasi lingkungan (Engle et al.,
1997), pemberian stimulasi, dukungan emosional, (Ashar et al., 2008)
maupun mental (Amin, 2008) yang semuanya untuk kelangsungan hidup,
pertumbuhan, dan perkembangan balita. Untuk memaksimalkan potensi
otak yang dimiliki setiap anak, ada beberapa cara yang bisa dilakukan
para pendidikan dan orang tua, seperti: 1) memberikan asupan gizi yang
cukup; 2) memberikan perlakuan positif, seperti rasa kasih sayang,
penghargaan dan motivasi; 3) memberikan keamanan dan menjaga dari
hal-hal yang dapat merusak otak (Hamalik, 2009) dalam Tri Sunarsih
(2018).
Orang tua sebagai pemimpinan dan pembimbing anak didalam
keluarga memang dituntut untuk mampu bersikap arif terhadap gejolak
emosi atau sikap khas anak. Dalam kondisi dimana anak memiliki gejolak
jiwa yang agak berlebihan, orang tua harus mampu meredamnya namun
dengan tidak mematikan potensi yang dimiiki anak. Karena itu, disamping
bimbingan akhlak sebagai dasar pembentukan mental anak, ada baiknya
hal-hal yang berpotensi menimbulkan konflik anta orang tua dan anak
didiskusikan bersama. Dan disaat itulah orang tua dapat memberikan
arahan yang positif sekaligus memberikan batasan-batsan kepada anak,
sejauh mana kreatifitas anak bisa di tolelir oleh orang tua dan dalam hal-
hal apa oaring tua berkeberatan terhadap apa-apa yang ingin dilakukan
oleh anak.
Masing-masing orang tua tentu saja memiliki pola asuh tersendiri
dalam mengerahkan perilaku anak. Hal ini sangat dipengaruhi oleh latar
belakang pendidikan orang tua, mata pencaharian hidup, keadaan sosial
ekonimi, adat istiadat, dan sebagainya. Dengan kata lain, pola asuh orang
tua petani tidak sam dengan pedagang. Kemudian pula pola asuh oaring
tua berpendidikan rendah berbeda dengan pola asuh orang tua yang
berpendidikan tinggi. Ada yang menerapkan dengan pola yang
keras/kejam, kasar, dan tidak berprasaan. Namun, ada pula yang
memakai pola lemah lembut, dan kasih sayang. Ada pula yang memakai
sistem militer, yang apabila anaknya bersalah akan langsung diberi
hukuman, dan tindakan tegas (pola otoriter). (Djamarah, 2014) dalam Tri
Sunarsih (2018).
Jadi pola asuh orang tua mempunyai pengaruh yang sangat besar
dalam menentukan bagaimana bentuk pribadi anak di masa depan. Oleh
karena itu, orang tua harus benar-benar mawas diri dan sungguh-
sungguh dalam menanamkan nilai nilai kehidupan serta norma-norma
yang baik kepada anak melalui pola asuh yang baik dan benar.
Mengenai pola asuh orang tua terhadap anaknya yang sering kita
jumpai dalam masyarakat ada 3 (Djamarah,2014) dalam Tri Sunarsi
(2018) yaitu:
a. Pola asuh otoriter
Cara pendidikan yang diberikan oleh orang tua yang menerapkan
pola suh otoriter adalah dimana anak harus mengikuti pendapat dan
keinginan orang tua. Kekuasaan mutlak terletak pada pihak pada pihak
orang tua, sehingga anak todak diperkenankan memberikan pendapat
atau mengambil keputusan sendiri. Orang tua mengahrapkan
kepatuhan mutlak dari anaknya. Orang tua dengan tipe ini meyakini
bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk mengatur perilaku
anaknya karena mereka merasa memiliki superior.
Pola ini menggunakan peraturan yang keras untuk memaksakan
perilaku yang didinginkan orang tua guna dilakukan oleh anak. Hal ini
ditunjukkan dengan sikap orang tua yang selalu menuntut kepatuhan
dari anak, mendikte, hubungan dengan anak terasa kurang hangat,
kaku dan keras. Orang tua yang otoriter tidak mendukung anaknya
dalam mengembangkan keiningan bertindak sendiri atau sama sekali
menentang keinginan anaknya, sehingga perkembangan perubahan
peranan sosial tidak dapat di harapkan mencapai hasil yang baik.
Pola otoriter hanya mengenal hukuman dan pujian dalam
berinteraksi dengan anak. Hukuman akan diberikan manakala anak
tidak melakukan susuai dengan keinginan orang tua. Sedangkan
pujian akan diberikan manakala anak melakukan apa yang di inginkan
oleh orang tuanya. Anak yang di asuh dengan pola asuh otoriter akan
menghasilkan karakteristik anak yang pasif, penakut, pendiam,
tertutup, tidak berinisiatif, suka melanggar norma, berkepribadian
lemah, cemas dan menarik diri dari lingkungan. Dan mereka ini lebih
cenderung agresif (Ibid, 2008). Dalam kutipan buku Tri Sunarsih
(2018).
b. Pola asuh demokratis
Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan
kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu untuk mengendalikan
mereka. Sikap orang tua lebih mengontrol dan menurut tetapi dengan
sikap yang hangat. Terdapat komunikasi dua arah antara orang tua
dengan anaknya.
Orang tua dengan tipe ini bersifat rasional, selalu mendasari
tindakannya pada rasio atau pemikiran pemikiran. Mereka juga
bersikap realistis terhadap kemampuan anaknya. Orang tua juga
memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan
suatu tindakan, serta pendekatannya yang bersifat hangat (Ibid, 2008).
Dalam Tri Sunarsih (2018).
Pola asuh ini merupakan pola asuh yang diwajibkan oleh Allah
SWT terhadap para utusan. Berpijak kepada dorongan dan
konsekuensi dalam membangun dan memelihara fitrah anak. Orang
tua menyadari bahwa anak adalah amanah Allah SWT kepada
mereka. Dia merupakan mahkluk yang aktif dan dinamis.
Orang tua akan membiasakan diri untuk berdialog dengan anak
dalam menemani tumbuh kembang anak mereka. Setiap kali ada
persoalan, anak dilatih untuk mencari akar persoalan, lalu diarahkan
untuk ikut menyelesaikan permasalahan tersebut secara bersama-
sama.
Pola asuh demokratis akan menghasilkan karakteristik anak yang
mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan yang baik
dengan teman, mampu menghadapi stress, mempunyai minat
terhadap hal-hal yang baru dan kooperatif terhadap orang lain. Namun
tidak menutup kemungkinan anak akan berkembang sifat
membangkang dan tidak mau menyesuaikan diri.
c. Pola asuh permisif
Pola asuh permisif adalah pola asuh yang tidak memberikan
pengawasan dan pengarahan kepada tingkah laku anak. Orang tua
bersikap hangat dan responsif terhadap anak. Namun pola asuh ini
lemah dalam disiplin dan tidak melatih kemandirian anak (Ibid, 2008).
Dalam Tri Sunarsih (2018)
Pada umumnya dalam pola asuh ini tidak ada pengawasan yang
ketat dari orang tua. Mereka hanya sedikit memberikan tuntutan dan
menekankan sedikit disiplin. Anak-anak dengan pola asuh ini dibiarkan
mengatur tingkah lakunya sendiri. Dengan tidak adanya pengawasan
dari orang tua, mengakibatkan anak dengan pola asuh permisif ini
cenderung impulsif dan agresif, rendah dalam tanggung jawab dan
sangat bebas.
Pola asuh ini muncul karena adanya kesenjangan atas pola asuh.
Orang tua merasa bahwa pola asuh otoriter tidak sesuai dengan fitrah
manusia, sebagai pengambilan keputusan yang aktif, penuh arti dan
berorientasi pada tujuan dan memiliki derajat kebebasan untuk
menentukan perilakunya sendiri. Namun disisi lain, orang tua tidak
tahu apa yang seharusnya dilakukan terhadap putra putri mereka,
sehingga mereka menyerahkan begitu saja pengasuhan anak-anak
mereka kepada masyarakat dan media masa yang ada. Sambil
berharap suatu saat akan terjadi keajaiban yang datang untuk
menyulap anak-anak mereka sehingga menjadi perilaku yang saleh
dan salehah.
7. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua Terhadap
Anak
Setiap orang mempunyai kisah-kisah sejarah sendiri dan latar
belakang yang sering sangat jauh berbeda. Perbedaan ini sangat
memungkikan terjadinya pola asuh yang berbeda kepada anak. Menurut
(Maccoby & Mcloby dalam Madyawati, 2016) ada beberapa faktor yang
mempengaruhi pola asuh orang tua, yaitu:
a. Faktor sosial ekonomi
Lingkungan sosial berkaitan dengan pola hubungan sosial atau
pergaulan yang dibentuk oleh orang tua maupun anak dengan
lingkungan sekitarnya. Anak dari orang tua yang sosial ekonominya
rendah cenderung tidak melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih
tinggi atau bahkan tidak pernah mengenal bangku pendidikan sama
sekali karena terkendala faktor status ekonomi. Para ahli ekonomi
umumnya melakukan pengkuran tingkat kesejahteraan dengan melihat
variabel ekonomi, yaitu tingkat pendapatan (Supartono dkk, 2011).
b. Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan atay pertolongan yang diberikan dengan
sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa agar ia menjadi
dewasa. Latar belakang pendidikan orang tua dapat mempengaruhi
pola piker orang tua baik formal maupunnon formal, lali akan
berpengaruh pada aspirasi atau harapan orang tuanya kepada
anaknya
c. Nilai agama yang dianut oleh orang tua
Nilai-nilai agama juga menjadi hal penting yang ditananamkan orang
tua kepada anak dalam pengasuhan yang mereka lakukan sehingga
lembaga keagamaan juga turut berperan di dalamnya.
d. Kepribadian
Dalam mengasuh anak, oaring tua tidak hanya mengomunikasikan
fakta, gagasan, dan pengetahuan saja, melainkan membantu
menumbuhkembangkan kepribadian anak. Pendapat tersebut
berdasar pada teori humanistic yang menitik beratkan pendidikan yang
bertumpu pada peserta didik, artinya anak perlu mendapat perhatian
dalam membangun sistem pendidikan. Jika anak telah menunjukan
gejala-gejala yang kurang baik, berartu mereka sudah tidak menujukan
niat belajar yang sesungghnya. Bila hal ini dibiarkan terus menerus
akan menjadi masalah didalam mencapai keberhasilan pada diri anak.
e. Jumlah pemilikan anak
Jumalah anak yang dimiliki keluarga akan mempengaruhi pola asuh
yang diterapkan para orang tua. Semakin banyak jumlah anak dalam
keluarga, aka ada kecenderunganorang tua tidak begitu menerapkan
pola pengasuhan secara maksimal pada anak karena perhatian dan
waktunya tebagi antara anak satu dan lainnya. (Sofia, 2013). Dalam
Madyawati (2016).

D. Konsep Dasar Tingkat Pendapatan Keluarga


1. Pengertian Pendapatan
Pendapatan adalah jumlah pendapatan yang di terima oleh angota
masyarakat untuk jangka waktu tertentu sebagai balas jasa atas faktor-
faktor produksi yang mereka sumbangkan dalam turut serta membentuk
produk nasional (Suparyanto, 2014).
Menurut Sunuharjo (2009 dalam Suparyanto 2014) ada 3 katagori
pendapatan yaitu:
a. Pendapatan berupa uang yaitu segala penghasilan berupa uang yang
sifatnya regular dan yang diterima biasanya sebagai balas jasa atau
kontra prestasi.
b. Pendapatan berupa barang adalah segala pendapatan yang sifatnya
regular dan biasa, akan tetapi selalu berbentuk balas jasa dan diterima
dalam bentuk barang dan jasa.
c. Pendapatan yang bukan merupakan pendapat adalah segala
penerimaan yang bersifat transfer redistributive dan biasanya
membuat perubahan dalam keuangan rumah tangga.
2. Kriteria Pendapatan
Tingkatan penghasilan menurut Badan Pusat Statistik tahun 2012
adalah:
a. Golongan atas, yaitu pendapatan rata-rata antara Rp 2.500.000 – Rp
3.500.000 per bulan.
b. Golongan menengah, yaitu pendapatan rata-rata antara Rp
1.500.000 – Rp 2.500.000
c. Golongan bawah, yaitu pendapatan rata-rata kurang dari Rp
1.500.000 per bulan
Kriteria pendapatan Berdasarkan penggolongannya, Badan Pusat
Statistik (BPS, 2014) membedakan pendapatan menjadi 4 golongan
adalah:
a. Golongan pendapatan sangat tinggi, adalah jika pendapatan ratarata
lebih dari Rp. 3.500.000,00 per bulan
b. Golongan pendapatan tinggi adalah jika pendapatan rata-rata antara
Rp. 2.500.000,00 – s/d Rp. 3.500.000,00 per bulan
c. Golongan pendapatan sedang adalah jika pendapatan rata-rata
antara Rp. 1.500.000,00 s/d Rp. 2.500.000,00 per bulan
d. Golongan pendapatan rendah adalah jika pendapatan rata-rata
1.500.000,00 per bulan Keadaan ekonomi keluarga erat
hubungannya dengan belajar anak.
Anak yang sedang belajar selain harus terpenuhi kebutuhan
pokoknya, misalnya makan, minum, pakaian, perlindungan kesehatan,
juga membutuhkan fasilitas belajar seperti ruang belajar, meja, kursi,
penerangan, alat tulis menulis, buku dan lain-lain. Fasilitas belajar itu
hanya dapat terpenuhi jika orang tua mempunyai cukup uang. Jika anak
hidup dalam keluarga yang miskin, kebutuhan pokok anak kurang
terpenuhi sehingga belajar anak terganggu. Akibat yang lain anak selalu
dirundung kesedihan sehingga anak. merasa minder dengan temannya,
hal ini juga pasti akan mengganggu belajar anak.
3. Pendapatan Keluarga
Menurut Zaidin (2010 dalam Suparyanto, 2014) keluarga adalah
dua atau lebih individu yang bergabung karena hubungan darah,
perkawinan, dan adopsi dalam suatu rumah tangga, yang berinteraksi
satu dengan lainnya dalam peran menciptakan serta mempertahankan
suatu budaya. Keluarga pada umumnya terdiri dari seorang kepala
keluarga dan beberapa orang anggotanya. Kepala keluarga adalah orang
yang paling bertanggungjawab terhadap rumah tangga tersebut,
sedangkan anggota keluarga atau rumah tangga adalah mereka yang
hidup dalam satu atap dan menjadi tanggungan kepala rumah tangga
yang bersangkitan.
Pendapatan keluarga adalah jumlah penghasilan riil dari seluruh
anggota rumah tangga yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan
bersama maupun perseorangan dalam rumah tangga. Pendapatan
keluarga merupakan balas karya atau jasa atau imbalan yang diperoleh
karena sumbangan yang diberikan dalam kegiatan produksi.
Menurut Subandi dalam Mode Gunarsih, dkk (2013), Pendapatan
keluarga diartikan sebagai pendapatan yan diperoleh dari seluruh
anggota yang bekerja dari pertanian maupun luar pertanian. Variasi
sumbangan pendapatan dapat terjadi disebabkan oleh jumlah anggota
rumah tangga yang bekerja dan sumbangan terhadap rumah tangga.
4. Tahapan Keluarga
Dalam pendapatan keluarga Indonesia menurut BKBPP (Badan Keluarga
Berencana dan Pemberdayaan Perempuan) tahun 2011 di klasifikasikan
menurut kelompok sebagai berikut:
a. Keluarga pra sejahtera
Keluarga yang tidak memenuhi salah satu dari indikator kebutuhan dan
dasar keluarga (Basic needs) seperti pangan, sandang, papan,
kesehatan, dan pendidkan.
b. Keluarga sejahtera I
Keluarga mampu memenuhi indicator kebutuhan dasar keluarga
(sesuai kebutuhan dasar pada keluarga pra sejahtera) tetapi tidak
memenuhi salah satu dari kebutuhan psikologis (Psychological needs)
keluarga seperti agama dan pengahasilan.
c. Keluarga sejahtera II
Keluarga yang mampu memenuhi indicator kebutuhan dasar keluarga
dan indicator psikologis keluarga, tetapi tidak memenuhi salah satu
dari indicator kebutuhan pengembangan (develomental needs)
keluarga seperti menabung, memperoleh informasi, dan keluarga
kemasyarakatan.
d. Keluarga sejahtera III
Keluarga yang mampu memenuhi kebuthan aktualisasi diri (self
esteem) keluarga seperti memberikan sumbangan (kontribusi) materiil
untuk kegiatan sosial, dan aktif sebagai pengurus perkumpulam sosial
atau yayasan, atau institusi masyarakat.
e. Keluarga sejahtera III plus
Keluarga yang dapat mempenuhi semua kebutuhan keluarga pada
keluarga pra sejahtera, sejahtera I, sejahtera II, sejahtera III, dan
sejahtera III plus.

E. Hubungan Aplikasi Spiritual Pola Asuh Orang Tua Dan Tingkat


Pendapatan Keluarga Dengan Frekuensi Temper Tantrum Pada Anak
Usia Toddler (1–3 Tahun)
Spiritual merupakan pengalaman individu yang melibatkan pencarian
dalam menemukan tujuan, makna, kekuasaan, dan hubungan yang lebih
besar dari pada diri, sumber transenden, atau alam semesta (Ig-lesias,
2010). Orang tua memberikan kasih sayang dan kehangatan secara terus-
menerus dengan spiritual yang dimilikinya dan anak dapat merasakan
spiritual tersebut. Spiritual menjadi pola atau kebiasaan bagi anak sehingga
menjadi karakter. Anak yang memiliki spiritual tinggi memungkinkan tidak
akan berperilaku negatif (Wijayanati dan Uyun, 2010). Orang tua memainkan
peran secara harmonis dan holistik untuk anak (Runcan dan Goian, 2014).
Sebagaimana hasil studi di Amerika menunjukkan bahwa salah satu peran
orang tua adalah praktik spiritual mereka yang berpengaruh pada anak da-
lam memahami nilai-nilai (Iglesias, 2010).
Menurut pendapat Hurlock (2010) orang tua yang tingkat
perekonomiannya menengah maupun menengah keatas dalam
pengasuhannya biasanya memanjakan anaknya. Apapun yang diinginkan
oleh anak akan dipenuhi orang tua. Segala kebutuhan anak dapat terpenuhi
dengan kekayaan yang dimiliki orang tua. Pengasuhan anak sebagian besar
hanya terpenuhi dengan materi. Perhatian dan kasih sayang orang tua
diwujudkan dalam memberi atau pemenuhan kebutuhan anak. Besar
kecilnya pendapatan keluarga dapat mempengaruhi pola asuh orang tua
terhadap anak.
Hal ini diperkuat dengan hasil Penelitian yang dilakukan oleh Situmorang
(2016) sejalan dengan hasil, orangtua dengan status ekonomi tinggi
cenderung lebih memanjakan anaknya dengan memberikan semua yang
diinginkan oleh anaknya, sehingga anak terbiasa mendapatkan apa yang
diinginkan oleh anak. Dan bila sewaktu- waktu anak tidak mendapatkan apa
yang diinginkan maka anak akan mengamuk.
Selain itu Penelitian lain yang dilakukan oleh Santy (2014) juga
mengatakan bahwa status ekonomi juga dapat berpengaruh terhadap
pemberian pola asuh kepada anak. Semakin banyaknya penghasilan, maka
orang tua biasanya cenderung memanjakan anak dengan materi sehingga
pola asuh yang biasa diterapkan adalah tipe pola asuh permisif. Orangtua
yang terbiasa menggunakan pola asuh permisif pada anak biasanya akan
membentuk suatu kepribadian yang manja.
F. Kerangka teori
Bagan 2.1

Faktor yang mempengauhi temper tantrum:


1. Terhalangnya keinginan anak
mendapatkan sesuatu
Faktor yang mempengaruhi
2. Ketidakmampuan anak
mengungkapkan diri pola asuh orang tua:
3. Tidak terpenuhinya kebutuhan
4. Anak juga mempunyai rasa ingin 1. Faktor sosial ekonomi
tahu yang besar 2. Pendidikan
5. Pola asuh orang tua 3. Nilai agama yang
dianut oleh orang tua
6. Anak merasa lelah
7. Anak sedang stres 4. Kepribadian
5. Jumlah pemilikan anak

Aplikasi spiritual pola asuh: Tingkat pendapatan keluarga


1. Menampilkan suri
tauladan yang baik
2. Mencari waktu yang tepat Temper
untuk memberi nasihat Tantrum
3. Bersikap adil dan
menyamakan pemberian
untuk anak
4. Menunaikan hak anak Frekuensi temper tantrum:
5. Mendoakannya 1. 8 kali perminggu pad
6. Membelikan makanan anak usia 1 tahun
7. Membantu anak berbakti 2. 9 kali perminggu pada
dan mengajarkan anak usia 2 tahun
ketaatan 3. 6 kali perminggu pada
8. Membantu anak berbakti anak usia 3 tahun
9. Tidak suka marah dan 4. 5 kali perminggu pada
mencela anak usia 4 tahun

Sumber: Sriyanti (2014), Maccoby & Mcloby dalam Madyawati (2016), Rika Widya
dkk (2020), Potegal dan Davidson (2003) dalam Syamsuddin (2013)
Keterangan:
Diteliti :
Tidak diteliti :

Anda mungkin juga menyukai