TAHUN 2019
TENTANG
PENANGGULANGAN MASALAH GIZI BAGI ANAK AKIBAT PENYAKIT
Menimbang : a. bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang
secara optimal;
b. bahwa anak dengan kekurangan asupan gizi dan/atau penyakit dapat
menimbulkan masalah gizi yang menghambat pertumbuhan dan
perkembangan sehingga diperlukan upaya penanggulangan masalah
gizi;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang
Penanggulangan Masalah Gizi Bagi Anak Akibat Penyakit;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PENANGGULANGAN
MASALAH GIZI BAGI ANAK AKIBAT PENYAKIT.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk Anak
yang masih dalam kandungan.
2. Bayi Sangat Prematur adalah bayi yang lahir sebelum usia kehamilan
mencapai genap 32 minggu.
3. Bayi Berat Lahir Sangat Rendah adalah bayi dengan berat lahir kurang
dari 1500 gram.
4. Gagal Tumbuh adalah suatu keadaan terjadinya keterlambatan
pertumbuhan fisik pada bayi dan Anak usia bawah dua tahun yang
ditandai dengan kenaikan berat badan di bawah persentil 5 dari standar
tabel kenaikan berat badan.
5. Gizi Kurang adalah keadaan gizi balita yang ditandai dengan kondisi
kurus, berat badan menurut panjang badan atau tinggi badan kurang
dari -2 sampai dengan -3 standar deviasi, dan/atau lingkar lengan 11,5-
12,5 cm pada Anak usia 6-59 bulan.
6. Gizi Buruk adalah keadaan gizi balita yang ditandai dengan kondisi
sangat kurus, disertai atau tidak edema pada kedua punggung kaki,
berat badan menurut panjang badan atau berat badan dibanding tinggi
badan kurang dari -3 standar deviasi dan/atau lingkar lengan atas
kurang dari 11,5 cm pada Anak usia 6-59 bulan.
7. Alergi Protein Susu Sapi adalah suatu reaksi yang tidak diinginkan
yang diperantarai secara imunologis terhadap protein susu sapi.
8. Kelainan Metabolisme Bawaan adalah kelainan gen tunggal yang
menyebabkan defisiensi atau disfungsi protein yang berfungsi sebagai
enzim atau protein transpor yang diperlukan sebagai katalisator
metabolisme.
9. Pangan Olahan untuk Keperluan Medis Khusus yang selanjutnya
disingkat PKMK adalah pangan olahan yang diproses atau diformulasi
secara khusus untuk manajemen medis yang dapat sekaligus sebagai
manajemen diet bagi Anak dengan penyakit tertentu.
10. Surveilans Gizi adalah kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus
menerus terhadap masalah gizi masyarakat dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya sebagai dasar bagi pengambil keputusan untuk
perumusan kebijakan, perencanaan program, penentuan tindakan dan
pelaksanaan intervensi serta evaluasi terhadap pengelolaan program
gizi.
11. Pemeriksaan Antropometri adalah penimbangan berat badan,
pengukuran panjang atau tinggi badan, dan pengukuran lingkar lengan
atas, untuk menilai status gizi Anak.
12. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang kesehatan.
BAB II
PENYELENGGARAAN
Pasal 2
(1) Pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggung jawab
terhadap penyelenggaraan penanggulangan masalah gizi bagi
Anak akibat penyakit secara terpadu dan berkesinambungan.
(2) Penanggulangan masalah gizi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diprioritaskan terhadap penyakit yang memerlukan upaya
khusus untuk penyelamatan hidup dan mempunyai dampak
terbesar pada angka kejadian stunting.
(3) Penyakit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. berisiko Gagal Tumbuh;
b. Gizi Kurang atau Gizi Buruk;
c. Bayi Sangat Prematur;
d. Bayi Berat Lahir Sangat Rendah;
e. Alergi Protein Susu Sapi; dan
f. Kelainan Metabolisme Bawaan.
Gizi buruk pada balita memiliki dampak jangka pendek dan panjang yang
berupa gangguan tumbuh kembang, gangguan fungsi kognitif dan risiko
penyakit degeneratif hingga kematian. Tujuan dari program ini adalah untuk
memastikan gizi balita tetap optimal dan mencegah kejadian gizi buruk.
Program ini dilaksanakan sesuai dengan protokol Pedoman Pencegahan
dan Tatalaksana Gizi Buruk pada Balita (Kemenkes, 2019). Bagi daerah
dengan penerapan PSBB, program ini tetap dijalankan dengan pelayanan
diberikan secara terbatas yaitu melalui kunjungan rumah dan kunjungan ke
Fasyankes. Memastikan semua balita gizi buruk dengan komplikasi medis
tetap mendapatkan pelayanan kesehatan yaitu dirujuk ke fasilitas rawat inap
dan balita tanpa komplikasi medis (rawat jalan) tetap diperiksa di Puskesmas
atau Poskesdes atau Pustu setelah jadwal kunjungan satu kali dalam satu bulan
yang telah dijanjikan.
Dalam program ini, ibu balita gizi buruk akanmendapatkan F-100 atau
produk terapi gizi lain sesuai dengan pedoman dari bidan desa atau tenaga gizi
yang diberikan setiap hari dengan dosis sesuai berat badan anak.
Berkoordinasi dengan kader dalam memberikan konseling kepada ibu balita
gizi buruk untuk memastikan konsumsi F-100 atau produk terapi gizi lain
sudah digunakan sesuai pedoman dan dikonsumsi sesuai kebutuhan dan dosis
per harinya. Proses konseling gizi dilakukan melalui sambungan telepon, SMS
atau aplikasi chat satu minggu sekali kepada ibu balita gizi buruk atau
pengasuh dan membuat kelompok ibu balita dengan gizi buruk di grup media
sosial secara daring.
Program penapisan gizi buruk balita bagi daerah yang menerapkan
PSSB sangat diharapkan bagi keluarga yang memiliki balita untuk dapat
memantau kesehatan, tumbuh kembang dan status gizi balita di rumah
masing-masing mengacu pada buku KIA. Memberikan informasi dan
tanda-tanda balita gizi buruk melalui media. Tenaga kesehatan melakukan
identifikasi anak gizi buruk usia 6-59 bulan melalui kunjungan rumah jika
masih menerapkan pembatasan pelaksanaan Posyandu. Identifikasi balita
berisiko masalah gizi dilihat dari data Posyandu terakhir, yaitu balita yang
berat badannya tidak naik atau terlihat kurus dan BGM.
Hasil penelitian Murwati (2016) menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan status gizi balita sebelum dan sesudah pemberian F-100 di
wilayah Puskesmas Sukoharjo dengan nilai p = 0,000.Penelitian yang
dilakukan kepada 26 balita berstatus gizi buruk dengan nilai rata-rata z-
score -3,481 dengan nilai terendah
-4,7 dan tertinggi sebesar -3,1 dengan SD sebesar 0,5269. Status gizi
balita sesudah pemberian F-100 mengalami perubahan, dilihat dari nilai
rata-rata z- score sebesar -2,623 terendah -3,9 dan tertinggi sebesar -1,7
serta SD sebesar 0,5316 (Murwati & Devianti, 2016).
1. Pemantauan Pertumbuhan di Posyandu
Upaya deteksi dini masalah gizi pada balita dapat dilakukan dengan
kegiatan pemantauan pertumbuhan di Posyandu. Kegiatan sebagai
langkah awal untuk mendeteksi balita yang mengalami gangguan
pertumbuhan sehingga dapat segera dirujuk ke tenaga kesehatan untuk
mendapatkan penanganan sesegera mungkin.
Pada situasi pandemi COVID-19, pemantauan pertumbuhan balita
tetap dilaksanakan melalui berbagai upaya alternatif untuk memastikan
tumbuh kembang balita tetap dapat dipantau. Kegiatan ini tetap
dilaksanakan dengan mematuhi prinsip pencegahan infeksi dan physical
distancing, yaitu :
1. Pembersihan dan memastikan area pelayanan Posyandu steril
sebelum dan sesudah pelayanan sesuai dengan prinsip pencegahan
penularan infeksi.
2. Mengatur jarak meja (minimal 1-2 meter) tidak berdekatan.
Cara Cegah Stunting di Masa Pandemi COVID-19 Berikut ini cara cegah stunting di
masa pandemi COVID-19 yang diprioritaskan kepada kelompok balita, ibu hamil, dan
menyusui. Laporan ini berdasarkan unggahan di Instagram resmi Kemenkes. 1. Promosi dan
dukungan menyusui. 2. Kampanye gizi seimbang serta Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS). 3. Edukasi dan konseling dengan memanfaatkan media, diantaranya Surat Masa
Singkat (SMS), ataupun WhatsApp group. 4. Prioritas layanan pada balita, melalui pelayanan
kesehatan maupun kunjungan rumah. 5. Pemberian makanan tambahan kepada balita kurang
gizi maupun ibu hamil kurang energi kronis. 6. Pemberian suplementasi gizi.
Baca selengkapnya di artikel "Cara Cegah Stunting Anak pada Masa Pandemi COVID-
19", https://tirto.id/f4sk
Dampak KURANG
GIZI
Penyebab Makan
langsung Penyakit Infeksi
Seimb
Tidakng
a
Gambar 1
Kebijakan Penanganan Gizi
Sejak diberlakukannya paket UU Otonomi Daerah (UU No. 22 dan No. 25
tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 dan No. 33 tahun 2004) telah
terjadi perubahan pembagian fungsi antara pemerintah pusat, provinsi dan
kabupaten/kota. Sesuai dengan UU No. 22 tahun 1999 dan SK Menkes RI No. 1147
tahun 2000, maka tugas Depkes Pusat adalah menyusun kebijakan nasional, pedoman,
standar, petunjuk teknis, fasilitasi dan bantuan teknis kepada daerah, sementara fungsi-
fungsi yang besifat operasional sudah harus diserahkan kepada daerah (propinsi dan
kabupaten/kota). Dalam sektor kesehatan, urusan yang juga harus diserahkan kepada
daerah. Sesuai dengan SK Menkes 004 tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi
Desentralisasi Bidang Kesehatan, maka dalam rangka mencapai tujuan strategis "Upaya
penataan manajemen kesehatan di era desentralisasi"
https://www.researchgate.net/publication/274712464_ANALISIS_KEBIJAKAN_PENAN
GAN_MASALAH_GIZI_DI_KALIMANTAN_TIMUR_BERDASARKAN_PENGALA
MAN_BERBAGAI_NEGARA