Anda di halaman 1dari 29

BAGIAN ILMU RADIOLOGI

REFARAT
FAKULTAS KEDOKTERAN 21 FEBRUARI
2017
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

EMFISEMA PARU

OLEH :

Rizna Ainun Budiman


111 2015 2229

SUPERVISOR PEMBIMBING:
dr. Maulana Saggaf Mustafa, Sp.Rad

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2017
EMFISEMA PARU

I. PENDAHULUAN

PPOK adalah suatu penyakit paru kronik yang ditandai oleh adanya
hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversible.
Penyakit tersebut biasanya progresif dan berhubungan dengan respons
inflamasi abnormal paru terhadap partikel berbahaya atau gas beracun.1

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari


kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia harapan
hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko, seperti faktor pejamu yang
diduga berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya jumlah
perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di
dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja.2

PPOK merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk


sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh
peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi
utamanya. Bronkitis kronik, emfisema paru, dan asma bronkial membentuk
kesatuan yang disebut PPOK.3

Penatalaksanaan PPOK secara umum bertujuan untuk mencegah


progresivitas dari penyakit, mengurangi gejala, meningkatkan toleransi
terhadap aktivitas, meningkatkan status kesehatan, mencegah dan menangani
komplikasi, mencegah dan menangani eksaserbasi, dan menurunkan angka
kematian.1,2
II. ANATOMI DAN FISIOLOGI PERNAFASAN

Anatomi Pulmo 4

MORFOLOGI :
APEX PULMONIS
Berbentuk bundar,
menonjol ke cranial, ditutupi
oleh cupula pleurae. Bagian
ini berbatasan dengan arteria
subclavia sinistra dan arteria
subclavia dextra yang
menyebabkan terbentuknya
sulcus subclavius pada
permukaan pulmo, mengarah
ke lateral tepat di sebelah
caudal dari apex pulmonis.

BASIS PULMONIS
Bagian ini disebut juga facies diaphragmatica, bentuknya besar, konkaf,
terletak pada diaphragma thoracis memisahkan pulmo dexter daripada lobus
hepatis dexter, dan memisahkan pulmo sinister daripada lobus hepatis sinister,
gaster dan lien.Oleh karena diaphragma di sebelah kanan letaknya lebih tinggi
maka pulmo dexter bentuknya lebih kecil dan facies diaphragmatic lebih
cekung.
Basis pulmonis tampak jelas bergerak mengikuti gerakan inspirasi dan expirasi.

FACIES COSTALIS
Permukaan ini licin, konveks, mengikuti bentuk cavitas thoracis,
ditutupi oleh pleura costalis dan berbatasan dengan costa.
FACIES MEDIASTINALIS
Dibagi menjadi pars mediastinalis dan pars vertebralis. Pars
mediastinalis ditutupi oleh pleura mediastinalis, berbatasan dengan pericardium
dan membentuk impressio cardiaca (lebih cekung pada pulmo sinister).Di
sebelah dorsocranial impressio tersebut terdapat hilus pulmonis, yaitu tempat
keluar masuknya struktur-struktur ke dan dari pulmo.
Pada pulmo dexter di sebelah cranial dari hilus pulmonis terbentuk
sulcus venae azygos, di sebelah cranio-ventral hilus pulmonis terbentuk suatu
cekungan yang agak lebar, disebut sulcus venae cavae superioris, di sebelah
dorsal dari hilus pulmonis dan ligamentum pulmonale terdapat sulcus
oesophagei, yang terletak vertical.
Pada pulmo sinister di sebelah cranial hilus pulmonis terbentuk sulcus arcus
aortae yang ke arah cranial berhubungan dengan sulcus subclavius dan di
sebelah ventral sulcus ini dekat pada margo anterior terdapat cekungan untuk
vena anonyma sinistra. Di sebelah dorsal hilus pulmonis dan ligamentum
pulmonale terdapat sulcus aortae thoracalis yang arahnya vertical dan di
sebelah caudal sulcus ini, berdekatan dengan margo inferior terdapat cekungan
untuk ujung caudal oesophagus.

MARGO INFERIOR
Runcing dan memisahkan facies costalis daripada facies
diaphragmatica. Berhadapan dengan sinus phrenicocostalis (= sinus
costodiaphragmaticus). Ke arah medialis margo inferior menjadi tumpul dan
membulat serta memisahkan facies diaphragmatica daripada facies
mediastinalis.
MARGO ANTERIOR
Tipis dan meruncing, menutupi facies anterior pericardium margo
anterior dari pulmo dexter terletak hampirtegak lurus (vertikal) dan berhadapan
dengan sinus costomediastinalis, sedangkan yang sebelah kiri membentuk
incisura cardiaca sehingga pericadium letaknya merapat pada sternum.
PULMO DEXTER
Terdiri atas tiga buah lobus, yaitu (1) lobus superior, (2) lobus medius
dan (3) lobus inferior, yang dibagi oleh dua buah incisurae interlobares.
Fissura horizontalis memisahkan lobus superior daripada lobus medius,
terletak horizontal, ujung dorsal bertemu dengan fissura oblique, ujung ventral
terletak setinggi pars cartilaginis costa IV, dan pada facies mediastinalis fissura
tersebut melampaui bagian dorsal hilus polmanis.
Lobus medius adalah yang terkecil daripada lobus lainnya, dan berada
di bagian ventro caudal.
Morfologi pulmo dexter lebih kecil daripada sinister, tetapi lebih berat
dan total capicitynya pun lebih besar.

PULMO SINISTER
Terdiri atas dua buah lobus, yaitu (1) lobus superior dan (2) lobus inferior,
yang dipisahkan oleh fissura obliqua (= incisura interlobis); fissura tersebut
meluas dari facies costalis sampai pada facies mediastinalis, baik di sebelah
cranial maupun di sebelah caudal hilus polmanis. Fissura obliqua dapat diikuti
mulai dari hilus, berjalan ke dorso-cranial, menyilang margo posterior kira-kira
5 cm dari apex pulmonis, lalu berjalan ke arah caudo-ventral pada facies
costalis menyilang margo inferior, dan kembali menuju ke hilus pulmonis.
Dengan demikian maka pada lobus superior apex pulmonis, margo anterior,
sebagian dari facies costalis dan sebagian besar dari facies mediastinalis.
Lobus inferior lebih besar daripada lobus superior, dan meliputi sebagian
besar dari facies costalis, hampir seluruh facies diaphragmatica dan sebagian
dari facies mediastinalis (bagian dorsalnya).

RADIX PULMONIS
Dibentuk oleh branchus, arteria pulmonalis, vena pulmonalis, arteria dan
vena bronchialis, plexus nervosus pukmonalis, pembuluh-pembuluh lymphe
dan lymphonodus bronchialis.seluruh struktur tersebut tadi dilingkari oleh
reflexi pleurae. Struktur-struktur tersebut masuk keluar melalui hilus pulmonis,
yang berada dekat pusat (pertengahan facies mediasstinalis) dan berada di
sebelah dorsal impressio cardiaca agak ke dorsal.
Radix pulmonis dexter terletak di sebelah dorsal vena cava superior dan
atrium dextrum, dan vena zygos melengkung di cranialisnya.
Radix pulmonis dexter terletak di sebelah ventral aorta descendens, di
sebelah inferior dari arcus aortae.
Nervus phrenicus, vasa pericardiacopherenica dan plexus nervosus
pulmonalis berada di sebelah ventral radix pulmonis sinister et dexter,
sedangkan N.vagus dan plexus nervosus pulmonalis posterior terletak di
sebelah dorsal radix pulmanis sinister et dexter.
Di sebuah caudal dari radix pulmonis reflexi pleurae makin mendekat dan
membentuk ligamentum pulmonale.
Pada radix pulmonis dexter bronchus lobus superior berada di sebelah
cranial, ramus dexter arteria pulmonalis berada di sebelah caudo-ventralnya,
bronchus lobus medius dan lobus inferior berada di sebelah caudo-dorsal, dan
yang terletak paling inferior adalah vena pulmonalis dextra (ramus dexter
arteria pulmonalis terletak diapit oleh bronchus dan vena pulmonalis).
Pada radix pulmonis sinister bronchus sinister, a.pulmonalis berada di
sebelah cranial, vena pulmonalis sinistra berada di sebelah caudal dan
diantaranya terdapat bronchus.

PEMBAGIAN SEGMEN PULMO


Segmen bronchopulmonalis terbentuk sesuai dengan percabangan
bronchus yang terletakv pada lobus pulmonis.
Lobus superior dexter terbagi menjadi :
 segmen apical ;
 segmen posterior ;
 segmen anterior.
Lobus medius dexter terbagi menjadi :
 segmen lateral
 segmen medial
Lobus inferior dexter terbagi menjadi :
 segmen apical ;
 segmen mediobasalis
 segmen anterobasalis
 segmen laterobasalis
 segmen posterobasalis

Lobus superior sinister dbagi menjadi dua bagian, yaitu (1) bagian superior dan
(2) bagian inferior.
Bagian superior dibentuk oleh :
 segmen apicoposterior ;
 segmen anterior.
Bagian inferior dibentuk oleh :
 segmen lingualis superior ;
 segmen lingualis inferior.
Lobus inferior sinister terbagi menjadi :
 segmen apical ;
 segmen antero-mediobasalis ;
 segmen laterobasalis ;
 segmen posterobasalis.

III. DEFENISI

Emfisema adalah Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh


pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding
alveoli. Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronik juga
memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten
berat dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuh, danmemenuhi
kriteria PPOK. Menurut GOLD (Global Inisiative for Chronic Obstructive
Lung Disease), PPOK adalah penyakit paru yang dapat dicegah diobati
dengan beberapa efek ekstrapulmonal yang signifikan berkontribusi terhadap
tingkat keparahan penderita. Hambatan aliran udara tersebut biasanya bersifat
progressif dan berhubungan dengan respon inflamasi pulmonal terhadap
partikel atau gas berbahaya.1

IV. FAKTOR RISIKO7

1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang


terpenting, jauh lebih pentingdari faktor penyebab lainnya.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
a. Riwayat merokok
- Perokok aktif
- Perokok pasif
- Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian
jumlah rata rata batang rokokdihisap sehari dikalikan lama merokok
dalam tahun :
- Ringan : 0-200
- Sedang : 200-600
- Berat : >600
2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
3. Hipereaktiviti bronkus
4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
5. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia
V. PATOFISIOLOGI

Gambar:Mikroskopis alveolus paru normal dan paru dengan emfisema

Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus


terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Emisema secara anatomik dibagi
menjadi:
1. Emfisema Sentriasinar (sentrilobular)
CLE (Centri Lobular Emfisema) ini secara selektif hanya menyerang
bagian bronkhiolus respiratorius. Dinding-dinding mulai berlubang,
membesar, bergabung dan akhirnya cenderung menjadi satu ruang. Mula-
mula duktus alveolaris yang lebih distal dapat dipertahankan penyakit ini
sering kali lebih berat menyerang bagian atas paru-paru, tapi cenderung
menyebar tidak merata. CLE lebih banyak ditemukan pada pria
dibandingkan dengan bronchitis kronik, dan jarang ditemukan pada
mereka yang tidak merokok. Emfisema tipe ini paling sering terjadi pada
perokok yang tidak menderita defisiensi kongenital antitripsin-α1.3,8

2. Emfisema panasinar (panlobular)


Merupakan bentuk morfologik yang lebih jarang, dimana alveolus yang
terletak distal dari bronkhiolus terminalis mengalami pembesaran serta
kerusakan secara merata, mengenai bagian asinus sentral maupun yang
perifer.Bersamaan dengan penyakit yang makin parah, semua komponen
asinus sedikit demi sedikit menghilang sehingga akhirnya hanya tertinggal
beberapa lembar jaringan, yang biasanya berupa pembuluh-pembuluh
darah. PLE ini mempunyai gambaran khas yaitu tersebar merata diseluruh
paru-paru, meskipun bagian basal cendrung terserang lebih parah. Jenis
emfisema ini ditandai dengan peningkatan resistensi jalan napas yang
berlangsung lambat tanpa adanya bronkitis kronik, mula timbulnya dini
dan biasanyan memperlihatkan gejala-gejala pada usia antara 30-40 tahun.
Penyebab emfisema bentuk ini tidak diketahui, tetapi telah diketahui
adanya bentuk familial yang berkaitan dengan defisiensi enzim alfa 1 –
antiprotease.3
3. Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas
distal, duktus dan sakus alveoler. Emfisema lebih nyata di dekat pleura, di
sepanjang septum jaringan ikat lobulus, dan tepi lobulus. Emfisema ini
terjadi di dekat daerah fibrosis, jaringan parut, atelektasis dan biasanya
lebih parah di separuh atas paru. Tipe emfisema ini mungkin mendasari
kasus pneumotoraks spontan pada orang dewasa muda.8

Gambar: Perbedaan Jenis-jenis emfisema

Terjadinya kedua bentuk umum emfisema, sentrasinar dan panasinar,


masih belum sepenuhnya dipahami. Pendapat yang sekarang berlaku adalah
bahwa emfisema terjadi akibat dua ketidakseimbangan penting yaitu,
ketidakseimbangan protease dan ketidakseimbangan oksidan-antioksidan.
Ketidak seimbangan ini hampir selalu terjadi dan saling memperkuat
terjadinya kerusakan.8
Hipotesis ketidakseimbangan protease-antiprotease didasarkan pada
kecendrungan yang lebih besar pada pasien dengan defisiensi antiprotease
antitripsin-α1 . Antitripsin-α1secara normal terdapat dalam serum, cairan
jaringan, dan makrofag, merupakan inhibitor utama protease (terutama
elastase) yang dikeluarkan oleh neutrofil sewaktu peradangan. Setiap
rangsanga yang meningkatkan, baik jumlah leukosit (neutrofil dan makrofag)
di paru maupun pelepasan granula yang mengandung protease, meningkatkan
aktifitas proteolotik. Jika pada kadar antitripsin-α1serum yang rendah,
destruksi jaringan elastik menjadi tidak terkendali dan hal ini dapat
menimbulkan emfisema.8
Pendapat lain yang turut berperan dalam terjadinya emfisema adalah
terjadinya ketidakseimbangan oksidan-antioksidan yang dapat terjadi pada
perokok. Dalam keadaan normal, paru mengandung sejumlah antioksdan
(superoksida dismutase, glutation) yang menekan kerusakan oksidatif hingga
tingkat minimum. Pada asap rokok mengandung banyak spesis oksigen
reaktif (radikal bebas), yang mengabiskan mekanisme antioksidan ini
sehingga terjadi kerusakan jaringan. 8
Efek merokok juga dapat mempengaruhi ketidakseimbangan protease-
antiprotease, hal ini dapat terjadi akibat tumbukan partikel asap, terutama di
percabangan bronkiolus respiratorik, mungkin menyebabkan influks neutrofil
dan makrofag, kedua sel tersebut menghasilkan berbagai protease. Sehingga
kerusakan yang terjadi diperhebat oleh inaktifasi antiprotease oleh spesi
oksigen reaktif.8

VI. DIAGNOSIS
A. Gambaran Klinis7
a) Anamnesis
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan
lahir rendah (BBLR), infeksi
saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b) Pemeriksaan fisis
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
1) Inspeksi
- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal
sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena
jugularis i leher dan edema tungkai

- Penampilan pink puffer atau blue bloater

2) Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
3) Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong
ke bawah
4) Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau
pada ekspirasi paksa
- ekspirasi memanjang
- bunyi jantung terdengar jauh
Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan
dan pernapasan pursed - lips
breathing
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis,
terdapat edema tungkai dan ronki
basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
Pursed - lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan
ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh
untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh
untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.

B. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rutin
1. Faal paru
Uji faal paru dengan menggunakan spirometri berguna untuk
menegakkan diagnosis, melihat perkembangan penyakit, dan
menentukan prognosa. Pemeriksaan ini penting untuk
memperlihatkan secara obyektif adanya obstruksi saluran nafas
dalam berbagai tingkat. Spirometri harus digunakan untuk mengukur
volume maksimal udara yang dikeluarkan setelah inspirasi
maksimal, atau disebut Forced vital capacity (FVC). Spirometri juga
harus digunakan untuk mengukur volume udara yang dikeluarkan
pada satu detik pertama pada saat melakukan manuver di atas, atau
disebut dengan Forced Expiratory Volume in 1 second (FEV1).
Rasio dari kedua pengukuran ini juga harus dilakukan (FEV1/FVC).
Penderita PPOK secara khas akan menunjukkan penurunan dari
FEV1 dan FVC. Adanya nilai FEV1/FVC < 70% disertai dengan
hasil tes bronkodilator yang menghasilkan nilai FEV1 < 80% dari
nilai prediksi mengkonfirmasi terjadinya pembatasan aliran udara
yang tidak sepenuhnya reversibel. FEV1 merupakan parameter yang
paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau
perjalanan penyakit. FEV1 juga amat dipengaruhi oleh umur, jenis
kelamin, etnis, dan tinggi penderita, sehingga paling baik dinyatakan
berdasarkan sebagai persentase dari nilai prediksi normal. 2

Uji faal paru juga dapat dilakukan dengan uji bronkodilator.


Uji bronkodilator juga menggunakan spirometri. Teknik
pemeriksaan ini adalah dengan memberikan bonkodilator inhalasi
sebanyak 8 hisapan, dan 15-20 menit kemudian dilihat perubahan
nilai FEV1. Bila perubahan nilai FEV1 kurang dari 20% maka ini
menunjukkan pembatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya
reversibel. Uji ini dilakukan saat PPOK dalam keadaan stabil (di luar
eksaserbasi akut).
Dari hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian
bronkodilator juga dapat menentukan klasifikasi penyakit PPOK.
Klasifikasi tersebut adalah:8

Gambar: PPOK berdasarkan derajat dari terhambatnya aliran udara


dengan spirometri
2. Darah rutin7
Hb, Ht, leukosit

3. Gambaran Radiologi

1) Foto Polos

Gambar: Foto Thorax Lateral

Pada emfisema lanjut hal-hal berikut dapat ditemukan.10


a) Hiperinflasi dada
- Diafragma datar dan rendah dengan pergerakan yang terbatas saat
inspirasi dan ekspirasi
- Peningkatan diameter AP dada dengan perluasan pada rongga
retrosterna (barrel chest).

Gambar: Foto Thorax PA/Lateral


- Penampakan bayangan jantung yang tipis, panjang, dan sempit,
lebih disebabkan oleh inflasi berlebihan dan diafragma rendah,
dibandingkan akibat perubahan ukuran jantung yang sebenarnya.
Perubahan Vaskular10

- Paru secara umum dipengaruhi oleh distribusi vaskularisasi


pulmonal yang secara abnormal tidak rata; pembuluh darah
menjadi lebih tipis, disertai hilangnya gradasi halus normal dari
pembuluh darah yang berasal dari hilus menuju perifer.
- Hipertensi pulmonal meneybabkan kor pulmonal. Arteri pulmonal
proksimal secara progresif membesar dan menyebabkan gagal
jantung kanan.

Bullae 10

Gambar: Foto Thorax PA

Rongga menyerupai kista sering terbentuk akibat rupturnya


alveolus yang melebar. Pala film dada, rongga tersebut tampak sebagai
daerah translusen dengan dindingnya terlihat sebagai bayangan kurva
linear menyerupai garis rambut. Bullae memiliki ukuran bervariasi
dengan diameter mulai dari beberapa sentimeter hingga menempati
bagian yang luas pada hemitoraks, menggantikan, dan mendesak paru
normal di dekatnya.

2) CT Scan
Gambar: Emfisema paru pada CT Scan, A: Emfisema bulla, B: Paru-
paru Normal
CT Scan saat ini menjadi modalitas pilihan untuk mendeteksi
adanya emfisema; HRCT. Perlu dicatat , bagaimanapun, bahwa
adanya hubungan yang relatif rendah antara hasil patologi anatomi
emfisema, kelainan tes fungsi paru dan hasil CT Scan, dengan 20 %
dari kasus patologi terbukti tidak ditemukan pada hasil CT Scan dan
40 % dari pasien dengan kelainan CT Scan memiliki tes fungsi paru
yang normal.11

CT Scan mampu membedakan antara centrilobular , panlobular ,


dan emfisema paraseptal .11
Gambar: Panlobular Emfisema

Gambar: Emfisema Centilobular

Gambar: Emfisema Paraseptal

3) MRI

Pada emfisema MRI digunakan dalam tahap penelitian untuk


evaluasi kelainan parenkim paru-paru. Pernapasan dinamis paru
dengan menggunakan MRI kemungkinan pada masa yang akan datang
akan digunakan untuk menilai emfisema. 12
VII. DIAGNOSIS BANDING7
1. Asma
2. SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis)
Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita
pascatuberculosis dengan lesi paru yang minimal.
3. Pneumotoraks
4. Gagal jantung kronik
5. Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis, destroyed lung.
Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering ditemukan di Indonesia,
karena itu diagnosis yang tepat harus ditegakkan karena terapi dan prognosisnya berbeda.

VIII. PENGOBATAN7
A. Penatalaksanaan umum PPOK

Tujuan penatalaksanaan :
- Mengurangi gejala
- Mencegah eksaserbasi berulang
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
- Meningkatkan kualiti hidup penderita
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :
1. Edukasi
2. Obat – obatan
Obat - obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat
penyakit ( lihat tabel 2 ). Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi,
nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada
derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release
) atau obat berefek panjang ( longacting ).
Macam - macam bronkodilator :
- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator jugamengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali
perhari ).
- Golongan agonis beta - 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan
jumlah penggunaandapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi.
Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet
yang berefek panjang.
Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi
akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang.
Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi
berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek
bronkodilatasi, karenakeduanya mempunyai tempat kerja yang
berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih
sederhana dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan
jangka panjang,terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk
tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak ( pelega napas ),
bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah.
b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau
injeksi intravena, berfungsimenekan inflamasi yang terjadi, dipilih
golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai
terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid
positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator
meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : amoksisilin
makrolid
- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat
sefalosporin
kuinolon
makrolid baru
Perawatan di Rumah Sakit :
dapat dipilih
- Amoksilin dan klavulanat
- Sefalosporin generasi II & III injeksi
- Kuinolon per oral
ditambah dengan yang anti pseudomonas
- Aminoglikose per injeksi
- Kuinolon per injeksi
- Sefalosporin generasi IV per injeksi
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup,
digunakan N - asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan
eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang
rutin
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikaneksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik
dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK
bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
f. Antitusif
Diberikan dengan hati – hati
3. Terapi oksigen
4. Ventilasi mekanik
5. Nutrisi
6. Rehabilitasi

PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel,


sehingga penatalaksanaanPPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada
keadaan stabil dan (2) penatalaksanaan padaeksaserbasi akut.

B. Penatalaksanaan PPOK stabil

Kriteria PPOK stabil adalah :


- Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik
- Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas
darah menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg
- Dahak jernih tidak berwarna
- Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil
spirometri)
- Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan
- Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan

Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil :


- Mempertahankan fungsi paru
- Meningkatkan kualiti hidup
- Mencegah eksaserbasi

Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai evaluasi


berkala atau dirumah untuk mempertahankan PPOK yang stabil dan
mencegah eksaserbasi

Penatalaksanaan di rumah
Penatalaksanaan di rumah ditujukan untuk mempertahankan PPOK yang
stabil. Beberapa hal yang harus diperhatikan selama di rumah, baik oleh
pasien sendiri maupun oleh keluarganya.
Penatalaksanaan di rumah ditujukan juga bagi penderita PPOK berat yang
harus menggunakan oksigen atau ventilasi mekanik.
Tujuan penatalaksanaan di rumah :
a. Menjaga PPOK tetap stabil
b. Melaksanakan pengobatan pemeliharaan
c. Mengevaluasi dan mengatasi eksaserbasi dini
d. Mengevaluasi dan mengatasi efek samping pengobatan
e. Menjaga penggunaan ventilasi mekanik
f. Meningkatkan kualiti hidup

Penatalaksanaan di rumah meliputi :


1. Penggunakan obat-obatan dengan tepat.
Obat-obatan sesuai klasifikasi (tabel 2). Pemilihan obat dalam bentuk
dishaler, nebuhaler atau tubuhaler karena penderita PPOK biasanya berusia
lanjut, koordinasi neurologis dan kekuatan otot sudah berkurang.
Penggunaan bentuk MDI menjadi kurang efektif. Nebuliser sebaiknya tidak
digunakan secara terus menerus. Penggunaan nebuliser di rumah sebaiknya
bila timbul eksaserbasi, penggunaan terus menerus, hanya jika timbul
eksaserbasi.
2. Terapi oksigen
Dibedakan untuk PPOK derajat sedang dan berat. Pada PPOK derajat
sedang oksigen hanya digunakan bila timbul sesak yang disebabkan
pertambahan aktiviti. Pada PPOK derajat berat yang terapi oksigen di rumah
pada waktu aktiviti atau terus menerus selama 15 jam terutama pada waktu
tidur. Dosis oksigen tidak lebih dari 2 liter
3. Penggunaan mesin bantu napas dan pemeliharaannya. Beberapa penderita
PPOK dapat menggunakan mesin bantu napas di rumah
4. Rehabilitasi
- Penyesuaian aktiviti
- Latihan ekspektorasi atau batuk yang efektif (huff cough)
- "Pursed-lips breathing"
- Latihan ekstremiti atas dan otot bantu napas
5. Evaluasi / monitor terutama ditujukan pada :
- Tanda eksaserbasi
- Efek samping obat
- Kecukupan dan efek samping penggunaan oksigen

C. Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut

Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah mengatasi segera


eksaserbasi yangterjadi dan mencegah terjadinya gagal napas. Bila telah
menjadi gagal napas segera atasi untukmencegah kematian. Beberapa hal yang
harus diperhatikan meliputi :
1. Diagnosis beratnya eksaerbasi
- Derajat sesak, frekuensi napas, pernapasan paradoksal
- Kesadaran
- Tanda vital
- Analisis gas darah
- Pneomonia
2. Terapi oksigen adekuat
Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan utama,
bertujuan
untuk memperbaiki hipoksemi dan mencegah keadaan yang mengancam jiwa.
dapat dilakukan di ruang gawat darurat, ruang rawat atau di ICU. Sebaiknya
dipertahankan Pao2 > 60 mmHg atau Sat O2 > 90%, evaluasi ketat
hiperkapnia. gunakan sungkup dengan kadar yang sudah ditentukan (ventury
masks) 24%, 28% atau 32%. Perhatikan apakah sungkup rebreathing atau
nonrebreathing, tergantung kadar Paco2 dan Pao2. Bila terapi oksigen tidak
dapat mencapai kondisi oksigenasi adekuat, harus digunakan ventilasi
mekanik. Dalam penggunaan ventilasi mekanik usahakan dengan
Noninvasive Positive Pressure Ventilation (NIPPV), bila tidak berhasil
ventilasi mekanik digunakan dengan intubasi.
3. Pemberian obat-obatan yang maksimal
Obat yang diperlukan pada eksaserbasi akut
a. Antibiotik
- Peningkatan jumlah sputum
- Sputum berubah menjadi purulen
- Peningkatan sesak
Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan
komposisi kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di
rumah sakit sebaiknya per drip atau intravena, sedangkan untuk rawat
jalan bila eksaserbasi sedang sebaiknya kombinasi dengan makrolide,
bila ringan dapat diberikan tunggal.
b. Bronkodilator
Bila rawat jalan B-2 agonis dan antikolinorgik harus diberikan dengan
peningkatan dosis.Inhaler masih cukup efektif bila digunkan dengan
cara yang tepat, nebuliser dapat digunakan agar bronkodilator lebih
efektif. Hati-hati dengan penggunaan nebuliser yang memakai oksigen
sebagai kompressor, karena penggunaan oksigen 8-10 liter untuk
menghasilkan uap dapat menyebabkan retensi CO2. Golongan xantin
diberikan bersamasama dengan bronkodilator lainnya karena
mempunyai efek memperkuat otot diafragma. Dalam perawatan di
rumah sakit, bronkodilator diberikan secara intravena dan nebuliser,
dengan pemberian lebih sering perlu monitor ketat terhadap timbulnya
palpitasi sebagai efek samping bronkodilator.
c. Kortikosteroid
Tidak selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada
eksaserbasi derajatsedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama
1-2 minggu, pada derajat berat diberikan secara intravena. Pemberian
lebih dari 2 minggu tidak memberikan manfaat yanglebih baik, tetapi
lebih banyak menimbulkan efek samping.
4. Nutrisi adekuat untuk mencegah starvation yang disebabkan hipoksemia
berkepanjangan,dan menghindari kelelahan otot bantu napas
5. Ventilasi mekanik
Penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaerbasi berat akan
mengurangi mortaliti dan morbiditi, dan memperbaiki simptom.
Dahulukan penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkanpenggunaan
ventilasi mekanik dengan intubasi
6. Kondisi lain yang berkiatan
- Monitor balans cairan elektrolit
- Pengeluaran sputum
- Gagal jantung atau aritmia
7. Evaluasi ketat progesiviti penyakit
Penanganan yang tidak adekuat akan memperburuk eksaserbasi dan
menyebabkan kematian. Monitor dan penanganan yang tepat dan segera
dapat mencegah dan gagal napas berat dan menghindari penggunaan
ventilasi mekanik.
Indikasi penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi :
- Sesak napas berat, pernapasan > 35 x/menit
- Penggunaan obat respiratori dan pernapasan abdominal
- Kesadaran menurun
- Hipoksemia berat Pao2 < 50 mmHg
- Asidosis pH < 7,25 dan hiperkapnia Paco2 > 60 mmHg
- Komplikasi kardiovaskuler, hipotensi
- Komplikasi lain, gangguan metabolik, sepsis, pneumonia, barotrauma,
efusi pleura dan emboli masif
- Penggunaan NIPPV yang gagal
DAFTAR PUSTAKA

1. GOLD Inc. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management, and Prevention.


[diakses 4 November 2011]. Di unduh dari URL:
http://www.goldcopd.com/Guidelineitem .asp?l1=2&l2=1&intId=989

2. Mangunnegoro H, dkk. PPOK, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di


Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia: 2003. hal 1-56

3. Price, Sylvia. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6 Vol2.


Jakarta: EGC. 2003

4. Datuk, Abd Razak. Diktat Thorax. Bagian Anatomi FK Unhas.

5. Mathers CD, Loncar D (November 2006). "Projections of Global Mortality and


Burden of Disease from 2002 to 2030". PLoS Med. 3 (11):
e442:10.1371/journal.pmed.0030442

6. Elizabeth G. Nabel, M.D 2007 NHLBI Morbidity and Mortality Chart Book"
(PDF). Retrieved 2008-06-06.

7. Anonim. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan PPOK Di Indonesia.


Perhumpunan Dokter Paru Indonesia. 2003

8. Maitra A, Kumar V. Paru dan saluran napas atas. Dalam: Kumar V, Cotran RS,
Robbins SL. Editor. Buku ajar patologi robbins. Jakrta: ECG. Edisi 7; 2007.
Hal. 519-20.

9. Hanley ME. Chapter 2. The History & Physical Examination in Pulmonary


Medicine. In: Hanley ME, Welsh CH, eds. CURRENT Diagnosis & Treatment in
Pulmonary Medicine. New York: McGraw-Hill; 2003.
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=575132
10. Patel, Pradip R. Lecture Notes Radiologi Edisi 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.
2005
11. Hacking, Craig , dkk. Pulmonary emphysema. http://www.Radiopedia.com
(Diakses tanggal 31 Maret 2016)

12. Suga K, Tsukuda T, Awaya H et-al. Impaired respiratory mechanics in


pulmonary emphysema: evaluation with dynamic breathing MRI. J Magn
Reson Imaging. 1999;10 (4): 510-20. J Magn Reson Imaging (link) - Pubmed
citation.

Anda mungkin juga menyukai