Anda di halaman 1dari 16

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN NOVEMBER 2018

UNIVERSITAS PATTIMURA

“CHOREA   ”

Disusun oleh :

Disusun Oleh:

Alvionita N.A. Letelay

(2018-84-007)

Pembimbing :

dr. Laura B. S. Huwae, Sp.S, M.Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPAITERAAN

KLINIK DIBAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PATTIMURA

2018
 

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa

karena atas hikmat dan cinta kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan referat

dengan judul “ CHOREA ” dengan baik untuk memenuhi persyaratan dalam

stase Ilmu Penyakit Saraf, sekaligus sebagai bahan bacaan yang memberikan

kontribusi

 positif bagi koass dalam menambah pengetahuan.

Penulis menyadari sungguh bahwa referat ini masih jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan banyak kritik dan saran

yang membangun untuk perkembangan penulisan di waktu yang akan datang.

Akhir kata penulis ucapkan terima kasih dan semoga referat ini dapat

diterima dan bermanfaat bagi semua pihak.

Ambon, November 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................................... i

KATA PENGANTAR  .............................................................................................................ii

DAFTAR ISI ............................................................................................................................iii

A.   DEFINISI ......................................................................................................................1

B.   ETIOLOGI ....................................................................................................................2

C.   PATOFISIOLOGI .........................................................................................................3

D.   KLASIFIKASI ..............................................................................................................4

E.   MANIFESTASI KLINIS ............................................................................................5

F.   PEMERIKSAAN PENUNJANG ................................................................................6

G.   PENATALAKSANAAN .............................................................................................9

H.   KOMPLIKASI ............................................................................................................12

I.   PROGNOSIS ..............................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 13
 

A.   DEFINISI

Chorea berasal dari bahasa Yunani yang berarti menari, yaitu gerakan

involunter yang menyerupai gerakan tangan lengan seorang penari. Gerakan tidak

 berirama, sifatnya kuat, cepat, dan tersentak-sentak, sedangkan arah gerakan cepat

 berubah. 

Gerak Chorea dapat dibuat nyata bila pasien disuruh melakukan dua macam

gerakan sekaligus, misalnya ia disuruh menaikkan lengannya keatas sambil

menjulurkan lidah. Gerakan Chorea didapatkan dalam keadaan istirahat dan

menjadi lebih hebat bila ada aktivitas dan ketegangan. chorea menghilang bila

 penderitanya tidur.

Gambar 1: Chorea

Gerakan Tangan Seperti Lengan Penari

1
B.   ETIOLOGI

Chorea bukan merupakan penyakit, tetapi merupakan gejala yang bisa

terjadi pada beberapa penyakit yang berbeda. Seseorang yang mengalami chorea

memiliki kelainan pada ganglia basalisnya di otak. Tugas ganglia basalis adalah

memperhalus gerakan-gerakan yang kasar yang merupakan perintah dari otak.

Adapun beberapa pembagian berdasarkan etiologi, yaitu :

1.   Idiopatik, seperti Chorea Fisiologis Bayi, Buccal-oral-lingual

dyskinesia, Chorea Senilis.

2.   Herediter, seperti Huntington Disease, Hereditary non Progressive

Chorea (Benign Hereditary Chorea), Neuroacanthocytosis, Familial


Remitting Chorea Nystagmus dan Katarak, Ataxia-telangiectasia,

Tuberos Sclerosis.

3.   Metabolisme, seperti Wilson disease, Aciduria Glutarat, Lesch-Nyhan

disease, Fenilketonuria, Acute Intermitent Porphyria, Proponic

Acidemia, Abetalipoproteinemia, Hypobetalipoproteinemia, Lipid

Storage Disease.

4.   Ganguan Endokrin, seperti Hipertiroidisme, Hipoparatiroidisme,

Hipoglikemia, Hiperglikemia non Ketotic, Chorea Gravidarum,

Hypomagnesia, Chronic nonfamilial Hepatic Encephalopathy, Anoxic

Encephalopathy.

5.   Paroksismal, seperti Paroxysmal Kinesogenic Choreoathetosis,

Choreaathetosis Dystonic Paroxysmal.


6.   Infeksi, seperti Chorea Syndenham, Encephalitis, Subakut Sclerosing

Panencephalitis, Siflis, Lyme Diease, HIV, Toksoplasmosis Otak,

Endokarditis, Penyakit Creutzfeldt Jakob.

Pada sebagian besar kasus terdapat neurotransmiter dopamin yang

 berlebihan, sehingga mempengaruhi fungsinya yang normal. Keadaan ini bisa

diperburuk oleh obat-obat dan penyakit yang menyebabkan perubahan kadar

dopamin atau merubah kemampuan otak untuk mengenal dopamin. Penyakit yang

 paling sering kali menyebabkan Chorea adalah penyakit Huntington.

C.   PATOFISIOLOGI

Pada keadaan normal terdapat arus rangsang kortiko-kortikal yang melalui

inti-inti basal (ganglia basalis) yang mengatur kendali korteks atas gerakan

volunter dengan proses inhibisi secara bertingkat. Inti-inti basal juga berperan

mengatur dan mengendalikan keseimbanganantara kegiatan neuron motorik alfa

dan gamma.

Diantara inti-inti basal, maka globus pallidus merupakan stasiun

neuroaferen terakhir dan yang kegiatannyaa diatur oleh asupan dari korteks,

nucleus kaudatus, putamen, substansia nigra dan inti subtalamik. Gerakan

involunter yang timbul akibat lesi difus pada putamen dan globus pallidus

disebabkan oleh terganggunya kendali atas reflex-refleks dan rangsangan yang

masuk, yang dalam keadaan normal turut mempengaruhi putamen dan globus

 pallidus. Keadaan tersebut dinamakan Release phenomenon, yang berarti

hilangnya aktivitas inhibisi yang normal atau adanya over-aktivitas.


Gangguan di ganglia basalis tergantung tempat kerusakannya. Adapun lesi

di substansia nigra (penyakit Parkinson), di inti dari luys (Hemiballismus), bagian

luar dari putamen (Atetosis), di nucleus kaudatus terutama dan nucleus lentiformis

sebagian kecil (Chorea) dan di korteks serebri piramidalis berikut putamen dan

thalamus (Distonia).

D.   KLASIFIKASI

Chorea secara umum dibedakan menjadi beberapa macam:

   Chorea Huntington (Chorea Mayor)

Jenis gerakan chorea ini memang diturunkan secara genetik yang bersifat

autosomal dominan (dari kedua orang tuanya langsung). Jadi,

 berhubungan dengan riwayat keluarga juga. Munculnya pada usia remaja

awal dan kalau sudah terkena gangguan ini biasanya prognosisnya buruk

10-12 tahun mendatang. Dapat juga terjadi pada anak-anak tapi

gerakannya tidak dominan, yang muncul hanya kekakuan tubuh.Gejala

awal umumnya flickers dijari dan tic like grimances pada wajah seiring

 berjalannya waktu meningkat gerakan dance like serta bicara dysrhythmic.

Selain itu, adanya cacat berat gangguan penurunan kognitif, varian

westphal seperti rigidity, bradikinesia, gangguan dystonic/ kaku, bisa

disertai kejang bahkan myoclonus. Selain itu adanya ganguan psikologis

atau kepribadian manifestasi awal 50% dan paling sering timbul ialah

depresi. 

Penyebabnya karena kurangnya neurotransmiter, semacam zat yang

memudahkan penghantaran impuls saraf. Neurotransmiter yang kurang ini


menyebabkan hilangnya hambatan untuk memperhalus gerakan tubuh

seperti GABA dan asetilkolin. Lokasi kerusakannya berada di korpus

striatum.

Chorea Sydenham (Chorea Minor) 

Jenis chorea ini terjadi pada anak-anak yang lebih berhubungan

dengan infeksi streptokokus. Gejalan timbul biasanya 1  – 6 bulan setelah

terkena infeksi dengan gejala demam rematik atau penyakit rematik

ditandai kelemahan otot dan gejala Chorea. Selain itu, adanya milkmaid

grip sign, clumsy gait, dan explosive bursts of dysarthric speech.

Gejala psikologis yang sama muncul dan biasanya mendahului


timbulnya choreiform. Ketidakstabilan emosional adalah gejala yang

 paling umum, turunnya perhatian, gejala obsesif kompulsif, dan anxietas.

Chorea Iatrogenik  

Jenis chorea ini disebabkan karena penggunaan obat-obatan yang

 pada umunya obat yang digunakan untuk pasien sakit jiwa atau disebut

obat antipsikosis seperti haloperidol dan fenotiazin.

Chorea dapat melibatkan sesisi tubuh saja, sehingga disebut

hemikorea. Bila hemikorea bangkit secara keras sehingga seperti

membanting-bantingkan diri, maka istilahnya ialah hemibalismus.

E.   MANIFESTASI KLINIS

Diagnosis chorea ditegakkan berdasarkan gejala klinis:

Gerak chorea melibatkan jari-jari dan tangan, diikuti secara gradual oleh

lengan dan menyebar ke muka dan lidah. Bicara menjadi cadel. Bila otot
faring terlibat dapat terjadi disfagia dan kemungkinan pneumonia oleh

aspirasi. Sensibilitas normal. 

Gerakan terjadi secara tiba-tiba dan tak terduga, dan akan berkurang atau

menghilang jika penderita tertidur, tetapi akan bertambah buruk jika

melakukan aktivitas atau mengalami tekanan emosional. 

Pasien yang menderita chorea tidak sadar akan prgerakan yang tidak

normal, kelainan mungkin sulit dipisahkan. Pasien dapat menekan chorea

untuk sementara dan sering beberapa gerakan tersama (parakinesia).

Ketidak mampuan untuk mengendalikan kontraksi voluntar (impersisten

motorik), seperti terlihat selama tes menggenggam manual atau


mengeluarkan lidah, adalah gambaran karakteristik dari chorea dan

menghasilkan gerakan menjatuhkan objek dan kelemahan. Peregangan

refleks otot sering beersifat hung up dan pendular. Pada beberapa pasien

yang terkena gerakan berjalan seperti menari dapat ditemukan.

Berdasarkan pada penyebab dasar chorea gejala motorik lain termasuk

disartria, disfagia, ketidakstabilan postural, ataksia, distonia, dan

mioklonus.

F.   PEMERIKSAAN PENUNJANG

  Laboratorium

Untuk membedakan chorea primer dan sekunder:

 Penyakit Huntington: Satu-satunya pemeriksaan laboratorium untuk

mengkonfirmasi penyakit ini adalah dengan cara tes genetik. Kelainan ini

terdapat pada kromosom ke 4 yang ditandai dengan adanya pengulangan


abnormal dari trinucleotide CAG, dimana panjang lengan menentukan

lamanya serangan. 

 Penyakit Wilson: Rendahnya kadar seruloplasmin dalam serum dan

meningkatnya kadar tembaga dalam serum pada pemeriksaan urin.

Proteinuria ditemukan pada pasien yang mempunyai gangguan ginjal,

tetapi tidak semua pasien mengalami hal ini. Pada pemeriksaan fungsi

hati umumnya abnormal. Kadar amoniak dalam serum mungkin

meningkat. Jika hasil diagnosa masih belum pasti maka biopsi hati akan

sangat membantu dalam mengkonfirmasi diagnosa tersebut. 

 Sydenham Chorea: Chorea dapat terjadi setelah infeksi streptokokus.


Umumnya 1-6 bulan pasca infeksi, kadang-kadang setelah 30 tahun. Oleh

karena itu, maka titer antibody antistreptokokus tidak begitu

dipresentasikan. Tanpa bukti adanya infeksi streptokokus yang

mendahului, maka diagnosa chorea harus ditegakkan tanpa penyebab

lain. 

  Neuroachanthocytosis: Diagnosa ditegakan oleh adanya gambaran

acanthosit pada darah perifer. Kadar kreatinin kinase serum mungkin

meningkat. 

Pemeriksaan labolatorium lain yang digunakan untuk diferensial diagnosis

dari pada chorea adalah:

 Pemeriksaan kadar complement 

 Titer antinuclear antibody (ANA) 

 Titer antibody fosfolipid 


 Asam amino dalam serum dan urin 

 Tiroid stimulating hormone (TSH), thyroxine (T4), dan parathyroid

(PTH). 

  Magnetic Resonance Imaging (MRI)


 Pasien dengan Hutington Disease dan Choreo-acantocithosis

menunjukkan adanya penurunan signal pada neostriatum, cauda, dan

 putamen. Tidak ada perbedaan penting pada penyakit ini. Penurunan

signal neostriatal dihubungkan dengan adanya peningkatan zat

 besi.Atrofi umum, seperti halnya atrofi lokal pada neostriatum, pada

sebagian cauda dengan adanya pelebaran pada bagian cornu anterior


menandakan adanya penurunan signal pada neostriatal. 

 Kebanyakan kasus sydenham korea tidak menunjukkan adanya kelainan.

Akan tetapi, pada beberapa laporan studi ditemukan adanya perbedaan

volume pada cauda, putamen, dan globus pallidus dimana pada

sydenham korea lebih besar dibanding yang normal. Pasien dengan

hemibalimus menunjukkan adanya perubahan signal pada inti

subthalamik kontra lateral, dan sedikit pada striatum atau nukleus

thalamik. 

 MRI otak pada pasien korea senilis menunjukkan adanya penurunan

intensitas sinyal pada seluruh striatum (diakibatkan deposit besi) dan

 pada batas caput caudatus dan putamen, tetapi tidak ada arofi pada

struktur tersebut. 

  Positron Emission Tomography (PET)



 Uptake fluorodopa (F-dopa) normal atau sedikit berkurang pada pasien

dengan korea. Pada HD dan coreoacanthocytosis terjadi

hipermetabolisme bilateral pada nucleus caudatus dan putamen. 

 Pada pasien chorea dan demensia terjadi menurunan metabolisme

glukosa pada korteks frontal, temporal dan parietal. 

 Pada pasien chorea benigna herediter dapat atau tidak terjadi penurunan

metabolisme glukosa pada kauda. 

 Penemuan metabolisme normal pada otak didaerah striatal dapat

mengesampingkan kemungkinan HD. Hasil diagnosa HD yang terbatas

dibuat dengan cara neurogenetik. 


 Pada pasien hemikorea ditemukaan hipometabolisme pada inti kauda
dan

 putamen kontralateral. 

G.   PENATALAKSANAAN

Tujuan akhir dari farmakoterapi adalah mengurangi angka kejadian dan

mencegah komplikasi. Untuk membantu mengendalikan pergerakan yang

abnormal bisa diberikan obat yang menghalangi efek dopamin (misalnya obat anti

 psikosa). 

   Kategori obat : Antipsikotik

Berfungsi sebagai antagonis dopamine dan mempunyai efek sebagai anti

spasmodik untuk mngendalikan pergerakan abnormal.

 Haloperidol (Haldol)

Biasanya digunakan untuk mengobati pergerakaan irregular pada otot-

otot muka.
Dosis dewasa: 0.5-1 mg/d PO; dosis >10 mg/d dapat sedikit.

 Fluphenazine (Prolixin)

Inhibitor Di dopaminergik mesolimbic dan D2 yang sensitive didalam

otak dan mengakibatkan perangsangan yang kuat terhadap alpa

adrenergic dan anticholinergic. Dapat mendepresi reticular system.

Dosis dewasa: 0.5-1 mg/d PO dosis awal

 Clozapine (Clozaril) 

Sebagai neuroleptic atypical, sediaan dalam tablet 25 mg dan 100 mg.

Inhibitor norepinephrine, serotonergic, cholinergic, histamine, dan

reseptor dopaminergic. Mekanisme kerja obat belum jelas.


Dosis dewasa: 12.5 mg PO, ditingkatkan sampai 50-75 mg P.

  Kategori obat : Agen depleting dopamine 


Agen ini mengurangi kadar dopamin pada sistem saraf pusat

 Reserpine (Serpasil) 

Pengurangan norepinephrine dan epinephrine, pada giliranya dapat

menekan fungsi saraf simpatis

Dosis dewasa: 0.5 mg PO qd; menetap pada 1.0 mg PO qd

 Tetrabenazine (Nitoman)

Dopamine-depleting agent tersedia diseluruh dunia kecuali di Amerika

Serikat. Kerja depleting dopamine neuron presynaptic dan menghambat

reseptor dopamine postsynaptic.

Dosis dewasa: 25 mg PO, dosis ditingkatkan sesuai dengan keadaan

klinis dan keadaan-keadaan kurang baik.


   Kategori obat : Benzodiazepine 

Mengurangi kadar konsentrasi GABA dalam kauda, putamen, substantia

nigra, dan globus pallidus. Dengan analogi peningkatan aktivitas GABA

mungkin memperbaiki chorea. Biasa diberikan sebagai terapi Adjuvant.

 Clonazepam (Klonopin, Rivotril) 

Yang sering digunakan seperti antiepileptic, hypnotic, dan anxiolytic

untuk perawatan korea. Golongan benzodiazepine meningkatkan

transmisi GABAergik di CNS.

Dosis dewasa: 0.5 mg PO qd; meningkatatkan dosis mingguan sesuai

dengan keperluan dan respon obat.

 Valproat 

Yang sering digunakan seperti antiepileptic dan hypnotic untuk

 perawatan korea.

Dosis monoterapi: 10  –  15 mg/kg/d PO dalam 1  –  3 dosis terbagi;

meningkatatkan dosis mingguan 5 – 10 mg/kg/minggu.

Dosis Maksimal: 60 mg/kg/d , bila dosis harian > 250mg berikn dalam

dosis terbagi.

Pemberian Imunoglobulin intravena dan plasmapharesis dapat

mempersingkat perjalanan penyakit dan penurunan gejala pada pasien dengan

Chorea Syndenham.
H.   KOMPLIKASI

1.   Tingkat Keparahan gerakan yang tidak terkendali abnormal dapat

menyebabkan Rhabdomyolysis atau trauma lokal pada beberapa pasien

2.   Kesulitan menelan dan distonia lidah biasanya hadir pada pasien

 Neurocanthocytosis dapat menyebabkan Pneumonia Aspirasi dan

Kematian Dini pada beberpa pasien

I.   PROGNOSIS

Prognosis tergantung pada penyebab dari chorea. Huntington Disease

mempunyai prognosa yang buruk, dimana pasien akan meninggal diakibatkan

oleh adanya komplikasi. Sama dengan neuroacanthocytosis yang mengalami

 pneumonia dapat menyebabkan kematian dini.


DAFTAR PUSTAKA

1.  Mardjono, Mahar. Neurologis Klinis Dasar. Penerbit Dian Rakyat; Jakarta.

2016.

2.  Soetedjo. Duarsa, Artha. Neurology Update. Badan Penerbit Universitas

Diponorogo; Semarang. 2002.

3.  Duus, Peter. Diagnosis Topik Neurologi Anatomi, Fisiologi, Tanda dan

Gejala. Penerbit Buku Kedokteran EGC; Jakarta. 2013.

4.  Soertidewi, Lyna. Buku Saku Tentorium Neurologi. Departemen Neurologi

FKUI/ RSCM; Jakarta. 2006.


5.  Chorea in Adults. Available at www.emedicine.com. Accessed at 19

 November 2018.

6.  Chorea. Available at www.ninds.org. Accessed at 19 November 2018.

7. Chorea. Available at www.medscape.com. Accessed at 19 November 2018.

Anda mungkin juga menyukai