Anda di halaman 1dari 6

Kira-kira apa yang ada di dalam pikiran kita ketika pertama kali mendengar istilah “gastronomi”?

Pasti macam-macam dan itu bisa saja tergantung pada tingkat pemahaman yang kita miliki.
Gastronomi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu “gastronomia.” Kata “gastro“ berarti perut atau
lambung, sementara “nomia” berarti aturan atau hukum. Jika melihat pada definisi tersebut, maka
kita dapat artikan secara sederhana dan umum bahwa gastronomi adalah ilmu yang mempelajari
aturan yang terkait dengan lambung atau perut. Kira-kira apa yang hendak disampaikan oleh
gastronomi jika begitu? Secara etimologi, pengertiannya memang masih terlalu luas dan kaku.

Tetapi, seperti itulah istilah awal gastronomi diketahui ketika pertama kali dipublikasikan dalam
sebuah puisi singkat berjudul La Gastronomia karya Jacques Berchoux tahun 1804 di Perancis.
Sejak saat itu, namanya menjadi semakin dikenal. Sehari-hari istilah gastronomi banyak dibicarakan
oleh kelompok-kelompok kecil masyarakat tertentu, sehingga berkembang dengan cepat. Namun,
sebagai ilmu, gastronomi memiliki objek yang tampaknya belum jelas dan masih sulit didefinisikan.
Maknanya tetap terikat dengan terjemahan harfiah dari kata-kata pembentuknya.

Kata “gastro” juga dipakai dalam Ilmu Kedokteran. Ada yang namanya Gastro-enterologi
atau Gastrology, yakni ilmu yang berhubungan dengan fungsi normal dan berbagai penyakit pada
seluruh organ pencernaan, termasuk lambung atau perut. Poli-gastro adalah poliklinik yang
menangani penyakit-penyakit pada organ-organ tersebut. Masyarakat umum banyak yang mengira
bahwa istilah yang menggunakan “gastro” pasti terkait dengan medis dan kedokteran. Wajar
memang, karena ‘gastro’ dalam dunia kedokteran jauh lebih dulu digunakan daripada di dunia
kuliner atau makanan.

Namun, dalam perkembangannya, gastro tidak hanya berarti perut atau lambung. Beberapa


ilmuwan mengartikan gastro sebagai makanan. Karena pada dasarnya, makanan adalah sesuatu
yang paling intim dengan perut. Jika perut sakit, itu artinya ada yang salah dengan makanan yang
dimakan. Jika perut lapar, itu artinya perlu makanan untuk membuatnya kenyang. Begitu juga
sebaliknya, beberapa makanan tidak boleh dikonsumsi karena akan membuat perut sakit atau tidak
nyaman. Antara perut dan makanan sudah menbentuk hubungan sebab dan akibat yang bisa
dijelaskan secara ilmiah. Sehingga, tak salah jika kata “gastro” juga diartikan sebagai makanan.

Pada 1825, seorang hakim dan politikus Perancis, Jean Anthelme Brillat-Savarin, kembali
memperkenalkan istilah “gastronomi” melalui bukunya The Physiology of Taste: Or, Meditations on
Transcendental Gastronomy. Kali ini Savarin mendefinisikan gastronomi di luar makna harfiahnya.
Diungkapkan, "Gastronomy is the knowledge and understanding of all that relates to man as he
eats. Its purpose is to ensure the conservation of men, using the best food possible.”  Savarin
menyebut bahwa Gastronomi adalah ilmu yang mempelajari apa pun yang bisa dimakan oleh
manusia atau apa pun yang bisa memenuhi hasrat kebutuhan manusia untuk makan. Tujuannya
adalah untuk mempertahankan keberlangsungan hidup dari generasi ke generasi melalui konsumsi
makanan yang terbaik. Tampaknya Savarin merasa cemas bahwa mengkonsumsi makanan yang
tidak baik akan mempercepat kematian dan membuat manusia punah. Penggunaan kata
“conservation” dalam definisi tersebut mempertegas bahwa manusia perlu dilestarikan dan
dilindungi melalui Gastronomi. Savarin juga berpendapat bahwa Gastronomi akan menguasai
seluruh kehidupan manusia. Sejak dilahirkan sampai pada kematian, bayi membutuhkan makanan
untuk menghentikan tangisnya. Orang-orang yang sekarat tetap butuh makanan untuk bertahan
atau setidaknya menikmati sedikit kenikmatan dari makanan sebelum mereka mati. Manusia tidak
bisa lepas dari makanan jika ingin terus hidup dan terhindar dari kepunahan.

Sebagai sebuah ilmu, Gastronomi tidak bisa berdiri sendiri. Jika mengacu pada definisi yang
diuraikan oleh Savarin, Gastronomi - sebagai ilmu - mempelajari tentang makanan (dan juga
minuman) yang terbaik buat manusia. Namun, membatasi Gastronomi hanya membahas tentang
“makanan terbaik,” tidak pernah bisa membuat Gastronomi berkembang dengan baik karena hanya
mempunyai lingkup yang sangat terbatas. Dalam perkembangannya, Gastronomi mempunyai
keterkaitan yang kuat dengan Ilmu Sejarah, Antropologi, serta keterkaitannya dengan pertanian,
kebudayaan, pariwisata, pangan dan nutrisi, serta kuliner. Jika Gastronomi Kuno lebih banyak
bercerita tentang seni atau ilmu bagaimana menghidangkan makanan yang baik untuk memenuhi
kebutuhan kenikmatan dari makanan dan minuman tersebut, maka di era modern ini, Gastronomi
mempunyai pembahasan yang kian meluas.

Definisi baru pun dikemukakan oleh pakarnya kemudian, Fossali, yang menerjemahkan Gastronomi
sebagai ilmu yang mempelajari tentang keterkaitan antara budaya dan makanan. Makanan adalah
salah satu produk budaya. Perkaranya, masalah makanan pada manusia tidak sesederhana
memasukkan makanan ke dalam mulut dan membuat perut menjadi kenyang. Lebih dari itu,
makanan memiliki fungsi sosial-budaya yang berkembang dalam suatu masyarakat sesuai dengan
keadaan lingkungan, agama, adat, kebiasaan, dan tingkat pendidikan. Dengan kata lain, makanan
merupakan hasil adaptasi manusia terhadap lingkungan di sekitarnya. Sebagai produk budaya,
makanan tidak hanya dilihat secara fisik saat dihidangkan, namun dipelajari secara menyeluruh di
setiap proses pembuatannya, mulai dari penyediaan dan pemilihan bahan baku, memasak, sampai
menghidangkannya di meja makan sebagai rangkaian kegiatan budaya.

Massimo Montanari berpendapat bahwa makanan menjadi bagian dari budaya saat dibuat,
disiapkan, dan dimakan. Saat dibuat, manusia tidak hanya menggunakan apa yang ditemukan di
alam tapi juga berusaha untuk menciptakan makanannya sendiri. Saat disiapkan, manusia
mengubah bahan baku dari alam melalui ketrampilan memasak di dapur. Begitu pula saat dimakan,
manusia masih memilih makanan apa yang sebaiknya dimakan sesuai kriteria yang terkait dengan
kondisi ekonomi, gizi, agama, dan tradisi yang mereka percaya. Proses kreatif dalam menciptakan,
menyiapkan dan menyantap makanan adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia yang muncul
sebagai potensi budaya yang mereka miliki.

Perbedaan sumber daya alam dan keahlian lokal dalam membuat makanan akan menghasilkan
sebuah identitas unik dari suatu kelompok masyarakat melalui makanan. Dalam jangkauan yang
lebih luas, makanan juga bisa menjadi identitas suatu negara. Gillespie dan Cousins (2001)
berpendapat bahwa Gastronomi pada dasarnya adalah pengetahuan menyeluruh tentang makanan
dan minuman dari banyak negara di dunia. Melalui Gastronomi, kita dapat memperoleh gambaran
tentang persamaan dan perbedaan perilaku masyarakat terhadap makanan dan minuman di
berbagai negara dan budaya yang berbeda. Sama halnya seperti kerajinan, arsitektur, kesenian,
bahasa, cerita rakyat, tradisi, dan sastra yang mempunyai perbedaan antara wilayah satu dan
lainnya. Semua itu mempunyai peran dalam membentuk karakter khas suatu wilayah, termasuk
melalui makanan dan minuman. Memaknai gastronomi sebagai sebuah identitas adalah manifestasi
dari ungkapan singkat Savarin, “Tell me what you eat and I will tell you what you are”.

Apa itu Gastronomi? (jejakwisata.com)


Sampai sekarang pada umumnya masyarakat atau kita memandang boga dan puisi-
fiksi merupakan dua dunia yang berbeda, bahkan terpisah sangat jauh, yang mustahil
bertemu, apalagi bersatu bahu-membahu. Dunia boga merupakan urusan tata boga
dan ‘perut dan mulut’, sedangkan dunia puisi-fiksi merupakan urusan seni atau sastra
dan ‘rasa dan jiwa’. Di samping itu, dunia boga ditempatkan sebagai bagian gastronomi,
sedangkan dunia puisi-fiksi ditempatkan sebagai bagian teori sastra atau kritik sastra.
Tak heran, dalam beberapa kurun belakangan, hampir-hampir tidak ada kitab, artikel,
makalah, kertas kerja, dan atau wacana, yang mengulas dan membahas perjumpaan
dan pertemuan serta kerja sama antara boga dan puisi-fiksi (sastra), apalagi
memaparkan perpautan dan perjodohan antara boga dan puisi, gastronomi dan kritik
sastra atau kajian sastra. Setahu saya perbincangan khalayak tentang boga dan puisi-
fiksi belum pernah berlangsung, bahkan secara sambil lalu pun belum terbetik berita.

Benarkah boga dan puisi-fiksi memang tidak bisa bertemu dan berjumpa, lebih-lebih
berpaut dan berjodoh secara serasi, saling mengada dengan mesra? Jika memandang
(perjalanan) kehidupan susastra lokal, susastra Indonesia, apalagi susastra
mancanegara niscaya kita ‘mau tak mau harus membuang’ pertanyaan tersebut.
Menghikmati perjalanan kehidupan susastra lokal (daerah), Indonesia, dan
mancanegara, yang sudah terlaksana berpuluh tahun, laksana menjelajahi perjumpaan
dan pertemuan boga dan puisi-fiksi yang selalu berlangsung mesra dan penuh
keindahan, bahkan kita menyaksikan perpautan dan perjodohan boga dan puisi-fiksi
dalam dulang (ke)seni(an) sekaligus penghidupan; keduanya saling mengada
(koeksistensi) dalam arung budaya khususnya arung kehidupan sastra dan boga di
dunia. Tidak berlebihan dikatakan di sini bahwa keduanya merupakan representasi
nyata perpautan dan pertautan dunia boga dengan dunia puisi-fiksi, perjodohan nyata
gastronomi (tata boga) dengan kritik sastra (kajian sastra). Perpautan, pertautan atau
perjodohan gastronomi dan kritik sastra tersebut saya beri nama atau istilah frasal
gastrokritik sastra: kajian sastra gastronomis atau gastrocriticism: gastronomic literary
studies (biar tampak gagah).

Sudah barang tentu istilah atau frasa gastrocriticism: gastronomic literary studies atau
gastrokritik sastra belum akrab di telinga parapihak (stakeholder) yang berkecimpung di
dunia sastra, terutama di kalangan gastronomi dan kritik sastra atau kajian sastra
karena setahu saya belum pernah dikemukakan atau dipakai oleh berbagai kalangan,
setidak-tidaknya berdasarkan penelusuran saya melalui mesin pencari google dan
penelusuran saya di berbagai laman digital. Artikel dan makalah, apalagi buku bertajuk
gastrocriticism dan atau gastronomic literary studies pun belum dapat saya termukan.
Istilah atau frasa tersebut saya pakai (perkenalkan?) dengan menganalogi istilah
ecocriticism yang merupakan perpautan, pertautan atau perjodohan antara
ekologi/lingkungan dan kritik sastra; dan atau geocriticism: spatial literay studies yang
merupakan perpautan, pertautan atau perjodohan antara keruangan (spasialitas) dan
kritik sastra.

Kedua istilah tersebut (baik ecocriticism maupun geocriticism) sudah dikenal di dunia
sastra dan diperkenalkan oleh beberapa pihak (baca antara lain tulisan Cheryll
Glotfelty, Gregg Garrad, Robert J Tally Jr, dan Betrand Westphal) meskipun di dunia
sastra Indonesia khususnya dunia kritik atau kajian sastra Indonesia juga masih ‘sayup-
sayup’. Oleh sebab itu, tulisan tentang gastrocriticism: gastronomic literary studies ini
masih merupakan eksplorasi dini atau perkenalan awal kepada peminat, penikmat,
penghikmat, pencinta, dan atau pengkaji sastra Indonesia. Sebagai eksplorasi dini atau
perkenalan awal, esai ini mencoba menguraikan konsep dasar atau definisi
gastrocriticism, nalar pentingnya gastrocriticism, dan wilayah garapan (subject matter)
gastrocriticism serta asas-asas utama gastrocriticism: gastronomic literary studies.

/2/
Sudah disinggung di atas, secara terminologis, gastrocriticism atau dapat
diindonesiakan menjadi gastrokritikisme atau gastrokritik sastra merupakan paduan
atau gabungan istilah (terma) gastronomy dengan literary criticism/literary studies.
Gastronomy atau gastronomi yang sudah lazim juga disebut tata boga merupakan
bidang yang mengurusi hal-ihwal makanan-minuman yang baik, sedang literary
criticisme/literary studies atau kritik sastra/kajian sastra merupakan bidang yang
mengurusi hal-ihwal karya sastra. Dengan menganalogi paduan atau gabungan istilah
geography atau geografi spasial dengan literary criticism/literary studies atau kritik
sastra/kajian sastra yang menghasilkan frasa spatial literary studies yang berarti bidang
kajian atau kritik sastra yang memusatkan perhatian pada matra spasialitas atau
geografi sastra, maka paduan atau gabungan istilah gastronomy dengan literary
criticism/literary studies dapat membuahkan frasa gastrocriticism/gastronomic literary
studies, yang berarti bidang kajian atau kritik sastra yang memusatkan perhatian pada
matra-matra gastronomis atau boga dalam sastra. Dengan demikian, secara bahasawi
dapat dikatakan di sini bahwa gastrocriticism/gastronomic literary studies adalah bidang
kajian atau kritik sastra transdisipliner yang memusatkan perhatian pada dan
mempelajari hal-ihwal saling paut dan jalin-kelindan gastronomi atau boga dengan
sastra.

Saling-paut dan jalin-kelindan gastronomi dengan sastra yang dipelajari dan digarap
gastrocriticism tersebut bukan hanya hal-ihwal boga yang terefleksi atau terepresentasi
dalam teks sastra (baca: boga sebagai isi karya sastra), melainkan juga hal-ihwal boga
yang menjadi elemen pembentukan teks sastra (baca: boga sebagai imajinasi,
metafora, bahasa figuratif, dan sejenisnya). Bahkan tradisi dan budaya boga, terentang
mulai perlakuan terhadap jenis-jenis minuman dan makanan sampai dengan cara-cara
dan kebiasaan memasak dan makan juga dapat dijadikan bidang yang digarap dan
dipelajari oleh gastrocriticism.

Sebagai contoh, kalau kita baca secara lengkap dan cerat Serat Centhini yang
merupakan karya sastra klasik Jawa yang legendaris, niscaya kita temukan taburan dan
bauran boga atau kuliner yang luar biasa, bisa menjadi satu kajian tersendiri. Demikian
juga jika kita simak dan selidiki secara cermat kolom karya Umar Kayam, yaitu Mangan
Ora Mangan Kumpul, Sugih Tanpa Banda, dan Madhep Ngalor Sugih Madhep Ngidul
Sugih, yang amat naratif dan literer, kita bisa menjumpai taburan unsur gastronomis
baik penganan, minuman, makanan maupun cara-cara memasak dan makan di dalam
kolom-kolom tersebut. Novel Para Priyayi dan Jalan Menikung karya Umar Kayam juga
mengandung banyak tebaran unsur gastronomis atau boga di dalamnya. Di samping
itu, jika baca, simak, dan selidiki secara jeli novel Aruna dan Lidahnya karya Laksmi
Pamuntjak malah dapat kita saksikan semarak karnaval atau parade gastronomis.
Novel Aruna dan Lidahnya bukan sekadar menjadikan boga sebagai latar, melainkan
sebagai tema, pokok persoalan, bahkan kunci cerita. Lebih lanjut, antologi cerita dan
prosa Filosofi Kopi karya Dee, terutama cerita Filosofi Kopi dan Sepotong Kue Kuning,
yang dinobatkan Majalah Mingguan Tempo sebagai karya sastra terbaik tahun 2006,
menjadikan kopi dan kue sebagai tema, pokok persoalan, pusat penceritaan, imajinasi,
dan metafora yang membentuk, mengendalikan, dan menggerakkan cerita dan alur.
Dalam Filosofi Kopi boga telah menjadi sumbu cerita dan alur. Anatomi Rasanya Ayu
Utami contoh punya kandungan kuat boga.

Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa (a) unsur boga atau gastronomis bisa
direpresentasikan di dalam teks sastra, (b) unsur boga atau gastronomis bisa dijadikan
pembentuk teks (dijadikan imajinasi, metafora, dan gaya), dan (c) unsur boga atau
gastronomis beserta tradisi dan budaya yang menyertainya bisa dijadikan penanda
keberadaan teks secara tersurat, tersirat, dan tersorot. Pendek kata, boga dapat
menjadi tanda, lambang, metafora, imajinasi, dan bagian struktur karya sastra.

/3/
Gastrocriticism: gastronomic literary studies tersebut masih merupakan tawaran sangat
dini. Pengembangan lebih lanjut secara konseptual dan sistematis harus dilakukan.
Pengembangan tersebut sangat penting sebagai alternatif perspektif kajian sastra.
Mengapa penting? Paling tidak ada 4 (empat) alasan berikut. Pertama, secara historis
puisi-fiksi dan boga sesungguhnya merupakan sejoli di rahim yang sama karena kata
gastronomi pertama kali muncul pada zaman modern tepatnya di Prancis pada puisi
yang dikarang oleh Jacques Berchoux (1804). Kedua, ilmu-ilmu disipliner termasuk di
dalamnya teori formalisme, strukturalisme, dan kritik sastra baru (dalam kajian sastra)
sekarang semakin memudar, bahkan menuju kematian sebagaimana dijelaskan oleh
Spivak dalam The Death of Disciplines, Terry Eagleton dalam After Theory, dan Raman
Selden dalam post-theory. Ketiga, kajian-kajian ilmu kemanusiaan sekarang semakin
mengarah pada transdisiplinaritas sehingga kajian gastrokritik sastra memiliki
kecocokan (kompatibilitas) dengan tren besar kajian ilmu kemanusiaan. Keempat,
kajian gastrokritik sastra atau kajian sastra gastronomis dapat memperkaya khazanah
teori sastra transdisipliner sekaligus memperluas ruang-ruang kajian sastra di
Indonesia. Bahkan dapat menjadi pilihan pemikiran dan kajian sastra setelah (apa yang
disebut Raman Selden dalam bab akhir bukunya) kecenderungan “after theory”. Siapa
berani mengembangkan lebih lanjut?

______________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di
Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak
menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara
utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.

sastra-indonesia.com/2020/07/gastrokritik-sastra-kajian-sastra-gastronomis/ (sastra-indonesia.com)

Anda mungkin juga menyukai