Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan ternak adalah hal yang penting untuk diperhatikan karena kesehatan ternak
berpengaruh terhadap hasil produksi dari ternak, baik pertumbuhan bobot badan serta produksi
telur sehingga menejemen kesehatan ayam juga harus sangat diperhatikan. Banyak sekali
penyakit yang dapat menyerang ayam. Jika ayam mati karena terserang suatu penyakit maka
perlu dilakukan pemeriksaan salah satunya dengan cara nekropsi.

Nekropsi atau bedah bangkai digunakan untuk melakukan pemeriksaan yang cepat dan
tepat dalam menetapkan diagnosa pada beberapa penyakit atau kematian dari seekor hewan.
Biasanya untuk melengkapi hasil diagnosa yang akurat harus ditunjang dengan hasil
pemeriksaan dari beberapa laboratorium penunjang, seperti bakteriolagi, virology, parasitologi,
patologi klinik, dan toxicology. Nekropsi dilakukan untuk menentukan kausa penyakit dengan
melakukan diskripsi lesi makroskopis dan mikroskopis dari jaringan dan dengan melakukan
pemeriksaan serologis dan mikrobiologis yang memadai. Pemeriksaan postmortem dilakukan
bila ditemukan adanya penurunan produksi, terdapat tanda-tanda yang jelas akan sakit atau
diketahui adanya peningkatan jumlah kematian.

Penyebab kematian dapat didiagnosa dengan dilakukan pemeriksaan secara patologi


anatomi. Pemeriksaan patologi anatomi dapat melihat lesi-lesi yang ditemukan, member
diagnosa morfologik pada organ-organ yang mengalami perubahan patologik serta dapat
memberi diagnosa tentatif (sementara) pada kasus yang ditemukan. Diagnosa penyakit secara
cepat dan akurat sangat diperlukan dalam upaya pengendalian maupun pemberantasan penyakit.
Nekropsi atau bedah bangkai merupakan teknik yang sangat penting dalam penegakan diagnosa
penyakit. Sifat pemeriksaan hasil nekropsi adalah berdasarkan perubahan patologi anatomi
(Berata, 2010).

1.2 Tujuan
 Untuk mengetahui metode nekropsi
 Untuk mengetahui prosedur nekropsi secara baik dan benar
 Mengidentifikasi organ secara patologi anatomi pada ayam
BAB III

METODOLOGI

3.1 Alat dan Bahan

 Spuit
 Needle
 Scaple
 Gunting bedah
 Pinset
 Pot organ
 Gloves
 Ayam sakit
 Trash bag

3.2 Metodologi

Ayam

- diperiksa tampilan fisik secara keseluruhan dari luar


- dieuthanasia dengan cara emboli melalui foramen magnum
- dibasahi bulu ayam dengan air bersih
- diletakkan ayam dengan posisi rebah dorsal dibawah (terlentang)
- di insisi di daerah kulit yang longgar diantara permukaan medial dari tiap paha dan
abdomen
- dikuakkan kaki untuk memperjelas kulit dan persendian
- di insisi kulit transversal tersebut melintasi pertengahan abdomen
- dikuakkan dada ke anterior hingga terlihat bagian organ dalamnya
- dipotong bagian akhir usus pada pertautan dengan kloaka
- diangkat seluruh saluran pencernaan
- diperiksa organ-organ target yang mengalami atau tampak adanya perubahan patologis
- dikoleksi sampel organ yang mengalami perubahan masukkan dalam pot organ

Hasil
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Pada Ayam

2.1.1 Chronic Respiratory Disease

Chronic respiratory disease (CRD) adalah penyakit menular menahun


pada ayam yang disebabkan oleh Mycoplasma gallisepticum yang ditandai
dengan sekresi hidung , kebengkakan muka, batuk dan terdengar suara sewaktu
bernafas. Ayam semua umur dapat terserang CRD. Pada kondisi tertentu dapat
menyebabkan gangguan pernafasan akut terutama pada ayam muda, sedangkan
bentuk kronis dapat menyebabkan penurunan produksi telur. CRD memiliki
derajat morbiditas tinggi dan derajat mortalitas rendah. Infeksi dapat menyebar
secara ventrikal melalui telur yang terinfeksi. Penyakit ini akan lebih parah
apabila diikuti dengan infeksi sekunder dengan virus lain seperti ND, IB atau
bakteri lain ( Pudjiatmoko, 2014 ).

 Gambaran Patologis

Gambar 1. Bulu kusam, unggas terlihat lemas dan depresi

Gambar 2. Pericarditis Gambar 3. Eksudat pada kantung udara


Kelainan utama yang diakibatkan oleh CRD adalah radang sekresi
hidung dalam alat pernafasan mulai dari rongga hidung, sinus hingga kantong
udara. Kantung udara terlihat keruh dan bereksudat kasar. Bila terjadi
komplikasi dengan bakteri dapt ditemukan perubahan berupa perikarditis
disertai radang masif kantong udara ( Pudjiatmoko, 2014 ).

2.1.2 Infectious Bursal Disease


Infectious Bursal Disease merupakan penyakit menular akut pada ayam
berumur muda, ditandai dengan peradangan hebat bursa Fabricius dan bersifat
imunosupresif yaitu lumpuhnya sistem pertahanan tubuh ayam, mengakibatkan
turunnya respons ayam terhadap vaksinasi dan ayam menjadi lebih peka terhadap
patogen lainnya. Kerugian ekonomi yang diakibatkan cukup besar karena
menyerang anak ayam berumur muda (kurang dari tiga minggu) dengan tingkat
morbiditas dan mortalitas tinggi (Jackwood, 2014)
Virus IBD tergolong virus RNA dari genus avibirnavirus dan family
birnaviridae. Virus ini mempunyai ukuran antara 55-65 nm. Virus ini mempunyai
bentuk ikosahedral simetri dan tidak beramplop. Virus IBD diklasifkasikan
menjadi dua serotype, yakni serotype 1 yang pathogen untuk ayam dan serotype 2
yang menginfeksi kalkun tanpa menimbulkan gejala klinis. (Pudjiatmoko, 2014).

 Gambaran Patologis

Gambar 4. Pembengkakan bursa fabrisius

Pada IBDV akan tampak bursa kloaka bengkak, edema,


kekuningan, dan kadang-kadang terjadi hemoragi, terutama pada unggas
yang mati karena penyakit ini. Strain vvIBDV menyebabkan lesi pada
bursa fabrisius, dan kongesti-hemoragi dari otot-otot pectoralis dan kaki.
Strain IBDV yang menyebabkan penyakit subklinis (kadang-kadang
disebut sebagai strain varian) penyebab atrofi bursa kloaka tanpa
peradangan. Ayam yang telah pulih dari infeksi IBDV memiliki bursa
fabrosius yang kecil dan terjadi atrofi karena kehancuran dan kurangnya
regenerasi folikel bursal (Jackwood, 2014).
2.1.3 Pullorum
Berak kapur disebabkan oleh bakteri Salmonella pullorum. Berak kapur
sering ditemukan pada anak ayam umur 1-10 hari. Pullorum merupakan penyakit
menular pada ayam yang menimbulkan kerugian ekonomi yang besar,
menyebabkan kematian yang sangat tinggi terutama pada anak ayam umur 1-10
hari. Penyebab penyakit adalah Salmonella pullorum yang ditemukan oleh Rettger
di Amerika pada tahun 1899. Pada ayam dewasa umumnya penyakit ini tidak
memperlihatkan tanda-tanda klinis yang jelas, sehingga dapat menularkan kepada
ayam yang sehat. Ayam tersebut berperan sebagai pembawa penyakit (carrier).
Kerugian ekonomi yang ditimbulkan penyakit ini meliputi penurunan produksi
telur, penurunan daya tunas, kematian embrio dan anak-anak ayam sampai umur 3
minggu, pada ayam dewasa tidak menyebabkan kematian namun sebagai
reservoir, cara tersebut secara vertikal dan horizontal (Pudjiatmoko dkk., 2014).

 Gambaran patologis

Gambar 5.

Pembengkakan pada persendian kaki dan sinovitis pada ayam terserang pullorum

Gambar 6.

Fokal nekrosa paru ayam terinfeksi pullorum dan Lesi nodul jantung ayam menderita pullorum
2.1.4 Avian Influenza (AI)

Penyebab avian influenza (AI) merupakan virus ss-RNA yang tergolong


family Orthomyxoviridae, dengan diameter 80-120 nm dan panjang 200-300 nm.
Virus ini memiliki amplop dengan lipid bilayer dan dikelilingi sekitar 500
tonjolan glikoprotein yang mempunyai aktivitas hemaglutinasi (HA) dan enzim
neuraminidase (NA). Virus influenza dibedakan atas 3 tipe antigenik berbeda,
yakni tipe A, B dan C. Tipe A ditemukan pada unggas, manusia, babi, kuda dan
mamalia lain, seperti cerpelai, anjing laut dan paus. Tipe B da C hanya ditemukan
pada manusia. Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dari unggas
terinfeksi dan unggas peka melalui saluran pernapasan, konjungtiva, lendir dan
feses; atau secara tidak langsung melalui debu, pakan, air minum, petugas,
peralatan kandang, sepatu, baju dan kendaraan yang terkontaminasi virus AI serta
ayam hidup yang terinfeksi. Unggas air seperti itik dan entog dapat bertindak
sebagai carrier (pembawa virus) tanpa menujukkan gejala klinis (Tabbu, 2008)

 Gambaran Patologis

Cyanosis pada kepala, perdarahan pada kaki, keluarnya cairan dari hidung dan paruh,
pembengkakan pada kepala.

Perubahan patologi ayam broiler terserang HPAI perdarahan pada otot,


kongesti paru, ptechi pada kloaka (Berata, 2010)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Gambar Keterangan
ayam sebelum dieuthanasia terlihat bulu kasar,
terlihat lemah

Setelah dilakukan euthanasia dengan cara


dislokasio os occipital kemudian di rebah dorsal

Diamati organ organ pada ayam

Trakea terlihat normal tidak ada ptekie maupun


mucus
Jantung normal

Pulmo normal

Intestine pada bagian sekum ditemukan adanya


infestasi cacing jenis Heterakis gallinarum

Proventrikulus dan ventrikulus normal


Tidak terdapat ptekie, ukuran normal

Hepar normal
Otak normal

Feses cair dan berwarna hijau

Crop normal

Nasal normal
4.2 Pembahasan

Pada praktikum kali ini dilakukan nekropsi pada ayam yaitu dengan cara dieuthanasi
dahulu ayam dengan cara emboli pada foramen magnum kemudian ayam diposisikan rabah
dorsal. Insisi pada bagian paha dan insisi secara transversal abdomen sampai thorax, kemudian
dikuakkan bagian thorax hingga terlihat semua organnya. Kemudian diamati semua organ. Organ
yang terlihat abnormal dapat dikoleksi untuk sampel organ dengan cara dilektakkan pada pot
organ.

Pada hasil praktikum setelah dilakukan nekropsi pada ayam terdapat organ yang
abnormal yaitu pada sekum terdapat manifestasi cacing yang diduga cacing heterakis
gallinarum, karena cacing tersebut predileksinya di sekum. Heterakis gallinarum dapat
ditemukan pada ayam, kalkun, itik, angsa, ayam mutiara, sejenis ayam hutan, burung kuau, dan
burung puyuh, di dalam lumen sekum. Jenis cacing ini dapat dihubungkan dengan peranan
sebagai hospes perantara atau carrier Histomonas meleagridis yang menimbulkan histomoniasis
(black head) pada unggas.. (Fisma, 2013).

Siklus cacing ini sangat sederhana dan langsung. Telur yang keluar bersama kotoran dari
ayam yang sakit atau cacingan akan menjadi infektif dalam waktu 10 – 12 hari pada kondisi
yang optimal. Bila telur cacing yang infektif itu tertelan oleh ayam maka telur tersebut akan
menetas dalam usus buntu (sekum), kemudian larvae hasil tetasan itu akan bebas hidup di dalam
usus buntu (sekum). Mencapai usia dewasa pada hari ke 28 – 30, Ukuran tubuh yang jantan
Cacing jantan panjangnya 3-4 mm, diameter 120-470 mikron, betina panjangnya 8-15mm,
berwarna putih dengan ekor memanjang.

Jika infestasi cacing sudah berat yaitu jumlah cacing dalam tubuh ayam banyak maka
akan terlihat nafsu makan turun, pertumbuhan terhambat, bulu kasar, pucat dan kurus. Gejala
tersebut diikuti dengan penurunan produksi telur yang lebih signifikan, dikarenakan pakan yang
seharusnya diolah dalam tubuh ayam menjadi daging atau telur, diserap cacing sebagai sumber
nutrisi untuk pertumbuhannya. (Fisma, 2013). Heterakis gallinarum, cukup patogen, dalam
jumlah yang banyak dapat menyebabkan kekurusan, peradangan sekum, nodulasi dinding sekum
dalam sampai hepatik granuloma.

Pencegahan yang dapat dilakukan yaitu peningkatan pelaksanaan sanitasi seperti


penyemprotan insektisida di lingkungan sekitar dan di dalam kandang baik tanah sekitar atau
pada litter sebelum ayam masuk yang berguna agar dapat memutus mata rantai inang perantara
terutama untuk siklus hidup cacing. Jangan mencampurkan terlalu berdekatan antara flock yang
berlainan usia dan strain untuk menghindari terjadinya penularan dan penyebaran parasit
Lakukan selalu nekropsi atau pembedahan terhadap ayam-ayam yang mati atau diduga terkena
infeksi cacing. Pengobatan yang dapat dilakukan adalah dengan cara pemberian piperazine.
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Pada praktikum kali ini dapat disimpulkan bahwa Heterakis gallinarum merupakan
golongan cacing Nematoda, pada umumnya menyerang unggas khususnya ayam yang terdapat
pada organ pencernaan yaitu sekum dan dapat menyerang semua umur, Heterakis gallinarum,
cukup patogen, dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan kekurusan, peradangan sekum,
nodulasi dinding sekum dalam sampai hepatik granuloma. Heterakis gallinarum juga merupakan
pembawa Histomonas meleagridis yang merupakan penyebab penyakit blackhead dan dapat
menurunkan berat badan secara signifikan. Penanganan disamping memberikan obat-obat
cacing, sanitasi lingkungan harus di perhatikan juga kebersihan kandang,
DAFTAR PUSTAKA

Berata, I.K., Anak A.G.A., I Wayan S., I Made M., I Ketut B., dan Ida B.M.O. 2010. Studi
Patologi pada Unggas. Jurnal Veteriner Desember 2010 Vol. 11 No. 4 : 232-237
Fisma, Eka et al. 2013. Pengaruh Pemberian Serbuk Ekstrak Temu Hitam ( Curcuma
aeruginosa ) dan Temu Lawak (Curcuma xanthorrhiza) sebagai Antelmentika Heterakis
gallinarum pada Ayam Petelur. Malang : Universitas Brawijaya.

Jackwood, D.J. 2014. Overview of Infectious Bursal Disease in Poultry. Merck Veterinary
Manual.

Pudjiatmoko dkk. 2014. Manual Penyakit Unggas. Jakata: Kementerian Pertanian

Tabbu CR. 2008. Penyakit ayam dan Penanggulangannya. Kanisius : Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai