Anda di halaman 1dari 11

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Lymphedema adalah akumulasi cairan yang kaya protein pada

jaringan. Gangguan fungsi getah bening pembuluh darah mengganggu

drainase sistem limfatik yang merupakan bagian dari peredaran darah seperti

struktur arteri dan vena. Pembuluh getah bening mengeluarkan kelebihan

cairan dari jaringan dan membawanya kembali kesirkulasi (Kayiran Oguz et

al, 2017).

Menurut Carter et al (2020), lymphedema merupakan pembengkakan

terus menurus dibagian tubuh seperti lengan atau tungkai, terkadang pada

wajah, karena penyumbatan dialiran limfatik ketika node atau kelenjar yang

bermasalah atau abnormal. Pembengkakan dapat mengakibatkan nyeri,

penurunan rentan gerak sendi atau kelemahan otot. Hal ini menyebabkan

akumulasi abnormal protein pada jaringan interstisial.

Pada tahun 1934, Allen memperkenalkan klasifikasi lymphedema

menjadi primerdan sekunder. Lymphedema sekunder mengikuti obstruksi

pada jalur limfik oleh sebab-sebab seperti perbedahan, terapi radiasi, dan

keterlibatan kelenjar getah bening oleh penyakit ganas lainnya. Meskipun

lymphedema primer lainnya kadang-kadang merupakan penyakit bawaan,

dalam banyak kasus, kondisi ini muncul diawal kehidupan dengan

kecenderungan untuk jenis kelamin wanita sebagai lymphedema prokoks.

Onset penyakit yang terlambat (setelah usia 35), yang dikenal lyphedema

terda, jarang terjadi. Lymphedema primer adalah masalah medis penting yang

terjadi pada 1 dari setiap 10.000 orang dalam populasi umum. Penelitian
sebelumnya menggunakan imfografi kontras-minyak konvensional telah

menunjukkan lymphedema ekstermitas bawah promer berbagai pola kelainan

pembuluh limfik, yang ditetapkan sebagai berikut: aplasia, diamana tidak ada

saluran getah bening yang terbentuk didaerang yang diselidiki; hipopslia,

dimana saluran getah bening lebih kecil atau lebih sedikit jumlahnya dari

sebelumnya; dan hiperplasia, dimana saluran getah bening pada tungkai

bawah lebih banyak atau lebih besar diameternya dari biasanya (Sadarmanta

dan Siti Fatimah Azzahra, 2018).

B. Etiologi

Lymphedema biasanya disebabkan oleh suatu kondisi atau prosedur

yang merusak limfatik sistem, seperti oprasi pada kelenjar getah bening,

kanker, pengonbatan radiasi untuk kanker, atau infeksi tulang termasuk

infeksi parasit. Pengangkatan kelenjar getah bening dari area ketiak setelah

payudara kanker adalah salah satu penyebab paling umum.

Penyebab dari lymphedema dibagi menjadi 2 yaitu,

genetik/kongenital (lymphedema primer) adalah mutasi dari beberapa gen

yang berpengaruh dalam pembentukan saluran limfa, seperti GJC2, FOXC2,

CCBE1, VGFR-3. PTPN14, GATA2, and SOX18, hal ini terjadi saat awal

kelahiran sebelum usia 35 tahun disebut sebagai lymphedema praecox (angka

kejadian 65-80%). Sedangkan jika menisfestasi klinis muncul diatas 35 tahun

maka disebut lyphedema tarda. Sedangkan untuk faktor sekunder

(lymphedema sekunder) seperti trauma, infeksi, keganasan, dan

pascatrombosis vena (Primasari Medisa, 2020).


C. Patologi

Lymphedema merupakan kondisi patologis dimana terjadi akumulasi

cairan jaringan interstisial yang berlebihan. Akumulasi ini terjadi akibat

terganggunya drainase limfe oleh penyebab yang didapat. Meskipun

lyphedema mengenai ekstermitas, efeknya dapat terjadi juga pada regio lain

seperti kepala dan leher. Berbeda dengan edema vena, dimana peningkatan

tekanan kapiler secara tidak langsung dapat menstimulasi produksi limfe,

limfedema disebabkan oleh berkurangnya transpor limfatik sehingga terjadi

statis. Limfedema skunder umumnya terjadi setelah trauma, imflamasi, atau

karena neoplasma (Bruns F, 2017).

D. Tanda Dan Gejala

Gejala lymphedema yang paling umum adalah pembengkakan pada

satu atau kedua lengan atau kaki. Pembengkakan ini, yang bisa meluas kejari

tangan atau kaki, biasanya berkembang secara bertahap seiring waktu (Carter

et al, 2020).
BAB II
PROSES FISIOTERAPI

A. ASSESSMENT

1. Assesment Subyektif

a. Keluhan utama: pembengkakakan pada kaki kiri, terasa

penuh dan berat pada kaki

b. Riwayat penyakit sekarang: pada bulan oktober

didiagnosa kanker serviks dengan stadium II-A dan

menyebar ke kelenjar getah bening dan menjalani

pengobatan histerektomi radikal, setelah itu pasien

menjalankan kemotrapi. Selama kunjungan tidak lanjut

pada januari pasien menunjukkan edema ekstermitas

bawah dan didiagnosa lymphedema.

c. Riwayat penyakit dahulu: tidak ada

d. Riwayat keluarga: tidak ada

2. Assesment Obyektif

Pemeriksaan vital sign

a. Tekanan daraah: 110/80 mmHg

b. Denyut dadi: 72x/mnt

c. Pernafasan: 20x/mnt

d. Tinggi badan: 164 cm

e. Berat badan: 58 kg

3. Pemeriksaan Umum

a. Inspeksi

 Statis
Kesadaran kompos mentis, adanya

pembengkakan pada kaki sebelah kiri

 Dinamis

Gerakan pada kaki terbatas

b. Palpasi

 Adanya pembengkakan pada kaki sebelah kiri

 Pengerasan dan penebalan pada kulit

 Suhu kulit warm dan dry

 Terdapat pitting odema

c. Perkusi

Sonor disemua bagian lobus paru

d. Auskultasi

Tidak ada suara tambahan

e. PFGD

Hip :

 fleksi : tidak full ROM, Sedikit nyeri

 ekstensi : tidak full ROM, Sedikit nyeri

Knee:

 fleksi : tidak full ROM, sedikit nyeri

 ekstensi : tidak full ROM, sedikit nyeri

Ankle:

 Dorsifleksi: tidak full ROM, sedikit nyeri

 Plantarfleksi: tidak full ROM, sedikit nyeri

4. Pemeriksaan Khusus

1) Vas (nyeri)
2) MMT: kekuatan otot

3) Antropometri : Bengkak

4) Goneometer : LGS

B. DIAGNOSA FISIOTERAPI

1. Impairment

(b4352) fungsi pembuluh limfatik

(s4200) pembuluh limfatik

(b4353) fungsi kelenjar getah bening

(s750) struktur ekstermitas bawah

(s7702) otot

2. Fungsional Limitation

(d450) berjalan

(b4550) general physical endurance

3. Partocipation rectriction

(d9201) olahraga

(d840-d859) bekerja

C. PROGRAM FISIOTERAPI

1. Tujuan jangka pendek :

a. Melancarkan sirkulasi limfik

b. Meningkatkan ROM/ inrcreased range of

motion/flexibility

c. Mengurangi pembengkakakan

d. Mengurangi nyeri

e. Meningkatkan kekuatan otot

2. Tujuan jangka panjang:


a. Menjadikan pasien mampu melakukan aktivitas sehari-

hari

D. INTERVENSI FISIOTERAPI

1. Terapi fisik dimulai dengan drainase limfatik manual,

pendidikan tentang sistem limfatik dan alasan disfungsi. Untuk

mengurangi pembengkakan, perban kompresi pada ekstremitas

juga dimulai. Pada hari perawatan ketiga, pasien

diinstruksikan untuk melakukan pijat limfatik sendiri dan

perban kompresi dengan benar. Untuk memastikan

pengurangan anggota tubuh dan payudara yang stabil, dia akan

diminta untuk melakukan tugas-tugas ini di rumah pada hari

dia tidak berada di PT. Setiap sesi perawatan setelah hari

ketiga, pasien dan terapis melakukan peninjauan menyeluruh

tentang massage limfatik sendiri dan perban kompresi sampai

dia dapat secara konsisten memberikan demonstrasi kembali

untuk kinerja teknik ini secara akurat (Tan & Wilson, 2019).

2. Pasien menerima terapi manual termasuk trigger point releases

dari kuadran kanan atas untuk mengurangi sesak pada dada,

subskapularis, teres minor dan mayor, trapezius, infraspinatus,

latissimus dorsi dan rhomboids untuk membantu

meningkatkan ROM bahu dan membantu dalam mencapai

posturtegak. Dia juga diberi latihan ekstremitas atas yang aktif

untuk dilakukan sambil mengenakan perban kompresinya.

Latihan ini bertujuan untuk membantu memompa cairan


keluar dari ekstremitas kanan atas secara aktif dan termasuk

fleksi / ekstensi siku, fleksi / ekstensi pergelangan tangan, dan

kepalan tangan. Latihan aktif ini akan menggunakan perban

kompresi sebagai kekuatan penyeimbang untuk memompa

cairan keluar dari ekstremitas untuk membantu mengurangi

pengukuran antropometri (Tan & Wilson, 2019).

3. Latihan postur utama yang disediakan termasuk chin tucks,

shoulder shrugs, shoulder circles, dan scapular

retraction/adduction. Pasien menerima latihan ROM bahu,

termasuk fleksi bahu dan abduksi dengan tongkat, dan fleksi

bahu dengan bantuan gravitasi terlentang. Seiring kemajuan

pasien, dia juga menerima latihan peregangan baru untuk

meningkatkan ROM bahu dan latihan peregangan dan

penguatan postur untuk membantu pasien mempertahankan

postur tegak. Regimen peregangan bahu awal termasuk fleksi

bahu pasif di atas meja, abduksi bahu dengan tongkat untuk

meningkatkan gerakan glenohumeral dan skapulotoraks. Dia

juga melakukan ekstensi dan adduksi bahu dengan pita elastis

yang memberikan ketahanan sedang. Dia juga melakukan

latihan fleksi bahu dan penculikan dengan beban ringan dan

pengulangan yang tinggi. Dia juga menerima latihan dalam

posisi terlentang yang bisa dia lakukan di tempat tidurnya di

rumah. Ini termasuk peregangan fleksi bahu alternatif dan

abduksi bahu untuk meningkatkan ROM dada. Terakhir, ia

diberikan latihan penguatan dalam posisi terlentang termasuk


fleksi bahu dengan pita elastis dari fleksi 90 ° hingga rentang

ujungnya, abduksi / adduksi bahu horizontal, dan rotasi

internal / eksternal dengan lengan di samping tubuh dengan

elastic band. Dalam berdiri, dia diinstruksikan dalam latihan

penguatan termasuk ekstensi bahu dan adduksidengan pita

latihan elastis dan latihan fleksi dan abduksi bahu dan bisep

curl dan ekstensi trisep menggunakan beban ringan dengan

kira-kira dua set dengan 15 pengulangan (Tan & Wilson,

2019).

4. Latihan dekongestif atau lymph drainage exercises komponen

Complete Decongestive Therapy (CDT) dan harus

diintegrasikan ke dalam rutinitas harian penderita limfedema

primer atau sekunder. Kinerja pompa latihan dekongestan atau

lymph drainage exercises pump, calf muscle pump, popliteal

fossa pump, thigh pump, dan inguinal pump adalah berbagai

prinsip dan mekanisme umum yang membantu pengangkutan

cairan limfatik ke seluruh tubuh (Carter et al., 2020).

Tujuannya untuk meningkatkan aktivitas limfokinetik dan

merangsang fungsional unit pembuluh getah bening. Biasanya

berlangsung 30-45 menit atau bahkan lebih lama (Borman

Pinar, 2018).

E. EVALUASI

1. Nyeri berkurang

2. Sedikit penambahan LGS


3. Bengkak berkurang

F. EDUKASI

1. Hindari suhu yang ekstrim seperti sauna, mandi air panas,

kompres air panas atau dingin.

2. Bila terdapat tanda -tanda infeksi seperti demam, kulit terasa

panas, kulit kemerahan dan nyeri segera kontrol kerumah

sakit.

3. Hindari dari gigitan nyamuk

4. Berjalan menggunakan alas kaki


DAFTAR PUSTAKA

Borman Pinar. (2018). Lymphedema diagnosis, treatment, and follow-up from the
view point of physical medicine and rehabilitation specialist. Turk J Phys
Med Rehab; 64(3):179-197
Bruns F, Micke O, Bremer M.(2017). Current Status Of Selenum and Other
Treatment for Secondary Lymphedema. J Support Oncol. 1;121-130
Carter, C., Jackson, V., & Edwards, D. (2020). An Overview of Lymphedema ,
Interventions , Functional Limitations , and the Disability Framework :
Advocacy for Those Who Suffer from Lymphedema ! Journal of
Rehabilitation Practices and Research, 1(104), 1–4.
Kariyan Oguz, Caloryn De La Cruz, Kaori Tane, Atilla Soran. (2017). Lymphedema:
From Diagnosis To Treatment. Turk J Surg 2017;33:51-57
Primasari Medisa. (2020). Lymphedema Diagnosis dan Terapi. Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. Vol 33 ISSUE 2
Sudarmanta dan Siti Fatimah Azzahra. (2018). Limfografi magnetic Resonance Pada
Limfedema Ekstermitas Inferior. Jurnal Radiologi Indonesia. Volume 3
Nomer 2
Tan, C., & Wilson, C. M. (2019). Clinical Outcomes After Physical Therapy
Treatment for Secondary Lymphedema After Breast Cancer. Cureus, 11(5).
https://doi.org/10.7759/cureus.4779

Anda mungkin juga menyukai