0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
21 tayangan7 halaman
Tugas ini membahas refleks fisiologis pada kasus stroke infark pasien. Refleks fisiologis dapat memberikan petunjuk diagnostik seperti hiperrefleks pada gangguan UMN atau hiporefleks pada gangguan LMN. Stroke infark dapat disebabkan oleh trombosis arteri atau emboli jantung, dengan gejala yang berbeda.
Tugas ini membahas refleks fisiologis pada kasus stroke infark pasien. Refleks fisiologis dapat memberikan petunjuk diagnostik seperti hiperrefleks pada gangguan UMN atau hiporefleks pada gangguan LMN. Stroke infark dapat disebabkan oleh trombosis arteri atau emboli jantung, dengan gejala yang berbeda.
Tugas ini membahas refleks fisiologis pada kasus stroke infark pasien. Refleks fisiologis dapat memberikan petunjuk diagnostik seperti hiperrefleks pada gangguan UMN atau hiporefleks pada gangguan LMN. Stroke infark dapat disebabkan oleh trombosis arteri atau emboli jantung, dengan gejala yang berbeda.
1. Hubungan refleks fisiologis dengan kejadian stroke infark
Pemeriksaan refleks adalah pemeriksaan objektif dari pemeriksaan neurologis yang membantu dalam membantu menentukan tingkat kerusakan pada sistem saraf. Refleks adalah respons motorik dari sistem saraf, berupa kontraksi otot, yang berlangsung singkat yang dicetuskan oleh sebuah stimulus. Refleks fisiologis, contohnya refleks lutut atau biseps, adalah refleks yang dicetuskan dengan memukul tendon dengan palu refleks. Hal ini menyebabkan otot menjadi tertarik secara pasif yang kemudian mengaktifkan saraf sensorik pada saraf tulang belakang, diikkuti dengan depolarisasi (pengaktifan) saraf motorik (yang mengatur gerakan tubuh). Aktivitasi saraf motorik menyebabkan kontraksi otot dan otot terlihat berkedut (twitching). Respons refleks ini meningkat pada lesi/ gangguan pada upper motor neuron (UMN)/ saraf motorik bagian atas seperti stroke. UMN bertindak menghambat kerja sistem refleks di saraf tulang belakang. Dengan demikian jika UMN mengalami gangguan, maka hambatan terhadap kerja sistem refleks pada saraf tulang belakang tidak ada akibatnya refleks fisiologis akan meningkat responnya. 1 Pemeriksaan refleks fisiologis merupakan suatu prosedur diagnostik yang rutin dilakukan untuk menilai mengevaluasi fungsi sensorimotor pada tubuh. Pemeriksaan ini tergabung pada pemeriksaan neurologi lengkap. Pemeriksaan yang dilakukan untuk menemukan lesi pada lower motor neuron (LMN) seperti cauda equina syndrome atau Guillain-Barre syndrome. Maupun lesi pada Upper motor neuron (UMN) seperti traumatic brain injury maupun stroke. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang sederhana, namun dapat memberikan informasi untuk membantu menegakkan diagnosa adanya gangguan pada sistem saraf. 5 Pada gangguan saraf, hasil pemeriksaan refleks dapat memberikan hasil normal, meningkat (hiperrefleks), menurun (hiporefleks) atau tidak ada refleks sama sekali. Jika hasil pemeriksaan menunjukan refleks menurun, perlu dicurigai bahwa terjadi gangguan pada lengkung refleks (serabut saraf sensorik, materi abu-abu pada sumsum tulang belakang, maupun serabut saraf motorik). 4,5 Serabut saraf motorik (sel tanduk anterior dan akson motoriknya yang melalui akar ventral dan saraf tepi) disebut sebagai LMN yang dapat memberi hasil penurunan refleks. Sementara itu, lengkung motorik yang menurun dari korteks serebral dan batang otak disebut sebagai UMN yang menghasilkan adanya peningkatan refleks di sumsum tulang belakang dengan mengurangi hambatan tonik pada segmen sumsum tulang belakang. 1,2 Hasil interpretasi refleks fisiologis dapat ditemukan adanya suatu patologi, seperti: Hiperrefleks menandakan adanya lesi pada UMN, beberapa penyakit yang berkaitan adalah multiple sclerosis, tumor kepala, stroke, defisiensi vitamin B12, amyotrophic lateral sclerosis Hiporefleks menandakan adanya lesi pada LMN, beberapa penyakit yang berkaitan adalah neuropati perifer, poliomielitis, amyotrophic lateral 9
Upper Motor Neuron (UMN) adalah neuron-neuron motorik yang
berasal dari korteks motorik serebri atau batang otak yang seluruhnya (dengan serat saraf-sarafnya ada di dalam sistem saraf pusat. Lower motor neuron (LMN) adalah neuron-neuron motorik yang berasal dari sistem saraf pusat tetapi serat- serat sarafnya keluar dari sistem saraf pusat dan membentuk sistem saraf tepi dan berakhir di otot rangka. Gangguan fungsi UMN maupun LMN menyebabkan kelumpuhan otot rangka, tetapi sifat kelumpuhan UMN berbeda dengan sifat kelumpuhan UMN. Kerusakan LMN menimbulkan kelumpuhan otot yang 'lemas', ketegangan otot (tonus) rendah dan sukar untuk merangsang refleks otot rangka (hiporefleksia). Pada kerusakan UMN, otot lumpuh (paralisa/paresa) dan kaku (rigid), ketegangan otot tinggi (hipertonus) dan mudah ditimbulkan refleks otot rangka (hiperrefleksia). Berkas UMN bagian medial, dibatang otak akan saling menyilang. Sedangkan UMN bagian Internal tetap berjalan pada sisi yang sama sampai berkas lateral ini tiba di medula spinalis. Di segmen medula spinalis tempat berkas bersinap dengan neuron LMN. Berkas tersebut akan menyilang. Dengan demikian seluruh impuls motorik otot rangka akan menyilang, sehingga kerusakan UMN diatas batang otak akan menimbulkan kelumpuhan pada otot-otot sisi yang berlawanan. 1 Salah satu fungsi medula spinalis sebagai sistem saraf pusat adalah sebagai pusat refleks. Fungsi tersebut diselenggarakan oleh substansia grisea medula spinalis. Refleks adalah jawaban individu terhadap rangsang, melindungi tubuh terhadap pelbagai perubahan yang terjadi baik dilingkungan internal maupun di lingkungan eksternal. Kegiatan refleks terjadi melalui suatu jalur tertentu yang disebut lengkung refleks. 1
3. Perbedaan antara stroke infark arterotrombotik dengan stroke infark
cardioemboli Stroke adalah istilah umum yang digunakan untuk satu atau sekelompok gangguanpada cerebro vasculer, termasuk infark cerebral, perdarahan intra cerebral dan perdarahan subarahnoid. Menurut Caplan, stroke adalah segala bentuk kelainan otak atau susunan saraf pusat yang disebabkan kelainan aliran darah, dan istilah stroke digunakan bila gejala yang timbul akut. Mekanisme terjadinya infark serebri adalah melalui pembentukan trombus, emboli, atau gangguan hemodinamik. 7 Pada tahap kategori klinis, stroke infark dapat dibedakan menjadi infark atherotrombotik, infark kardioemboli atau infark lakuner. Stroke kardioemboli adalah suatu gangguan neurologis akut yang disebabkan oleh gangguan pembuluh darah, dimana secara mendadak atau cepat timbul gejala dan tanda yang sesuai dengan daerah, fokal diotak, akibat suatu emboli yang berasal dari jantung. Stroke kardioemboli dimulai dengan defisit neurologik fokal yang dapat menjadi lebih berat, dasar diagnosa klinik dibuktikan dengan adanya sumber emboli dari jantung dan tidak ditemukannya penyebab lain dari strokenya. 7 Pada kebanyakan kasus, emboli yang berasal dari jantung akan berakhir di bagian otak. Hal ini disebabkan oleh aliran darah ke otak berasal dari arkus aorta, sehingga emboli yang terlepas pada ventrikel akan disebarkan melalui aliran darah ke arteri karotis komunis kiri dan arteri brakhiosefalik di otak. Penyebab lainnya adalah jaringan otak sangat sensitive terhadap obstruksi aliran darah, sehingga apabila terjadi gangguan yang disebabkan oleh emboli akan dapat membahayakan bagi otak. Besarnya infark kardioemboli tergantung dari ukuran emboli, pembuluh darah arteri yang terkena, stabilitas dari emboli, dan sirkulasi kolateralnya. 7 Kelainan yang dapat timbul akibat emboli ini adalah sumbatan arteri atau obstruksi arteri. Hal ini biasanya terjadi pada percabangan arteri, karena lumennya lebih tipis dan terjadi siasis aliran darah, sehingga dapat terbentuk suatu emboli. Kelainan lainnya adalah terjadinya iritasi. Hal ini terjadi sebagai respons terhadap emboli yang terbentuk. 7
Stroke Infark aterotrombotik
Stroke trombotik dapat dibagi menjadi stroke pada pembuluh darah besar (termasuk sistem arteri karotis) dan pembuluh darah kecil (termasuk sirkulus Willisi dan sirkulus posterior). Tempat terjadinya trombosis yang paling sering adalah titik percabangan arteri serebral utamanya pada daerah distribusi dari arteri karotis interna. Adanya stenosis arteri dapat menyebabkan terjadinya turbulensi aliran darah. Energi yang diperlukan untuk menjalankan kegiatan neuronal berasal dari metabolisme glukosa dan disimpan di otak dalam bentuk glukosa atau glikogen untuk persediaan pemakaian selama 1 menit. 7,9 Bila tidak ada aliran darah lebih dari 30 detik gambaran EEG akan mendatar, bila lebih dari 2 menit aktifitas jaringan otak berhenti, bila lebih dari 5 menit maka kerusakan jaringan otak dimulai, dan bila lebih dari 9 menit manusia dapat meninggal. Bila aliran darah jaringan otak berhenti maka oksigen dan glukosa yang diperlukan untuk pembentukan ATP akan menurun, akan terjadi penurunan Na+ K+ ATP-ase, sehingga membran potensial akan menurun.13 K+ berpindah ke ruang ekstraselular, sementara ion Na dan Ca berkumpul di dalam sel. Hal ini menyebabkan permukaan sel menjadi lebih negatif sehingga terjadi membran depolarisasi.7 Saat awal depolarisasi membran sel masih reversibel, tetapi bila menetap terjadi perubahan struktural ruang menyebabkan kematian jaringan otak. 7,8 Keadaan ini terjadi segera apabila perfusi menurun dibawah ambang batas kematian jaringan, yaitu bila aliran darah berkurang hingga dibawah 10 ml / 100 gram / menit. Akibat kekurangan oksigen terjadi asidosis yang menyebabkan gangguan fungsi enzim-enzim, karena tingginya ion H. Selanjutnya asidosis menimbulkan edema serebral yang ditandai pembengkakan sel, terutama jaringan glia, dan berakibat terhadap mikrosirkulasi. Oleh karena itu terjadi peningkatan resistensi vaskuler dan kemudian penurunan dari tekanan perfusi sehingga terjadi perluasan daerah iskemik. 7,8
Stroke Infark cardioemboli
Gangguan jantung kardioembolik merupakan salah satu risiko pembentukan emboli yang dapat mengobstruksi aliran darah serebrovaskular dan menyebabkan infark serebri. Di seluruh dunia, frekuensi stroke kardioembolik bervariasi antara 12-31% dari seluruh stroke infark. Risiko kejadian stroke kardioembolik meningkat seiring bertambahnya usia, diakibatkan meningkatnya prevalensi atrial fibrilasi pada usia lanjut (Gofir, 2009). Emboli kardiogenik yang khususnya berasal dari atrium jarang melibatkan arteri di bagian profunda otak, dan jarang bermanifestasi sebagai lakunar infark. Sebaliknya emboli kardiogenik kecil dari sumber valvular dapat mengobstruksi pembuluh darah subkortikal kecil dan menyebabkan lakunar infark subkortikal. 6 Mekanisme yang mendasari stroke kardioemboli adalah oklusi pembuluh darah serebral oleh debris yang berasal dari jantung. Emboli bisa terdiri dari aggregat platelet, thrombus, platelet-thrombi, kolesterol, kalsium, bakteri, dsb. Sebagian besar debris emboli tersusun dari aggregat platelet. Tidak ada mekanisme tunggal yang berperan dalam pembentukan kardioemboli. Tiap gangguan jantung menentukan patofisiologi dan perjalanan penyakit sehingga setiap sumber kardioemboli harus ditentukan sendiri. Emboli yang terbentuk akibat abnormalitas atrium dipicu oleh stasis darah, sedangkan yang disebabkan oleh abnormalitas katup disebabkan oleh abnormalitas endotel yang mengakibatkan perlengkatan berbagai material pada sisi bebasnya. Sifat emboli bergantung pada sumbernya, misalnya partikel kalsifikasi pada katup jantung yang terkalsifikasi dan contoh lainnya berupa sel-sel neoplasma pada kasus myxoma. 6 Sekali emboli mencapai sirkulasi serebral maka akan menyebabkan obstruksi suplai darah di otak dan menyebabkan iskemia neuron dan menjadi infark. Berbeda dengan trombus, embolus tidak melekat kuat di dinding vasa sehingga dapat bermigrasi hingga ke distal. Jika hal ini terjadi, reperfusi dari kapiler di arteriole yang rusak menyebabkan kebocoran darah ke jaringan infark sekelilingnya. Hal ini menjelaskan mengapa frekuensi infark hemorhagik umum terjadi pada stroke kardioembolik. 6 DAFTAR PUSTAKA 1. Lumbantobing S. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Ed 17: hal 134-145. 2014. 2. Lees A, Hurwitz B. Testing The Reflexes, The British Medical Journal; 366:14830. 2019. 3. University of California San Diego. The Neurological Examination. Available at: https://meded.ucsd.edu/clinicalmed/neuro3.html 4. Emos M, Agarwal S. Neuroanatomy, Upper Motor Neuron Lesion, 2018 Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537305/ 5. 7. Javeed K, Daly D. Neuroanatomy, Lower Motor Neuron Lesion, 2019 Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK539814/ 6. etyopranoto, I., 2015. Oedem Otak pada Pasien Stroke Iskemik Akut. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 7. Nuartha, AABN. Samatra, DPGP. Kondra, W. Penyakit Serebrovaskular. Dalam: Pedoman Diagnosis dan Terapi Penyakit Saraf. Lab/UPF Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Denpasar Bali. Hlm: 31-43. 2012 8. Guyton, AC. Hall, JE. Aliran Darah Serebral, Cairan Serebrospinal, dan Metabolisme Otak. Dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-12. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2014. Hlm: 801-808 9. Sidharta, Priguna. Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, , hal. 90. 2014