PENDAHULUAN
1
Musthofa, Kepaniteraan Peradilan Agama (Jakarta: Kencana, 2005)
2
Basri, Cik, Drs, Hasan, MS, Peradilan Agama, ( PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996) h.242
1
Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam
pasal 1 angka 1 UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama). Peradilan Agama melaksanakan kekuasaan
kehakiman bagi rakyat yang beragama Islam mengenai perkara tertentu. Menurut
pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama (“UU 3/2006”), yang menjadi kewenangan dari pengadilan agama
adalah perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
Perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi
syari'ah. Sesuai penjelasan pasal 49 UU 3/2006, yang dimaksud dengan "antara
orang-orang yang beragama Islam” dalam pasal 49 adalah termasuk orang atau
badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada
hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Susunan Organisasi Peradilan Agama
Susunan pengadilan diatur dalam bab II pasal 6 sampai dengan pasal 48 UU
NO.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama . pasal 6 menetapkan bahwa pengadilan
terdiri dari Pengadilan Agama terdiri dari Pengadilan Agama sebagai pengadilan
tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding.
Secara vertikal, kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan agama ini berpuncak
pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara tertinggi. Secara horizontal,
susunan Pengadilan Agama berkedudukan pada setiap kota madya atau kabupaten.
Sedang Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan pada setiap ibu Kota Provinsi.
Susunan organisasi Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama diatur
dalam pasal 9 UU No.7 Tahun 1989 dan seterusnya. Ayat (1) pasal ini menentukan
bahwa susunan Pengadilan Agama terdiri dari pimpinan, hakim anggota, penitera,
sekretaris, dan juru sita. Sedang ayat (1) menetapkan tentang susunan pengadilan
Tinggi Agama yang terdiri atas pimpinan, hakim anggota, panitera, dan sekretaris.
A. Struktur Pengadilan Agama
Struktur organisasi Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota,
Panitera, sekretaris, dan juru Sita.3
1. Pimpinan Pengadilan
Pimpinan Pengadilan Agama terdiri dari seorang Ketua dan wakil ketua. Ketua
dan wakil ketua pengadilan diangkat dan diberhentikan Mahkamah Agung.
2. Hakim
Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman. Hakim
pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas usul Ketua Mahkamah
Agung.
3. Panitera
Panitera adalah seorang pejabat yang memimpin kepaniteraan. Dalam
melaksanakan tugasnya. Panitera dibantu oleh seorang wakil panitera. Beberapa
panitera muda, beberapa panitera pengganti, dan juru sita. Panitera, wakil panitera,
panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan diangkat dan diberhentikan dari
jabatannya oleh Mahkamah Agung.
4. Sekretaris
Sekretaris adalah seorang pejabat yang memimpin secretariat. Dalam
melaksanakan tugasnya sekretaris dibantu oleh seorang wakil sekretaris. Panitera
pengadilan merangkap sekretaris pengadilan. Wakil sekretaris pengadilan diangkat
dan diberhentikan oleh Mahkamah Agung.
5. Juru Sita
3
Musthofa SY, Kepaniteraan Peradilan Agama, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal.21
3
Pada setiap pengadilan ditetapkan adanya juru sita dan juru sita pengganti yaitu
pejabat yang melaksanakan tugas-tugas kejurusitaan. Juru sita Pengadilan Agama
diangkat dan diberhentikan oleh Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan yang
bersangkutan. Juru sita pengganti diangkat dan diberhentikan oleh ketua pengadilan
yang bersangkutan.4
2. Hakim bertugas:
a. Membantu pencari keadilan (pasal 5 ayat (2) UU No.14 tahun 1970)
b. Mengatasi segala hambatan dan rintangan (pasal 5 ayat (2) UU No.14 tahun
1970)
c. Mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa (pasal 130 HIR/Pasal 154 Rbg)
d. Memimpin persidangan (pasal 15 ayat (2) UU No.14 tahun 1970)
e. Memeriksa dan mengadili perkara (pasal 2 ayat (1) UU No.14 tahun 1970)
f. Meminutir berkas perkara (184 (3), 186 (2) HIR)
g. Mengawasi pengayoman kepada pencari keadilan ((pasal 27 ayat (1) UU
No.14 tahun 1970).
h. Menggali nilai-nilai hukum yag hidup dalam masyarakat (pasal 27 ayat (1)
UU No.14 tahun 1970).
i. Mengawasi penasehat hokum
4
a. Membantu ketua dalam tugas-tugasnya sehari-hari.
b. Melaksanakan tugas-tugas ketua dalam hal ketua berhalangan.
c. Melaksanakantugas-tugas lain yang diberikan kepadanya.
4. Panitera bertugas:
a. Menyelenggarakan administrasi perkara dan mengatur tugas wakil panitera,
panitera muda dan panitera pengganti.
b. Membantu hakim dengan menghadiri dan mencatat jalannya sidang
pengadilan, membuat putusan/penetapan majelis.
c. Menyusun berita acara persidangan.
d. Melaksanakan penetapan dan putusan pengadilan.
e. Membuat semua daftar perkara yang diterima di kepaniteraan.
f. Membuat salinan atau turunan penetapan atau putusan pengadilan menurut
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
g. Bertanggungjawab atas penguraian berkas perkara, putusan, dokumen, akta
buku daftar biaya perkara uang titipan pihak ketiga, sura-surat bukti dan surat-
surat lainnya yang disimpan di Kepaniteraan.
h. Memberitahukan putusan verstek dan putusan di luar hadir.
i. Mebuat akta-akta.
j. Melegalisir surat-surat ytang akan dijadikan bukti dalam persidangan.
k. Pemungutan biaya-biaya pengadilan dan menyetorkannya ke kas Negara.
l. Mengirinkan berkas perkara yang di mohonkan banding, kasasi dan
peninjauann kembali.
m. Melaksanakan, melaporkan dan mempertanggungjawabkan eksekusi yang
diperintahkan oleh ketua pengadilan agama.
n. Melaksanakan dan mengawasi pelaksanaan pelelangan yang
ditugaskan/diperintahkan oleh ketua pengadilan agama.
o. Menerima uang titipan pihak ketiga dan melaporkannya kepada ketua
pengadilan Agama.
p. Membuat akta cerai.
5
6. Panitera Muda Gugatan Bertugas:
a. Membantu hakim dengan mengikuti dan mencatat jalannya siding pengadilan.
b. Melaksanakan administrasi perkara, mempersiapkan persidangan perkar,
menyimpan berkas perkara yang masih berjalan dan urusan lain yang
berhubungan dengan masalah perkara gugatan.
c. Member nomor register pada setiap perkara yang diterima di kepaniteraan
gugatan.
d. Mencatat setiap perkara yang diterima ke dalam buku daftar disertai catatan
singkat tentang isinya.
e. Menyerahkan salinan putusan kepada para pihak yang berperkara apabila
dimintanya.
f. Menyiapkan perkara yang dimohonkan banding, kasasi atau peninjauan
kembali.
g. Menyerahkan arsipberkas perkara kepada panitera muda hukum.
8
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, hal.23
6
Mengetik putusan/penetapan sidang.
9
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, hal.25
10
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Depatemen Agaman Republik Indonesia, Himpunan
Peraturaan Perundang-undangan Perkawinan, (Jakarta: Depag RI, 2009) ,hal. 125
11
Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan pengawasan di Lingkungan
Lembaga Peradilan, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2007), hal.8
7
c. Membina dan mengawasi pelaksanaan tugas-tugas administrasi umum.
12
Di akses di alamat, http://www.pt-nad.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=40&Itemid=115, pada tanggal 15/09/2017
13
Di akses di alamat, http://www.pt-nad.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=40&Itemid=115, pada tanggal 15/09/2017
8
d. Memeriksa kesesuaian rencana kerja dan atau kelayakan hasil kerja yang
dicapai dengan indicator keluaran
e. Memeriksa kebenaran atas hak tagih yang menyangkut antara lain:
1) Pihak yang ditunjuk untuk menerima pembayaran
2) Nilai tagihan yang harus dibayar
3) Jadwal waktu pembayaran
14
Di akses di alamat, http://www.pt-nad.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=40&Itemid=115, pada tanggal 15/09/2017
9
kebebasan kehakiman bukanlah kebebasan yang membabi buta akan tetapi terbatas
dan relative.diantaranya:
1. Bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya.
2. Peradilan dan hakim dalam melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman tidak
boleh dicampuri oleh badan kekuasaan pemerintahan yang lain. Pihak eksekutif,
legislative atau badan kekuasaan yang lain yang manapun tidak boleh
mencampuri jalannya peradilan.
3. Bebas dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak extra
judicial.
4. Maksudnya, hakim dalam melaksanakan fungsi peradilan tidak boleh dipaksa
mengambil keputusan yang dikehendaki pihak yang memaksa.
5. Kebebasan melaksanakan wewenang judicial (peradilan).
Dalam hal ini kebebasan hakim tidak bersifat absolut, tetapi terbatas pada:
a) Menerapkan hokum yang bersumber dari peraturan perundang-undangan secara
benar dalam menyelesaikan perkara
b) Menafsirkan hokum yang tepat melalui cara-cara pendekatan penafsiran yang
dibenarkan (interpretasi, bahasa, analogi, dan sosiologi sistematik)
c) Kebebasan untuk mencari dan menemukan hokum, baik melalui yurisprudensi,
doktrin hokum, hokum tidak tertulis (adat) maupun melalui pendekatan realisme,
yaitu mencari dan menemukan hokum yang terdapat pada nilai ekonomi, moral,
agama, dan kepatutan. 15
C. Asas Ketuhanan
15
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989
(Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 59-61
16
Afandi Mansur, Peradilan Agama Strategi dan Taktik Membela Perkara di Pengadilan Agama
(Malang: Setara Press, 2009), 28.
10
Peradilan Agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada
sumber hokum agama Islam, sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus
dimulai dengan kalimat Basmalah yang diikuti dengan kalimat “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
11
2) Tidak boleh mengurangi ketepatan pemeriksaan dan penilaian menurut hokum
dan keadilan.18
18
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah (Jakarta: Sinar
GRafika, 2009), 44.
19
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 32-33.
12
BAB III
KESIMPULAN
Dari penjelasan tentang struktur dan pembagian tugas personal struktur
organisasi dapat di simpulkan bahwa Untuk struktur organisasi pengadilan
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di atur dalam UU Nomor 7 Tahun
1989. Ketentuan tersebut terdapat pada pasal 9 UU Nomor 7 Tahun 1989 yang
menyebutkan bahwa: struktur organisasi Pengadilan Agama terdiri dari pimpipinan,
hakim anggota, panitera, sekretaris, dan juru sita dan untuk struktur organisasi
Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari pimpipinan, hakim anggota, panitera,
sekretaris.
13
DAFTAR PUSTAKA
Basri, Cik, Drs, Hasan, MS, Peradilan Agama, ( PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996) h.242
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005),
cet. VI, hal.21
Di akses di alamat, http://www.pt-nad.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=40&Itemid=115, pada tanggal 15/09/2017
Di akses di alamat, http://www.pt-nad.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=40&Itemid=115, pada tanggal 15/09/2017
Di akses di alamat, http://www.pt-nad.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=40&Itemid=115, pada tanggal 15/09/2017
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989
(Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 59-61
Afandi Mansur, Peradilan Agama Strategi dan Taktik Membela Perkara di Pengadilan Agama
(Malang: Setara Press, 2009), 28
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989 , 85-86.
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah (Jakarta: Sinar GRafika,
2009), 44.
bdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 32-33.
14